LOGIN"Taruh tas lu disitu!" ujar Minah saat ia membuka pintu apartemen yang merupakan tempat tinggalnya.
Widuri mengekor langkah Minah, matanya liar menatap ke segenap penjuru ruangan. Kamar apartemen Minah tak begitu besar, tapi untuk ukuran orang yang tinggal seorang diri itu cukuplah luas. Barang-barang di kamar itu juga cukup lengkap, sepertinya cerita tentang kesuksesan Minah di kota memang benar adanya. "Taruh aja disitu!" ulang Minah sambil menunjuk pada salah satu sudut ruangan. Widuri tergagap, lamunannya buyar, dengan gugup dan canggung, ia bergegas membawa tasnya dan meletakkan di sudut ruangan. "Untuk sementara lu tinggal disini dulu" ujar Minah sambil melempar tas yang sedari tadi ia sandang ke atas sofa. "Em..maaf..apa tempat kerjaku nanti dekat dari sini?" Widuri bertanya dengan hatihati. "Itu nggak usah lu pikirin dulu, yang penting sekarang kita istirahat, oke! gue capek banget Wid, gue mau tidur dulu..oya, kalo lu laper lu liat aja apa yang bisa dimakan di kulkas!" ujar Minah sambil nyelonong pergi meninggalkan Widuri yang tampak bengong seperti orang linglung. Minah sudah masuk ke dalam kamar, dan kini tinggallah Widuri seorang yang dilanda rasa canggung yang luar biasa, ia tiba-tiba teringat akan sang ibu. Ibunya pasti sedang cemas memikirkan dirinya, Widuri ingin sekali mengabari sang ibu kalau ia sudah tiba di kota dengan selamat, tapi ia tak punya ponsel, ia juga tak berami untuk meminjam ponsel Minah saat ini. Ah, Widuri gelisah, ia sepertinya harus lebih sabar, saat ini situasi belum tepat, Minah masih capek, mungkin nanti saat Minah sudah terlihat santai, barulah Widuri akan membahas soal ponsel itu. Dengan langkah perlahan dan senyap, Widuri berjalan menuju ke ruangan lain dari kamar apartemen Minah. Matanya terus berkeliling memutari sudut demi sudut tempat itu, terkadang ia berdecak kagum, terkadang pula melenguh lirik melihat kondisi kamar apartemen itu. Langkah Widuri tehenti saat ia tiba di senush tempat yang nampaknya adalah dapur. Mata Widuri langsung tertuju pasang benda berwarna hitam yang berada di sudut ruangan, lemari pendingin. Sempat ragu, tapi karena merasa sudah mendapat izin dari tuan rumah, Widuri akhirnya membuka pintu kulkas, dan seketika aroma aneh langsung menyeruak menyambut indera penciumanya. Widuri bstuk-batuk kecil, hidungnya merasa tak nyaman dengan aroma itu. "Astaga Minah!" pekiknya lirih manakala ia melihat ada onggokan makanan basi yang masih tersimpan di kulkas. Nafsu makan Widuri hilang seketika melihat isi kulkas di dapur Minah yang berantakan, tapi lambungnya terus meronta minta di isi. Apa boleh buat, ia meraih sebotol air mineral dan sebungkus biskuit yang belum dibuka, dan baru saja ia menutup pintu kulkas, tiba-tiba ia mendengar bel rumah berbunyi. Widuri bergegas menuju ke ruang tamu untuk memastikan bunyi itu berasal dari pintu kamar apartemen Minah. "Minah! Minah! ada tamu!" panggil Widuri dari luar pintu kamar Minah yang terbuka. "Minah!" ulang Widuri. "Apa Wid?" jawab Minah lesu. "Ada tamu" "Siapa?" "Nggak tau!" "Lu buka, terus tanyain siapa dia?" ujar Minah yang masih tetap telungkup di atas kasur. "Tapi..."Widuri takut, ia baru pertama kali ke kota, ia tak kenal siapapun selain Minah, ia takut jika teenyara yang ada di luar itu adaorang yang punya niat buruk. "Aku takut Min..." ujar Widuri polos. "Ya elah..Wid, gitu doang takut, gimana lu mau kerja!" celetuk Minah. Widuri terdiam, ia hanya meneguk ludah yang terasa getir, ia tak punya pilihan, saat ini ia ikut Minah, jadi apapun yang Minah perintahkan, ia harus patuh. "Udah sana!" serah Minah. Widuri tak menjawab, ia bergegas pergi meski dengan perasaan takut yang luar biasa. Bel terus berbunyi membuat bunyi yang nyaring menusuk telinga. Tangan Widuri gemetar saat menegang gagang pintu sambil memutar nya perlahan. Dan ketika pintu terbuka... "Mona! sialan lu!!" seorang pria bertubuh besar dengan kepala plontos dan wajah yang sangar tampat mengumpat sambil berdiri congkak di depan pintu. Widuri kaget bercampur ketakutan, ia mundur tak beraturan, keringat dingin langsung membasahi tubuhnya meski suasana di dalam apartemen twrasa dingin oleh sapuan pendingin udara. "Sial! Mana Mona?!!" tanya pria itu pada Widuri sambil merangsek masuk meski Widuri belum mempersilahkan. Mata pria paruh baya itu melotot tajam sambil berkeliling liar mencari orang bernama Mona yang sehak tadi ia cari. "Mana Mona jalang itu?! cepat suruh dia keluar!!" desak pria itu kasar. "Siapa Mo-na Pak..?!" tanya Widuri takut. "Arrghh!!" pria itu tampak geram, ia melangkah masuk, tapi belum juga ia keluar dari area ruang tamu, tiba-tiba langkahnya terhenti. "Bagus! muncul juga lu!" ucapnya sambil tersenyum sinis. Mata Widuri mengikuti langkah si pria, ia terbelalak saat mengetahui siapa orang yang dari tadi di cari oleh pria itu. "Wid, lu masuk dulu!" perintah Minah pada Widuri, Widuri yang sejak tadi menahan rasa takut bergegas pergi, masuk ke ruangan dalam, tapi perasaanya campur aduk, rasa takut begitu bergemuruh hebat menguasai dirinya saat ini. "Mana janji lu?! lu mau ingkar lagi, haha?!" todong pria itu kasar. "Em, gue minta waktu lagi Bos!" ujar Minah setengah merengek. "Enak aja lu! gue udah ngasih lu waktu lama, tapi lu selalu ngulur-ngulur terus!" tukas pria itu ketus. "Bosen gue! jangan mentang-mentang karena lu sering ngasih gue barang, terus lu bakal lepas dari utang-_utang itu, kagak bakal!" ucapan pria itu setengah berteriak hingga Membuat Widuri mampu mendengar percakapannya dengan Minah. "Ta-pi Bos, gue saat ini beneran belum bisa bayar Bos" keluh Minah dengan wajah memelas. "Ya terus kapan hah?! gue udah bayarin apartemen ini, tapi kalo masalah biaya hidup lain yang lu tutupi pake duit gue yang lu pinjem, gue gak bisa biarin. Lu mau gue bangkrut?! hah?! pokoknya lu harus balikin! atau kalo lu nggak bisa balikin tu duit, lu angkat kaki dari sini! dah muak gue ngurusi hidup elu!" pria itu terus mengoceh dengan suara yang lantang melampiaskan rasa kesalnya pada Minah. "Jangan dong bos!" rengek Minah. "Ya makanya buruan lu bayar!" sergah si pria. "Iya, gue bakal bayar, tapi nanti, gue cari duit dulu!" janji Minah. "Heh! Lagak lu cari duit, mulut lu selama ini juga gue yang nyumpel!" ejek si pria sambil tertawa kecil. Minah terdiam sambil menggerutu lirih. "Em, bos, gimana kalo gue cariin barang baru?" Minah mengajak bernegosiasi. "Barang baru?!" pria itu terlihat tertarik dengan tawaran Minah sambil memicingkan matanya, masih merasa curiga. "Iya Bos, gue bakal cariin bos barang baru, kesukaan bos. Cantik, kalem, dan pastinya masih segelan. Gimana?" wajah Minah terlihat sumringah, ada secercah harapan yang terpancar di wajahnya, ia yakin jika tawarannya kali ini akan mampu meruntuhkan keteguhan hati pria yang ada di hadapannya, bos Reno, nama pria itu. ###"Taruh tas lu disitu!" ujar Minah saat ia membuka pintu apartemen yang merupakan tempat tinggalnya. Widuri mengekor langkah Minah, matanya liar menatap ke segenap penjuru ruangan. Kamar apartemen Minah tak begitu besar, tapi untuk ukuran orang yang tinggal seorang diri itu cukuplah luas. Barang-barang di kamar itu juga cukup lengkap, sepertinya cerita tentang kesuksesan Minah di kota memang benar adanya. "Taruh aja disitu!" ulang Minah sambil menunjuk pada salah satu sudut ruangan. Widuri tergagap, lamunannya buyar, dengan gugup dan canggung, ia bergegas membawa tasnya dan meletakkan di sudut ruangan. "Untuk sementara lu tinggal disini dulu" ujar Minah sambil melempar tas yang sedari tadi ia sandang ke atas sofa. "Em..maaf..apa tempat kerjaku nanti dekat dari sini?" Widuri bertanya dengan hatihati. "Itu nggak usah lu pikirin dulu, yang penting sekarang kita istirahat, oke! gue capek banget Wid, gue mau tidur dulu..oya, kalo lu laper lu liat aja apa yang bisa dimakan di k
Hari yang dinantikan Widuri akhirnya tiba juga, pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Sebuah tas jinjing berwarna hitam yang berisi pakaiannya sudah siap di atas meja di ruang tamu. Ada juga sebuah tas kain kecil yang berisi bekal makanan. Juriah tampak sibuk kesana-kemari untuk mempersiapkan segala keperluan Widuri. Widuri sendiri sudah duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Perasaanya campur aduk, antara bahagia juga sedih. Ia merasa bahagia karena akhirnya ia akan segera berangkat ke kota untuk bekerja dan ia berharap agar ia bisa merubah hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi dilain sisi ia juga merasa sedih. Dengan berangkatnya ia ke kota itu berarti ia harus meninggal sang ibu sendirian di kampung, tanpa sanak saudara, ia merasa gelisah, takut terjadi hal buruk pada ibunya. Mengingat akhir-akhir ini sang ibu sering sakit, lalu bagaimana jika Widuri pergi dan ibunya jatuh sakit, siapa orang yang akan merawatnya. Ah, Widuri bimbang. "Wid, sarapan dulu ya!" Juriah datang dengan
"Bu, Ibu!!" Suara Widuri terdengar girang, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan oleh orang tuanya. Ia setengah berlari masuk kedalam rumahnya yang sepi. "Bu?!" "Ada apa Wid? Ibu di dapur!" Terdengar suara Juriah setengah berteriak. Widuri bergegas menuju dapur, ia sudah tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira pada ibunya. "Udah ke rumah Minah?" Tanya Juriah saat melihat sang puteri. Widuri tak menjawab, tapi bibirnya tersenyum tipis. "Ada apa, kok senyum-senyum gitu?" Juriah penasaran, sekaligus terharu, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat anaknya itu tersenyum. Hari-hari yang berat membuat senyum menjadi sesuatu yang sangat mahal bagi keduanya. Mereka lebih sering murung dan sedih akibat derita kehidupan yang tak kunjung usai. "Bu, Wid punya kabar gembira!" Ucap Widuri sambil menarik tangan sang ibu dan mengajaknya untuk duduk di kursi kayu panjang yang ada di sudut dapur berlantai tanah itu. Juriah nampak antusias. Ia duduk di samping sang anak dan tak
Mata Widuri tak lekang sedikitpun dari sosok Minah yang benar-benar sudah berubah seratus persen. Ia yang dulu kurus, dekil, dan tak bisa bergaya, kini berubah menjadi gadis dengan paras cantik, tubuh yang bersih terawat, serta penampilan menawan yang seksi. Sekilas Widuri merasa iri melihat hal itu. Apalagi Minah juga kian terlihat sempurna dengan barang-barang modern yang tak pernah terjamah sedikitpun oleh Widuri, ponsel pintar, tak cuma satu Minah bahkan punya tiga unit. "Duduk Wid!" Ajak Minah dengan ramah. Widuri celingukan, ia hanya bingung sambil melihat sofa empuk yang seolah sedang mengejek dirinya. "Ayo duduk, kok malu gitu sih?" Ledek Minah. "I-ya!" Jawab Widuri gugup, dengan perlahan ia menempelkan ujung panta*nya ke atas sofa, dan seketika ia merasa sebuah kenyamanan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Duduk di kursi mahal memang berada, ada sensasi tersendiri yang sulit untuk digambarkan. "Lu mau minum apa?" Tanya Minah sambil tetap tersenyum ramah. "Em, nggak
"Bu, Wid mau ke rumah Wak Ijah!" Ucap Widuri di pagi hari saat sang ibu sedang memasak di dapur. "Ngapain pagi-pagi mau kesana?" Tanya Juriah sambil fokus pada kuali kecil yang berisi dua ekor ikan mujair, pemberian tetangga sebelah rumah yang baru panen ikan dari tambak kecil di belakang rumahnya. "Tadi pas Wid pergi ke warung, Wid dengar dari Bu Yuli yang lagi ngobrol sama orang, katanya anaknya Wak Ijah pulang dari kota" ujar Widuri antusias. "Anaknya Wak Ijah?, siapa?" Tanya Juriah sambil membalik ikan goreng dikuali, dan seketika aroma gurih langsung menyeruak memenuhi ruangan dapur yang sempit dan agak pengap itu. "Itu, yang sekelas sama Wid pas SD" "Siapa ya?" "Si Sumina!" jawab Widuri. "Oh, Minah!" Juriah ingat dengan nama itu, itu adalah salah satu teman Widuri. Rumah keduanya berjarak tak jauh, sejak kecil Widuri sering bermain dengan Minah, mereka juga sekolah satu angkatan di sekolah yang sama. Hanya saja saat lulus SD, Minah melanjutkan sekolah ke SMP di kecamatan,
"Pokoknya aku nggak mau tau, satu minggu lagi aku datang kesini, uangnya harus ada, kalo kau masih belum juga menyiapkan uang itu, maka kau dan anakmu harus angkat kaki dari rumah ini!" suara seorang pria psruh baya terdengar menggelegar memenuhi seisi ruangan yang sempit."Ta-pi juragan, itu, itu terlalu sempit waktunya.." keluh wanita tua yang duduk bersimpuh di lantai semen yang dingin dan senyap."Itu bukan urusanku Juriah! kau harusnya berterima kasih padaku karena aku masih berbaik hati memberimu tambahan waktu, pokok ya aku nggak msu tau, satu minggu lagi waktu yang kau punya! jika kau dan anakmu madih ingin tinggal di rumah ini, maka cepat siapkan uangnya!" pungkas pria bertubuh cempal dengan kumis tebal yang melingkar di aras bibirnya yang kehitaman akibat terlalu sering merokok.Wanita tua itu tak bisa lagi beekata-kata, ia hanya bisa pasrah sambil berusaha sekuat tenaga agar tak menangis dihadapan pria itu."Ayo kita pergi! dasar orang miskin nggak tau diri, udah dibantu bu







