LOGINNiat hati ingin mengubah nasib dengan ikut temannya pergi bekerja ke kota, Widuri malah menjadi korban penipuan oleh temannya tersebut. Bukannya mendapat pekerjaan seperti yang dijanjikan, ia justru dijual oleh temannya pada pria hidung belang. Widuri yang sadar sudah tertipu berusaha untuk melarikan diri, namun usahanya gagal dan justru membawa ia pada sebuah peristiwa yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya.
View More"Pokoknya aku nggak mau tau, satu minggu lagi aku datang kesini, uangnya harus ada, kalo kau masih belum juga menyiapkan uang itu, maka kau dan anakmu harus angkat kaki dari rumah ini!" suara seorang pria psruh baya terdengar menggelegar memenuhi seisi ruangan yang sempit.
"Ta-pi juragan, itu, itu terlalu sempit waktunya.." keluh wanita tua yang duduk bersimpuh di lantai semen yang dingin dan senyap. "Itu bukan urusanku Juriah! kau harusnya berterima kasih padaku karena aku masih berbaik hati memberimu tambahan waktu, pokok ya aku nggak msu tau, satu minggu lagi waktu yang kau punya! jika kau dan anakmu madih ingin tinggal di rumah ini, maka cepat siapkan uangnya!" pungkas pria bertubuh cempal dengan kumis tebal yang melingkar di aras bibirnya yang kehitaman akibat terlalu sering merokok. Wanita tua itu tak bisa lagi beekata-kata, ia hanya bisa pasrah sambil berusaha sekuat tenaga agar tak menangis dihadapan pria itu. "Ayo kita pergi! dasar orang miskin nggak tau diri, udah dibantu bukannya terima kasih malah ngelunjak!" umpat pria itu sambil membuang puntung rokoknya begitu saja dan memberi isyarat pada tiga orang pria yang mengawal dirinya agar segera meninggalkan tempat itu. Sedang si wanita akhirnya tangisnya pecah juga paska kepergian pria tadi. ----------- "Bu?! Ibu dimana?!" tampak seorang gadis muda berteriak memanggil sang ibu. Ia terlihat begiti cemas. gadis itu terus merangsek masuk lebih jauh kedalam rumah sederhana yang terlihat sepi itu. "Bu?!" Langkah si gadis terhenti di sebuah ruang sempit dengan sebuah meja kayu dan empat buat kursi plastik yang usang, nampaknya itu ruang makan, disitu ada seorang wanita paruh baya sedang duduk dengan wajah sayu dan mata yang mengembun. Gadis itu segera menghambur kearah wanita tua itu. "Bu?! Ibu nggak apa-apa?! Apa yang terjadi?!" Tanya si gadis panik, sambil mengelus tangan wanita itu yang tergeletak begitu saja di atas pangkuannya. Wanita tua itu memalingkan wajahnya pada si gadis, kedua matanya yang tua nampak menggambarkan betapa saat ini ia sedang memikirkan sesuatu yang begitu berat. "Apa juragan Sarmo datang lagi?" Tanya si gadis yang seperti tahu apa yang membuat wanita yang adalah ibunya itu dilanda kegelisahan. Wanita itu tak menjawab, tapi dari sorot matanya seolah ia membenarkan pertanyaan si gadis yang adalah anaknya. "Apa katanya?" Gadis itu, Widuri, bertanya lagi dengan perasaan yang campur aduk. "Masih sama Wid, masih tanya tentang sisa hutang itu.." jawab wanita itu lemah. Widuri tertegun, ia hanya bisa menelan saliva yang begitu getir segetir nasib hidupnya. Hidup Widuri yang porak-poranda setelah sang ayah divonis menderita liver bengkak lima tahun yang lalu. Saat itu Widuri masih duduk di bangku SMP. Dan setelah sang ayah jatuh sakit, otomatis posisi mencari nafkah digantikan oleh sang ibu. Sebagai wanita, Juriah, ibunya Widuri, tentu tak bisa bekerja keras selayaknya seorang pria. Ladang untuk mencari rezeki bagi kaum wanita di kampung Widuri juga terbatas. Mereka hanya bisa bekerja serabutan di kebun-kebun kopi milik warga yang kaya dengan upah yang tak seberapa. Kehidupan ekonomi warga di kampung Widuri bisa dibilang masih banyak yang berada di kelas menengah ke bawah. Bahkan banyak dari warga di situ yang yang tak memiliki lahan perkebunan sendiri. Mereka menggarap kebun milik orang lain dengan sistem bagi hasil, yang tentu saja hasil yang lebih banyak adalah bagian dari si empunya lahan. Sebagian warga yang tak mampu untuk membuka lahan perkebunan, memilih untuk mengadu nasib di kota dengan harapan mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak ketimbang kehidupan di kampung Sidarejo. "Ibu bingung Wid, apa lagi yang harus dijual untuk melunasi hutang itu" Juriah mengeluh, suaranya yang berat menandakan betapa lelahnya ia menanggung beban berat itu, sedang pandanganya ia edarkan ke segenap ruangan, seolah sedang mencari sesuatu yang berharga. Tapi tidak, di dalam rumah itu sudah tak ada lagi benda yang bisa dijual. Semua sudah habis, dan hanya menyisakan barang-barang yang lebih pantas disebut sebagai rongsokan. Widuri diam, ia tahu berapa saat ini sang ibu merasa begitu gelisah. Hutang pada rentenir kampung, juragan Sarmo masih banyak, sekitar delapan juta lagi. Hutang itu adalah hutang yang digunakan untuk biaya berobat sang ayah selama ia sakit, lima tahun lamanya. Hampir semua harta benda yang keluarga itu miliki sudah berpindah tangan. Mulai dari motor tua milik sang ayah, sebidang kecil kebun kopi warisan dari orang tua ibu Widuri, isi rumah, seperti televisi, kursi tamu, lemari, bahkan beberapa pakaian milik Juriah yang masih layak pakai , semuanya sudah ia lelang demi bisa menutupi biaya berobat sang suami yang pada akhirnya harus perpulang beberapa bulan yang lalu. Dan kini yang tersisa tinggalah sebuah rumah sederhana yang menjadi tempat berlindung ibu dan anak itu, itupun statusnya sudah tergadai pada juragan Sarmo, sebesar sepuluh juta, dan baru diangsur dua juta saja. Widuri yang bekerja sebagai buruh cuci piring di sebuah kedai yang ada di pusat kampung, menyicil hutang itu dengan upahnya bekerja setiap Minggu. "Apa ibu jual saja cincin ini ya?" Ujar Juriah sambil mengelus sebuah cincin emas yang melingkar erat di jari manis tangan kanannya itu. Mata Widuri mengikuti gerakan tangan sang ibu membelai cincin itu dengan tatapan nanar. Itu cincin kawin ibu dan ayah Widuri, itu adalah satu-satunya benda bersejarah yang menjadi saksi bisu kisah cinta keduanya. "Jangan Bu! Itu satu-satunya kenangan dari bapak!" Tolak Widuri sambil menggenggam tangan sang ibu erat, seolah ia sedang berusaha menghalangi cincin itu terlepas dari jari manis sang ibu. "Lagipula itu juga tak akan cukup untuk melunasi hutang pada juragan Sarmo " ujarnya lagi. "Iya, ibu tau, kita mungkin bisa tambahi dengan menjual barang yang lain" Juriah tampak sedikit bersemangat. "Barang lain? Apa Bu?!" Widuri bingung, seingatnya tak ada lagi barang berharga di rumahnya, semua sudah habis terjual beberapa tahun yang lalu. "Tempat tidur di kamar ibu , dan juga lemari bajunya" ucap Juriah. "Apa?!" Widuri kaget mendengar ucapan sang ibu, ia geleng-geleng kepala. "Nggak Bu! Itu tempat tidur Ibu. Kalo ranjang itu dijual, lalu bagaimana ibu tidur?!" Protes Widuri, itu bukan tanpa alasan, sebab tempat tidur di rumah itu hanya tinggal satu, yaitu yang ada di kamar sang ibu. Sedang tempat tidur di kamarnya sudah terjual paska sang ayah wafat. Mereka menjual tempat tidur Widuri saat itu untuk membayar ongkos ambulan, karena sang ayah meninggal di rumah sakit yang ada di kota kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari rumah mereka. "Nggak apa Wid, ibu bisa tidur pakai tikar di lantai" ucap Juriah, ia berusaha membuat sang anak tenang. "Nggak Bu! Pokoknya ibu nggak boleh jual ranjang itu!" Tolak Widuri. "Ya terus gimana dengan juragan Sarmo, dia bilang dia akan datang seminggu lagi, terus gimana kalo kita belum juga bisa melunasi hutang itu Wid?!" Suara Juriah parau seiring dengan matanya yang mulai basah. Hati perempuan paruh baya itu remuk seremuk- remuknya, ia putus asa, tak tahu lagi harus bagaimana menyelesaikan masalah yang rumit ini. Tak ada tempat meminta tolong atau sekedar berkeluh kesah, semua ia tanggung sendiri dan hanya berbagi dengan Widuri yang masih berumur sembilan belas tahun itu. Widuri merengkuh sang ibu, didekapnya erat tubuh kurus itu. Mereka berdua larut dalam nestapa yang begitu menyayat tanpa tahu akan seperti apa nantinya takdir yang kini sedang menimpa. "Ibu nggak usah cemas, Wid janji, Wid pasti akan cari uang untuk bayar hutang ke juragan Sarmo!" ucapan Widuri penuh keyakinan, meski di dalam hati ia tak pernah tahu apakah kalimat yang ia ucapkan adalah suatu kebenaran, atau hanya bualan semata sebagai penghiburan hati yang sedang nelangsa. ###"Taruh tas lu disitu!" ujar Minah saat ia membuka pintu apartemen yang merupakan tempat tinggalnya. Widuri mengekor langkah Minah, matanya liar menatap ke segenap penjuru ruangan. Kamar apartemen Minah tak begitu besar, tapi untuk ukuran orang yang tinggal seorang diri itu cukuplah luas. Barang-barang di kamar itu juga cukup lengkap, sepertinya cerita tentang kesuksesan Minah di kota memang benar adanya. "Taruh aja disitu!" ulang Minah sambil menunjuk pada salah satu sudut ruangan. Widuri tergagap, lamunannya buyar, dengan gugup dan canggung, ia bergegas membawa tasnya dan meletakkan di sudut ruangan. "Untuk sementara lu tinggal disini dulu" ujar Minah sambil melempar tas yang sedari tadi ia sandang ke atas sofa. "Em..maaf..apa tempat kerjaku nanti dekat dari sini?" Widuri bertanya dengan hatihati. "Itu nggak usah lu pikirin dulu, yang penting sekarang kita istirahat, oke! gue capek banget Wid, gue mau tidur dulu..oya, kalo lu laper lu liat aja apa yang bisa dimakan di k
Hari yang dinantikan Widuri akhirnya tiba juga, pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Sebuah tas jinjing berwarna hitam yang berisi pakaiannya sudah siap di atas meja di ruang tamu. Ada juga sebuah tas kain kecil yang berisi bekal makanan. Juriah tampak sibuk kesana-kemari untuk mempersiapkan segala keperluan Widuri. Widuri sendiri sudah duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Perasaanya campur aduk, antara bahagia juga sedih. Ia merasa bahagia karena akhirnya ia akan segera berangkat ke kota untuk bekerja dan ia berharap agar ia bisa merubah hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi dilain sisi ia juga merasa sedih. Dengan berangkatnya ia ke kota itu berarti ia harus meninggal sang ibu sendirian di kampung, tanpa sanak saudara, ia merasa gelisah, takut terjadi hal buruk pada ibunya. Mengingat akhir-akhir ini sang ibu sering sakit, lalu bagaimana jika Widuri pergi dan ibunya jatuh sakit, siapa orang yang akan merawatnya. Ah, Widuri bimbang. "Wid, sarapan dulu ya!" Juriah datang dengan
"Bu, Ibu!!" Suara Widuri terdengar girang, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan oleh orang tuanya. Ia setengah berlari masuk kedalam rumahnya yang sepi. "Bu?!" "Ada apa Wid? Ibu di dapur!" Terdengar suara Juriah setengah berteriak. Widuri bergegas menuju dapur, ia sudah tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira pada ibunya. "Udah ke rumah Minah?" Tanya Juriah saat melihat sang puteri. Widuri tak menjawab, tapi bibirnya tersenyum tipis. "Ada apa, kok senyum-senyum gitu?" Juriah penasaran, sekaligus terharu, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat anaknya itu tersenyum. Hari-hari yang berat membuat senyum menjadi sesuatu yang sangat mahal bagi keduanya. Mereka lebih sering murung dan sedih akibat derita kehidupan yang tak kunjung usai. "Bu, Wid punya kabar gembira!" Ucap Widuri sambil menarik tangan sang ibu dan mengajaknya untuk duduk di kursi kayu panjang yang ada di sudut dapur berlantai tanah itu. Juriah nampak antusias. Ia duduk di samping sang anak dan tak
Mata Widuri tak lekang sedikitpun dari sosok Minah yang benar-benar sudah berubah seratus persen. Ia yang dulu kurus, dekil, dan tak bisa bergaya, kini berubah menjadi gadis dengan paras cantik, tubuh yang bersih terawat, serta penampilan menawan yang seksi. Sekilas Widuri merasa iri melihat hal itu. Apalagi Minah juga kian terlihat sempurna dengan barang-barang modern yang tak pernah terjamah sedikitpun oleh Widuri, ponsel pintar, tak cuma satu Minah bahkan punya tiga unit. "Duduk Wid!" Ajak Minah dengan ramah. Widuri celingukan, ia hanya bingung sambil melihat sofa empuk yang seolah sedang mengejek dirinya. "Ayo duduk, kok malu gitu sih?" Ledek Minah. "I-ya!" Jawab Widuri gugup, dengan perlahan ia menempelkan ujung panta*nya ke atas sofa, dan seketika ia merasa sebuah kenyamanan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Duduk di kursi mahal memang berada, ada sensasi tersendiri yang sulit untuk digambarkan. "Lu mau minum apa?" Tanya Minah sambil tetap tersenyum ramah. "Em, nggak






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.