Share

Bagian ke-5

Author: Queen Sando
last update Last Updated: 2025-07-02 15:00:09

Hari yang dinantikan Widuri akhirnya tiba juga, pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Sebuah tas jinjing berwarna hitam yang berisi pakaiannya sudah siap di atas meja di ruang tamu. Ada juga sebuah tas kain kecil yang berisi bekal makanan. Juriah tampak sibuk kesana-kemari untuk mempersiapkan segala keperluan Widuri.

Widuri sendiri sudah duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Perasaanya campur aduk, antara bahagia juga sedih. Ia merasa bahagia karena akhirnya ia akan segera berangkat ke kota untuk bekerja dan ia berharap agar ia bisa merubah hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi dilain sisi ia juga merasa sedih. Dengan berangkatnya ia ke kota itu berarti ia harus meninggal sang ibu sendirian di kampung, tanpa sanak saudara, ia merasa gelisah, takut terjadi hal buruk pada ibunya. Mengingat akhir-akhir ini sang ibu sering sakit, lalu bagaimana jika Widuri pergi dan ibunya jatuh sakit, siapa orang yang akan merawatnya. Ah, Widuri bimbang.

"Wid, sarapan dulu ya!" Juriah datang dengan sebuah piring berisi nasi putih hangat dan ikan goreng serta tumis kacang panjang. Ia duduk disebelah sang anak.

"Wid nggak lapar Bu!" Jawab Widuri.

"Nggak lapar gimana, kamu itu mau melakukan perjalanan jauh, jadi kamu harus sarapan jangan sampe perutmu kosong nanti bisa masuk angin loh!" Bujuk Juriah sambil menyendok makanan di dalam piring.

"Ayo makan!" Juriah menyisir sendok berisi makanan ke arah mulut Widuri.

Widuri diam, ia malah menatap sang ibu dengan tatapan nanar. Matanya terasa berat, kesedihan yang sejak tadi terus memberontak didalam dadanya, sekarang seolah sudah enggan untuk dikekang, ia ingin bebas keluar dari kerangkeng bewujud bola mata.

"Kok malah sedih sih?" Selorohnya Juriah sambil meletakkan kembali sendok ke dalam piring.

"Ada apa, hah?"

"Bu.."

"Iya, Nak!"

"Apa ibu sungguh mengizinkan Wid untuk pergi?" Tanya Widuri dengan lirih.

Juriah diam, ia hanya terus memandangi wajah puterinya itu. Hati Juriah sebenarnya juga terasa tersayat manakala ia harus menerima kenyataan, kini ia harus berpisah dengan Widuri, satu-persatu anggota keluarga yang ia miliki. Apalagi kini ia harus melepas Widuri ke tempat asing yang jauh, ia merasa takut jika disana nanti Widuri akan mendapatkan masalah.

"Bu..?" Widuri menunggu jawaban Juriah.

"Iya Nak, ibu iklhas. Kita memang harus berjuang lebih keras lagi agar bisa terlepas dari semua derita ini" suara Juriah terasa berat.

"Maafkan ibu karena harus membuat kau ikut menanggung penderitaan ini. Wid" suara Juriah mulai parau.

"Nggak Bu! Wid nggak pernah merasa begitu, Wid ikhlas melakukan semua ini. Itulah sebabnya Wid ingin bekerja ke kota agar bisa membantu ibu!" Ucap Widuri dengan tatapan pilu melihat kesedihan yang terpancar di wajah sang ibu.

"Ibu nggak usah mikir yang aneh-aneh, pokoknya Wid minta ibu doain Wid agar Wid bisa sukses, dan hidup kita bisa jadi lebih baik!" Ucap Widuri mencoba menenangkan sang ibu yang terlihat gelisah sekali.

"Itu pasti Nak!"

"Ibu sungguh nggak apa, kan kalo Wid tinggal?" Widuri tak kuasa menahan rasa khawatirnya.

"Nggak Nak, ibu nggak apa-apa, kau tak usah cemaskan ibu. Kau fokus saja pada tujuanmu ya!" Juriah meyakinkan Widuri.

"Tapi Wid takut Bu!" Ucap Widuri.

"Kamu nggak usah takut Nak, ibu akan menjaga diri, lagipula disini juga, kan banyak tetangga" Juriah terus berusaha tegar, meski hatinya merasa cemas, tapi demi cita-cita sang anak, ia harus mampu menutupi semua itu. Ia tak ingin Widuri lemah dan akhirnya menyerah, dan membatalkan niatnya untuk merantau. Ini kesempatan langka yang mungkin tak akan datang untuk kedua kalinya. Juriah tak ingin menjadi penghalang langkah sang anak untuk menggapai mimpinya.

"Tapi Bu.." Widuri tetap khawatir.

"Udah nggak usah cemas gitu, pokoknya kau harus tetap berangkat, kau tak usah pikirkan ibu, fokus saja pada tujuanmu, pada pekerjaan mu. Ibu akan selalu mendoakan mu, Nak" ucap Juriah sambil membelai wajah Widuri yang sayu.

"Tapi gimana kalo Wid kangen sama Ibu?"

"Em, kau telpon saja, nanti ibu minta nomer telepon pak RT ya?" Juriah memberi solusi agar Widuri tak terus berkalang ragu.

"Baiklah Bu, tapi ibu janji ya ibu harus jaga kesehatan dan jangan kerja lagi,biar wid aja yang kerja, ibu istirahat aja di rumah!" Widuri merengkuh sang ibu, keduanya lalu berpelukan dengan erat, sangat erat bahkan, hati keduanya sama-sama hancur, Juriah yang harus melepaskan sang anak untuk pergi jauh darinya, dan Widuri yang harus rela meninggalkan sang ibu seorang diri dalam waktu yang entah sampai kapan.

Kegetiran yang harus mereka kecap betapapun mereka sangat tak ingin. Baik Widuri ataupun Juriah, waktu mereka tak banyak, hanya tinggal seminggu lagi sebelum juragan Sarmo datang untuk menagih hutang, dan ini jadi yang terakhir, jika Juriah belum juga mampu untuk melunasinya, maka sudah bisa dipastikan rumah kecil milik mereka akan menjadi gantinya. Disita oleh juragan Sarmo.

###

"Hati-hati Nak, jika sudah sampe segera kabari ibu ya!" Juriah melepaskan pelukannya dari Widuri, air matanya tak bisa dibendung lagi, mengalir membasahi pipinya yang keriput.

Begitu juga Widuri, ia merasa sangat berat untuk berpaling dari wajah sang ibu. Bukannya hanya matanya yang basah oleh air mata , tapi hatinya juga menagis, menjeerit, meratapi nasib buruk yang berpihak pada ia dan dang ibu.

"Ayo Wid, nanti kita ketinggalan bus!" Pekik Minah yang sudah siap di atas motor yang hendak mengantar mereka ke terminal yang ada di kecamatan.

Widuri terhenyak, waktunya sudah tiba. Meski ia masih belum siap, tapi hari itu memang sudah sampai, ia tak akan bisa menghindar betapapun ia sangat menginginkannya.

"Pergilah Nak, jangan sampe terlambat!" Juriah melepas kepergian Widuri dengan ketegaran yang ia paksakan.

Tangannya yang lemah itu melambai dengan gemetar saat Widuri sudah berada di atas motor, dan bersiap pergi.

Tak ada lagi kata yang terucap selain dari doa yang tak putus dilantunkan oleh bibir tua Juriah.

Motor yang membawa Widuri dan Minah sudah beranjak, perlahan namun pasti mereka mulai menjauh dari pandangan Juriah. Juriah terus mengikuti mereka dengan kedua matanya, hingga motor-motor itu benar-benar raib dan tak terlihat lagi olehnya.

Air mata Juriah tumpah sejadi-jadinya.

Ia terduduk lemas di tepi jajan di depan rumahnya, beberapa orang tetangga yang kebetulan melihat bergegas menghampirinya.

"Mbok, sabar, jangan ditangisi, di doakan biar Widuri selamat sampe tujuan!' ucap Lasni, tetangga sebelah rumah Juriah yang punya kolam ikan sambil membantu Juriah untuk bangkit. Sementara beberapa orang lainnya hanya berdiri menatap nanar pada Juriah sambil berbisik-bisik menggunjing apa yang sedang mereka saksikan.

###

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian Ke-6

    "Taruh tas lu disitu!" ujar Minah saat ia membuka pintu apartemen yang merupakan tempat tinggalnya. Widuri mengekor langkah Minah, matanya liar menatap ke segenap penjuru ruangan. Kamar apartemen Minah tak begitu besar, tapi untuk ukuran orang yang tinggal seorang diri itu cukuplah luas. Barang-barang di kamar itu juga cukup lengkap, sepertinya cerita tentang kesuksesan Minah di kota memang benar adanya. "Taruh aja disitu!" ulang Minah sambil menunjuk pada salah satu sudut ruangan. Widuri tergagap, lamunannya buyar, dengan gugup dan canggung, ia bergegas membawa tasnya dan meletakkan di sudut ruangan. "Untuk sementara lu tinggal disini dulu" ujar Minah sambil melempar tas yang sedari tadi ia sandang ke atas sofa. "Em..maaf..apa tempat kerjaku nanti dekat dari sini?" Widuri bertanya dengan hatihati. "Itu nggak usah lu pikirin dulu, yang penting sekarang kita istirahat, oke! gue capek banget Wid, gue mau tidur dulu..oya, kalo lu laper lu liat aja apa yang bisa dimakan di k

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-5

    Hari yang dinantikan Widuri akhirnya tiba juga, pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Sebuah tas jinjing berwarna hitam yang berisi pakaiannya sudah siap di atas meja di ruang tamu. Ada juga sebuah tas kain kecil yang berisi bekal makanan. Juriah tampak sibuk kesana-kemari untuk mempersiapkan segala keperluan Widuri. Widuri sendiri sudah duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Perasaanya campur aduk, antara bahagia juga sedih. Ia merasa bahagia karena akhirnya ia akan segera berangkat ke kota untuk bekerja dan ia berharap agar ia bisa merubah hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi dilain sisi ia juga merasa sedih. Dengan berangkatnya ia ke kota itu berarti ia harus meninggal sang ibu sendirian di kampung, tanpa sanak saudara, ia merasa gelisah, takut terjadi hal buruk pada ibunya. Mengingat akhir-akhir ini sang ibu sering sakit, lalu bagaimana jika Widuri pergi dan ibunya jatuh sakit, siapa orang yang akan merawatnya. Ah, Widuri bimbang. "Wid, sarapan dulu ya!" Juriah datang dengan

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-4

    "Bu, Ibu!!" Suara Widuri terdengar girang, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan oleh orang tuanya. Ia setengah berlari masuk kedalam rumahnya yang sepi. "Bu?!" "Ada apa Wid? Ibu di dapur!" Terdengar suara Juriah setengah berteriak. Widuri bergegas menuju dapur, ia sudah tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira pada ibunya. "Udah ke rumah Minah?" Tanya Juriah saat melihat sang puteri. Widuri tak menjawab, tapi bibirnya tersenyum tipis. "Ada apa, kok senyum-senyum gitu?" Juriah penasaran, sekaligus terharu, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat anaknya itu tersenyum. Hari-hari yang berat membuat senyum menjadi sesuatu yang sangat mahal bagi keduanya. Mereka lebih sering murung dan sedih akibat derita kehidupan yang tak kunjung usai. "Bu, Wid punya kabar gembira!" Ucap Widuri sambil menarik tangan sang ibu dan mengajaknya untuk duduk di kursi kayu panjang yang ada di sudut dapur berlantai tanah itu. Juriah nampak antusias. Ia duduk di samping sang anak dan tak

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-3

    Mata Widuri tak lekang sedikitpun dari sosok Minah yang benar-benar sudah berubah seratus persen. Ia yang dulu kurus, dekil, dan tak bisa bergaya, kini berubah menjadi gadis dengan paras cantik, tubuh yang bersih terawat, serta penampilan menawan yang seksi. Sekilas Widuri merasa iri melihat hal itu. Apalagi Minah juga kian terlihat sempurna dengan barang-barang modern yang tak pernah terjamah sedikitpun oleh Widuri, ponsel pintar, tak cuma satu Minah bahkan punya tiga unit. "Duduk Wid!" Ajak Minah dengan ramah. Widuri celingukan, ia hanya bingung sambil melihat sofa empuk yang seolah sedang mengejek dirinya. "Ayo duduk, kok malu gitu sih?" Ledek Minah. "I-ya!" Jawab Widuri gugup, dengan perlahan ia menempelkan ujung panta*nya ke atas sofa, dan seketika ia merasa sebuah kenyamanan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Duduk di kursi mahal memang berada, ada sensasi tersendiri yang sulit untuk digambarkan. "Lu mau minum apa?" Tanya Minah sambil tetap tersenyum ramah. "Em, nggak

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-2

    "Bu, Wid mau ke rumah Wak Ijah!" Ucap Widuri di pagi hari saat sang ibu sedang memasak di dapur. "Ngapain pagi-pagi mau kesana?" Tanya Juriah sambil fokus pada kuali kecil yang berisi dua ekor ikan mujair, pemberian tetangga sebelah rumah yang baru panen ikan dari tambak kecil di belakang rumahnya. "Tadi pas Wid pergi ke warung, Wid dengar dari Bu Yuli yang lagi ngobrol sama orang, katanya anaknya Wak Ijah pulang dari kota" ujar Widuri antusias. "Anaknya Wak Ijah?, siapa?" Tanya Juriah sambil membalik ikan goreng dikuali, dan seketika aroma gurih langsung menyeruak memenuhi ruangan dapur yang sempit dan agak pengap itu. "Itu, yang sekelas sama Wid pas SD" "Siapa ya?" "Si Sumina!" jawab Widuri. "Oh, Minah!" Juriah ingat dengan nama itu, itu adalah salah satu teman Widuri. Rumah keduanya berjarak tak jauh, sejak kecil Widuri sering bermain dengan Minah, mereka juga sekolah satu angkatan di sekolah yang sama. Hanya saja saat lulus SD, Minah melanjutkan sekolah ke SMP di kecamatan,

  • Dijual Teman Dibeli Sultan   Bagian ke-1

    "Pokoknya aku nggak mau tau, satu minggu lagi aku datang kesini, uangnya harus ada, kalo kau masih belum juga menyiapkan uang itu, maka kau dan anakmu harus angkat kaki dari rumah ini!" suara seorang pria psruh baya terdengar menggelegar memenuhi seisi ruangan yang sempit."Ta-pi juragan, itu, itu terlalu sempit waktunya.." keluh wanita tua yang duduk bersimpuh di lantai semen yang dingin dan senyap."Itu bukan urusanku Juriah! kau harusnya berterima kasih padaku karena aku masih berbaik hati memberimu tambahan waktu, pokok ya aku nggak msu tau, satu minggu lagi waktu yang kau punya! jika kau dan anakmu madih ingin tinggal di rumah ini, maka cepat siapkan uangnya!" pungkas pria bertubuh cempal dengan kumis tebal yang melingkar di aras bibirnya yang kehitaman akibat terlalu sering merokok.Wanita tua itu tak bisa lagi beekata-kata, ia hanya bisa pasrah sambil berusaha sekuat tenaga agar tak menangis dihadapan pria itu."Ayo kita pergi! dasar orang miskin nggak tau diri, udah dibantu bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status