Ileana memasuki ruang produksi dengan santai. Jam kerja sudah dimulai sejak 10 menit yang lalu, namun dirinya harus mengikuti rapat bersama staff engineering lainnya. Di tangan kiri Ileana sudah ada buku berukuran sedang untuk mencatat apa saja yang terjadi di ruang produksi, terutama pada bagian mesin.
Sebelum memulai pekerjaan, tak lupa Ileana menguncir rambut panjangnya ke atas, kemudian menyematkan topi di kepalanya. Pakaiannya seperti anak-anak mekanik pada umumnya. Hiasan wajahnya tampak natural, namun tetap terlihat cantik.Ileana memang dikenal sebagai wanita tangguh. Beberapa staff sering memanggilnya wanita perkasa yang tidak takut pada apapun. Apalagi profesinya saat ini yang mengharuskan dirinya berkutat dengan mesin produksi. Banyak staff yang mengagumi keberanian dan keahliannya itu.Tapi sayang, dalam hal percintaan, Ileana terbilang wanita yang kurang beruntung. Beberapa pria yang dijodohkan dengannya memilih mundur karena sifat cuek Ileana saat berkenalan. Selera para pria jaman sekarang adalah wanita cantik yang berpenampilan feminim. Ileana? Tidak masuk dalam kriteria itu."Ilea!"Ileana menoleh ke belakang. Raut wajahnya langsung berubah datar ketika melihat si pemanggil namanya. Dengusan kecil pun terdengar. Sorot matanya merasa muak melihat pria yang kini ada di hadapannya. Ia memperhatikan pria itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tampak rapi dan kelihatan seperti pria kaya. Hanya saja, pria itu tidak masuk dalam kriteria idaman Ileana."Ada apa?""Ketus banget sih jawabnya," ucap pria itu diiringi senyuman manis.Ileana justru melengos dan tidak menghiraukan pria itu lagi. Ia kembali menatap catatannya yang sudah penuh. Ada beberapa kerusakan mesin produksi yang harus ia perbaiki bersama rekan-rekannya. Tapi ada juga beberapa mesin yang memang harus diganti dengan mesin baru, demi kelancaran produksi serta keselamatan pekerja.Saat hendak pergi, lengannya ditahan oleh pria yang masih setia berada di sampingnya. Dan terpaksa Ileana harus menatap pria itu lagi. "Mau apa lagi? Aku lagi sibuk. Banyak kerjaan yang harus dikerjai. Emang kamu nggak ada kerjaan lain selain ngikutin aku?""Ehm, nggak ada."Ileana mendesah pelan. "Kalau nggak ada kerjaan atau lagi gabut, mending kamu ngopi di kantin. Jangan ganggu aku. Oke?""Aku nggak mau."Ileana menutup mata. Helaan napas lelah pun terdengar. Setelah itu, ia membuka mata untuk menatap pria itu. "Pak Davie yang terhormat, tolong jangan ganggu aku. Kerjaan aku masih banyak. Ini demi kemajuan perusahaan. Paham?""Aku nggak peduli."Habis sudah kesabaran Ileana dalam menghadapi pria keras kepala itu. Wanita itu menepis keras tangan Davie dari lengannya. Sorot matanya mulai terlihat tajam. "Cukup ya. Aku udah capek banget lihat kelakuan kamu. Kita lagi di tempat kerja dan aku harus perbaiki mesin produksi sekarang juga. Tolong, berhenti ganggu aku.""Tapi aku cuma mau ngajak kamu makan siang bareng nanti. Aku harap, kamu nggak akan tolak permintaan aku," ucap Davie dengan wajah sedikit memelas."Aku nggak mau makan siang bareng kamu. Permisi."Davie tersenyum sambil menatap kepergian Ileana. Meskipun berulang kali ditolak, Davie enggan menyerah begitu saja. Menurutnya, mengejar Ileana adalah sebuah tantangan yang besar untuknya. Wanita itu memang sangat sulit untuk digapai. Tidak seperti beberapa wanita yang ia kenal sebelumnya.Pria berusia 30 tahun itu bekerja di perusahaan manufaktur milik Ayahnya. Biasanya, anak dari pemilik perusahaan akan menjadi CEO atau Direktur Utama menggantikan posisi Ayahnya. Tapi tidak dengan Davie. Ia justru memilih menjadi Human Resource karena sesuai dengan jurusannya sewaktu kuliah dulu.Davie memang anak tunggal dan tidak memiliki saudara. Tapi ia bukanlah pria yang manja. Dirinya sudah mandiri sejak remaja dan tidak pernah memanfaatkan kekayaan sang Ayah. Jika Davie menginginkan sesuatu, maka ia akan berusaha sendiri untuk mendapatkannya. Bahkan dalam hal pekerjaan juga seperti itu. Davie masuk ke perusahaan Ayahnya melalui berbagai macam tes serta interview, sama seperti masyarakat biasa pada umumnya saat melamar pekerjaan.Banyak wanita yang mengagumi Davie, namun ia tidak suka menebar pesona sama sekali, kecuali pada Ileana. Sejak pertama kali melihat wanita itu, hatinya langsung tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Itu sebabnya ia selalu mengikuti Ileana setiap saat. Bahkan Davie juga sudah mengetahui tempat tinggal Ileana.Pria bertubuh kekar itu beranjak pergi, membiarkan Ileana menyelesaikan tugasnya sebagai Engineer. Ia tidak ingin wanita itu dipecat secara tidak hormat karena ulahnya yang teramat usil. Davie berjalan masuk ke dalam ruangan. Senyumnya tidak luntur meskipun Ileana sudah memperingatinya untuk berhenti mengganggu wanita itu."Ileana Ruby." Davie duduk di kursinya sambil bersandar dan membayangkan wajah Ileana. "Aku nggak bisa berhenti kejar kamu, Ilea. Kamu terlalu indah untuk disia-siakan. Maaf, tapi aku harus tetap bertahan sampai hatimu menerima kehadiranku."Sementara di tempat lain, Ileana masih sibuk memperbaiki beberapa mesin produksi. Wajah cantiknya tampak berkeringat dan sedikit kotor. Ileana menyeka keringat di dahinya. Pekerjaannya sudah selesai dan beberapa rekan yang lain tampak menguji coba mesin tersebut, apakah sudah berfungsi dengan baik atau belum."Gimana?""Mantap, Ilea. Lo emang bisa diandalkan."Ileana tersenyum tipis sambil membuka sarung tangan yang dipakainya. "Biasa aja loh, Ji. Nggak usah lebay."Jian, salah satu rekan Ileana tertawa. "Oh iya, tadi gue lihat, lo lagi ngobrol sama Pak Davie ya? Dia masih suka gangguin?""Ck!" Ileana mendecak kesal. Ia meletakkan sarung tangannya di atas meja sedikit kasar, kemudian duduk di kursi panjang yang biasa dijadikan tempat istirahatnya. "Iya, Ji. Dia masih aja gangguin gue. Nggak ngerti gue lihat dia itu. Padahal gue udah jutek banget sama dia, tapi nggak mau berhenti."Jian ikut bergabung di kursi itu. "Ilea, kalau menurut gue, lo itu cewek bego tahu.""Kok gue yang bego?""Gimana nggak bego? Pak Davie itu ganteng, tajir, badannya kekar, terus suka sama lo. Tapi lo, malah nggak suka diganggu sama dia," kata Jian penuh semangat.Ileana geleng kepala sambil mendesah pelan. "Ji, lo kan tahu gimana sifat gue. Kita kerja bareng udah lama. Masa lo nggak paham juga? Gue emang paling nggak suka cowok pengganggu kayak dia. Emangnya dia nggak punya kerjaan? Hampir tiap hari loh gangguin gue.""Gue paham. Tapi yang perlu lo tahu, banyak cewek di luar sana yang mau jadi pacar dia. Termasuk cewek-cewek di kantor ini. Cuma lo doang yang nggak mau sama dia. Lo suka tipe cowok yang gimana lagi sih? Udah ada yang sempurna di depan mata aja masih lo tolak. Gimana lagi yang banyak kekurangan?""Jian....""Cewek itu nggak boleh banyak milih," lanjut Jian, seolah enggan mendengar alasan klise yang akan dibuat oleh Ileana. "Kebanyakan milih, entar sampai tua nggak ada yang mau sama lo."Ileana melotot. Merasa tersinggung dengan ucapan Jian. "Maksud lo apa ngomong gitu? Lo doain gue jadi perawan tua seumur hidup?""Bukan maksud gue doain lo. Tapi kalau itu sampai terjadi, salahin diri lo sendiri. Kenapa? Karena lo terlalu banyak milih."Ileana terdiam di tempatnya. Berusaha mencerna ucapan Jian yang sejak tadi sudah berlalu dari hadapannya. Ileana memang selalu selektif dalam memilih pasangan. Bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu. Ileana hanya tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan mendiang kakaknya.Yoanna Vivian merupakan kakak kandung Ileana satu-satunya. Yoanna meninggal saat usia Ileana masih 20 tahun. Perbedaan usia mereka berkisar 3 tahun. Yoanna menikah di usia muda, 18 tahun, karena dihamili oleh kekasihnya yang bernama Braga Syahreza. Yoanna dan Braga menikah setelah Yoanna melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Nisaka Putri Syahreza. Saat ini usia Nisaka sudah 9 tahun dan biaya hidupnya ditanggung oleh Ileana.Yoanna meninggal karena selalu mendapat kekerasan dari Braga. Sampai akhirnya Yoanna sengaja disiram air keras oleh Braga, kemudian disuntikkan obat-obatan dosis tinggi hingga mengalami overdosis. Ileana sangat syok dan menangis histeris melihat kondisi Yoanna saat itu. Itulah se
"Kamu ngapain sih cium dia segala?"Davie menoleh ke belakang. Naura sudah berdiri sambil memasang raut wajah masam. Pria itu justru sedikit menyeringai diiringi senyuman. Davie pun membalikkan tubuhnya untuk berhadapan dengan wanita itu. "Kenapa? Dia pacar aku. Jadi wajar kalau aku cium dia."Naura mengernyit. "Pacar?""Iya. Apa perlu aku ulangi supaya kamu dengar omongan aku tadi?"Naura menggeleng. "Itu nggak perlu. Aku dengar kok. Cuma heran aja sama selera kamu sekarang.""Emangnya kenapa sama selera aku?" tanya Davie seraya mengernyit."Selera kamu itu rendahan."Davie tertawa mendengar ucapan Naura. Ia sudah menduga wanita itu akan menilai Ileana dari penampilannya saja. Inilah yang membuat Davie tidak terlalu peduli dengan masalah Naura tadi. Bisa saja Naura mengarang cerita mengenai suaminya."Naura Adisty, mungkin penampilannya kelihatan sederhana. Tapi aku suka," ucap Davie dengan santai.Naura mengubah raut wajahnya menjadi semakin kesal. Seakan dirinya tidak suka Davie me
Davie tiba di lantai paling atas, membuka pintu menuju balkon kantor. Tampak Ileana sedang melamun di sana. Perlahan, Davie mendekati wanita yang saat ini berusia 27 tahun itu dengan perasaan yang campur-aduk. Baru kali ini, ia melihat Ileana sesedih itu sampai harus menyendiri di balkon kantor.Davie berdiri tepat di belakang Ileana. Sedikit dehaman mampu menarik perhatian Ileana. Wanita itu menoleh ke belakang. Kedua matanya melotot karena terkejut dengan kehadiran Davie."Kamu ngapain ke sini?" tanya Ileana ketus."Aku cuma mau ngajak makan siang sambil ngobrol soal tadi. Aku bisa jelasin semuanya. Ini cuma salah paham."Ileana mendecih diiringi senyuman tipis. "Nggak perlu dijelasin. Semuanya udah jelas. Cewek itu nggak mungkin katain aku pelakor kalau nggak ada sebabnya. Kalau salah, ngaku aja salah. Nggak perlu ngeles.""Ilea, aku serius. Aku nggak ada bilang apa-apa ke dia, kecuali...."Ileana mengernyit saat Davie menghentikan kalimatnya. "Kecuali apa, hah?""Kecuali... aku bi
Ileana berjalan menuju ruang engineering. Wanita itu baru saja selesai makan siang bersama Davie. Davie berniat mengantarnya sampai ke ruang engineering, namun Ileana menolak dengan tegas agar pria itu tidak memaksa. Di sepanjang lorong menuju ruang engineering, terlihat beberapa karyawan saling memberi tatapan aneh pada Ileana. Awalnya, Ileana hanya diam dan mengabaikan mereka. Tapi lama kelamaan, tatapan itu berubah menjadi sebuah sindiran pedas untuknya, terutama di kalangan karyawan wanita.Tatapan menelisik serta sindiran yang diberikan membuat telinga Ileana semakin panas. Kedua tangannya sudah mengepal karena kesal. Tapi masih berusaha untuk mengabaikan mereka. Hingga tiba saatnya ia dihalangi oleh dua orang wanita. Padahal Ileana hampir tiba di depan ruang engineering.Dengan sangat terpaksa, Ileana berhenti dan menatap dua wanita berjas hitam itu. Ditatapnya mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ileana dengan gaya tomboynya itu terlihat memberi tatapan menantang sambil m
Ileana izin pulang lebih cepat dari biasanya karena kepalanya terasa pusing. Cukup lama ia menangis di ruang engineering setelah rumor itu beredar. Bahkan Ileana tidak fokus pada pekerjaannya untuk kali ini. Untung saja, kepala ruang engineering memberinya izin untuk pulang lebih awal dan mengerti kondisi Ileana saat ini. Jian ditugaskan untuk mengantar Ileana pulang, namun wanita itu menolak dan tidak ingin merepotkan Jian. Jian pun tidak bisa memaksa. Hanya saja, Jian tetap mengantarkan Ileana sampai ke lobi kantor untuk menjaga Ileana dari cemoohan para karyawan di sana.Saat melewati ruangan Davie, Ileana hanya melirik sekilas ketika pintu ruangan itu dibuka oleh seseorang dari dalam. Ileana mempercepat langkahnya dan Jian pun mengikuti langkah cepat wanita itu. Belum jauh Ileana melangkah, namanya sudah disebut dari arah belakang."Ilea, tunggu!"Ileana masih tetap melangkah, namun Jian menahan lengannya. "Ilea, nggak boleh gitu. Lo dipanggil sama Pak Davie," bisik Jian."Ileana.
Pagi ini, Ileana terlihat menata beberapa makanan yang baru selesai ia masak. Nisaka sudah duduk tenang di meja makan, menunggu Kakeknya yang masih bersiap di kamar. Ileana memberikan segelas susu pada Nisaka lalu menaruh nasi serta ayam goreng dan sayur di atas piring keponakannya itu. Bekal makan siang juga disiapkan untuk Nisaka. Ileana tidak ingin Nisaka jajan sembarangan di sekolah. Ia hanya ingin menjaga amanah dari mendiang Yoanna."Kamu mau Tante anterin ke sekolah?" tanya Ileana pada Nisaka.Sambil mengunyah ayam goreng, Nisaka menjawab, "Mau, Tante. Tapi nanti Tante telat kerjanya. Nisa nggak mau Tante dimarahi sama atasan Tante."Ileana tersenyum. Diusapnya rambut Nisaka yang sudah diikat rapi. Tidak terasa, keponakannya itu sudah beranjak remaja dan sudah mengerti bagaimana repotnya Ileana mengurus Nisaka serta pekerjaannya di perusahaan besar itu."Nggak masalah, Nisa. Tante juga khawatir kalau kamu pergi sendirian. Sekarang kan jaman penculikan," ujar Ileana tetap diirin
Davie terlihat begitu lesu pagi ini. Wajah cerianya tidak terlihat sama sekali. Yang ada hanya wajah pucat saja. Dan semua perubahan itu dilihat jelas oleh Ileana yang kebetulan berpapasan dengan Davie. Ileana yang terbiasa melihat keceriaan Davie pun merasa aneh dengan perubahan itu. Ingin menyapa, namun Ileana terlalu gengsi.Ileana memutuskan untuk melewati pria itu. Tidak ingin bertanya apapun. Tapi tangannya ditahan dengan cepat oleh Davie. Ternyata Davie sudah menyadari kehadiran Ileana. Pria itu sangat menandai wangi parfum yang digunakan Ileana."Jangan pergi."Ileana menoleh dan menatap mata Davie yang terlihat sembab. Sejak tadi, ia tidak menyadari mata sembab itu. Ileana mulai menerka apa yang sedang terjadi pada Davie. Ia teringat akan ucapan kasarnya berapa hari yang lalu. Mungkinkah itu penyebabnya? Ileana juga belum yakin dengan dugaannya."Aku mohon, jangan pergi."Kini, Davie memeluk Ileana sambil menangis terisak. Ileana menjadi tidak tega pada Davie. "Aku antar ke r
Saat memasuki jam makan siang, Davie berencana akan makan di kantin. Pria itu berjalan dengan santai menuju kantin perusahaan. Davie menghampiri salah satu etalase penjual soto ayam. Ia memesan untuk satu porsi beserta minuman untuk dirinya sendiri. Sebelum ke kantin, Davie sempat mengirim pesan singkat pada Ileana dan mengajaknya makan siang bersama. Tapi sayang, wanita itu menolaknya. Davie mengerti maksud dari penolakan Ileana tadi. Ia juga tidak bisa memaksakan keinginannya.Sembari menunggu hidangan datang, Davie melihat ponselnya dan duduk di sudut kantin yang dekat dengan jendela. Ada beberapa pesan singkat dari teman-teman lamanya yang mengajaknya untuk ikut dalam acara reuni SMA. Selain melalui pesan singkat, pengumuman acara reuni itu juga ada di grup alumni SMAnya. Davie membaca satu per satu isi pesan yang ada dalam grup tersebut. Banyak yang menyetujui dan ikut berpartisipasi dalam acara reuni yang akan berlangsung minggu depan."Hhh!" Davie menghela napas berat. Hatinya