Share

2. Modus

Ileana terdiam di tempatnya. Berusaha mencerna ucapan Jian yang sejak tadi sudah berlalu dari hadapannya. Ileana memang selalu selektif dalam memilih pasangan. Bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu. Ileana hanya tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan mendiang kakaknya.

Yoanna Vivian merupakan kakak kandung Ileana satu-satunya. Yoanna meninggal saat usia Ileana masih 20 tahun. Perbedaan usia mereka berkisar 3 tahun. Yoanna menikah di usia muda, 18 tahun, karena dihamili oleh kekasihnya yang bernama Braga Syahreza. Yoanna dan Braga menikah setelah Yoanna melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Nisaka Putri Syahreza. Saat ini usia Nisaka sudah 9 tahun dan biaya hidupnya ditanggung oleh Ileana.

Yoanna meninggal karena selalu mendapat kekerasan dari Braga. Sampai akhirnya Yoanna sengaja disiram air keras oleh Braga, kemudian disuntikkan obat-obatan dosis tinggi hingga mengalami overdosis. Ileana sangat syok dan menangis histeris melihat kondisi Yoanna saat itu. Itulah sebabnya, Ileana begitu selektif memilih pasangan. Ia tidak ingin terburu-buru menikah meskipun para tetangga dan teman-teman selalu bertanya tentang pernikahan padanya.

"Ilea."

Ileana terkejut mendengar namanya dipanggil. Ia langsung menoleh ke samping kanan. Hembusan napas lelah kembali terdengar. "Ck! Kamu lagi, kamu lagi. Maunya apa sih?"

"Maunya kamu."

Ternyata yang mengejutkannya tadi tak lain adalah Davie. Pria itu selalu saja mengikutinya. Tidak bisakah sehari saja ia tidak bertemu dengan pria menyebalkan itu? Ileana merasa lelah menghadapi Davie. "Sorry ya, aku nggak tertarik sama kamu."

"Masa sih? Kalau nggak tertarik, ngapain bengong gitu? Pasti tadi lagi mikirin aku kan?" terka Davie dengan segala kepercayaan dirinya.

Ileana mendesah pelan. Menatap pria itu dengan saksama. "Dengar ya, di dunia ini masih banyak hal yang layak buat dipikirin. Pastinya hal yang lebih berguna daripada mikirin kamu. Kamu nggak pernah ada dalam pikiran aku. Ngerti?"

"Kamu aku pecat ya."

Ileana mendecih. Merasa heran dengan pria itu. Selalu saja mencari cara untuk membuatnya tersudut. "Kamu ancam aku?"

"Iya."

Raut wajah Davie tampak serius. Jantung Ileana mendadak berdebar. Merasa takut jika dirinya benar-benar dipecat oleh pria itu. Dan jangan lupakan bahwa Davie adalah anak dari Direktur perusahaan tersebut. Bisa saja Davie menyampaikan niatnya kepada sang Ayah untuk memecat Ileana. Jika dirinya dipecat, bagaimana nasib Nisaka?

Davie masih menatap Ileana dengan intens. "Gimana? Mau dipecat atau bertahan?"

Wanita berusia 27 tahun itu masih tetap diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Perasaannya mengatakan bahwa Davie sedang merencanakan sesuatu yang akan kembali membuatnya tersudut.

"Ilea."

Davie melambaikan salah satu tangannya di depan wajah Ileana. Wanita itu kembali terkejut lalu berkata, "Aku mau bertahan."

"Oke. Tapi ada syaratnya."

Ileana sudah menduga hal ini. Davie akan memberi kesempatan, namun tetap ada syarat yang harus dipenuhi. Sudah menjadi kebiasaan pria itu setiap kali menegur karyawan yang berbuat kesalahan. Ileana benar-benar sudah tersudut karena ulah pria itu.

"Apa syaratnya?"

"Syaratnya gampang kok." Davie sedikit bergerak untuk membenarkan posisi duduknya, "Kamu cukup ikut aku buat makan siang bareng. Cuma itu doang."

Ileana melotot. "Itu doang?"

"Iya. Oh, atau kamu mau tambah lagi? Kalau gitu, kamu harus jadi...."

"Cukup," Ileana langsung memotong ucapan Davie sambil menutup mulut pria itu dengan tangannya. Ia tidak ingin mendengar syarat lain selain makan siang bersama.

Davie melirik sekilas ke tangan Ileana yang masih membekap mulutnya. Davie memberi isyarat pada Ileana mengenai tangannya yang begitu lancang menutup mulut anak seorang Direktur. Ileana yang tersadar pun langsung menyingkirkan tangannya lalu memalingkan wajah ke arah lain.

"Nanti siang aku tunggu di lobi," kata Davie.

Ileana kembali menoleh sambil mengernyit. "Kok di lobi? Kita makan siang di kantin kantor aja kan?"

"Enggak."

"Jadi, kita mau makan dimana?" tanya Ileana kesal.

Davie mengukir sebuah senyuman. "Nanti kan kamu tahu kita makan dimana. Ikuti aja apa kata aku. Ini termasuk syarat juga biar kamu nggak dipecat."

"Ck! Modus."

Davie hanya terkekeh sambil beranjak pergi dari hadapan Ileana. Sementara Ileana berusaha untuk menahan amarahnya agar dirinya tidak diancam lagi oleh pria itu. Ileana kembali melanjutkan tugasnya ke ruang produksi yang lain untuk memeriksa dan memperbaiki mesin yang rusak.

Davie sendiri sudah masuk ke ruangannya. Baru saja sekretarisnya memberitahukan bahwa ada seorang wanita yang mencarinya sejak tadi. Itu sebabnya Davie bergegas masuk dan mengira wanita itu adalah koleganya. Tapi dugaannya tidak tepat.

Naura Adisty. Wanita berusia 30 tahun itu tersenyum pada Davie. "Hai, Davie. Apa kabar? Udah lama banget kita nggak ketemu ya."

"Kamu?" Davie tampak terkejut melihat sang mantan yang sudah 12 tahun tidak bertemu dengannya.

Naura kembali tersenyum. "Iya, ini aku, Naura. Kamu nggak lupa kan?"

"Aku masih ingat kok."

"Syukurlah," ucap Naura lega. "Gimana kabar kamu? Sehat kan?"

Davie mengangguk, canggung. "Aku sehat. Kamu sendiri gimana?"

"Aku lagi nggak baik, Vie."

Jawaban Naura membuat Davie penasaran. Bahkan keningnya sampai mengernyit. Ditatapnya wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Semuanya tampak normal, tidak ada yang aneh. Dan seingat Davie, kabar terakhir yang ia dapat tentang Naura 5 tahun lalu, wanita itu telah menikah dengan seorang pengusaha tambang kaya raya. Bagaimana bisa Naura berkata bahwa dirinya sedang tidak dalam kondisi yang baik? Itu sangat mustahil bagi Davie.

"Davie, bisa kita ngobrol sambil duduk?"

Perkataan Naura menyadarkan Davie. "Oh iya, silakan duduk."

Naura dipersilakan duduk di sofa yang tersedia. Ia duduk tepat di samping kanan Davie. Naura menatap Davie cukup intens, sedangkan Davie merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. Apalagi Naura hanyalah masa lalunya.

"Davie, aku tahu kedatangan aku bikin kamu kaget. Tapi aku ke sini mau cerita sesuatu sama kamu. Aku nggak tahu lagi harus cerita ke siapa," ucap Naura dengan wajah sendunya, meskipun tidak terlihat jelas karena tertutup make up.

"Kamu mau cerita soal apa?"

Naura mendesah pelan. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Davie sudah menduga, wanita itu akan menangis hanya dalam hitungan detik saja. Suasana mendadak tidak menyenangkan. "Kamu pasti udah tahu soal pernikahan aku, kan?"

"Iya."

Naura mulai terisak. "Jujur, aku nggak bahagia sama pernikahan itu, Vie. Aku benci banget sama suami aku. Ternyata selama ini, aku selalu diselingkuhi. Diam-diam dia udah nikah lagi sama cewek lain dan istri keduanya itu tinggal di rumah mertua aku. Awalnya aku nggak tahu. Tapi karena aku udah mulai curiga, aku sewa detektif buat ikutin suami aku. Ternyata kecurigaan aku bener. Dia sama orang tuanya sekongkol buat tutupin semua ini dari aku."

"Tega banget suami sama mertua kamu, Ra," kata Davie. "Kamu udah coba bicara sama mereka kan?"

"Udah, Vie. Tapi mereka marah sama aku. Mereka bilang, aku nggak boleh protes soal ini."

Davie merasa iba dengan apa yang dialami Naura. Tapi di sisi lain, Davie juga tidak bisa percaya sepenuhnya dengan Naura. Kenapa? Karena dulu, sewaktu mereka masih berpacaran, Naura-lah yang sering berselingkuh di belakangnya secara diam-diam. Saat ketahuan, Naura hanya bisa menangis dan meminta maaf, namun hal yang sama tetap diulang kembali. Sampai akhirnya Davie merasa lelah dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Mereka berpacaran saat masih duduk di bangku sekolah SMA kelas satu dan putus saat mereka berada di kelas tiga.

"Terus aku disuruh pilih, mau tetap bertahan dan diam, atau protes tapi akan diceraikan," lanjut Naura.

"Kamu pilih yang mana?" tanya Davie.

Naura menghapus airmatanya yang sudah membasahi kedua pipi tirusnya. "Aku nggak bisa pilih di antara keduanya, Vie. Soalnya aku juga mikirin anak aku, Farah dan Adam. Aku nggak bisa lihat mereka nangis karena perceraian orang tuanya."

"Hhh!" Davie menghela napas panjang. Entahlah. Rasanya sulit sekali untuk percaya pada wanita yang pernah mengkhianatinya berkali-kali. Tapi jika memang yang diucapkan Naura itu benar, kasihan dengan kedua anaknya. "Naura, seharusnya kamu nggak ceritain aib suami kamu sama aku. Lebih baik kamu cerita dan minta solusi sama keluarga besar kamu. Pasti mereka juga nggak bakal terima kalau kamu disakiti."

"Tapi keluarga aku juga nggak mau tahu urusan aku, Vie. Makanya aku bingung harus cerita ke siapa lagi," kata Naura diiringi isak tangisnya.

Davie yang merasa tidak nyaman mendengar tangisan itu pun berkata, "Naura, mendingan kamu pulang ke rumah. Coba bicarain baik-baik sama suami kamu. Kalau kamu di sini, terus nangis, entar nggak enak dilihat sama karyawan lain. Nanti mereka kira aku yang sakiti kamu. Tolong ya, kamu pulang aja."

"Kamu ngusir aku?"

"Bukan gitu maksud aku, Ra. Aku cuma nggak enak aja kalau tangisan kamu didengar sama karyawan lain," ucap Davie menjelaskan.

Bukannya pergi dari hadapan Davie, Naura justru memeluk tubuh Davie. Memeluknya dengan erat hingga membuat pria itu sedikit memberontak. Dan disaat yang bersamaan, Ileana masuk ke dalam ruangan Davie.

Wanita itu bukannya tidak sopan karena masuk begitu saja. Sebelumnya Ileana sudah mengetuk pintu ruangan Davie beberapa kali, namun tidak ada respon. Mungkin karena terlalu fokus berbicara pada Naura sehingga membuat Davie tidak mendengar suara ketukan pintu itu.

"Ups!"

Ileana menutup kedua matanya saat melihat Davie berpelukan dengan Naura. Tidak. Lebih tepatnya Davie yang dipeluk oleh Naura. Ileana berniat untuk keluar dari ruangan itu, namun Davie sudah terlanjur melihatnya.

"Ilea, tunggu!"

Dengan sangat terpaksa, Ileana kembali menetap di sana sambil menyengir canggung. "Maaf ya. Aku nggak tahu kalau lagi ada tamu," ucapnya menyesal.

Naura melepas pelukannya, melirik sinis wanita yang telah mengganggu kesenangan dirinya. "Vie, dia siapa? Karyawan kamu ya? Kok nggak sopan banget masuk ke ruangan bos?"

"Maaf, Mbak. Tadi aku udah ketuk pintu berulang kali, tapi nggak ada yang dengar. Jadi terpaksa masuk karena ada urusan," kata Ileana membela diri.

Davie pun beranjak dari sofa untuk mendekati Ileana. Naura yang melihat hal itu pun merasa dongkol sekali. Ia hanya bisa mengumpat kesal di dalam hati.

"Maaf, Ilea. Aku emang nggak dengar tadi," ucap Davie. "Kamu tumben ke ruangan aku. Ada apa?"

Ileana sedikit geli mendengar ucapan lembut pria yang ada dihadapannya itu. "Ini ada tamu yang mau ketemu sama kamu. Dia lagi nunggu di lobi. Kayaknya tamu penting. Tadi si Mira minta tolong aku buat sampaikan ini. Soalnya dia mau ke toilet."

"Oh gitu. Ya udah, nanti aku ke sana. Makasih ya udah ngasih tahu."

"Iya sama-sama. Aku permisi dulu," pamit Ileana.

Saat Ileana hendak berbalik, lengannya langsung ditahan oleh Davie. Ileana pun kembali menoleh ke arah pria itu. Tanpa permisi atau aba-aba apapun, Davie mencium salah satu pipi Ileana di depan Naura. Mata Ileana tampak melotot karena terkejut, begitu juga dengan Naura yang melihat hal tersebut.

Dengan tidak tahu dirinya, Davie berbisik lembut di telinga Ileana, "Aku suka sama kamu. Kamu cewek terbaik yang pernah aku kenal."

Ileana sedikit mendorong tubuh Davie, lalu beranjak pergi dari ruangan itu sambil mengusap pipi kirinya berulang kali. Seakan jijik dengan ciuman yang Davie berikan untuknya. Wanita itu memutuskan untuk pergi ke toilet. Sekedar untuk menenangkan diri dari rasa syok yang ia alami tadi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Maria Madhury
kesempatan dalam kesempitan si davie...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status