Mobil sedan hitam milik Davie berhenti di depan pekarangan rumah Ileana. Sebelumnya, ia pergi ke rumah sakit dan berharap akan bertemu dengan Ileana di sana. Tapi Ikhwan mengatakan bahwa Ileana sudah pulang ke rumah untuk beristirahat. Itu sebabnya, mengapa Davie berada di kediaman Ileana saat ini. Ia benar-benar merindukan wanita itu. Davie juga ingin menanyakan alasan Ileana tidak menjawab panggilannya.Davie melangkahkan kaki menuju teras rumah tersebut. Diketuknya pintu rumah yang catnya sedikit memudar. Ketukan berulang tidak mampu membangunkan si pemilik rumah. Ingin menghubungi Ileana, namun nomornya tidak bisa dihubungi.Davie semakin frustrasi. Ia mengetuk pintu itu lebih keras lagi. Berharap Ileana mendengar dan membukakan pintu itu untuknya. Berkali-kali Davie mengetuk dan memanggil nama Ileana. Hingga akhirnya, usaha yang ia lakukan pun berhasil membangunkan si pemilik rumah.Ketika pintu dibuka, Davie langsung tersenyum sumringah dan memeluk tubuh Ileana. Kesadaran Ileana
Pagi hari, tepat di waktu subuh, Ileana terbangun dari tidurnya. Wanita itu memaksa membuka mata untuk segera turun dari ranjang. Ia berjalan keluar kamar dengan perasaan malas karena masih mengantuk.Langkahnya menuntun Ileana menuju kamar mandi dan bergegas mencuci muka serta menyikat gigi. Setelah beberapa menit selesai, barulah Ileana tersadar akan sesuatu. Ia bergegas keluar dari kamar mandi lalu berlari kecil ke arah pintu utama.Sebelum membuka, Ileana menarik nafas dalam lalu membuangnya perlahan. Setelah itu, barulah ia membuka pintu dengan lebar. Pemandangan pertama yang Ileana dapati adalah seorang pria tertidur lelap di teras rumah sambil meringkuk kedinginan. Mata Ileana melebar dan menghampiri pria tersebut."Davie! Davie, bangun!"Davie hanya menggeliat. Tubuhnya terasa gemetar saat Ileana menyentuhnya. Ileana juga memeriksa dahi Davie. Cukup panas. Davie demam karena terlalu lama tidur di luar."Davie, kamu semalaman tidur di sini?"Pria itu hanya mengangguk pelan samb
"DAVIE!"Ileana dan Davie kompak menoleh ke arah pintu utama. Mereka terkejut dan berdiri bersamaan. Menatap lurus ke arah pria paruh baya yang tak lain adalah Khairil. Tatapan tajam Khairil hanya tertuju pada satu orang yaitu Ileana. Baginya, kehadiran Ileana dalam kehidupan Davie adalah sebuah malapetaka. Ia sangat tidak suka dengan wanita yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.Khairil akan merasa malu jika nanti Davie benar-benar menikahi wanita itu. Apa yang akan ia katakan pada para koleganya? Mereka pasti akan mencemooh dirinya karena mempunyai seorang menantu seperti Ileana. Lagipula, Khairil juga memiliki tujuan tertentu yang masih dirahasiakan olehnya."Ngapain kamu di sini, hah?! Semalaman nggak pulang ke rumah, ternyata kamu tidur sama cewek ini!""Pa, aku nggak tidur sama dia! Aku tidur di teras!" balas Davie tidak terima. "Aku kesini karena mau minta maaf sama Ilea atas perbuatan Papa! Jahat banget Papa ngomong kasar sama Ilea. Aku nggak nyangka Papa serendah itu."
Setelah kembali ke rumah, Davie terkejut melihat sosok wanita yang tak asing baginya. Wanita itu adalah Naura, mantan kekasihnya. Untuk apa dia datang ke rumah Davie? Padahal Davie sudah melarangnya.Davie mempercepat langkahnya untuk menghampiri Naura yang terlihat sibuk dengan penggorengannya. Dengan sedikit kasar, Davie menarik tangan wanita itu agar menoleh padanya. Jelas terlihat ekspresi terkejut Naura saat menatap Davie."Kamu ngapain di sini?""Ehm, aku cuma-""Cuma apa?!" Davie sedikit meninggikan suaranya saat menyela ucapan Naura. "Aku udah bilang sama kamu kan sebelumnya. Jangan pernah datang ke rumah aku. Urusan kamu sama suami kamu belum selesai. Kamu kesini cuma nambah masalah aja."Naura hendak berbicara. Namun suara Khairil yang masih berada di dalam kamar langsung menginterupsi. Davie dan Naura kompak menoleh ke arah pintu kamar Khairil yang baru saja dibuka. Khairil sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Pria itu hanya mengenakan handuk kimono berwarna p
Ileana dan Jian sudah masuk ke dalam ruang produksi. Berdasarkan hasil pengecekan beberapa hari terakhir, ada banyak kerusakan di sebagian alat-alat produksi. Tampaknya perusahaan harus segera menggantinya dengan yang baru. Alat-alat itu memang sudah lama juga tidak diganti. Wajar saja sering mengalami kerusakan.Ileana mengambil sebuah catatan yang nantinya akan dijadikan sebagai pelaporan ke atasan. Sementara Jian mengecek alat-alat yang rusak tersebut. Mungkin untuk sementara waktu mereka akan memperbaikinya agar kegiatan produksi tetap berjalan."Ilea, kenapa lo nggak biarin gue mukul dia lagi sih? Gue masih kesel sama tuh orang," ujar Jian."Gue cuma nggak mau lo terlibat masalah hanya karena belain gue, Ji," jawab Ileana tanpa menoleh ke arah Jian. "Gue harus perbaiki reputasi gue lagi di sini. Udah banyak banget fitnah yang disebar, perkara gue dekat sama anaknya boss."Jian menghentikan aktivitasnya untuk menatap Ileana yang masih sibuk dengan catatannya. "Tapi menurut gue, it
Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Davie terakhir kali di rumah waktu itu, Ileana tidak pernah bertemu kembali dengannya. Pria itu tidak datang ke kantor. Padahal Davie terkenal sangat disiplin dan patuh pada peraturan. Bahkan Davie sering datang lebih pagi sebelum karyawan lain.Ileana merasa hampa kali ini. Tidak ada yang mengganggunya. Memang menyebalkan, namun Ileana merasa kehilangan sosok pria itu.Ileana menghembuskan napas panjang. Merasa tidak bergairah untuk bekerja. Sejak tadi, ia terus duduk melamun di ruangannya."Heh!"Sebuah tepukan di pundak membuat Ileana terlonjak kaget. "Ih, Jian! Kaget gue!""Ya suruh siapa lo ngelamun dari tadi. Gue panggilin nggak dengar-dengar. Terpaksa gue tepuk pundak lo," ujar Jian sambil duduk di samping Ileana. "Lo kenapa sih? Dari tadi diam aja. Ada apa?""Hhh! Gue kepikiran Davie, Ji. Gimana kabarnya sekarang ya? Udah seminggu loh dia nggak masuk ke kantor."Jian mendecak kesal. Disentilnya dahi Ileana hingga membuat Ileana mengaduh
Saat jam makan siang, Ileana bersama Jian berencana untuk pergi ke kantin kantor. Hari ini, Ileana tidak sempat membawa bekal karena kesiangan. Jadi, terpaksa ia makan di kantin.Dalam perjalanan menuju kantin, Ileana sempat memperhatikan beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Mereka tampak memperhatikan Ileana, seolah sedang meremehkan dirinya.Entah itu perasaan Ileana saja, atau memang sedang terjadi sesuatu, namun Ileana tidak mengetahuinya. Bahkan tatapan karyawan yang ada di kantin saat ini pun sama. Tatapan mereka membuat Ileana merasa tidak nyaman."Ji, lo ngerasa nggak sih?" tanya Ileana sambil duduk di kursi kantin."Ngerasa apa?""Karyawan di sini lihatin gue terus. Tatapannya sinis, kayak ngeremehin gue."Jian menoleh ke beberapa karyawan yang ada di kantin. Tapi semua mengalihkan pandangan saat Jian menatap mereka."Abaikan aja. Nggak usah dipikirin," ujar Jian saat menyadari hal tersebut. "Sekarang, fokus aja sama karir lo. Nggak usah pikirin mereka. Anggap aja mer
Pukul 17.00 sore, Ileana dan Jian berjalan beriringan. Mereka berencana untuk pulang bersama. Sejujurnya, Jian yang memaksa karena ia tidak ingin Ileana terlalu lama menunggu angkutan umum. Ileana hanya bisa pasrah dan menuruti permintaan Jian.Saat kaki mereka melangkah menuju lobi, mereka disambut oleh beberapa karyawan di sana. Para karyawan tengah berkumpul dan melempar tatapan sinis hanya kepada Ileana saja."Ada apa nih?" tanya Jian."Ji, kamu jangan dekat-dekat sama pelakor deh. Dia itu murahan, munafik lagi," celetuk salah satu dari karyawan di sana."Iya, bener tuh," sahut yang lain kompak.Jian mengernyit heran. "Kalian tuh dengar gosip darimana sih? Jangan asal tuduh sembarangan. Kalian bisa aku laporin loh. Menuduh tanpa bukti.""Ada kok buktinya!""Mana? Coba tunjukin," tantang Jian dengan ekspresi kesalnya.Semua karyawan itu terdiam. Mereka tidak bisa memberikan bukti apapun. Jian lantas mendecih pelan. Menatap semua karyawan dengan sinis."Kalau nggak ada bukti, jangan