Share

Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK
Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK
Penulis: Dyah Ayu Prabandari

1.Arisan

"Mau ke mana, Bun?" Mas Ridho berdiri tepat di belakangku.

"Mau arisan sama ibu-ibu kompleks, Yah." Mas Ridho menautkan dua alis.

"Ibu Susi tadi baru saja sampai rumah, katanya habis dari arisan."

Aku menautkan dua alis, sedikit bingung dengan ucapan Mas Ridho. Bu Susi arisan apa? Kalimat itu seketika hadir lalu memenuhi isi kepalaku. Namun segera kutepis pikiran buruk yang sempat menerpa. Tidak mungkin arisan PKK dimajukan, tidak ada pesan masuk, baik di grup ibu PKK atau pesan pribadi.

"Mungkin Bu Susi arisan yang lain, Yah. Namanya juga orang kaya arisannya di mana-mana."

Suamiku hanya mengangguk tanpa membahas masalah arisan itu lagi.

Setelah siap aku segera mengambil tas lalu melangkah menuju pintu depan. Motor sudah terparkir rapi di halaman rumah. Tentu Mas Ridho yang menyiapkannya. Dia tahu istrinya paling malas mengeluarkan kendaraan roda dua dari garasi.

"Bunda gak pakai tas yang Ayah belikan?" Aku menggeleng.

"Sayang, Yah. Cuman ke arisan doang. Nanti kalau ke kondangan baru di pakai."

"Iyalah, terserah Bunda."

Kendaraan roda dua kulajukan menuju sebuah restoran langganan kami. Sepanjang jalan tak kulihat ibu-ibu kompleks yang bersiap untuk berangkat. Ah, mungkin mereka sudah sampai restoran. Bukankah aku selalu datang belakangan.

Setelah menempuh jarak lima kilometer, akhirnya aku sampai di sebuah restoran. Di sini menyediakan berbagai masakan khas nusantara.

Berbagai pengunjung memenuhi kursi, hampir semua terisi penuh dengan orang-orang yang hendak menikmati makanan di sini. Selain enak, restoran ini terbilang murah. Tidak heran jika banyak orang berbondong-bondong kemari.

Aku melangkah, mata awas mencari rombongan ibu-ibu kompleks. Namun nihil, tak seorang pun yang kutemui. Apa mereka belum datang? Aku mencoba berpikir positif, mungkin mereka datang terlambat atau aku yang terlalu awal.

Sebuah meja persis di tengah-tengah kosong. Aku melangkah mendekat lalu menjatuhkan bobot di kursi itu. Kalau tidak gerak cepat pasti tidak kebagian. Lelah jika harus berdiri seraya menunggu ibu-ibu yang lain.

"Mau pesan apa, Mbak?" tanya pelayan wanita yang sudah berdiri di sampingku.

Wanita itu bersiap mencatat apa yang akan kukatakan. Keras dan bolpoin berada di tangan masing-masing.

"Saya masih menunggu teman, Mbak."

"Harus pesan dulu, Mbak. Kalau tidak meja akan diduduki pelanggan lain." Pelayan itu menatap seorang lelaki bertubuh gempal berjalan kemari.

"Baiklah, saya pesan nasi rames sama es jeruk."

"Baik, Mbak. Ditunggu pesanannya."

Aku mengangguk lalu menatap pelayan itu hingga hilang di balik kerumunan.

Rasa bosan kembali menyapa kala menunggu ibu-ibu yang lain datang. Belum lagi pesanan yang tak kunjung datang.

Iseng kubuka aplikasi berwarna hijau. Kucari pesan terakhir dari grup ibu-ibu PKK.. Waktu dan tempat benar, tapi kenapa belum ada yang datang? Padahal ini sudah lebih dari dua puluh menit. Kalau hanya satu dua orang yang tak datang sudah hal biasa. Namun jika semua tak datang....

Aku coba menelepon ibu-ibu komplek tapi tak satu pun yang mengangkat teleponku. Apa mereka masih di jalan? Tapi kenapa semua tak mengangkat teleponku?

Perasaanku semakin tak enak. Ingin berpikir positif tapi tetap saja tidak bisa. Jangan-jangan mereka tak datang kemari.

"Ini Mbak pesanannya," ucap pelayan itu seraya meletakkan nasi dan es jeruk di atas meja.

Nafsu makan yang sempat menggebu kini hilang bak ditelan badai. Nasi itu hanya kulihat tanpa ada niatan menyentuhnya.

Aku kembali menghubungi Bu Santi. Namun panggilanku justru dimatikan.

"Mbak Salma!" Aku menoleh, seorang pelayan restoran berjalan kemari. Dia Cita, salah satu pelayan yang akrab denganku.

"Mbak Salma sendirian?" tanyanya ramah.

"Gak, nunggu ibu-ibu kompleks." Dia menautkan dua alis.

"Bu Santi dan ibu-ibu yang lain maksudnya?"

"Iya, siapa lagi, Cit."

Cita membuatku bingung, siapa lagi kalau bukan Bu Santi dan kawan-kawan.

"Mereka sudah datang jak sembilan pagi, Mbak. Katanya Mbak Salma sakit makanya tidak ikut arisan."

"A-apa!"

Aku terkejut dengan penuturan Cita. Jadi aku tidak diberitahu. Lalu dianggap apa aku ini?

"Iya, Mbak. Mereka arisan seperti bisa, Mbak."

Hilang sudah nafsu makanku. Kini tinggal rasa marah dan kecewa yang menyelimuti hati. Kenapa aku tak diberi tahu?

"Mbak Salma gak papa, kan?" tanya Cita saat melihat ekspresi wajahku yang telah berubah.

"Tak apa-apa, Cit. Tolong dibungkus ya, Cit. Sekalian tambah ayam bakarnya dua dibungkus." Cita mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan mejaku.

Aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang singgah di dada. Marah tentu tapi kutahan. Tak seharusnya aku melampiaskan di sini.

[Arisannya dimajukan ya, ibu-ibu?]

Aku kirim pesan digrup ibu-ibu PKK. Sambil menunggu pesanan siap kutatap layar ponsel. Berharap ada yang menjawab entah siapa. Namun hingga nyamuk menggigit silih berganti pesan balasan tak juga datang.

"Astagfirullah...." Aku mengelus dada yang bergemuruh. Bahkan hampir meledak.

"Ini, Mbak." Cita memberikan kantung plastik berisi makanan yang kupesan.

"Uangnya, Cit." Aku berikan dua lembar uang berwarna biru padanya. Kemudian beranjak dari kursi yang kududuki.

"Mbak kembaliannya."

"Ambil saja, Cit."

"Mbak Salma selalu gini. Beda noh sama Bu Susi. Pelitnya minta ampun." Aku mengernyitkan dahi, seketika Cita menutup mulutnya rapat-rapat.

Bukan rahasia lagi Bu Susi memang perhitungan alias pelit meski hidup berkecukupan. Rasa kurang bersyukur membuatnya enggan berbagi harta kepada orang yang membutuhkan. Ah, kenapa aku jadi memikirkan itu?

"Pulang dulu, Cit," ucapku lalu melangkah pergi.

Sepeda motor kulajukan menuju rumah. Sepanjang jalan aku terus menerka tentang pesanku yang diabaikan oleh ibu-ibu PKK yang lain. Sebenarnya apa yang salah dariku?

Motor kubelokkan ke kanan menuju kompleks mawar, tempat tinggalku.

"Siang, Bu."

Tak ada jawaban, Bu Tini seolah tak mendengar sapaanku.

Aku kembali menjalankan motor. Beberapa ibu menatap selidik ke arahku. Lalu berbisik-bisik saat motorku melaju melewati rumahnya.

"Cie ... Cie ... yang telat ikut arisan," sindir Bu Susi saat motor masuk ke halaman rumah.

Wanita itu melihatku dari tembok pembatas rumah yang cukup tinggi. Aku diam, pura-pura tak mendengar.

"Kasihan deh ketinggalan arisan," ucapnya lagi.

Aku melangkah masuk ke rumah.

"Woy, Salma!" teriaknya. Aku pura-pura tuli. Lelah menghadapi sikap Bu Susi.

BRUUG!

"Aduh ...."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
ada apa dgn ibu2 kompleks yah...penasaran..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status