Share

2.Kejutan

Aku menghentikan langkah lalu berjalan kembali menuju pagar pembatas.

"Aw... Sakit," rintih Bu Susi.

Aku menutup mulut, menahan tawa yang hampir pecah. Memang enak jatuh, julid sih jadi orang.

"Salma kurang ajar! Awas kamu, ya!"

Aku berjalan mengendap, meninggalkan Bu Susi yang meringis kesakitan. Semoga karma yang didapat seketika membuat tingkah julidnya berkurang. Ya, semoga saja.

"Kok udah pulang, Bun? Senyum-senyum lagi." Mas Ridho menatapku keheranan.

"Ada yang mulutnya julid langsung ditegur sama Allah, Yah."

"Siapa, Bun?"

"Tetangga sebelah, Yah."

"Bu Susi?" Aku mengangguk lalu tertawa saat membayangkan ekspresi Bu Susi yang meringis kesakitan. Dia pasti memegangi pantatnya yang panas.

"Maksud Bunda gimana, sih? Ayah gak ngerti, karma dan julid bagaimana?" Mas Ridho mendekat lalu menarik tanganku agar duduk di sofa.

Aku mulai menceritakan semua. Dari arisan yang dimajukan tanpa sepengetahuanku juga omongan dan tatapan orang yang tak enak. Rasa kesal itu kembali hadir. Aku seperti dianaktirikan oleh ibu-ibu sini.

"Bunda yakin tidak ada pesan masuk? Mungkin tidak sengaja terhapus atau tidak masuk karena jaringan buruk."

Aku membuang napas kasar. Disaat seperti ini aku butuh didengarkan, bukan justru diberi penjelasan. Ah Mas Ridho tak peka sama sekali. Menyebalkan!

"Jadi kamu tidak diberitahu kalau arisan dimajukan?"

"Tau deh!" Aku letakkan kantung plastik berisi makanan di atas meja lalu melangkah meninggalkan ruang tamu.

Merebahkan tubuh di atas ranjang, aku mainkan jemari di atas layar ponsel. Bukan untuk menulis status apa lagi meminta klarifikasi. Aku menyalurkan emosi menjadi sebuah karya fiksi.

Ya, pekerjaan sambilanku menjadi penulis fiksi di aplikasi online. Selain menyalurkan hobi aku juga mendapatkan uang dari kegiatan positif itu.

Sudah satu tahun aku menggeluti dunia literasi. Dari wanita biasa kini jadi perbincangan dunia maya. Karyaku mulai diminati tiga bulan yang lalu. Tentu bukan nama asliku yang ada di sana. Melainkan nama pena.

Bukan karena tak menyukai nama pemberian orang tua. Aku tak ingin orang lain tahu siapa Jingga itu. Biarlah Salma dikenal sebagi ibu rumah tangga yang tak memiliki pekerjaan.

Baru asyik menulis sebuah pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku.

[Mbak Salma sudah baca pesan di grup ibu PKK?]

Aku menautkan dua alis membaca pesan Alisa, Ibu PKK yang rumahnya paling ujung. Dia salah satu warga komplek mawar yang dekat denganku. Selain seumuran, kita bukan pengurus PKK komplek ini.

Kembali kubuka pesan di grup ibu PKK. Namun tak ada satu pun pesan yang masuk di sana. Pesan terakhir justru pesanku tadi saat di restoran. Itu pun diabaikan. Tak dianggap sama sekali.

[Pesan apa?]

Akhirnya kubalas karena rasa penasaran yang memuncak.

[Bu Tini mau ngajakin makan mie ayam yang lagi viral itu, Mbak. Gratis.]

Aku kembali heran, tak ada pesan seperti itu di grup ibu-ibu. Atau aku diblokir?

[Di grup ibu-ibu gak ada pesan seperti itu. Kamu salah mungkin, Lis]

[Di grup yang baru, Mbak.]

Ada yang berdenyut saat membaca pesan terakhit itu. Grup baru... Jadi aku tak dimasukkan dalam grup ibu PKK, tapi kenapa?

Aku bertanya sendiri, meski aku tidak tahu adakah jawaban dari pertanyaan ini?

Grup ibu PKK dibentuk agar semua warga dapat mendapat informasi lebih cepat. Namun kenapa hanya aku yang tak di masukkan? Bukankah aku juga salah satu anggota komplek mawar?

Tanganku mengepal, rasa marah kembali hadir dan menyeruak dalam dada. Namun pada siapa aku tumpahkan rasa kecewa dan benci ini? Semua warga sini, atau pada diriku sendiri.

[Besok jam berapa, Lis? Aku jemput, kita bareng ke sananya. Tapi agak telat, ya.]

Ponsel kuletakkan setelah memastikan pesan terkirim ke nomor Alisa.

***

"Sayur!"

"Sayur!"

Aku meletakkan piring di rak, melangkah keluar rumah.

Motor lelaki dengan gerobak menempel di jok belakang. Beberapa ibu sudah mengerubungi lelaki yang memakai jaket kulit berwarna hitam itu. Bahkan lelaki itu hanya terlihat sedikit dari rumahku.

"Pagi, Bu," sapaku pada ibu-ibu komplek yng ada di sana.

"Eh, Mbak Salma, sudah bangun to? Kirain masuk tidur," sidirnya karena pintu rumah masih tertutup rapat.

"Ada di belakang kok, Bu."

Ibu Karmila mengangguk lalu kembali fokus memilih sayuran.

"Ibu-ibu jangan lupa, ya, nanti siang," ucap Bu Tini seraya melirik ke arahku.

Aku diam, pura-pura tak mengetahui apa yang mereka katakan. Bukankah mereka tidak menginginkan kedatanganku? Tapi tunggu akan kuberi kejutan nanti. Mereka akan syok, mungkin terkena serangan jantung.

"Gak usah masak dong, ya."

"Ya masak, memangnya suami dan anak gak makan?"

"Mentang-mentang ada yang traktir sampai lupa anak sama suami."

Mereka bersahutan membahas rencana makan gratis nanti siang. Di sini keberadaanku seolah tak ada artinya. Seperti ini kah kerukunan yang selalu mereka junjung di mana-mana?

Astagfirullah....

Ah, lebih baik segera pergi akan tidak makan hati.

"Sudah, Mas." Kuberikan sayur yang baru saja kupilih.

"Tiga puluh ribu, Mbak."

"Ini, Mas." Aku berikan tiga lembar uang sepuluh ribuan padanya.

"Katanya kaya, tapi belanjanya hemat bener," sindir Bu Tini saat aku membalikkan badan.

"Restorannya sudah bangkrut jadi harus hemat, kan?"

Aku mengelus dada seraya beristigfar, kutinggalkan Mas tukang sayur dengan ibu-ibu di dekatnya. Lebih baik diam dari pada menghadapi ibu-ibu julid itu.

Sayur yang baru saja kubeli segera kupotong. Suara pisau beradu dengan tatakan terdengar jelas, bahkan memenuhi dapur. Kulampiaskan rasa kesan pada sayuran itu.

Apa mungkin aku dikeluarkan dari grup karena restoran Mas Ridho tutup? Mereka mengira kami jatuh miskin. Apa semua harus selalu dinilai oleh harta dan kedudukan? Lalu apa arti silaturahmi yang sebenarnya jika apa-apa selalu materi yang diutamakan.

"Bunda kenapa sih?" Aku menoleh, Mas Ridho melangkah mendekat.

"Lagi jengkel, Yah. Kenapa semua harus dinilai berdasarkan harta dan kedudukan saja?"

Mas Ridho mendekat lalu memelukku dari belakang.

"Kamu baru dapet, ya? Kok jelek gitu mukanya?"

"Lagi sebel, Yah. Ibu-ibu ngomongin kita karena restoran dekat perempatan itu tutup. Mereka kira kita jatuh miskin. Bahkan aku tidak dimasukkan di grup ibu PKK yang baru lho."

"Hanya karena itu?"

Aku mengangguk, Mas Ridho mengangkat wajahku lalu menetap lekat netra ini.

"Tak usah mendengarkan orang lain. Mereka tidak tahu kalau gajian perbulan kamu melebihi gaji suami mereka, Bun."

"Nah gitu, senyum."

"Kalau pada gak tahu kan gak ada yang mau hutang ke sini. He he he, bercanda, Bun."

Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Aku sudah bersiap untuk pergi menuju warung mie ayam yang sedang viral itu. Kita lihat bagaimana ekspresi mereka saat tahu aku ikut.

"Ayo, Mbak!" Alisa sudah berdiri di dekat pagar.

Sepanjang jalan kami saling diam, pikiran menerawang sesuatu yang sebentar lagi terjadi. Mereka pasti syok dan kaget.

Setelah tiga puluh menit akhirnya kami sampai di warung mie ayam yang sedang viral itu. Di halaman sudah berjajar sepeda motor, dan hampir sebagian kukenal. Siapa lagi kalau bukan milik ibu-ibu PKK komplek Mawar.

"Ayo, Mbak!" Aku mengangguk lalu berjalan sejajar dengan Alisa.

Warung ini tidak terlalu besar, tapi cukup menampung ibu-ibu PKK di komplek kami.

"Siang Ibu-Ibu." Seketika semua mata tertuju pada kami. Raut tegang terlihat jelas di netra mereka.

Apa aku hantu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status