Share

2.Kejutan

last update Last Updated: 2023-01-13 10:16:03

Aku menghentikan langkah lalu berjalan kembali menuju pagar pembatas.

"Aw... Sakit," rintih Bu Susi.

Aku menutup mulut, menahan tawa yang hampir pecah. Memang enak jatuh, julid sih jadi orang.

"Salma kurang ajar! Awas kamu, ya!"

Aku berjalan mengendap, meninggalkan Bu Susi yang meringis kesakitan. Semoga karma yang didapat seketika membuat tingkah julidnya berkurang. Ya, semoga saja.

"Kok udah pulang, Bun? Senyum-senyum lagi." Mas Ridho menatapku keheranan.

"Ada yang mulutnya julid langsung ditegur sama Allah, Yah."

"Siapa, Bun?"

"Tetangga sebelah, Yah."

"Bu Susi?" Aku mengangguk lalu tertawa saat membayangkan ekspresi Bu Susi yang meringis kesakitan. Dia pasti memegangi pantatnya yang panas.

"Maksud Bunda gimana, sih? Ayah gak ngerti, karma dan julid bagaimana?" Mas Ridho mendekat lalu menarik tanganku agar duduk di sofa.

Aku mulai menceritakan semua. Dari arisan yang dimajukan tanpa sepengetahuanku juga omongan dan tatapan orang yang tak enak. Rasa kesal itu kembali hadir. Aku seperti dianaktirikan oleh ibu-ibu sini.

"Bunda yakin tidak ada pesan masuk? Mungkin tidak sengaja terhapus atau tidak masuk karena jaringan buruk."

Aku membuang napas kasar. Disaat seperti ini aku butuh didengarkan, bukan justru diberi penjelasan. Ah Mas Ridho tak peka sama sekali. Menyebalkan!

"Jadi kamu tidak diberitahu kalau arisan dimajukan?"

"Tau deh!" Aku letakkan kantung plastik berisi makanan di atas meja lalu melangkah meninggalkan ruang tamu.

Merebahkan tubuh di atas ranjang, aku mainkan jemari di atas layar ponsel. Bukan untuk menulis status apa lagi meminta klarifikasi. Aku menyalurkan emosi menjadi sebuah karya fiksi.

Ya, pekerjaan sambilanku menjadi penulis fiksi di aplikasi online. Selain menyalurkan hobi aku juga mendapatkan uang dari kegiatan positif itu.

Sudah satu tahun aku menggeluti dunia literasi. Dari wanita biasa kini jadi perbincangan dunia maya. Karyaku mulai diminati tiga bulan yang lalu. Tentu bukan nama asliku yang ada di sana. Melainkan nama pena.

Bukan karena tak menyukai nama pemberian orang tua. Aku tak ingin orang lain tahu siapa Jingga itu. Biarlah Salma dikenal sebagi ibu rumah tangga yang tak memiliki pekerjaan.

Baru asyik menulis sebuah pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku.

[Mbak Salma sudah baca pesan di grup ibu PKK?]

Aku menautkan dua alis membaca pesan Alisa, Ibu PKK yang rumahnya paling ujung. Dia salah satu warga komplek mawar yang dekat denganku. Selain seumuran, kita bukan pengurus PKK komplek ini.

Kembali kubuka pesan di grup ibu PKK. Namun tak ada satu pun pesan yang masuk di sana. Pesan terakhir justru pesanku tadi saat di restoran. Itu pun diabaikan. Tak dianggap sama sekali.

[Pesan apa?]

Akhirnya kubalas karena rasa penasaran yang memuncak.

[Bu Tini mau ngajakin makan mie ayam yang lagi viral itu, Mbak. Gratis.]

Aku kembali heran, tak ada pesan seperti itu di grup ibu-ibu. Atau aku diblokir?

[Di grup ibu-ibu gak ada pesan seperti itu. Kamu salah mungkin, Lis]

[Di grup yang baru, Mbak.]

Ada yang berdenyut saat membaca pesan terakhit itu. Grup baru... Jadi aku tak dimasukkan dalam grup ibu PKK, tapi kenapa?

Aku bertanya sendiri, meski aku tidak tahu adakah jawaban dari pertanyaan ini?

Grup ibu PKK dibentuk agar semua warga dapat mendapat informasi lebih cepat. Namun kenapa hanya aku yang tak di masukkan? Bukankah aku juga salah satu anggota komplek mawar?

Tanganku mengepal, rasa marah kembali hadir dan menyeruak dalam dada. Namun pada siapa aku tumpahkan rasa kecewa dan benci ini? Semua warga sini, atau pada diriku sendiri.

[Besok jam berapa, Lis? Aku jemput, kita bareng ke sananya. Tapi agak telat, ya.]

Ponsel kuletakkan setelah memastikan pesan terkirim ke nomor Alisa.

***

"Sayur!"

"Sayur!"

Aku meletakkan piring di rak, melangkah keluar rumah.

Motor lelaki dengan gerobak menempel di jok belakang. Beberapa ibu sudah mengerubungi lelaki yang memakai jaket kulit berwarna hitam itu. Bahkan lelaki itu hanya terlihat sedikit dari rumahku.

"Pagi, Bu," sapaku pada ibu-ibu komplek yng ada di sana.

"Eh, Mbak Salma, sudah bangun to? Kirain masuk tidur," sidirnya karena pintu rumah masih tertutup rapat.

"Ada di belakang kok, Bu."

Ibu Karmila mengangguk lalu kembali fokus memilih sayuran.

"Ibu-ibu jangan lupa, ya, nanti siang," ucap Bu Tini seraya melirik ke arahku.

Aku diam, pura-pura tak mengetahui apa yang mereka katakan. Bukankah mereka tidak menginginkan kedatanganku? Tapi tunggu akan kuberi kejutan nanti. Mereka akan syok, mungkin terkena serangan jantung.

"Gak usah masak dong, ya."

"Ya masak, memangnya suami dan anak gak makan?"

"Mentang-mentang ada yang traktir sampai lupa anak sama suami."

Mereka bersahutan membahas rencana makan gratis nanti siang. Di sini keberadaanku seolah tak ada artinya. Seperti ini kah kerukunan yang selalu mereka junjung di mana-mana?

Astagfirullah....

Ah, lebih baik segera pergi akan tidak makan hati.

"Sudah, Mas." Kuberikan sayur yang baru saja kupilih.

"Tiga puluh ribu, Mbak."

"Ini, Mas." Aku berikan tiga lembar uang sepuluh ribuan padanya.

"Katanya kaya, tapi belanjanya hemat bener," sindir Bu Tini saat aku membalikkan badan.

"Restorannya sudah bangkrut jadi harus hemat, kan?"

Aku mengelus dada seraya beristigfar, kutinggalkan Mas tukang sayur dengan ibu-ibu di dekatnya. Lebih baik diam dari pada menghadapi ibu-ibu julid itu.

Sayur yang baru saja kubeli segera kupotong. Suara pisau beradu dengan tatakan terdengar jelas, bahkan memenuhi dapur. Kulampiaskan rasa kesan pada sayuran itu.

Apa mungkin aku dikeluarkan dari grup karena restoran Mas Ridho tutup? Mereka mengira kami jatuh miskin. Apa semua harus selalu dinilai oleh harta dan kedudukan? Lalu apa arti silaturahmi yang sebenarnya jika apa-apa selalu materi yang diutamakan.

"Bunda kenapa sih?" Aku menoleh, Mas Ridho melangkah mendekat.

"Lagi jengkel, Yah. Kenapa semua harus dinilai berdasarkan harta dan kedudukan saja?"

Mas Ridho mendekat lalu memelukku dari belakang.

"Kamu baru dapet, ya? Kok jelek gitu mukanya?"

"Lagi sebel, Yah. Ibu-ibu ngomongin kita karena restoran dekat perempatan itu tutup. Mereka kira kita jatuh miskin. Bahkan aku tidak dimasukkan di grup ibu PKK yang baru lho."

"Hanya karena itu?"

Aku mengangguk, Mas Ridho mengangkat wajahku lalu menetap lekat netra ini.

"Tak usah mendengarkan orang lain. Mereka tidak tahu kalau gajian perbulan kamu melebihi gaji suami mereka, Bun."

"Nah gitu, senyum."

"Kalau pada gak tahu kan gak ada yang mau hutang ke sini. He he he, bercanda, Bun."

Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Aku sudah bersiap untuk pergi menuju warung mie ayam yang sedang viral itu. Kita lihat bagaimana ekspresi mereka saat tahu aku ikut.

"Ayo, Mbak!" Alisa sudah berdiri di dekat pagar.

Sepanjang jalan kami saling diam, pikiran menerawang sesuatu yang sebentar lagi terjadi. Mereka pasti syok dan kaget.

Setelah tiga puluh menit akhirnya kami sampai di warung mie ayam yang sedang viral itu. Di halaman sudah berjajar sepeda motor, dan hampir sebagian kukenal. Siapa lagi kalau bukan milik ibu-ibu PKK komplek Mawar.

"Ayo, Mbak!" Aku mengangguk lalu berjalan sejajar dengan Alisa.

Warung ini tidak terlalu besar, tapi cukup menampung ibu-ibu PKK di komplek kami.

"Siang Ibu-Ibu." Seketika semua mata tertuju pada kami. Raut tegang terlihat jelas di netra mereka.

Apa aku hantu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Ending

    "Tolong aku, Sal! Tolong bawa Susi ke rumah sakit," pinta Adit mengiba. Tetes air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. Adi dan Salma saling pandang, namun keduanya diam. Terlebih sikap Susi pada Salma. "Maaf, Pak Adit. Mobil kami penuh dengan barang. Tidak mungkin mengeluarkannya dulu. Coba pesan taksi online atau minta bantuan tetangga. Maaf, kami permisi," ucap Salma. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan Komplek Mawar. Juga meninggalkan Adit dengan perasaan cemas yang memenuhi rongga dadanya. Adit merogoh saku celana, ia keluarkan benda pipih yang ada di dalam. Tanganya dengan cepat menari di atas layar, dia memesan taksi online. Sayang, hingga tiga menit menunggu tak ada satu pun taksi yang menerima pesananya. Adit kembali berlari menuju rumah Sari. Namun kembali ia menelan pil kecewa karena rumah itu kosong. Penghuni rumah sudah pergi satu jam lalu. Adit kembali menggedor tiap pintu rumah Komplek Mawar. Namun tak satu pun yang membuka pintu. Mereka pura-pu

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pindahan

    "STOP! Jangan hina Mbak Salma!"Seketika semua mata menoleh ke arah gerbang. "Jangan salahkan Mbak Salma, dia gak salah. Aku yang meminta Mas Ridho ke Bandung."Gita dipapah seorang lelaki mendekat ke arah kami. Wajah adik iparku itu tampak sendu. Tak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Gita merasa bersalah atas kematian Mas Ridho. "Halah, dibela segala. Kalau Salma tidak meminta Pak Ridho pulang... Pasti saat ini dia masih hidup."Aku mengepalkan tangan, kesal dam marah melebur menjadi satu. Tidak bisa kupungkiri jika ucapan wanita itu benar. Namun tidakkah ia tahu hatiku sudah terlalu hancur. Tak bisakah dia bersimpati padaku, sedikit saja."Bu Susi bisa diam tidak? Sekali saja Bu Susi menjelekkan Mbak Salma, saya akan melaporkan Bu Susi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya pastikan ibu membusuk di penjara!" ucap Gita kesal. "Dasar pahlawan kesiangan!"Bu Susi menghembuskan napas kasar, menatapku tajam. Dapat terlihat jelas kilau kebencian d

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Salma Murka

    "Salma tidak bisa berpikir apa-apa, Ma. Pikiran Salma buntu. Kepergian Mas Ridho merupakan pukulan terbesar untuk Salma." Aku menunduk, air mata bisa lagi menetes. Sudah kering karena sejak pagi tak henti-hentinya menangis. "Bukan salah Salma, Ma. Dia syok tidak bisa berpikir. Itu hal wajar."Papa mengelus pundak, menguatkan hati yang terlanjur rapuh ini. "Perut kamu...." Papa menatapku. "Salma sudah melahirkan, Pa. Te ... Tepat saat Mas Ridho mengalami kecelakaan. Bahkan Mas Ridho belum sempat melihat putranya," ucapku dengan suara bergetar. Sesak kembali terasa saat mengingat kejadian itu. Saat aku berjuang tapi Mas Ridho sudah berpulang. "Kami sudah melahirkan, Sal?" Mama mendekat ke arahku. Amarahnya telah berkurang. "Iya, Ma. Mama dan Papa sudah memiliki cucu lelaki.""Di mana, Sal?""Di dalam, Ma, Pa."Untuk sesaat mereka lupa dengan luka yang terbuka. Kehadiran Ammar bagai obat yang menyembuhkan. Mama menatap Ammar yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tanpa diminta

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pemakaman

    Aku duduk lemas di atas tikar, menatap kosong ke depan. Beberapa menit lalu jenazah Mas Ridho telah diantar ke peristirahatan terakhirnya. Aku tak sanggup melihat kemudian pingsan untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok yang kita cintai dalam sekejap adalah pukulan terhebat dalam hidup ini. Aku bahkan tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa sosok Mas Ridho? Satu persatu tetangga sudah meninggalkan rumahku. Kini tinggal aku, Alisa dan Bu Aini. Dua orang itu masih setia menemaniku. Meski sebentar lagi akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. "Sabar, ya, Mbak. Semua sudah menjadi ketentuan Allah." Alisa mengelus pundakku,menguatkan.Kematian memang sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak atau diminta. Namun kehilangan juga menciptakan luka. "Makasih, Lis. Ammar sudah tidur, kan?" tanyaku pelan. "Sudah, Mbak. Maaf sebelumnya jika lancang. Ammar sudah diazani Mas Haikal tadi setelah jenazah tiba, saat Mbak Salma jatuh pingsan," terang Alisa ragu. "Makasih, Lis."Kembali kura

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   53 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen di paru-paru. Berkali-kali aku hapus air mata ini tapi cairan bening itu tetap saja mengalir tanpa henti. "Jenazah harus segera dimakamkan, Mbak."Perkataan Alisa menyadarkanku. Benar, jenazah Mas Ridho harus segera dikebumikan. Walau berat, aku harus tetap mengikhlaskannya. "Mas Haikal sudah mengurus jenazah Mas Ridho, Mbak. Kita harus segera pulang."Aku mengangguk, pasrah dengan ucapan Alisa. Karena aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Pikiran sudah buntu, tak mampu memikirkan apa pun selain Mas Ridho. "Aku urus administrasinya dulu, Mbak. Kata dokter Mbak boleh pulang."Aku mengangguk, membiarkan Alisa meninggalkan ruang inapku. Perlahan aku turun dari ranjang ini, lalu berdiri tepat di depan box bayi. Aku tatap bayi kecil yang belum diberi nama itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Sesak tiap kali kutatap wajah bayi mungil itu. Mas Ridho belum sempat melihat wajah anaknya, apa lagi mencium pipi cabi putra kami. Namun Allah sudah m

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   52 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    "Bagaimana keadaan suami saya, Pak? Mas Ridho baik-baik saja, kan? Mas Ridho masih dirawat di rumah sakit, kan?" cecarku kepada dua polisi yang tiba-tiba mematung. Dua polisi itu diam kemudian saling pandang. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresi wajah keduanya. "Kenapa diam, Pak? Bagaimana keadaan suami saya?"Oweek... Oweek.... Teriakanku membuat bayi dalam gendongan ini menangis histeris. Seketika Alisa mengambil putraku lalu melangkah pergi meninggalkan kami bertiga dalam kamar. Tangis bayiku masih terus terdengar, tangis yang kian menyayat hati. Namun untuk sesaat aku abaikan. "Suami saya di mana, Pak?" tanyaku lagi karena mereka masih diam membisu. Lagi keduanya saling pandang lalu mengangguk bersamaan. "Sabar, ya, Bu. Mungkin kabar ini ....""Jangan bertele-tele, Pak! Apa yang mau kalian sampaikan?" ucapku kesal. Aku berdiri,menatap tajam dua polisi itu. Kedua lelaki itu seolah tengah mempermainkan perasaanku. Tak tahukah mereka jika aku sangat mengkhawatirkan Mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status