"Papa!" teriak Bu Susi sambil melangkah mendekat. "Jangan teriak-teriak, Ma. Pusing Papa dengernya.""Apa? Pusing? Kamu tidak salah bicara, kan?" Bu Susi menatap tajam lelaki di sampingnya. Tatapan yang membuatku menggelengkan kepala berkali-kali. Semarah-marahnya aku dengan Mas Ridho tak sekali pun aku membentaknya. Apa lagi bertengkar di depan umum. Itu sangat memalukan. "Bu Susi dan Pak Adit tolong selesaikan masalah kalian cr di rumah. Maaf, saya masih ada perlu."Aku memutar badan. Enggan meladeni pasangan yang tak memiliki urat malu. Apa mereka tak melihat beberapa pasang mata sudah mengawasi tempat ini? Mereka mencari bahan untuk menggosip. Seperti yang Bu Susi biasa lakukan terhadapku. "Berhenti!""Susi hentikan! Jangan memperkeruh suasana. Aku kemari hanya untuk berterima kasih karena meminta air panas beberapa hari lalu." Seketika kuputar tubuh 180 derajat. Mas Adit menarik tangan Bu Susi agar berhenti melangkah. Namun usahanya sia-sia, wanita itu menepis tangan suaminy
"Bu Salma jadi pelayan di sini?" tanya Bu Aini dengan raut kebingungan. Berbeda dengan Trio wek-wek yang menatap sinis. "Iya, Bu. Silakan duduk," ucapku ramah. Sekuat tenaga kutahan emosi yang hampir meledak. Sekali-kali mengalah tak masalah, kan? Aku tak ingin citra restoran ini buruk karena ulah Bu Susi dan kawan-kawannya. Mereka tak akan percaya jika aku pemilik restoran ini. Bu Aini dan ketiga wanita bar-bar itu duduk di kursi. Mereka terlihat bingung mau memilih menu apa. Daftar menu makanan berulang kali di balik. Namun belum ada satu menu yang mereka pesan. "Mau pesan apa ibu-ibu?" tanyaku karena sudah mematung beberapa menit di sini. "Sabar dong Bu Salma. Ingat, ya, pembeli adalah raja. Kami di sini raja, sedang kamu hanya pelayan. Jadi jangan banyak protes atau kulaporkan kepada pemilik restoran ini agar Bu Salma dipecat!" ucap Bu Tini jumawa. Aku kepalkan tangan di samping, manahan emosi hampir meledak. Aku ingin lihat bagaimana reaksi mereka jika tahu akulah pemilik r
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku. Mereka saling pandang lalu tersenyum ke arahku. Senyum merendahkan lebih tepatnya. "Kamu ngapain di sini, Bu Salma?" ucap Bu Tini dengan pongahnya."Kami mencari pemilik restoran ini, bukan kamu." Bu Susi mengarahkan jarinya tepat di depan wajahku. "Pelayan.""Iya benar, kami mau mengucapkan terima kasih pada pemilik restoran ini. Bukan pada pegawai rendahan seperti kamu."Aku menghembuskan napas perlahan, mengeluarkan amarah yang menyesakkan rongga dada. Setiap kata yang mereka ucapnya tak ubahnya belati yang menyayat hati. "Sudah-sudah, jangan bertengkar. Bu Susi, Bu Tini dan Bu Santi gak baik bicara seperti itu. Biar bagaimana pun kita ini hidup bertetangga. Pasti saling membutuhkan satu dan lainnya."Bu Aini yang dari tadi diam akhirnya mengeluarkan suara. Namun perkataannya dianggap angin lalu saja. Trio wek-wek justru kian menjadi. Cacian dan hinaan mereka lontarkan untukku. Nada suaranya yang tinggi memancing beberapa pasang mata me
Aku mengejapkan mata perlahan. Kembali kututup saat cahaya menyilaukan mata. Sosok Mas Ridho pertama kali kulihat saat kesadaran terkumpul sepenuhnya. "Yah, " panggilku lirih. "Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Bun." Mas Ridho mendekat, membantuku bersandar di headboard. "Ya Allah, Bu Salma... Saya benar-benar khawatir Ibu jatuh pingsan tadi. Saya langsung menelepon Pak Ridho biar cepet pulang. Untung Ibu gak kenapa-napa," terang Bu Tini. Lagi-lagi bau jengkol menyebar, memenuhi indra penciuman. Tanpa diminta rasa mual pun hadir kembali. "Aku pengen muntah, Yah."Dengan sigap Mas Ridho memapahku hingga ke kamar mandi. Aku muntahkan semua isi perut, meski hanya cairan bening yang keluar. Karena tak ada makanan yang tersisa di lambung. "Bu Salma tidak apa-apa, kan?""Jangan bicara, Bu. Bau mulut Bu Tini membuat saya ingin muntah. Tolong tutup mulutnya rapat-rapat."Seketika Bu Tini menutup mulutnya dengan tangan. Kemudian mundur dan meninggalkan kamarku. Aku pun bernapas lega kala
"Siapa, Bun?"Aku memberikan ponsel kepada Mas Ridho. Lama ia terdiam menatap tulisan di layar smartphone itu. "Dari Pak Adit?" tanyanya sambil menatapku tajam. Senyum seketika lenyap,kini wajah merah menahan amarah yang terlihat jelas di sana. Aku memang tidak tahu siapa pemilik nomor itu, begitu pula Mas Ridho. Namun kami yakin Mas Adit yang menghubungiku. Apa mau dia sebenarnya? Tidak istri, tidak suami... Sama-sama memancing emosi. "Aku tidak tahu, Yah. Kami putus kontak setelah ia pergi. Ketemu lagi kemarin itu, waktu meminta air panas.""Maafkan aku, Bun. Aku cemburu." Sudut bibirku tertarik ke atas, kupeluk Mas Ridho erat. "Kita pindah rumah saja, Yah.""Belum bisa, Bun. Tabungan kita sudah habis untuk pembuatan restoran itu."Aku lepas pelukan ini. Ternyata tak semudah itu keluar dari komplek mawar."Di tempat lain bukan tidak mungkin ada Bu lainnya. Jadi kita harus adaptasi dulu.""Ah, bilang saja belum ada uang." Aku mendengus kesal lalu masuk ke mobil. "Bunda... Bun
"Ayo cepet! Aku mau jemput Tyo!" Bu Susi kembali menengadahkan tangan. "Ibu yang menghalangi saya, kan?""Halah, jangan alasan kamu, Salma! Pokoknya kamu harus ganti rugi! Aku tidak mau tahu!" teriaknya lantang. Dalam sekejap semua mata tertuju pada kami. Ini memang bukan yang pertama. Namun rasanya masih sama. Malu. "Berapa?" "Tiga ratus.""Sebentar."Aku berjalan ke kamar mengambil uang ganti rugi. Tetapi hanya ada dua lembar uang berwarna merah. Biarlah, toh ini lebih dari cukup. "Mana!""Ini, hanya ada 200 ribu.""Kok cuman dua lembar? Saya mintanya tiga lembar."Bu Susi masih tidak terima, Rp. 200.000,- lebih dari cukup untuk mencucikan rok itu di laundry depan gang. "Kalau tidak mau saya ambil lagi."Belum sempat kutarik, Bu Susi lebih dulu memasukkan uang itu ke dalam saku. "Ya sudah. Permisi."Bu Susi pergi setelah mendapatkan apa yang ia inginkan. "Katanya kaya uang 300 ribu aja gak punya," ucapnya tapi masih mampu kudengar dengan jelas. Menggeleng pelan sambil menge
"Apa saya tidak salah dengar, Pak?" Mas Ridho mengernyitkan dahi. "Ti-tidak, Pak. Saya membutuhkan pekerjaan. Tabungan selama menjadi TKI habis untuk membayar hutang Susi. Sekarang saya bingung... Kebutuhan dan pengeluaran banyak tapi tidak ada pemasukan," jawabnya sambil menundukkan kepala. Aku tahu betul, Mas Adit menggadaikan harga diri hanya untuk sesuap nasi. Sedikit heran, ke mana harta yang mereka agungkan. Bahkan karena tidak selevel aku dicampakkan bak sampah. Sungguh aku benci jika mengingat itu. "Tolong saya, Pak," pintanya mengiba. Pasti Mas Ridho jadi tak tega. "Akan saya pikirkan, Pak. Kebetulan karyawan sudah banyak.""O, begitu, ya, Pak," jawab Mas Adit. Dia paksa bibir tersenyum meski kekecewaan terlihat jelas dari sorot matanya. "Kalau ada lowongan saya beritahu, Pak.""Makasih, Pak Ridho. Saya sangat berharap ada pekerjaan untuk saya."Beberapa saat lelaki itu terdiam,ia seruput kembali kopi yang masih tersisa itu. Kemudian berpamitan dengan kekecewaan. ***"
Tok! Tok! Aku berjalan cepat menuju kamar. Rasa takut seketika menelusup dalam rongga dada. Tok! Tok! Pintu kembali diketuk, sedikit kencang hingga membuat Mas Ridho terbangun. Dia menatap kanan dan kiri, kebingungan. "Ada apa, Bun?" tanyanya kebingungan. "Bu Salma! Bu!" teriak seseorang dari depan. "Siapa, Bun?" tanyanya. "Gak tahu, Yah. Tadi mereka teriak maling di depan."Mas Ridho berjalan ke depan, sesekali ia menguap karena kantuk yang masih mendera. Baru beberapa menit ia terpejam tapi keributan memaksanya kembali membuka mata. Kami melangkah menuju pintu depan. Aku mengekor di belakang Mas Ridho. Takut dengan ucapan dua lelaki yang sempat kudengar tadi.Pintu dibuka, dua lelaki berdiri di balik pintu itu. Pak Rudi dan Pak Samsul berdiri dengan napas tersengal. Terlihat mereka kelelahan setelah berlari ke sana kemari. "Ada apa, Pak? Kenapa malam-malam mengetuk pintu?" tanya Mas Ridho seraya mengucek matanya. "Maaf, Pak. Tadi ada maling lari kemari.""Lalu hubungan den