Share

4.Pinjam Uang

last update Last Updated: 2023-01-13 10:16:21

Mendengar kata uang membuat perasaanku tidak enak. Aku menoleh kanan dan kiri, tak ada satu pun orang yang berada di luar. Pintu-pintu rumah itu telah ditutup rapat-rapat. Aku harus segera masuk sebelum mimpi buruk menjadi nyata.

Kran kumatikan, lalu berjalan masuk rumah. Dengan hati-hati kututup pintu berwarna coklat itu.

"Ada apa, Bun?" tanya Mas Ridho saat melihatku seperti dikejar setan.

"Ada setan, Yah." Aku melangkah melewatinya yang tengah menyeruput kopi instan.

"Setan apa?" tanyanya seraya meletakkan cangkir berisi kopi itu di atas meja.

"Setan duit, Yah."

"Mana ada setan duit, Bun?"

Aku menghembuskan napas kasar, kesal karena Mas Ridho menghalangiku melangkah menuju ruang keluarga. Awas saja kalau setan duitnya datang, Mas Ridho yang harus tanggung jawab!

"Sebentar lagi datang. Ayah yang harus tanggung jawab." Aku melanjutkan langkah, tak kuhiraukan sorot tanda tanya dari netranya.

Baru saja kujatuhkan bobot di atas sofa, terdengar suara ketukan pintu.

"Bu Salma ... Bu!"

Aku menghela napas, ternyata benar dugaanku, setan duit mulai menjalankan aksinya. Biar saja tak akan kubuka pintu itu. Kalau masalah uang kemari tapi justru aku tak dianggap sebagai salah satu anggota ibu PKK. Menyebalkan.

Pintu terus diketuk disusul suara Bu Susi yang memanggil-manggil namaku. Mimpi buruk benar-benar menjadi nyata.

"Bun, ada tamu itu!" teriak Mas Ridho tapi aku diam, pura-pura tak mendengar. Biar saja Mas Ridho yang membukanya.

Aku berjalan mengendap-endap menuju ruang tamu. Rasa penasaran menuntunku untuk menguping pembicaraan mereka.

Aku mengintip dari balik pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan ruang tamu. Bu Susi berada di luar sementara Mas Ridho berdiri di mulut pintu. Aku buka telinga lebar-lebar, agar tahu apa yang mereka bicarakan.

"Salma sedang di belakang, ada apa, ya, Bu?" tanya Mas Ridho.

"Em... Itu... Bisa minta tolong dipanggilkan, Pak? Ini penting."

Telingaku mampu mendengar tapi sayang mata tak bisa melihat bagaimana ekspresi Bu Susi. Wanita itu pasti tegang. Ah, siapa suruh bergaya.

"Mungkin sedang mandi. Memang ada perlu apa?"

Hening, tak ada jawaban dari wanita itu. Apa mungkin ia pulang? Tapi kenapa Mas Ridho masih berdiri di pintu?

"Kalau Bu Salma repot, sama Pak Ridho saja kalau begitu."

Gawat! Jangan sampai Mas Ridho luluh dan memberi setan duit itu pinjaman. Aku tidak ikhlas. Ingin keluar tapi tidak mungkin, kehadiranku justru akan menimbulkan masalah baru. Bisa-bisa aku luluh dan memberinya pinjaman. Tapi diam di sini juga tak dapat menyelesaikan masalah.

"Ada apa, ya, Bu? Kelihatannya sangat penting."

Aduh ... Bagaimana ini? Bu Susi pasti akan mengatakan maksudnya.

"Saya salah menduga, Pak. Saya pikir harga tanaman-tanaman itu tiga ratus ribu. Tapi ternyata tiga juta. Saya tidak punya uang sebanyak itu, Pak. Masnya tidak mau membawa pulang barang yang sudah terlanjur saya pesan."

Ya kali Rp. 300.000,- sama dengan Rp. 3.000.000,-. Bu Susi benar-benar kelewatan. Memangnya tidak bisa lihat harga berapa yang tertera? Astaga!

"Aduh gimana, ya, Bu."

"Tolonglah, Pak. Kita, kan tetangga, seharusnya kita tolong menolong dalam kebaikan. Saya hanya pinjam lho, Pak. Bukan meminta uang, Pak Ridho."

Kalau kepepet dia ingat tetangga. Kemarin aku tidak dimasukkan dalam grup padahal semua ibu-ibu ada di grup itu. Lalu apa itu namanya tetangga?

Astagfirullah...

Aku elus dada yang bergemuruh. Ternyata rasa marah dan kesal tak juga hilang dari hatiku. Melihatnya menderita justru aku ingin tertawa. Maafkan aku Ya Allah, bukan maksud senang dengan penderitaan orang lain. Namun sikap Bu Susi memang keterlaluan, semoga kali ini ia jera.

Hidup rukun dambaan setiap orang. Bukan hanya rukun dengan keluarga tapi juga tetangga. Namun apakah keinginanku bisa terwujud? Hanya waktu yang mampu menjawab.

"Bisa, kan bantu saya, Pak. Bulan depan Mas Danu pasti ganti, kok."

Aku mencebikkan bibir. Entahlah, kenapa aku mulai tak respect dengan Bu Susi. Sikapnya justru membuatku kesal dan marah.

Ya Allah, buang prasangka buruk yang tiba-tiba menyelinap ini.

"Memangnya butuh berapa?"

Wah, gawat! Jangan sampai Mas Ridho termakan bujuk rayu saiton. Sebuah ide tiba-tiba hadir di kepala. Aku segera berlari ke dapur lalu mengambil panci dan centong sayur.

"Em... Kalau tiga juta ada tidak, Pak? Besok kalau gajian saya kembalikan," ucap Bu Susi kembali terdengar di telinga.

Gumbrang!

"Setan... Setan... Eh, setan!"

"Tunggu sebentar, ya, Bu. Sepertinya ada tikus atau kucing masuk."

"Baik, Pak. Saya tunggu di sini."

Terdengar suara langkah kaki mendekat, cepat-cepat aku berlari menuju dapur, pura-pura membersihkan piring padahal semua piring sudah bersih dan tertata rapi di rak.

"Bunda ini kenapa, to?"

"Nyuci piring, Yah."

"Heleh. Memangnya ayah gak tahu kalau Bunda habis ngintip dari balik pintu.

Ternyata sulit membohongi Mas Ridho. Lelaki itu selalu tahu apa yang ada di kepalaku.

"Bunda tidak mau meminjamkan uang? Bu Susi sedang butuh lho, Bun."

"Biarin aja, Yah. Siapa suruh iri. Bu Susi juga yang membuat aku diasingkan dari komplek ini. Untuk apa kita menolong orang yang jahat pada kita?"

Mas Ridho menempelkan kedua tangannya di pipiku seraya menatap lekat netra ini.

"Kalau keburukan dibalas dengan keburukannya, kapan selesainya, Bun? Lalu apa bedanya Bunda dengan Bu Susi?" ucapnya pelan tapi bagai halilintar yang menyambar diri ini.

Pelan tapi terasa langsung ke hati. Memang benar apa yang suamiku katakan. Namun kenapa terasa berat melupakan apa yang telah ia lakukan?

"Jangan dipinjami tapi beli saja semua tanamannya itu. Bu Susi mana bisa merawat tanaman. Pohon mangga saja mati apa lagi anggrek dan mawar."

Mas Ridho tersenyum lalu memeluk tubuhku erat.

"Makasih, Bun. Love you full," ucapnya lalu mengecup mesra kening ini.

Bunga dan tanaman buah itu segera diturunkan di halaman rumah. Mas Ridho membantu menatanya. Dia cari tempat agar halaman yang tak seberapa ini muat dengan berbagai jenis tanaman.

Aku ikhlaskan uang itu. Lebih baik menyelamatkan makhluk hidup ini sebelum mati di tangan Bu Susi.

***

Pagi-pagi aku selalu disibukkan dengan kegiatan rumah. Menulis akan kulakukan setelah semua tugas terselesaikan. Menulis memang menjadi pekerjaanku saat ini. Namun aku tidak mau pekerjaan itu membuat aku melupakan tugas seorang istri yang sebenarnya.

"Yah, tanamannya kapan terakhir kali dipupuk?"

Mas Ridho membalikkan badan, telepon yang ada dalam genggaman ia letakkan. Mas Ridho melangkah lalu berhenti tepat di hadapanku.

"Kenapa? Mas lagi sibuk, kenapa diganggu? Hem!"

"Maaf-maaf, aku hanya bertanya kapan terakhir kali tanaman-tanaman ini di pupuk?"

"Mas lupa, mungkin tiga minggu yang lalu."

"Kalau begitu tolong ambilkan pupuknya, Mas." Mas Ridho mengangguk lalu pergi menuju belakang.

Sambil menunggu aku mulai mencabuti rumput sambil jongkok.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Bukan Mas Ridho melainkan orang yang hendak lewat di jalan depan rumah.

"Kasihan, ya, Bu Susi. Dia minjemin uang tiga juga pada Bu Salma."

"Gayanya sih sok kaya. Sudah tahu suaminya pengangguran tapi justru memborong tanaman."

"Memang keterlaluan dia!"

DEG!

Aku meminjam uang pada Bu Susi, apa tidak kebalik itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Ending

    "Tolong aku, Sal! Tolong bawa Susi ke rumah sakit," pinta Adit mengiba. Tetes air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. Adi dan Salma saling pandang, namun keduanya diam. Terlebih sikap Susi pada Salma. "Maaf, Pak Adit. Mobil kami penuh dengan barang. Tidak mungkin mengeluarkannya dulu. Coba pesan taksi online atau minta bantuan tetangga. Maaf, kami permisi," ucap Salma. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan Komplek Mawar. Juga meninggalkan Adit dengan perasaan cemas yang memenuhi rongga dadanya. Adit merogoh saku celana, ia keluarkan benda pipih yang ada di dalam. Tanganya dengan cepat menari di atas layar, dia memesan taksi online. Sayang, hingga tiga menit menunggu tak ada satu pun taksi yang menerima pesananya. Adit kembali berlari menuju rumah Sari. Namun kembali ia menelan pil kecewa karena rumah itu kosong. Penghuni rumah sudah pergi satu jam lalu. Adit kembali menggedor tiap pintu rumah Komplek Mawar. Namun tak satu pun yang membuka pintu. Mereka pura-pu

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pindahan

    "STOP! Jangan hina Mbak Salma!"Seketika semua mata menoleh ke arah gerbang. "Jangan salahkan Mbak Salma, dia gak salah. Aku yang meminta Mas Ridho ke Bandung."Gita dipapah seorang lelaki mendekat ke arah kami. Wajah adik iparku itu tampak sendu. Tak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Gita merasa bersalah atas kematian Mas Ridho. "Halah, dibela segala. Kalau Salma tidak meminta Pak Ridho pulang... Pasti saat ini dia masih hidup."Aku mengepalkan tangan, kesal dam marah melebur menjadi satu. Tidak bisa kupungkiri jika ucapan wanita itu benar. Namun tidakkah ia tahu hatiku sudah terlalu hancur. Tak bisakah dia bersimpati padaku, sedikit saja."Bu Susi bisa diam tidak? Sekali saja Bu Susi menjelekkan Mbak Salma, saya akan melaporkan Bu Susi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya pastikan ibu membusuk di penjara!" ucap Gita kesal. "Dasar pahlawan kesiangan!"Bu Susi menghembuskan napas kasar, menatapku tajam. Dapat terlihat jelas kilau kebencian d

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Salma Murka

    "Salma tidak bisa berpikir apa-apa, Ma. Pikiran Salma buntu. Kepergian Mas Ridho merupakan pukulan terbesar untuk Salma." Aku menunduk, air mata bisa lagi menetes. Sudah kering karena sejak pagi tak henti-hentinya menangis. "Bukan salah Salma, Ma. Dia syok tidak bisa berpikir. Itu hal wajar."Papa mengelus pundak, menguatkan hati yang terlanjur rapuh ini. "Perut kamu...." Papa menatapku. "Salma sudah melahirkan, Pa. Te ... Tepat saat Mas Ridho mengalami kecelakaan. Bahkan Mas Ridho belum sempat melihat putranya," ucapku dengan suara bergetar. Sesak kembali terasa saat mengingat kejadian itu. Saat aku berjuang tapi Mas Ridho sudah berpulang. "Kami sudah melahirkan, Sal?" Mama mendekat ke arahku. Amarahnya telah berkurang. "Iya, Ma. Mama dan Papa sudah memiliki cucu lelaki.""Di mana, Sal?""Di dalam, Ma, Pa."Untuk sesaat mereka lupa dengan luka yang terbuka. Kehadiran Ammar bagai obat yang menyembuhkan. Mama menatap Ammar yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tanpa diminta

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pemakaman

    Aku duduk lemas di atas tikar, menatap kosong ke depan. Beberapa menit lalu jenazah Mas Ridho telah diantar ke peristirahatan terakhirnya. Aku tak sanggup melihat kemudian pingsan untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok yang kita cintai dalam sekejap adalah pukulan terhebat dalam hidup ini. Aku bahkan tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa sosok Mas Ridho? Satu persatu tetangga sudah meninggalkan rumahku. Kini tinggal aku, Alisa dan Bu Aini. Dua orang itu masih setia menemaniku. Meski sebentar lagi akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. "Sabar, ya, Mbak. Semua sudah menjadi ketentuan Allah." Alisa mengelus pundakku,menguatkan.Kematian memang sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak atau diminta. Namun kehilangan juga menciptakan luka. "Makasih, Lis. Ammar sudah tidur, kan?" tanyaku pelan. "Sudah, Mbak. Maaf sebelumnya jika lancang. Ammar sudah diazani Mas Haikal tadi setelah jenazah tiba, saat Mbak Salma jatuh pingsan," terang Alisa ragu. "Makasih, Lis."Kembali kura

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   53 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen di paru-paru. Berkali-kali aku hapus air mata ini tapi cairan bening itu tetap saja mengalir tanpa henti. "Jenazah harus segera dimakamkan, Mbak."Perkataan Alisa menyadarkanku. Benar, jenazah Mas Ridho harus segera dikebumikan. Walau berat, aku harus tetap mengikhlaskannya. "Mas Haikal sudah mengurus jenazah Mas Ridho, Mbak. Kita harus segera pulang."Aku mengangguk, pasrah dengan ucapan Alisa. Karena aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Pikiran sudah buntu, tak mampu memikirkan apa pun selain Mas Ridho. "Aku urus administrasinya dulu, Mbak. Kata dokter Mbak boleh pulang."Aku mengangguk, membiarkan Alisa meninggalkan ruang inapku. Perlahan aku turun dari ranjang ini, lalu berdiri tepat di depan box bayi. Aku tatap bayi kecil yang belum diberi nama itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Sesak tiap kali kutatap wajah bayi mungil itu. Mas Ridho belum sempat melihat wajah anaknya, apa lagi mencium pipi cabi putra kami. Namun Allah sudah m

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   52 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    "Bagaimana keadaan suami saya, Pak? Mas Ridho baik-baik saja, kan? Mas Ridho masih dirawat di rumah sakit, kan?" cecarku kepada dua polisi yang tiba-tiba mematung. Dua polisi itu diam kemudian saling pandang. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresi wajah keduanya. "Kenapa diam, Pak? Bagaimana keadaan suami saya?"Oweek... Oweek.... Teriakanku membuat bayi dalam gendongan ini menangis histeris. Seketika Alisa mengambil putraku lalu melangkah pergi meninggalkan kami bertiga dalam kamar. Tangis bayiku masih terus terdengar, tangis yang kian menyayat hati. Namun untuk sesaat aku abaikan. "Suami saya di mana, Pak?" tanyaku lagi karena mereka masih diam membisu. Lagi keduanya saling pandang lalu mengangguk bersamaan. "Sabar, ya, Bu. Mungkin kabar ini ....""Jangan bertele-tele, Pak! Apa yang mau kalian sampaikan?" ucapku kesal. Aku berdiri,menatap tajam dua polisi itu. Kedua lelaki itu seolah tengah mempermainkan perasaanku. Tak tahukah mereka jika aku sangat mengkhawatirkan Mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status