Share

4.Pinjam Uang

Mendengar kata uang membuat perasaanku tidak enak. Aku menoleh kanan dan kiri, tak ada satu pun orang yang berada di luar. Pintu-pintu rumah itu telah ditutup rapat-rapat. Aku harus segera masuk sebelum mimpi buruk menjadi nyata.

Kran kumatikan, lalu berjalan masuk rumah. Dengan hati-hati kututup pintu berwarna coklat itu.

"Ada apa, Bun?" tanya Mas Ridho saat melihatku seperti dikejar setan.

"Ada setan, Yah." Aku melangkah melewatinya yang tengah menyeruput kopi instan.

"Setan apa?" tanyanya seraya meletakkan cangkir berisi kopi itu di atas meja.

"Setan duit, Yah."

"Mana ada setan duit, Bun?"

Aku menghembuskan napas kasar, kesal karena Mas Ridho menghalangiku melangkah menuju ruang keluarga. Awas saja kalau setan duitnya datang, Mas Ridho yang harus tanggung jawab!

"Sebentar lagi datang. Ayah yang harus tanggung jawab." Aku melanjutkan langkah, tak kuhiraukan sorot tanda tanya dari netranya.

Baru saja kujatuhkan bobot di atas sofa, terdengar suara ketukan pintu.

"Bu Salma ... Bu!"

Aku menghela napas, ternyata benar dugaanku, setan duit mulai menjalankan aksinya. Biar saja tak akan kubuka pintu itu. Kalau masalah uang kemari tapi justru aku tak dianggap sebagai salah satu anggota ibu PKK. Menyebalkan.

Pintu terus diketuk disusul suara Bu Susi yang memanggil-manggil namaku. Mimpi buruk benar-benar menjadi nyata.

"Bun, ada tamu itu!" teriak Mas Ridho tapi aku diam, pura-pura tak mendengar. Biar saja Mas Ridho yang membukanya.

Aku berjalan mengendap-endap menuju ruang tamu. Rasa penasaran menuntunku untuk menguping pembicaraan mereka.

Aku mengintip dari balik pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan ruang tamu. Bu Susi berada di luar sementara Mas Ridho berdiri di mulut pintu. Aku buka telinga lebar-lebar, agar tahu apa yang mereka bicarakan.

"Salma sedang di belakang, ada apa, ya, Bu?" tanya Mas Ridho.

"Em... Itu... Bisa minta tolong dipanggilkan, Pak? Ini penting."

Telingaku mampu mendengar tapi sayang mata tak bisa melihat bagaimana ekspresi Bu Susi. Wanita itu pasti tegang. Ah, siapa suruh bergaya.

"Mungkin sedang mandi. Memang ada perlu apa?"

Hening, tak ada jawaban dari wanita itu. Apa mungkin ia pulang? Tapi kenapa Mas Ridho masih berdiri di pintu?

"Kalau Bu Salma repot, sama Pak Ridho saja kalau begitu."

Gawat! Jangan sampai Mas Ridho luluh dan memberi setan duit itu pinjaman. Aku tidak ikhlas. Ingin keluar tapi tidak mungkin, kehadiranku justru akan menimbulkan masalah baru. Bisa-bisa aku luluh dan memberinya pinjaman. Tapi diam di sini juga tak dapat menyelesaikan masalah.

"Ada apa, ya, Bu? Kelihatannya sangat penting."

Aduh ... Bagaimana ini? Bu Susi pasti akan mengatakan maksudnya.

"Saya salah menduga, Pak. Saya pikir harga tanaman-tanaman itu tiga ratus ribu. Tapi ternyata tiga juta. Saya tidak punya uang sebanyak itu, Pak. Masnya tidak mau membawa pulang barang yang sudah terlanjur saya pesan."

Ya kali Rp. 300.000,- sama dengan Rp. 3.000.000,-. Bu Susi benar-benar kelewatan. Memangnya tidak bisa lihat harga berapa yang tertera? Astaga!

"Aduh gimana, ya, Bu."

"Tolonglah, Pak. Kita, kan tetangga, seharusnya kita tolong menolong dalam kebaikan. Saya hanya pinjam lho, Pak. Bukan meminta uang, Pak Ridho."

Kalau kepepet dia ingat tetangga. Kemarin aku tidak dimasukkan dalam grup padahal semua ibu-ibu ada di grup itu. Lalu apa itu namanya tetangga?

Astagfirullah...

Aku elus dada yang bergemuruh. Ternyata rasa marah dan kesal tak juga hilang dari hatiku. Melihatnya menderita justru aku ingin tertawa. Maafkan aku Ya Allah, bukan maksud senang dengan penderitaan orang lain. Namun sikap Bu Susi memang keterlaluan, semoga kali ini ia jera.

Hidup rukun dambaan setiap orang. Bukan hanya rukun dengan keluarga tapi juga tetangga. Namun apakah keinginanku bisa terwujud? Hanya waktu yang mampu menjawab.

"Bisa, kan bantu saya, Pak. Bulan depan Mas Danu pasti ganti, kok."

Aku mencebikkan bibir. Entahlah, kenapa aku mulai tak respect dengan Bu Susi. Sikapnya justru membuatku kesal dan marah.

Ya Allah, buang prasangka buruk yang tiba-tiba menyelinap ini.

"Memangnya butuh berapa?"

Wah, gawat! Jangan sampai Mas Ridho termakan bujuk rayu saiton. Sebuah ide tiba-tiba hadir di kepala. Aku segera berlari ke dapur lalu mengambil panci dan centong sayur.

"Em... Kalau tiga juta ada tidak, Pak? Besok kalau gajian saya kembalikan," ucap Bu Susi kembali terdengar di telinga.

Gumbrang!

"Setan... Setan... Eh, setan!"

"Tunggu sebentar, ya, Bu. Sepertinya ada tikus atau kucing masuk."

"Baik, Pak. Saya tunggu di sini."

Terdengar suara langkah kaki mendekat, cepat-cepat aku berlari menuju dapur, pura-pura membersihkan piring padahal semua piring sudah bersih dan tertata rapi di rak.

"Bunda ini kenapa, to?"

"Nyuci piring, Yah."

"Heleh. Memangnya ayah gak tahu kalau Bunda habis ngintip dari balik pintu.

Ternyata sulit membohongi Mas Ridho. Lelaki itu selalu tahu apa yang ada di kepalaku.

"Bunda tidak mau meminjamkan uang? Bu Susi sedang butuh lho, Bun."

"Biarin aja, Yah. Siapa suruh iri. Bu Susi juga yang membuat aku diasingkan dari komplek ini. Untuk apa kita menolong orang yang jahat pada kita?"

Mas Ridho menempelkan kedua tangannya di pipiku seraya menatap lekat netra ini.

"Kalau keburukan dibalas dengan keburukannya, kapan selesainya, Bun? Lalu apa bedanya Bunda dengan Bu Susi?" ucapnya pelan tapi bagai halilintar yang menyambar diri ini.

Pelan tapi terasa langsung ke hati. Memang benar apa yang suamiku katakan. Namun kenapa terasa berat melupakan apa yang telah ia lakukan?

"Jangan dipinjami tapi beli saja semua tanamannya itu. Bu Susi mana bisa merawat tanaman. Pohon mangga saja mati apa lagi anggrek dan mawar."

Mas Ridho tersenyum lalu memeluk tubuhku erat.

"Makasih, Bun. Love you full," ucapnya lalu mengecup mesra kening ini.

Bunga dan tanaman buah itu segera diturunkan di halaman rumah. Mas Ridho membantu menatanya. Dia cari tempat agar halaman yang tak seberapa ini muat dengan berbagai jenis tanaman.

Aku ikhlaskan uang itu. Lebih baik menyelamatkan makhluk hidup ini sebelum mati di tangan Bu Susi.

***

Pagi-pagi aku selalu disibukkan dengan kegiatan rumah. Menulis akan kulakukan setelah semua tugas terselesaikan. Menulis memang menjadi pekerjaanku saat ini. Namun aku tidak mau pekerjaan itu membuat aku melupakan tugas seorang istri yang sebenarnya.

"Yah, tanamannya kapan terakhir kali dipupuk?"

Mas Ridho membalikkan badan, telepon yang ada dalam genggaman ia letakkan. Mas Ridho melangkah lalu berhenti tepat di hadapanku.

"Kenapa? Mas lagi sibuk, kenapa diganggu? Hem!"

"Maaf-maaf, aku hanya bertanya kapan terakhir kali tanaman-tanaman ini di pupuk?"

"Mas lupa, mungkin tiga minggu yang lalu."

"Kalau begitu tolong ambilkan pupuknya, Mas." Mas Ridho mengangguk lalu pergi menuju belakang.

Sambil menunggu aku mulai mencabuti rumput sambil jongkok.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Bukan Mas Ridho melainkan orang yang hendak lewat di jalan depan rumah.

"Kasihan, ya, Bu Susi. Dia minjemin uang tiga juga pada Bu Salma."

"Gayanya sih sok kaya. Sudah tahu suaminya pengangguran tapi justru memborong tanaman."

"Memang keterlaluan dia!"

DEG!

Aku meminjam uang pada Bu Susi, apa tidak kebalik itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status