Share

5. Liburan

Telinga kubuka lebar-lebar, tiap kata yang kelar dari dua wanita itu sungguh menyiksa hati.

Orang yang kita tolong tak selamanya berterimakasih. Nyatanya ada saja yang menusuk dari belakang. Sudah ditolong tapi justru memutar balikkan fakta.

Menghela napas, kuatur dada yang bergemuruh, hampir meledak. Beristighfar pelan agar amarah perlahan menghilang.

"Kenapa, Bun?" tanya Mas Ridho yang sudah berdiri di sampingku.

Lelaki yang menemaniku lima tahun itu menatap heran saat air bah turun dari kedua netra. Tangisku pecah kala ia menarik tubuh ini ke dalam pelukannya.

"Kenapa?" Aku diam tapi tangisku semakin menjadi.

"Malu dilihat orang, Bun. Nanti Ayah dikira KDRT lagi." Mas Ridho menghapus jejak air mata yang menempel di pipi.

Cengeng memang, tapi hanya ini yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa sakit hati.

"Ayo, masuk! Tidak enak dilihat orang."

Mas Ridho menuntunku masuk ke rumah. Pupuk yang sempat ia ambil tergeletak di halaman begitu saja.

"Duduk dulu, Bun." Mas Ridho membantuku duduk di sofa.

Mas Ridho melangkah menuju dapur. Tidak lama terdengar suara sendok yang beradu dengan cangkir. Benar saja, Mas Ridho datang sambil membawa nampan dengan dua cangkir di atasnya.

"Diminum dulu biar lebih tenang." Mas Ridho memberikan secangkir teh hangat.

Aroma melati yang berpadu dengan daun teh sedikit menenangkan. Kuteguk sedikit demi sedikit minuman itu.

"Kenapa Bunda menangis?" tanyanya ketika aku sudah tenang.

"Bu Susi, Yah... Dia bilang ke warga kalau memberikan pinjaman tiga juta karena aku memesan bunga tapi tidak punya uang. Semua orang jadi membicarakan aku, Yah. Padahal kita yang sudah menolongnya. Tapi kenapa selalu kita yang dibully?" Bulir demi bulir kembali jatuh. Rasa sesak semakin memenuhi rongga dada.

"Hanya karena itu, toh? Ayah pikir ada apa." Mas Ridho kembali menyeruput teh hangat.

Hanya... Mas Ridho bilang? Perbuatan Bu Susi sudah termasuk pencemaran nama baik. Tetapi Mas Ridho menganggapnya biasa saja. Ya ampun, terbuat dari apa hati suamiku itu?

"Hanya, Yah? Bu Susi sudah keterlaluan lho. Kita sudah menolognya, Yah tapi Bu Susi menjelek-jelekkan kita. Tau begini tak usah dibantu sekalian," ucapku kesal.

Mas Ridho menghembuskan napas perlahan, ia tatap mata ini lekat.

"Bunda tahu kenapa iklhas dan memaafkan sangat besar pahalanya?"

Aku diam tak mampu menjawab perkataannya.

"Karena keduanya sulit dilakukan. Tak usah pedulikan orang yang berbicara di belakang kita. Terus fokus melangkah ke depan. Buktikan jika ucapan mereka salah. Bukankah orang yang membenci tak akan percaya dengan penjelasan kita? Lalu untuk apa kita jelaskan? Membuang energi kan."

Lagi aku memilih diam, perkataan Mas Ridho memang benar tapi tetap saja rasa marah belum bisa hilang. Berat memang tinggal di lingkungan seperti ini. Namun mau bagaimana lagi, ini rumah kami, tempat tinggal kami.

"Bunda butuh liburan keknya?" Mas Ridho mendekat lalu mentoel daguku.

"Kapan buka restoran baru, Yah?"

"Ali baru nego harga dengan pemilik rumah, Bun."

Aku mengangguk paham, aku harus lebih bersabar sampai restoran kami dapat buka kembali.

"Bagaimana tawaran, Ayah? Mau honeymoon?" godanya.

Pipiku memerah kala Mas Ridho mendekat. Jantung kian berdebar. Ini bukan yang pertama tetapi rasanya selalu sama.

"Nah ketemu," ucapnya lalu mengambil remote televisi yang ada di belakangku. Ternyata Mas Ridho mendekat bukan ingin menciumku? Ah, kenapa pikiranku jadi ke mana-mana seperti ini?

***

Ibu-ibu komplek sudah membentuk setengah lingkaran. Mereka asyik memilih beberapa sayur yang akan dimasak hari ini.

Aku masih berdiri di depan pintu, kaki begitu berat melangkah. Apa lagi sudah ada Bu Susi di sana.

"Sayur, Bu Salma!" teriak Mas tukang sayur.

Niat hati ini kembali masuk rumah. Namun beberapa pasang mata sudah terlanjur menatapku. Mau tak mau aku harus belanja di sana. Meski aku yakin akan ada drama di pagi ini.

"Pagi ibu-ibu," sapaku.

"Bu Salma mau belanja juga?" Aku mengangguk seraya menarik paksa sudut bibir agar tercipta sebuah senyuman.

"Daging sapinya ada, Mas?"

"Ada, Bu. Mau berapa?"

"Satu bungkus saja, Mas."

Aku mengambil tempe, toge, tahu dan cabai. Hari ini aku ingin memasak soto sapi. Cocok di suasana mendung seperti ini.

"Beli daging sapi, Bu? Mau masak apa?" tanya Bu RT.

"Mau buat soto sapi, Bu RT."

"Tapi dibayar, kan ya? Nanti ngutang lagi?" sindir Bu Tatik.

"Hati-hati lho, Mas. Nanti dihutang lagi. Kemarin saja beli bunga tapi ngutang di Bu Susi." Bu Tatik melirik ke arah Bu Susi. "Benar, kan, Bu Susi?"

"I-iya, Bu," jawab Bu Susi gugup.

Sempat ia melirikku lalu pura-pura sibuk memilih sayur. Entah sudah berapa kali ia membolak-balikan sayuran tapu tak ada yang ia pilih.

"Saya tidak berhutang pada Bu Susi. Tapi saya membayar apa yang tidak bisa dibayar Bu Susi." Aku menatap wanita di sebelah kiriku. "Bukan begitu, Bu Susi?"

"Em... Itu...."

"Benar yang dikatakan Bu Salma, Bu?"

"Bu Susi beli tapi tidak bisa bayar?"

"Yang benar yang mana, sih?"

Ibu-ibu itu bersahutan sambil menatap aku dan Bu Susi bergantian. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Bu Susi kebingungan. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya.

"Saya tidak jadi beli, Mas." Bu Susi meletakkan buncis lalu berlari menuju rumahnya.

"Ini yang bener siapa?" tanya Bu Tatik lagi.

"Ya, pasti Bu Salma. Bu Salma, kan tidak pernah hutang sama saya. Tidak seperti Bu Susi yang hutang tapi tidak dibayar-bayar," jawab Mas tukang sayur.

Ibu-ibu kembali membicarakan Bu Susi. Aku memilih pergi setelah membayar belanjaan. Malas mengikuti ibu-ibu yang suka membicarakan keburukan orang lain.

***

Sesuai rencana aku dan Mas Ridho akan berlibur ke Yogyakarta. Suamiku sudah memesan hotel untuk dua hari. Honeymoon atau apa, aku hanya ingin terbebas dari Bu Susi untuk dua hari saja. Setidaknya mampu mengurangi rasa kesal yang selalu hadir karena ulahnya.

Satu persatu barang sudah masuk ke dalam mobil. Tinggal menunggu Mas Ridho yang masih berada di kamar mandi.

"Mau pergi, ya, Mbak?" tanya Alisa seraya melangkah mendekat. Di tangan kanannya ada rantang makanan berwarna putih.

"Iya, Lis. Mau ke Jogja sekalian honeymoon. Siapa tahu tokcer."

Alisa tersenyum sambil menganggukkan kepala.

"Mau kasih ini tapi Mbak Alisanya malah pergi."

"Kebetulan, bisa buat bekal di perjalanan."

"Ayo belajar masal, Mbak. Jangan tertawa kalau rasanya tidak enak." Alisa memberikan rantang itu.

"Makasih."

"Jangan lupa oleh-olehnya, Mbak." Aku mengangguk.

Setelah memberikan rantang Alisa pun pergi. Tak lama Mas Ridho keluar dari rumah.

"Lho, pa itu?"

"Bekal diperjalanan, Yah."

"Ayo, berangkat!"

Mobil melaju meninggalkan halaman rumah. Aku tersenyum membayangkan indahnya hidup tanpa ada drama tetangga sebelah.

Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, akhirnya kami sampai di hotel. Pelayan hotel membantu membawa barang-barang kami ke kamar.

Aku dan Mas Ridho berjalan bergandengan. Kami sudah seperti anak muda yang tengah kasmaran.

"Ini, Bu," ucap pelayan itu sambil meletakkan koper di kamar.

"Makasih, Mas," ucap Mas Ridho sambil memberikan uang tips padanya.

Aku rebahkan tubuh di atas ranjang, kuluruskan otot-otot yang terasa kaku.

"Suka, Bun?"

"Suka, makasih, Yah."

Mas Ridho tersenyum lalu mendekat ke arahku. Jantungku berdetak ketika wajahnya kian dekat dengan wajahku.

"Kuharap tak ada iklan yang datang."

Tok! Tok!

Aku menghela napas. Baru saja dipikirkan tapi langsung menjadi kenyataan.

"Biar aku saja, Yah."

Aku beranjak lalu melangkah menuju pintu. Dengan sedikit kesal kubuka pintu itu.

"Ka-kamu!" Aku melotot melihat orang di hadapanku. Kenapa dia ada di sini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status