Share

3.Tanaman

"Bu... Bu Salma," ucap Bu RT terbata. Mulutnya terbuka lebar hingga mie yang belum masuk ke perut jatuh kembali ke mangkuk.

Semua orang berbisik-bisik saat menatapku. Entah apa yang mereka katakan, aku tak terlalu memperhatikan.

"Lho kenapa diam? Ayo makan!" Bu Tini memberi aba-aba. Herannya semua orang kembali menikmati makanan yang terbuat dari tepung itu. Sesekali mereka menatap ke arahku. Apa takut jika aku memintanya?

"Aku dan Mbak Salma sudah dipesankan belum ini?" tanya Alisa memecah ketegangan yang sempat tercipta.

"Kenapa dia ada di sini? Mbak Sari yang kasih tau, ya?" bisik Bu Susi tapi masih terdengar jelas di telingaku.

Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Bu Sari memang istri Ketua Rukun Tetangga. Namun beliau tak berani menentang trio wek-wek yang duduk di sebelahnya. Lalu apa gunanya jabatan itu? Ah, aku lupa dia kakak ipar Bu Susi. Mana berani Bu RT menentang adik ipar yang tajir melintir, bisa berkurang uang bulanannya.

Uang bisa membeli semua termasuk harga diri. Meski tak semua orang menomor satukan uang.

"Mbak Salma mau pesan apa? Biar sekalian aku pesankan." Alisa menyenggol, mengalihkan pandanganku dari tiga wanita dengan dandanan cetar membahana itu.

"Samain sama kamu saja, Lis." Alisa mengangguk lalu melangkah menuju penjual untuk memesan mie ayam.

Dengan penuh keyakinan aku melangkah mendekat, lalu duduk tepat di depan trio wek-wek.

"Siapa yang menyuruh kamu kemari?" tanya Bu Susi dengan mata melotot ke arahku.

"Lho, bukannya ini acara komplek, ya, Bu? Nah, saya masih anggota komplek mawar." Kulirik Bu RT yang menunduk sambil meremas jemarinya!

"Eh... Itu," jawab Bu RT gelagapan.

"Kamu kan tidak masuk grup baru kenapa bisa di sini?" tanya Bu Santi keceplosan.

Aku tersenyum sinis. Sudah kuduga mereka biang dari hancurnya kerukunan warga. Entah apa mau mereka sebenarnya?

"Benar begitu Bu RT?" Aku melirik ke arah wanita gempal yang semakin menundukkan kepala.

"Kalau saya tidak dimasukkan di grup ibu PKK baru,itu tandanya saya tidak dianggap sebagai warga dong, ya? Atau saya dikeluarkan dari grup? Karena saya miskin, Bu?"

Entah mengapa kalimat itu keluar begitu saja. Aku sama sekali telah kehilangan respect pada wanita yang bergelar ibu RT itu.

"Bu... Bukan seperti itu, Bu. Saya lupa memasukkan Bu Salma ke dalam grup. Nanti biar Susi yang memasukkan ke grup lagi."

Nah, kan, jawabannya tidak sinkron. Katanya lupa tapi kenapa harus Bu Susi yang memasukkan ke grup. Sudah jelas ada KKN dalam komplek ini. Ternyata tak hanya di pemerintahan di komplek pun sudah merajalela.

"Iya, kan, Bu Susi." Bu RT melirik ke arah adik iparnya. Namun wanita itu justru mengalihkan pandangan pura-pura tak mendengar.

"Terserah Bu RT saja. Saya, kan hanya warga yang belum lama tinggal di sini," ucapku lalu melangkah menuju penjual mie ayam tadi.

"Lho, Mbak kok ke sini?" tanya Alisa."

"Aku tidak nafsu makan, Lis. Mie ayamnya buat kamu saja." Aku tersenyum lalu melangkah pergi. Percuma aku duduk tapi tidak ada yang menghargai.

Dulu saat restoran Mas Ridho rame, kedatanganku di acara PKK selalu disambut dengan senyuman. Namun setelah restoran Mas Ridho hangus terbakar semua orang mulai menjauh. Apa seperti ini watak asli mereka? Benar kata Mas Ridho, lebih baik tampil sederhana dari pada terlihat kaya tapi justru dimanfaatkan.

Sepeda motor kunyalakan, perlahan kuda besi ini melaju meninggalkan warung mie ayam viral. Kali ini bukan menuju rumah. Melainkan pergi ke toko tanaman hias.

Motor metik berwarna merah kuparkirkan di halaman toko. Pemandangan indah menyambut kedatanganku. Berbagi macam bunga dengan jenis dan warna berbeda tertata rapi di luar. Bahkan di dalam toko berukuran lumayan ini.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya penjaga toko ramah.

"Saya mau beli tanaman hias, Mbak. Tapi pilih dulu, ya."

"Silakan, jika ada sesuatu bisa panggil saya."

Aku mengangguk lalu melangkah masuk. Bunga mawar dengan berbagai warna tertata rapi. Indah, membuatku ingin memiliki semuanya.

Namun dari semua jenis bunga, bunga mawar, bunga anggrek dan kaktus yang menyita perhatianku.

"Anggrek dua, kaktus sama mawarnya tiga, Mbak."

"Boleh, yang warna putih, ya, Mbak. Nanti tolong potnya dimasukkan kardus dan diikat di jok belakang."

"Baik, Mbak."

Setelah membayar tanaman itu aku segera pulang. Kali ini motor kujalankan pelan karena terlalu banyak muatan.

Aku sampai rumah bersamaan dengan para ibu PKK yang baru saja pulang dari rumah makan. Lagi dan lagi tatapan tak suka mereka berikan padaku.

"Mbak Salma borong tanaman?" tanya Bu Aini yang berdiri di depan rumahnya.

"Iya, Bu. Untuk kegiatan di rumah agar tidak jenuh," jawabku seraya menurunkan tanaman-tanaman itu dari motor.

"Makannya punya anak, Bu. Jangan tanaman yang dirawat," ucap Bu Susi yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pagar.

Aku diam, tak lagi mampu menjawab ucapan wanita itu. Anak adalah sesuatu yang sangat sensitif untukku. Kehadirannya kunantikan meski nyatanya Allah belum jua berikan.

"InsyaAllah nanti Allah berikan dan saya akan merawatnya dengan baik," jawabku pelan seraya menahan gemuruh dalam dada.

"Usaha dong, Bu. Jangan hanya hobi merawat tanaman saja!" ucap Bu Susi lagi.

Usaha? Usaha yang seperti apa lagi. Program hamil sudah kami lakukan, pijat, atau minum obat herbal. Semua sudah kami lakukan. Namun nyatanya Allah meminta kami untuk bersabar lagi.

Lima tahun usia pernikahan kami. Namun Allah belum memberikan amanat padaku dan Mas Ridho.

"Sudah, Bu Susi. Mudah-mudahan Allah segera memberi momongan."

"Halah!" Wanita itu mencebikkan bibir lalu mengalihkan pandangan.

"Mama!" teriak anak lelaki berumur lima tahun. Seluruh tubuhnya penuh dengan lumpur. Hanya wajah yang bersih.

Tyo melangkah mendekat lalu berhenti telat di depan mamanya. Bu Susi bergidik melihat penampilan putra kesayangannya.

"Kamu dari mana, Tyo?"

"Mainlah, masak masak."

Sudut bibirku tertarik ke atas tetapi kututupi dengan tangan. Takut Bu Susi tersinggung karena aku menertawakan putra kesayangannya.

"Tyo laper, Ma. Mama pergi rumah gak ada makanan. Mama ke mana sih?"

Baru beberapa menit yang lalu dia menceramahiku. Namun nyatanya dia sendiri yang tak bisa merawat anak.

Bu Susi memang pandai berbicara tapi jika praktek, zonk!

"Sstt! Jangan kenceng-kenceng! Ayo pulang!" ucapnya lalu menarik tangan Tyo hingga anak itu meringis kesakitan.

***

Seperti biasa aku menyirami tanaman yang ada di halaman rumah. Tak lupa kucabut rumput yang tumbuh di dalam pot. Deru mobil berhenti mengalihkan fokusku.

Aku menoleh ke samping kanan. Sebuah mobil pickup berhenti di depan rumah Bu Susi. Berbagai tanaman hias dan buah ada di atas mobil pickup.

Bu Susi membeli tanaman... Apa tidak salah? Mengurus anak saja lalai apa lagi mengurus tanaman?

"Kenapa Bu Salma? Pengan, ya?"

"Tidak, Bu."

"Memang situ beli cuman sedikit, saya dong belinya banyak."

Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Dia seperti anak kecil yang iri dengan mainan temannya.

"Totalnya berapa, Mas? Sekalian sama ongkos angkutnya," ucap Bu Susi keras.

"Tiga juta, Bu."

"A-Apa, Mas? Tiga juta? Bukannya hanya tiga ratus ribu, ya?" ucap Bu Susi terbata.

Hilang ke mana angka nol-nya? Apa jangan-jangan Bu Susi mengantuk?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status