FAZER LOGINJam menunjukan pukul tujuh malam, menandai waktu makan malam yang seharusnya penuh kehangatan keluarga.
Namun malam ini, atmosfir di ruangan itu terasa begitu panas. Padahal hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang samar menembus celah jendela dapur. Udara sejuk mengalir lembut, tapi suasana di dalam rumah justru panas, menyesakkan. Tiga orang duduk satu meja, Bima di tengah, Rini di sisi kanan, dan Rania di seberang. Suara sendok yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu. Tidak ada percakapan. Hanya keheningan yang menekan, seperti udara berat yang siap pecah kapan saja. Rania menunduk, sibuk dengan makanannya. Sebenarnya, sejak tadi ia hampir tidak merasakan apa-apa, rasa asin, gurih, semua hilang. Lidahnya kelu. Tapi ia tetap makan. Karena meski hatinya hancur, ia masih tahu kewajibannya sebagai istri. Tadi sore, ia sengaja membeli lauk di setelah bertemu Reno, sekadar untuk menjaga tampak luar bahwa rumah ini masih berjalan sebagaimana mestinya. Sesekali, pandangan matanya mencuri arah ke Bima. Pria itu terlihat lelah, matanya sayu, rambutnya agak berantakan. Ada sesuatu di wajahnya yang dulu membuat Rania jatuh cinta tapi kini, justru menimbulkan luka mendalam. Rasa rindu sempat muncul… namun langsung padam ketika pandangannya beralih pada sosok Rini. Wanita muda itu duduk anggun di sebelah Bima, memegang sendok dengan santai seolah ia memang pantas berada di sana. Rania menatapnya sesaat. Rasa perih dan jijik bercampur jadi satu di dadanya. Bukan karena Rini mencuri suaminya, tapi karena Bima membiarkan dirinya dicuri. Dentang sendok kembali memecah hening. Hingga akhirnya, Bima memberanikan diri membuka suara. “Dek…” panggilnya pelan. Rania tidak langsung menoleh. Hanya setelah merasakan jemari Bima yang menggenggam tangannya, barulah ia menatap pria itu dengan dingin. “Mas minta maaf untuk semuanya ya…” ucap Bima, suaranya serak, matanya menatap dalam. “Semua sudah terjadi. Mas harap kamu bisa menerima ini.” Rania diam sejenak. Lalu, dengan lembut ia meletakkan sendoknya, menegakkan tubuh, dan menatap lurus ke arah Bima. Wajahnya tenang terlalu tenang. “Walaupun aku menolak,” katanya lirih tapi tajam, “Toh semua sudah terjadi, bukan? Ada atau tidak restu dariku, kenyataannya kalian sudah menikah.” Nada suaranya datar, tapi setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk pelan ke dada Bima. Rini menunduk pura-pura sibuk dengan piringnya, tapi senyum tipis tersungging di sudut bibirnya. Rania lalu menambahkan, kali ini dengan nada yang lebih kuat, “Tapi ingat, Mas. Aku di sini istrimu. Bukan babu kalian.” Mata Rania beralih pada Rini, tajam, menusuk. Bima terdiam. Entah bodoh atau pura-pura tidak peka, ia justru tersenyum kecil. Mungkin, pikirnya, Rania akhirnya mau menerima keadaan. Ia tidak menyadari bahwa di balik ketenangan Rania, ada badai yang mulai berputar. “Kamu tenang saja, Sayang,” ucap Bima dengan suara lembut, mencoba mencairkan suasana. “Mas janji, Rini akan bantu kamu mengurus rumah ini. Iya kan, Rin?” Rini yang sedari tadi diam, mendongak cepat. Matanya melotot sesaat, tapi ketika tatapan Bima bertemu dengannya, ekspresinya berubah tersenyum kaku. “Iya, Mas…” jawabnya pelan, memaksakan diri. Namun jelas terlihat dari wajahnya ia tidak rela. Rania yang menyadari hal itu hanya tersenyum kecil, senyum yang samar, dingin tapi mematikan. Ia meneguk air putih di gelasnya perlahan, lalu berkata tenang, “Kalau begitu, aku tunggu bantuannya.” Setelah itu, ia berdiri. Kursi bergeser menimbulkan suara seret di lantai yang menggema di ruangan sunyi itu. “Selamat makan,” ucapnya datar sebelum melangkah pergi ke arah kamar. “ Dek, tunggu. Mas belum selesai bicara. Ada hal penting yang ingin Mas sampaikan." ucap Bima menahan kepergian Rania. Mendengar itu, Rania kembali duduk. lalu menatap Bima dengan penuh tanda tanya. " Apalagi, Mas.” " Tadi pagi Mas dapat kabar, kalau Mas dipecat dari kerjaan Mas, Dek. Jadi Mas gak akan merantau lagi. Kita akan terus sama-sama.” ucapnya dengan nada di buat sesantai mungkin. Seolah kabar yang ia sampaikan adalah kabar bahagia. “Oh. Jadi kamu sekarang nganggur gitu? Terus kamu mau kasih makan istri-istrimu pakai apa?” tanya Rania, yang sengaja menekan kata istri. “Em… Itu, Sementara pakai uang tabungan kamu dulu ya, sebelum Mas dapat pekerjaan lagi.” Rania menggeleng kecil, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tidak habis pikir Rania dengan jalan pikiran Bima dengan entengnya bicara seperti itu. Apa dia lupa berapa uang yang ia kirimkan setiap minggunya? Jika dulu mungkin Rania tidak akan tega melihat suaminya kesusahan dan dengan suka rela memakai uang pribadi yang tidak Bima ketahui untuk memenuhi kebutuhan rumah. Tapi sekarang, Rania tidak akan lagi melakukan hal bodoh itu. " Maaf Mas, aku sudah tidak memiliki tabungan apapun. Uang yang selama ini kamu kirimkan hanya cukup untuk makan.” Setelah mengatakan itu, Rania kembali bangun, lalu melangkah meninggalkan dapur menuju kamar. Bima menatap punggung Rania yang menjauh. Di sisi lain, Rini mencibir pelan sambil melanjutkan makannya dengan kesal. Bima tidak menyadari bahwa senyum tipis di bibir Rania sebelum ia masuk kamar. Trang! Bunyi sendok yang beradu dengan piring menyisakan suara keras. Rini menatap Bima dengan tatapan sinis. “Tuh kan Mas, kamu lihat sendiri istri kamu. Dia seenaknya sendiri, bahkan saat suaminya kesusahan dia gak mau bantu." ucapnya dengan nada kesal. Ya jelas saja ia kesal. Bima main setuju saja dengan peraturan yang dibuat kakak madunya itu. Dan yang paling utama ia tidak mau kembali miskin lagi. Tujuannya menikah dengan Bima karena memang pria itu begitu royal dan tidak pelit apapun yang ia minta pasti akan dituruti. Tapi sekarang… “Kamu belum tahu bagaimana sifat Rania, Rin. Jadi Mas harap kamu jangan cepat menyimpulkan. Mas yakin kok Rania tidak mungkin tega melihat suaminya kesusahan." jawab Bima dengan percaya dirinya. Rini mendengus pelan, menatap sinis. “Oh jadi sekarang Mas masih bela dia? Padahal jelas-jelas dia gak sopan sama kamu!” “Dia bukan gak sopan,” potong Bima lirih. “Dia cuma… kecewa. Dan Mas yakin, Rania gak akan tega kalau Mas benar-benar kesulitan.” Rini terdiam sesaat, tapi hanya untuk menarik napas sebelum meledak lagi. “Kecewa? Hah! Jangan-jangan Mas juga mau bilang aku yang salah karena Mas kehilangan kerjaan itu?” sindirnya sambil melipat tangan di dada. “Mas pikir hidup tanpa uang itu gampang? Aku gak mau hidup susah, Mas! Aku nikah sama Mas karena Mas janji mau bahagiain aku!” Kata-kata itu menusuk, tapi bukan hal baru bagi Bima. Ia hanya menunduk, membiarkan Rini berbicara, matanya kosong menatap meja makan yang berantakan. Tanpa mereka sadari, dari arah kamar Rania berdiri diam, bersandar di pintu, mendengarkan pertengkaran keduanya. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Tapi matanya tajam dan tenang. Rini terus mengomel, tapi suara itu perlahan menghilang di telinga Rania. ____ Rania berjalan menuju tempat tidur, malam ini ia ingin tidur dengan nyenyak tanpa beban. Tapi sebelum itu Rania mengirim pesanan pada seseorang. (Aku suka cara kerjamu)“Kapan kamu mau kerja lagi, Rania?” tanya Ardi sambil mencondongkan tubuhnya.Ruangan direktur itu sepi, hanya mereka berdua. Jendela besar menunjukkan langit yang mulai mendung.Rania menatap lurus ke depan, pandangannya kosong. Ia bahkan tidak bereaksi seketika. Napas panjangnya terdengar, lalu ia menjawab pelan.“Entah… mungkin besok.”Jawabannya lesu, seolah semangatnya sudah terkikis habis.Ardi mengangguk, tapi matanya penuh iba.“Kondisi rumah… aman?” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih lembut.Rania tersenyum miris, bukan karena lucu, tapi pahit.“Ya lumayan lah ya,” ia berujar sambil menyandarkan diri. “Semalam Bima sudah bilang dia dipecat. Dan dengan tidak tahu malunya…” Rania menghentikan kalimatnya, mencoba menertawakan absurditas hidupnya sendiri, “…dia minta aku yang keluarkan uang buat kebutuhan rumah. Termasuk… memberi makan istri mudanya.”Ardi menatapnya tak percaya.“Serius?” suaranya pelan, tapi nadanya tajam.Rania mengangguk lagi, wajahnya hambar.“Benar.
“Kamu mau kemana, Dek? Sudah cantik begini?” tanya Bima ketika melihat Rania keluar dari kamar dengan wajah fresh dan pakaian rapi.Rania hanya memutar bola matanya. Dulu kalimat itu membuat pipinya merona, sekarang hanya memicu rasa muak. Ia tidak ingin menjawab, tapi rasa enggan untuk menambah drama membuatnya tetap buka suara.“Gak kemana-mana. Cuma keluar sebentar. Kenapa?” jawabnya pendek, kemudian duduk di sofa. Bima menyusul, duduk lebih dekat dari yang ia harapkan.Pria itu terus menatap istrinya, seolah sedang memandangi sesuatu yang hampir hilang dari genggamannya.Rasa rindu pada wanita yang dinikahinya sepuluh tahun lalu itu begitu membuncah, semenjak dirinya kembali belum sekalipun ia menyentuh sang istri. Jangankan tidur bersama. Hanya sekedar menggenggam tangannya saja sulit ia dapat.Rania betul-betul menjaga jarak darinya. Walau begitu ia tidak putus asa. Seperti saat ini.Ia menggeser posisi duduknya, lalu melingkarkan tangan ke pinggang Rania, memeluknya dari sam
Jam menunjukan pukul tujuh malam, menandai waktu makan malam yang seharusnya penuh kehangatan keluarga.Namun malam ini, atmosfir di ruangan itu terasa begitu panas.Padahal hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang samar menembus celah jendela dapur.Udara sejuk mengalir lembut, tapi suasana di dalam rumah justru panas, menyesakkan.Tiga orang duduk satu meja, Bima di tengah, Rini di sisi kanan, dan Rania di seberang.Suara sendok yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu.Tidak ada percakapan. Hanya keheningan yang menekan, seperti udara berat yang siap pecah kapan saja.Rania menunduk, sibuk dengan makanannya.Sebenarnya, sejak tadi ia hampir tidak merasakan apa-apa, rasa asin, gurih, semua hilang. Lidahnya kelu.Tapi ia tetap makan. Karena meski hatinya hancur, ia masih tahu kewajibannya sebagai istri.Tadi sore, ia sengaja membeli lauk di setelah bertemu Reno, sekadar untuk menjaga tampak luar bahwa rumah ini masih berjal
“Apa salah saya, Pak? Saya sudah bekerja keras untuk perusahaan, kerja saya juga bagus. Kenapa saya dipecat?” suara Bima meninggi, penuh emosi, saat ia berbicara lewat ponsel.Nafasnya memburu, tangan kanannya mencengkeram rambut, sementara yang kiri menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.Hari ini benar-benar sial. Rania dengan sikap dinginnya sudah cukup membuat kepalanya pening. Dan sekarang, kabar pemecatan dari perusahaan kontraktor tempatnya bekerja di rantau datang begitu saja, tanpa penjelasan yang masuk akal.Padahal ia sudah yakin pekerjaan itu akan menjadi tumpuan. Dengan gaji tetap dan proyek besar yang ia tangani, ia merasa bisa menghidupi dua istrinya sekaligus. Tapi sekarang? Semua itu hancur dalam sekejap.Sial! Tabungan yang ia punya pun sudah terkuras habis saat menikahi Rini. Mahar, pesta, hadiah, semuanya menguras isi rekening.“Pak! Saya mohon, pertimbangkan lagi keputusan Bapak. Saya sangat—”Tut… tut…Sambungan telepon terputus.“Brengs
Dasar pria egois!“Silakan kamu keluar dari kamar ini, Mas!” sentak Rania, suaranya bergetar menahan emosi. Tangannya teracung menunjuk pintu, wajahnya pucat tapi sorot matanya tajam menusuk.Ia tidak ingin lagi mendengar alibi suaminya yang memuakkan itu. Kata-kata Bima hanya membuat luka di hatinya makin bernanah.“Tapi, Dek…” Bima mencoba mendekat, nada suaranya memelas. “Kita belum selesai bicara. Mas mohon, terima Rini di rumah ini. Anggap saja dia seperti adikmu, ya.”Ucapan itu bagai petir yang menyambar tepat di telinga Rania. Ia menahan napas, menatap Bima dengan pandangan penuh amarah bercampur getir. Bagaimana mungkin seorang suami yang sudah menikahinya selama sepuluh tahun tega mengatakan hal itu?Dengan langkah tegas, Rania justru melenggang keluar kamar. Ia tahu, jika terus mendengarkan ucapan Bima, ia bisa benar-benar kehilangan kewarasannya.---Aroma bawang putih yang ditumis memenuhi dapur kecil. Rania berdiri di depan wajan, tangannya cekatan mengaduk nasi goreng.
Suara ketukan di pintu rumah memecah keheningan malam itu. Rania yang baru saja memejamkan mata sontak terbangun. Jantungnya berdegup lebih cepat,” Siapa yang bertamu malam-malam." gumannya pelan. Dengan langkah pelan ia berjalan ke arah pintu, menahan napas sebelum memutarnya.Begitu pintu terbuka, tubuhnya kaku.Bima berdiri di sana. Wajahnya lelah, rambutnya sedikit berantakan, dan ada lingkar gelap di bawah matanya. Seharusnya, setelah sekian lama suaminya merantau, hati Rania akan meluap dengan rindu. Tapi bukan itu yang ia rasakan.Di samping Bima, berdiri seorang perempuan muda. Tubuhnya mungil, wajahnya manis, dan senyum tipis yang terukir di bibirnya justru membuat hati Rania teriris. Perempuan itu berdiri terlalu dekat dengan Bima, seakan-akan ia punya hak untuk berada di sana.“Dek…” suara Bima terdengar berat, seperti berusaha menahan sesuatu. “Ini… Rini.”Rania tidak langsung menjawab. Matanya bergantian menatap Bima lalu perempuan itu. Rini menunduk sopan, tetapi soro







