Share

Di pecat

last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-05 11:29:30

“Apa salah saya, Pak? Saya sudah bekerja keras untuk perusahaan, kerja saya juga bagus. Kenapa saya dipecat?” suara Bima meninggi, penuh emosi, saat ia berbicara lewat ponsel.

Nafasnya memburu, tangan kanannya mencengkeram rambut, sementara yang kiri menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.

Hari ini benar-benar sial. Rania dengan sikap dinginnya sudah cukup membuat kepalanya pening. Dan sekarang, kabar pemecatan dari perusahaan kontraktor tempatnya bekerja di rantau datang begitu saja, tanpa penjelasan yang masuk akal.

Padahal ia sudah yakin pekerjaan itu akan menjadi tumpuan. Dengan gaji tetap dan proyek besar yang ia tangani, ia merasa bisa menghidupi dua istrinya sekaligus. Tapi sekarang? Semua itu hancur dalam sekejap.

Sial!

Tabungan yang ia punya pun sudah terkuras habis saat menikahi Rini. Mahar, pesta, hadiah, semuanya menguras isi rekening.

“Pak! Saya mohon, pertimbangkan lagi keputusan Bapak. Saya sangat—”

Tut… tut…

Sambungan telepon terputus.

“Brengsek!” umpat Bima keras. Ia segera menekan nomor itu lagi, namun tidak diangkat. Sekali, dua kali, hingga lima kali. Tidak ada jawaban.

Frustrasi meluap, ia menghantamkan ponsel ke meja, lalu berteriak sambil mengacak rambutnya kasar.

“Ahk…!!!”

“Mas, kamu kenapa?” suara Rini terdengar, lembut tapi penuh nada menyelidik. Wanita itu baru saja keluar dari kamar dengan daster tipis, rambutnya masih terurai berantakan.

Bima menoleh cepat, wajahnya penuh amarah bercampur putus asa. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa usang di ruang tamu, menutup wajah dengan kedua tangan.

“Aku dipecat,” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Tapi cukup untuk membuat Rini membelalakkan mata.

“Hah? Apa, Mas? Kamu dipecat?!” serunya kaget. Ia mendekat, duduk di samping Bima, lalu menepuk-nepuk paha pria itu.

“Bagaimana bisa? Kamu kan selalu bilang kerjaanmu baik-baik saja. Kalau kamu gak kerja, terus kita gimana?”

Nada suaranya meninggi, tidak lagi terdengar cemas, melainkan penuh tuntutan.

“Aku gak mau hidup miskin, Mas. Kamu janji sama aku waktu nikah, katanya mau buat aku bahagia. Sekarang gimana?”

Bima mendengus, menoleh tajam ke arahnya. “Kamu bisa diam tidak?! Aku lagi pusing!”

Wajah Rini seketika berubah. Ia menunduk, bahunya bergetar, lalu mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca. “Kamu bentak aku, Mas?” suaranya lirih, penuh drama. “Padahal aku cuma khawatir sama kita. Apa salah aku?”

Bima menarik napas panjang, menekan emosinya yang hampir meledak. Ia tahu Rini pandai bermain perasaan. “Maafin Mas. Mas gak bermaksud begitu.”

Namun ucapan itu tak mampu menutupi kenyataan yang makin menghimpitnya. Untuk pertama kalinya, Bima merasa benar-benar terpojok. Ia kehilangan pekerjaan, kehilangan kendali, dan entah bagaimana caranya ia bisa menafkahi dua wanita sekaligus.

____

Di tempat lain…

Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir terdengar samar di antara kesunyian sebuah kafe kecil di sudut kota. Aroma kopi hitam yang pekat bercampur dengan suara lembut musik jazz yang mengalun dari pengeras suara.

Rania duduk di pojok ruangan, mengenakan kemeja putih dan jaket krem. Wajahnya tampak tenang, namun matanya menyimpan bara yang sulit disembunyikan. Di hadapannya, Reno baru saja tiba, membawa tas kerja dan senyum tipis yang tak sanggup menutupi rasa cemas.

“Jadi, bagaimana? Kamu sudah mendapatkan informasi itu?” suara Rania tenang, tapi dingin.

Reno mengangguk pelan. “Sudah. Dan aku yakin kamu harus lihat sendiri.”

Ia mengeluarkan tablet dari dalam tas kulitnya, jari-jarinya cepat menelusuri layar, lalu menyodorkannya ke hadapan Rania.

Dengan cepat Rania mengambil tablet itu, matanya langsung fokus menatap deretan foto dan data yang terpampang di layar. Setiap gambar, setiap tulisan terasa seperti jarum yang menembus dadanya terutama foto Bima dengan wanita yang kini ia kenal sebagai Rini yang kini telah menjadi adik madunya.

Sejenak, Rania menahan napas. Ada tatapan kosong di matanya. Lalu, perlahan, ia menghela nafas panjang.

Reno memperhatikannya, mencoba membaca perasaan di balik wajah tenang itu.

“Wanita itu,” ujar Reno tiba-tiba,

“Tidak lebih cantik darimu.”

Ucapan itu membuat Rania mendongak, menatap Reno. Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan.

“Tapi dia berhasil merebut Bima dariku, Sen,” jawabnya lirih.

Reno menggeleng keras, hampir tidak percaya. “Astaga, Rania. Kamu masih saja mengharapkan laki-laki brengsek itu?”

Rania menatap kosong ke arah luar jendela.

“Tidak, Sen. Aku tidak mengharapkannya. Hanya saja… aku tidak bisa begitu saja melupakan perasaanku pada Bima. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Kami melewati banyak hal bersama susah, senang, semua.”

Ia berhenti sejenak, menelan ludah yang terasa getir. “Tapi sekarang, semuanya seperti sia-sia.”

Reno menyandarkan tubuhnya, menatap sahabatnya itu dengan prihatin.

“Sudahlah, Ran. Jangan tenggelam di masa lalu. Kamu harus ingat kenapa kamu melakukan ini. Fokus pada tujuanmu, membalas perbuatannya. Buat dia menyesal, tapi tetap jadi dirimu yang berkelas.”

Rania terdiam. Ia menatap layar tablet itu sekali lagi, lalu meletakkannya perlahan di atas meja.

“Bagaimana tidak kupikirkan, Sen? Aku harus melihat mereka setiap hari di rumah,” katanya lirih, suaranya nyaris pecah.

Reno spontan menegakkan tubuhnya, menatap Rania tidak percaya.

“What?! Kamu bilang apa barusan? Suamimu sudah kembali? Bersama wanita itu?”

Rania mengangguk pelan. “Mereka datang semalam. Dan ya… mereka sudah menikah disana,” jawabnya tanpa ekspresi. Tidak ada air mata, tidak ada nada getir. Hanya ketenangan yang menyeramkan.

Reno terdiam. Bahkan ia tidak bisa berkata apa pun. Rasa terkejutnya begitu besar hingga mulutnya seolah terkunci.

Sementara itu, Rania menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sebentar.

“Aku sudah tidak punya air mata lagi, Sen,” bisiknya pelan. “Yang tersisa hanya luka… dan tekad.”

“Ini gila. Rania!" sentak Seno.

“Apa kamu masih mau bertahan dengan pernikahan gila ini?"

“Astaga! Ya ampun!" Seno mengusap wajahnya frustasi.

____

“Mas…” suara lembut tapi manja memecah kesunyian itu.

Rini melangkah mendekat, mengenakan daster tipis berwarna pastel, rambutnya dibiarkan terurai. Ia bergelendot di bahu Bima, menatap pria itu dengan tatapan penuh manja.

“Mas, aku lapar…” keluhnya dengan nada manja yang dibuat-buat.

Bima menghela napas kecil, lalu menatapnya sekilas.

“Kamu kan bisa masak, Rin. Rania biasanya menyimpan bahan makanan di kulkas.” suaranya terdengar datar, berusaha terdengar tenang.

Namun Rini memajukan bibirnya kesal. “Mas, aku kan nggak tahu tempatnya. Lagian, kalau istri kedua masak, nanti dikira nyerobot wilayah istri pertama.”

Nada suaranya setengah menggoda, tapi dibalik itu ada sindiran halus yang membuat suasana semakin tegang.

Bima tidak menanggapi. Ia hanya mengusap wajahnya pelan, menahan letih dan rasa pening yang menumpuk.

Rini menatapnya dengan tajam, lalu menambahkan dengan nada lebih tinggi, “Lagian istri kamu kemana sih, Mas? Suami udah pulang dari rantau, malah keluyuran nggak jelas. Bukannya nyambut atau masakin, malah ngilang!”

Bima mendongak perlahan. Matanya menatap kosong ke arah Rini.

Ia sebetulnya kesal juga tapi lebih kepada dirinya sendiri. Karena dalam hati kecilnya, Bima tahu… Rania tidak salah.

Wanita itu hanya mencoba bertahan dari luka yang ia ciptakan sendiri.

“Biarkan saja,” ucapnya akhirnya dengan nada rendah. “Mungkin Rania butuh ketenangan.”

Rini mengerutkan kening. “Tapi Mas…”

“Sudah, Rin,” potong Bima. “Aku capek.”

Nada suara itu membuat Rini terdiam sejenak. Tapi wanita itu tidak menyerah.

Ia melipat tangan di dada, lalu mendengus kesal. “Kamu tuh ya, Mas… masih aja bela-bela dia! Padahal dia itu udah nggak hormat sama kamu!”

Bima menatap Rini sekilas. “Cukup.”

Hening kembali menyelimuti ruangan.

Rini, yang kesal karena tidak mendapat perhatian, menghentakkan kakinya keras ke lantai sebelum berbalik menuju kamar.

Brak!

Pintu kamar tertutup kasar di belakangnya.

Bima menghela napas panjang, menatap ke arah pintu kamar itu dengan pandangan kosong.

Kepalanya berdenyut, pikirannya kalut. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat masa-masa ketika rumah ini dulu penuh tawa saat Rania selalu menyiapkan makan, menemaninya duduk di teras sambil berbincang ringan tentang masa depan.

Namun sekarang?

Yang tersisa hanya keheningan, pertengkaran, dan sesal.

Ia bersandar di sofa, membiarkan pikirannya melayang.

Pikirnya, Rania akan kembali seperti dulu setelah emosinya mereda.

Bima mengusap wajahnya lagi, kali ini lebih keras.

“Rania…” gumamnya pelan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikhianati Diranjang Pernikahan   7

    “Kapan kamu mau kerja lagi, Rania?” tanya Ardi sambil mencondongkan tubuhnya.Ruangan direktur itu sepi, hanya mereka berdua. Jendela besar menunjukkan langit yang mulai mendung.Rania menatap lurus ke depan, pandangannya kosong. Ia bahkan tidak bereaksi seketika. Napas panjangnya terdengar, lalu ia menjawab pelan.“Entah… mungkin besok.”Jawabannya lesu, seolah semangatnya sudah terkikis habis.Ardi mengangguk, tapi matanya penuh iba.“Kondisi rumah… aman?” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih lembut.Rania tersenyum miris, bukan karena lucu, tapi pahit.“Ya lumayan lah ya,” ia berujar sambil menyandarkan diri. “Semalam Bima sudah bilang dia dipecat. Dan dengan tidak tahu malunya…” Rania menghentikan kalimatnya, mencoba menertawakan absurditas hidupnya sendiri, “…dia minta aku yang keluarkan uang buat kebutuhan rumah. Termasuk… memberi makan istri mudanya.”Ardi menatapnya tak percaya.“Serius?” suaranya pelan, tapi nadanya tajam.Rania mengangguk lagi, wajahnya hambar.“Benar.

  • Dikhianati Diranjang Pernikahan   6

    “Kamu mau kemana, Dek? Sudah cantik begini?” tanya Bima ketika melihat Rania keluar dari kamar dengan wajah fresh dan pakaian rapi.Rania hanya memutar bola matanya. Dulu kalimat itu membuat pipinya merona, sekarang hanya memicu rasa muak. Ia tidak ingin menjawab, tapi rasa enggan untuk menambah drama membuatnya tetap buka suara.“Gak kemana-mana. Cuma keluar sebentar. Kenapa?” jawabnya pendek, kemudian duduk di sofa. Bima menyusul, duduk lebih dekat dari yang ia harapkan.Pria itu terus menatap istrinya, seolah sedang memandangi sesuatu yang hampir hilang dari genggamannya.Rasa rindu pada wanita yang dinikahinya sepuluh tahun lalu itu begitu membuncah, semenjak dirinya kembali belum sekalipun ia menyentuh sang istri. Jangankan tidur bersama. Hanya sekedar menggenggam tangannya saja sulit ia dapat.Rania betul-betul menjaga jarak darinya. Walau begitu ia tidak putus asa. Seperti saat ini.Ia menggeser posisi duduknya, lalu melingkarkan tangan ke pinggang Rania, memeluknya dari sam

  • Dikhianati Diranjang Pernikahan   Maaf, Mas. Aku tidak memliki tabungan.

    Jam menunjukan pukul tujuh malam, menandai waktu makan malam yang seharusnya penuh kehangatan keluarga.Namun malam ini, atmosfir di ruangan itu terasa begitu panas.Padahal hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang samar menembus celah jendela dapur.Udara sejuk mengalir lembut, tapi suasana di dalam rumah justru panas, menyesakkan.Tiga orang duduk satu meja, Bima di tengah, Rini di sisi kanan, dan Rania di seberang.Suara sendok yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu.Tidak ada percakapan. Hanya keheningan yang menekan, seperti udara berat yang siap pecah kapan saja.Rania menunduk, sibuk dengan makanannya.Sebenarnya, sejak tadi ia hampir tidak merasakan apa-apa, rasa asin, gurih, semua hilang. Lidahnya kelu.Tapi ia tetap makan. Karena meski hatinya hancur, ia masih tahu kewajibannya sebagai istri.Tadi sore, ia sengaja membeli lauk di setelah bertemu Reno, sekadar untuk menjaga tampak luar bahwa rumah ini masih berjal

  • Dikhianati Diranjang Pernikahan   Di pecat

    “Apa salah saya, Pak? Saya sudah bekerja keras untuk perusahaan, kerja saya juga bagus. Kenapa saya dipecat?” suara Bima meninggi, penuh emosi, saat ia berbicara lewat ponsel.Nafasnya memburu, tangan kanannya mencengkeram rambut, sementara yang kiri menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.Hari ini benar-benar sial. Rania dengan sikap dinginnya sudah cukup membuat kepalanya pening. Dan sekarang, kabar pemecatan dari perusahaan kontraktor tempatnya bekerja di rantau datang begitu saja, tanpa penjelasan yang masuk akal.Padahal ia sudah yakin pekerjaan itu akan menjadi tumpuan. Dengan gaji tetap dan proyek besar yang ia tangani, ia merasa bisa menghidupi dua istrinya sekaligus. Tapi sekarang? Semua itu hancur dalam sekejap.Sial! Tabungan yang ia punya pun sudah terkuras habis saat menikahi Rini. Mahar, pesta, hadiah, semuanya menguras isi rekening.“Pak! Saya mohon, pertimbangkan lagi keputusan Bapak. Saya sangat—”Tut… tut…Sambungan telepon terputus.“Brengs

  • Dikhianati Diranjang Pernikahan   Sikap dingin Rania

    Dasar pria egois!“Silakan kamu keluar dari kamar ini, Mas!” sentak Rania, suaranya bergetar menahan emosi. Tangannya teracung menunjuk pintu, wajahnya pucat tapi sorot matanya tajam menusuk.Ia tidak ingin lagi mendengar alibi suaminya yang memuakkan itu. Kata-kata Bima hanya membuat luka di hatinya makin bernanah.“Tapi, Dek…” Bima mencoba mendekat, nada suaranya memelas. “Kita belum selesai bicara. Mas mohon, terima Rini di rumah ini. Anggap saja dia seperti adikmu, ya.”Ucapan itu bagai petir yang menyambar tepat di telinga Rania. Ia menahan napas, menatap Bima dengan pandangan penuh amarah bercampur getir. Bagaimana mungkin seorang suami yang sudah menikahinya selama sepuluh tahun tega mengatakan hal itu?Dengan langkah tegas, Rania justru melenggang keluar kamar. Ia tahu, jika terus mendengarkan ucapan Bima, ia bisa benar-benar kehilangan kewarasannya.---Aroma bawang putih yang ditumis memenuhi dapur kecil. Rania berdiri di depan wajan, tangannya cekatan mengaduk nasi goreng.

  • Dikhianati Diranjang Pernikahan   Datang dengan membawa madu

    Suara ketukan di pintu rumah memecah keheningan malam itu. Rania yang baru saja memejamkan mata sontak terbangun. Jantungnya berdegup lebih cepat,” Siapa yang bertamu malam-malam." gumannya pelan. Dengan langkah pelan ia berjalan ke arah pintu, menahan napas sebelum memutarnya.Begitu pintu terbuka, tubuhnya kaku.Bima berdiri di sana. Wajahnya lelah, rambutnya sedikit berantakan, dan ada lingkar gelap di bawah matanya. Seharusnya, setelah sekian lama suaminya merantau, hati Rania akan meluap dengan rindu. Tapi bukan itu yang ia rasakan.Di samping Bima, berdiri seorang perempuan muda. Tubuhnya mungil, wajahnya manis, dan senyum tipis yang terukir di bibirnya justru membuat hati Rania teriris. Perempuan itu berdiri terlalu dekat dengan Bima, seakan-akan ia punya hak untuk berada di sana.“Dek…” suara Bima terdengar berat, seperti berusaha menahan sesuatu. “Ini… Rini.”Rania tidak langsung menjawab. Matanya bergantian menatap Bima lalu perempuan itu. Rini menunduk sopan, tetapi soro

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status