Masuk“Kapan kamu mau kerja lagi, Rania?” tanya Ardi sambil mencondongkan tubuhnya.Ruangan direktur itu sepi, hanya mereka berdua. Jendela besar menunjukkan langit yang mulai mendung.Rania menatap lurus ke depan, pandangannya kosong. Ia bahkan tidak bereaksi seketika. Napas panjangnya terdengar, lalu ia menjawab pelan.“Entah… mungkin besok.”Jawabannya lesu, seolah semangatnya sudah terkikis habis.Ardi mengangguk, tapi matanya penuh iba.“Kondisi rumah… aman?” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih lembut.Rania tersenyum miris, bukan karena lucu, tapi pahit.“Ya lumayan lah ya,” ia berujar sambil menyandarkan diri. “Semalam Bima sudah bilang dia dipecat. Dan dengan tidak tahu malunya…” Rania menghentikan kalimatnya, mencoba menertawakan absurditas hidupnya sendiri, “…dia minta aku yang keluarkan uang buat kebutuhan rumah. Termasuk… memberi makan istri mudanya.”Ardi menatapnya tak percaya.“Serius?” suaranya pelan, tapi nadanya tajam.Rania mengangguk lagi, wajahnya hambar.“Benar.
“Kamu mau kemana, Dek? Sudah cantik begini?” tanya Bima ketika melihat Rania keluar dari kamar dengan wajah fresh dan pakaian rapi.Rania hanya memutar bola matanya. Dulu kalimat itu membuat pipinya merona, sekarang hanya memicu rasa muak. Ia tidak ingin menjawab, tapi rasa enggan untuk menambah drama membuatnya tetap buka suara.“Gak kemana-mana. Cuma keluar sebentar. Kenapa?” jawabnya pendek, kemudian duduk di sofa. Bima menyusul, duduk lebih dekat dari yang ia harapkan.Pria itu terus menatap istrinya, seolah sedang memandangi sesuatu yang hampir hilang dari genggamannya.Rasa rindu pada wanita yang dinikahinya sepuluh tahun lalu itu begitu membuncah, semenjak dirinya kembali belum sekalipun ia menyentuh sang istri. Jangankan tidur bersama. Hanya sekedar menggenggam tangannya saja sulit ia dapat.Rania betul-betul menjaga jarak darinya. Walau begitu ia tidak putus asa. Seperti saat ini.Ia menggeser posisi duduknya, lalu melingkarkan tangan ke pinggang Rania, memeluknya dari sam
Jam menunjukan pukul tujuh malam, menandai waktu makan malam yang seharusnya penuh kehangatan keluarga.Namun malam ini, atmosfir di ruangan itu terasa begitu panas.Padahal hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang samar menembus celah jendela dapur.Udara sejuk mengalir lembut, tapi suasana di dalam rumah justru panas, menyesakkan.Tiga orang duduk satu meja, Bima di tengah, Rini di sisi kanan, dan Rania di seberang.Suara sendok yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu.Tidak ada percakapan. Hanya keheningan yang menekan, seperti udara berat yang siap pecah kapan saja.Rania menunduk, sibuk dengan makanannya.Sebenarnya, sejak tadi ia hampir tidak merasakan apa-apa, rasa asin, gurih, semua hilang. Lidahnya kelu.Tapi ia tetap makan. Karena meski hatinya hancur, ia masih tahu kewajibannya sebagai istri.Tadi sore, ia sengaja membeli lauk di setelah bertemu Reno, sekadar untuk menjaga tampak luar bahwa rumah ini masih berjal
“Apa salah saya, Pak? Saya sudah bekerja keras untuk perusahaan, kerja saya juga bagus. Kenapa saya dipecat?” suara Bima meninggi, penuh emosi, saat ia berbicara lewat ponsel.Nafasnya memburu, tangan kanannya mencengkeram rambut, sementara yang kiri menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.Hari ini benar-benar sial. Rania dengan sikap dinginnya sudah cukup membuat kepalanya pening. Dan sekarang, kabar pemecatan dari perusahaan kontraktor tempatnya bekerja di rantau datang begitu saja, tanpa penjelasan yang masuk akal.Padahal ia sudah yakin pekerjaan itu akan menjadi tumpuan. Dengan gaji tetap dan proyek besar yang ia tangani, ia merasa bisa menghidupi dua istrinya sekaligus. Tapi sekarang? Semua itu hancur dalam sekejap.Sial! Tabungan yang ia punya pun sudah terkuras habis saat menikahi Rini. Mahar, pesta, hadiah, semuanya menguras isi rekening.“Pak! Saya mohon, pertimbangkan lagi keputusan Bapak. Saya sangat—”Tut… tut…Sambungan telepon terputus.“Brengs
Dasar pria egois!“Silakan kamu keluar dari kamar ini, Mas!” sentak Rania, suaranya bergetar menahan emosi. Tangannya teracung menunjuk pintu, wajahnya pucat tapi sorot matanya tajam menusuk.Ia tidak ingin lagi mendengar alibi suaminya yang memuakkan itu. Kata-kata Bima hanya membuat luka di hatinya makin bernanah.“Tapi, Dek…” Bima mencoba mendekat, nada suaranya memelas. “Kita belum selesai bicara. Mas mohon, terima Rini di rumah ini. Anggap saja dia seperti adikmu, ya.”Ucapan itu bagai petir yang menyambar tepat di telinga Rania. Ia menahan napas, menatap Bima dengan pandangan penuh amarah bercampur getir. Bagaimana mungkin seorang suami yang sudah menikahinya selama sepuluh tahun tega mengatakan hal itu?Dengan langkah tegas, Rania justru melenggang keluar kamar. Ia tahu, jika terus mendengarkan ucapan Bima, ia bisa benar-benar kehilangan kewarasannya.---Aroma bawang putih yang ditumis memenuhi dapur kecil. Rania berdiri di depan wajan, tangannya cekatan mengaduk nasi goreng.
Suara ketukan di pintu rumah memecah keheningan malam itu. Rania yang baru saja memejamkan mata sontak terbangun. Jantungnya berdegup lebih cepat,” Siapa yang bertamu malam-malam." gumannya pelan. Dengan langkah pelan ia berjalan ke arah pintu, menahan napas sebelum memutarnya.Begitu pintu terbuka, tubuhnya kaku.Bima berdiri di sana. Wajahnya lelah, rambutnya sedikit berantakan, dan ada lingkar gelap di bawah matanya. Seharusnya, setelah sekian lama suaminya merantau, hati Rania akan meluap dengan rindu. Tapi bukan itu yang ia rasakan.Di samping Bima, berdiri seorang perempuan muda. Tubuhnya mungil, wajahnya manis, dan senyum tipis yang terukir di bibirnya justru membuat hati Rania teriris. Perempuan itu berdiri terlalu dekat dengan Bima, seakan-akan ia punya hak untuk berada di sana.“Dek…” suara Bima terdengar berat, seperti berusaha menahan sesuatu. “Ini… Rini.”Rania tidak langsung menjawab. Matanya bergantian menatap Bima lalu perempuan itu. Rini menunduk sopan, tetapi soro







