“Apa maksud kamu, Ziya?” tanya Khayra dengan tubuh yang bergetar. Sekuat tenaga dia tetap berdiri tegak, walau baru saja mendapatkan kabar yang tidak mengenakkan.
“Aku hamil, Kak. Anak ini milik Yuda,” isak Ziya.
Degh!
“Ba-bagaimana bisa?” Khayra mendadak tidak bisa berkata-kata. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya. Dadanya terasa begitu sesak, seakan baru saja mendapat hantaman besar.
“Aku berani bersumpah, Kak. Ini anak dari Yuda, kalau Kak Khayra tidak percaya, kita bisa lakukan tes DNA,” isak Ziya.
“Ziya, Yuda adalah calon suami Kakak. Kami akan menikah dua bulan lagi. Ba-bagaimana bisa kalian—?” air mata yang sejak tadi ditahan oleh Khayra, akhirnya tumpah ruah membasahi pipinya. Hatinya benar-benar sakit sekaligus tidak percaya. Kedua tangannya berkeringat, bahkan kedua kakinya seakan sudah tidak mampu menopang tubuhnya.
“Maafkan aku, Kak,” isak Ziya menundukkan kepalanya. “Kami melakukannya dalam keadaan tidak sadar, kami sama-sama mabuk saat itu,” isak Ziya.
Khayra tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya teramat sakit, kekasih yang sudah bersamanya selama lima tahun ini, bahkan mereka akan segera menikah dalam kurun waktu satu bulan. Bagaimana bisa, adik sepupunya Ziya, bisa melakukan hal itu dengan calon suaminya.
“Kak, tolong lepaskan Bang Yuda. Biarkan dia menikahiku, aku tidak mau anak ini lahir tanpa seorang Ayah,” ucap Ziya yang berjalan mendekati Khayra. Wanita itu mengambil tangan Khayra penuh permohonan. “Lepaskan Ayah dari anakku, Kak. Biarkan aku yang menikah dengannya.”
Khayra masih bungkam, wajahnya sudah pucat. Khayra menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Ziya.
“Biarkan aku sendiri,” ucap Khayra membalikkan badannya. Dia berjalan dengan langkah gamang, tatapannya kosong dan tubuhnya terasa begitu dingin.
Khayra masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam. Tubuhnya luruh ke lantai saat itu juga dan tangisan pecah di sana.
Tega sekali mereka melakukan hal ini padanya. Kekasih yang sudah Khayra temani dari nol, lima tahun yang lalu hingga sekarang. Impian dan harapan yang sudah mereka ukir bersama kita hancur seketika. Dan Ziya, adik sepupu yang sangat dia sayangi.
“Kenapa kalian tega sekali padaku? Apa salahku pada kalian? Hiks ....”
Khayra memukuli dadanya dengan bogem tangan, dia merasakan sesak yang teramat di dadanya hingga dia kesulitan untuk bernapas.
“Aku harus bagaimana sekarang, Ma, Pa?” isaknya.
***
Sesampainya di kantor, Khayra mengambil duduk di kubikelnya, salah satu rekan kerjanya baru saja datang dan menyapa Khayra.
“Tumben nih datang pagi banget,” seru Sunny saat menempati tempat duduknya.
“Ada yang lebih pagi dariku. Mungkin dia datang setelah salat subuh,” jawab Khayra dan berhasil membuat Sunny terkikik.
“Pak Kaivan memang selalu stand by. Bisa jadi dia berangkat ke kantor setelah tahajud,” kekeh Sunny.
“Khayra, ke ruangan saya!” panggil Kaivan yang baru saja keluar dari ruangannya.
Sunny memberi kode mata pada Khayra untuk segera menemui singa lapar itu, kalau tidak mau diamuk nantinya.
Khayra beranjak bangun dan berjalan memasuki ruangan Kaivan. “Anda memanggil saya, Pak?” tanya Khayra.
“Kamu selesaikan laporan ini. Itu untuk meeting pak Darmono besok pagi, aku ingin selesai siang nanti,” perintah Kaivan dengan nada datar.
“Baik, Pak.” Kaivan melihat Khayra, wajah wanita itu terlihat sangat sembab, walau tertutup make-up, tetapi masih terlihat bekas dia menangis di sana.
Khayra berlalu pergi meninggalkan ruangan Kaivan. Wanita itu kembali duduk di kursinya dan mulai membuka berkas di tangannya.
Sampai sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Khayra mengambil ponselnya dan melihat pesan masuk dari Yuda, kekasihnya.
“Yang ... aku mau bicara, pulang kerja nanti, aku jemput, ya.” Itulah isi pesan dari Yuda.
Khayra tertegun. Dia belum siap untuk bertemu dan bicara dengan Yuda. Hatinya masih sangat sakit. Dadanya terasa sesak. Hatinya sudah hancur lebur tak berbentuk lagi.
Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah hubungan. Mereka sudah melakukan pertunangan, tapi pada akhirnya Khayra hanya menjaga jodoh wanita lain.
Khayra segera menyeka pipinya karena kaget oleh sesuatu yang diletakkan di atas mejanya. Wanita itu menengadahkan kepalanya dan ternyata Kaivan berdiri di depannya, memberikan satu gelas berisi kopi.
“Fokus bekerja.”
Setelah mengatakan itu, pria itu berlalu pergi meninggalkan Khayra dalam kebingungan. Atensinya tertuju pada gelas berisi kopi susu di depannya. Dia juga melihat ke meja Sunny yang ternyata wanita itu tidak ada di mejanya. Khayra bahkan tidak menyadari pergerakan mereka berdua.
Khayra mengetik sesuatu di ponselnya. “Beri aku waktu, aku ingin menenangkan diriku. Akan kuhubungi kalau aku sudah siap bertemu.”
Wanita itu menyeka air matanya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. “Fokus, Khayra,” gumamnya dan mulai bekerja.
Dia mengambil gelas yang diberikan Kaivan tadi dan meneguknya. “Em?” dia tertegun sesaat setelah meminumnya sedikit. “Rasanya enak, manisnya pas dan ada rasa creamy,” gumamnya.
Tanpa terasa waktu berlalu hingga Khayra menyelesaikan dokumen yang diminta oleh Kaivan tadi pagi. Ia segera menyerahkannya dan menghela napas panjang setelah keluar dari ruangan bosnya itu.
Namun, belum lama kembali ke kubikelnya, sebuah suara bariton mengejutkan semua orang di ruangan.
“Laporan macam apa ini, Khayra!” Kaivan melemparkan berkas ke atas meja membuat Khayra tersentak kaget. Wanita itu menundukkan kepalanya.
“Bagaimana saya bisa memberikan laporan ini pada direktur kalau isinya seperti ini?” tanya Kaivan.
Suara keras Kaivan yang memarahi Khayra terdengar menggelegar. Karyawan lain berusaha abai, mereka sudah sangat memahami manajernya. Kaivan memang terkenal sebagai manajer paling galak di perusahaan. Tetapi dia juga dikenal sebagai sosok yang sangat melindungi anak buahnya, dia tidak akan membiarkan pihak atau divisi lain memperlakukan anak buahnya tidak adil.
“Maafkan saya, Pak. S-saya akan perbaiki lagi,” jawab Khayra masih dengan kepala tertunduk.
“Mudah sekali kamu bilang maaf. Sudah saya bilang, fokus bekerja. Profesional, walau kamu punya masalah pribadi. Jangan bawa-bawa ke pekerjaan!” bentak Kaivan.
“Saya akan perbaiki lagi, Pak.” Khayra masih menahan dirinya untuk tidak menangis karena bentakan Kaivan.
Kepalanya sudah mau pecah memikirkan masalahnya, dan sekarang dimarahi atasannya. Memang benar, Khayra selalu langganan kena marah Kaivan, tapi kali ini dia tidak bisa tahan. Pertahanannya sedang goyah.
“Selesaikan. Jangan pulang sebelum selesai.” Kaivan menatap Khayra dengan tajam di depannya.
“Ba-baik, Pak.”
Khayra mengambil berkas di atas meja dan membawanya kembali ke kubikel. Gadis itu menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskannya perlahan.
“Kamu nggak apa-apa, kan? Pak Kai kayaknya lagi datang bulan, makanya marah-marah terus,” gurau Sunny membuat Khayra tersenyum kecil. Dia mengerti kalau rekannya itu ingin menghiburnya, tapi saat ini … Khayra hanya ingin lekas pergi dari sini.
Sepanjang sisa hari itu, Khayra melakukan tugasnya dengan hati-hati. Dia berulang kali memeriksa ulang dokumen yang harus diperbaiki, agar tidak ada yang terlewat dan mengundang amarah bosnya lagi.
Khayra menghela napas lega begitu semuanya selesai tepat waktu. Ia tidak menunggu lama dan langsung pulang begitu waktunya tiba. Dadanya sudah terasa sangat menyesakkan dan Khayra tidak bisa menahannya lagi.
Namun, saat hampir sampai di kediamannya, langkah kaki Khayra berhenti begitu mendapati sosok tidak asing yang berdiri tak jauh darinya.
“Ngapain kamu di sini?!”
“Kay, tunggu dulu!” Yuda segera menahan tangan Khayra yang berlari menjauh dari rumahnya begitu melihat mantan kekasihnya itu. “Lepasin!” Khayra menepis tangan Yuda dengan kasar. Mereka tiba di taman yang tampak sepi, tak jauh dari kediaman gadis itu. “Kay, maafin aku. Malam itu terjadi begitu saja. Aku khilaf, aku terpengaruh alkohol saat itu, Kay.” Yuda berusaha membujuk Khayra dan menjelaskan semuanya. “Ya, dan khilafmu itu sudah membuat dampak sejauh ini, Yud!” Khayra menyeka air matanya. Tubuhnya bergetar hebat, sekuat tenaga dia menahan dirinya untuk tidak memukul pria di depannya. “Aku tahu. Ini benar-benar di luar dugaan. Padahal aku sudah memakai pengaman—” Yuda tersadar akan apa yang baru saja dia katakan. Khayra memalingkan wajah seraya menyeka air mata di pipinya. “Kamu bisa menyembunyikan api, tapi tidak dengan asapnya, Yud. Entah memang efek mabuk atau tidak, sempat-sempatnya ingat memakai pengaman!” ucap Khayra benar-benar marah pada pria di depannya itu.“Kita ma
Khayra menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya sudah dipoles natural, dia mengenakan kebaya berwarna pastel sesuai tema dari acara yang akan diselenggarakan hari ini. Tanpa terasa tibalah acara pernikahan Yuda dan Ziya. Dua orang munafik kalau menurut Khayra. ‘Kamu kuat, Khayra,’ batin Khayra walau akhirnya air mata itu kembali luruh membasahi pipinya. “Ku mohon, berhentilah menangis, riasannya bisa rusak,” gumamnya bercermin dengan menyeka air mata memakai tissue. Tetapi percuma saja karena air mata itu malah semakin deras luruh membasahi pipi. Khayra menutup wajahnya menggunakan dua tangannya. Dia ternyata tidak sekuat itu untuk menghadapi ujian ini. Sakit sekali rasanya, sampai sulit sekali untuk bernapas. “Kay, Tante tidak pernah meminta bayaran apa pun padamu. Tante dan Om menerima dan merawatmu selama ini tanpa mempermasalahkan biaya yang sudah kami keluarkan untuk kamu. Bagaimana pun, kamu keponakan kami. Tapi kali ini saja, Tante mohon sama kamu, Kay. Tante
“Pagi semuanya,” sapa Khayra saat baru saja sampai di kantor. “Pagi, Ra,” jawab rekan-rekannya yang lain. Khayra menoleh ke dalam ruangan Kaivan di mana pria itu sudah duduk manis di singgasananya dengan sorot mata tajam mengarah pada Khayra. Khayra langsung memalingkan wajahnya dan menduduki kursi. “Hari ini katanya akan ada yang di minta ke area,” bisik Sunny. “Kenapa? Apa ada masalah jaringan?” tanya Khayra. “Tidak ada, hanya ada, katanya akan ke proyek,” jawab Sunny. “Paling Cecep lagi yang diajak, kan?” tanya Khayra. “Aku tidak tahu,” jawab Sunny. “Khayra, ke ruangan saya,” panggil Kaivan. Khayra dan Sunny saling memberi kode lewat mata. Khayra bingung kenapa dia yang dipanggil, biasanya yang menemani Kaivan ke area adalah Cecep. “Bapak memanggil saya?” tanya Khayra saat sudah berada di dalam ruangan Kaivan. Kaivan melihat ke arah Khayra dengan intens. “Kamu ikut saya ke area,” ucap Kaivan. “Kenapa saya?” tanya Khayra terlihat bingung. “Memangnya kenapa kalau kamu?
“Kamu sudah menunggu lama?” tanya Kaivan yang menemui Khayra di sebuah restoran yang berada tidak jauh dari kantor. “Tidak, Pak.” “Sudah pesan makan?” tanya Kaivan. “Sebelum makan, aku ingin membahas syarat-syarat dariku,” ucap Khayra merogoh sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Kaivan. Kaivan membuka amplop dan membaca isi surat kontraknya itu. “Syarat yang pihak kedua ajukan : Pertama, Menghargai keputusan dan kehidupan pribadi masing-masing pihak. Kedua, Pihak kedua tidak akan melakukan tugas seorang istri yang melayani suaminya. Ketiga, Setelah pihak kedua hamil, maka pihak pertama tidak berhak menyentuh pihak kedua. Keempat, Pihak kedua tidak mau berhenti bekerja di Perusahaan. Kelima, Menjaga kesetiaan selama pernikahan masih berlangsung. Keenam, Langsung gugat perceraian saat bayi sudah lahir. Ketujuh, Bayi akan bersama pihak kedua sampai usia minimal lima tahun.” “Aku tidak setuju,” ucap Kaivan saat membaca isi syarat itu. “Bagian mana yang tidak kamu setuj
“Bagaimana kalian bisa bersama?” Yuda melihat ke arah Khayra dan Kaivan secara bergantian. Khayra sendiri tidak bisa berkata-kata, hatinya bergemuruh karena emosi. Seikhlasnya dia menerima kenyataan, tidak membuatnya melupakan dan memaafkan pengkhianatan yang sudah dilakukan pria di depannya itu. “Khayra, ada hubungan apa kamu dengan Bang Kai? Apa semua ini?” tanya Yuda mendekati Khayra, tetapi baru saja akan melangkah, Kaivan menahan dada pria itu dengan telapak tangannya. “Jangan coba-coba mendekatinya,” ucap Kaivan yang kini berjalan ke samping Khayra yang masih berdiri di tempatnya. Kaivan tahu kalau tubuh Khayra bergetar dengan kedua tangan yang mengepal. Wanita itu sedang menahan dirinya dari rasa sakit, amarah dan dendam. Dengan lembut, Kaivan merangkul Khayra dan menarik tubuhnya untuk semakin rapat dengannya. “Kamu bisa lihat bagaimana kedekatan kami, Yuda,” jawab Kaivan dengan sorot mata tajam. “Khay? Apa
Tok! Tok! Tok!“Khayra!” panggil Ratna dari luar sana.Khayra tahu apa yang akan dibicarakan oleh Tantenya itu. Wanita itu kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Dibukanya pintu tersebut dan melihat sosok Ratna sudah berdiri di luar kamar.“Kamu belum tidur, kan? ayo bicara sebentar dengan Om dan Tante di ruang keluarga,” pinta Ratna.“Iya,” jawab Khayra dan mengikuti Ratna menuju ruang keluarga.Khayra duduk di sofa, tepat di depannya ada Andi dan Ratna yang menatapnya dengan intens.“Khayra, apa kamu serius akan menikah dengan atasan kamu itu?” tanya Ratna.“Iya, Tante.”“Begini, Khayra. Sebenarnya kami tidak akan mencampuri urusan pribadi kamu. Hanya saja, kami tahu hubungan kamu dengan Yuda dan pernikahan Yuda dengan Ziya. Apa kamu yakin akan menikah dengan atasan kamu itu? pikirkanlah dengan matang, menikah bukan untuk mencari pelampiasan. Pernikahan itu hidup bersama seumur hidup,” nasihat Andi.“Aku sudah memikirkannya dengan matang, Om. Dan aku me
“Khayra!” Tubuh Andi ditarik paksa menjauh dari Khayra yang langsung bangun dan memeluk dirinya sendiri dengan rasa sakit dan pilu. “Bisa-bisanya kalian berzina di rumahku!” pekik Ratna sangat emosi. Andi merapikan pakaiannya. “Dia yang merayuku, Sayang.” Khayra menatap Andi dengan tatapan kaget dan penuh kebencian. “Dasar wanita murahan!” teriak Ratna dan mendekati Khayra dia memukuli Khayra yang berusaha melindungi kepalanya. “Apa Tante buta?” pekik Khayra mendorong Ratna menjauh darinya. “Dia yang hampir memperkosaku!” “Bohong, Sayang. Lagipula seorang lelaki tidak akan tergoda kalau tidak digoda,” ucap Andi benar-benar memutar balikkan fakta. “Aku gak mau tahu. Sekarang juga, keluar dari rumahku! Tidak sudi aku menampung wanita murahan sepertimu! Kamu menggoda suamiku karena kamu gagal nikah sama Yuda?” pekik Ratna benar-benar marah besar. “Aku sudah menampungmu di sini, Khayra. Tapi apa bala
“Ugh!” Khayra terbangun dari tidurnya. Dia meringis saat kepalanya terasa sakit dan berat. “Ah, aku harus bekerja,” gumamnya beranjak bangun dari posisinya. Dia melihat sekeliling ruangan yang asing baginya. “Aku ada di mana?” Gadis itu berusaha mengingat kembali apa yang terjadi kemarin. Hingga potongan demi potongan kejadian kemarin berputar di kepalanya. “Jadi aku ada di rumah Pak Kaivan,” gumamnya bangkit dari duduknya. Dia menyadari kalau dia masih memakai pakaian yang semalam, Kaivan tidak menyentuhnya sama sekali. Khayra masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia merasa tubuhnya lengket, dan merasa jijik karena sentuhan Andi. Wanita itu membiarkan air dingin menghujani tubuhnya. Dia tidak peduli seberapa menggigil tubuhnya itu, dia hanya berharap rasa sakit di hatinya ikut membeku karena dingin ini. Ucapan Ratna kembali terngiang di kepalanya, setega itu mereka padanya yan