Di tengah orang-orang yang sibuk mencemooh Zahira, ada sebuah tangan yang terulur di depan wajahnya.
Zahira mengerjabkan matanya berkali-kali untuk membendung air matanya yang terus mengalir. Lalu meraih uluran tangan itu. Gadis itu kini berdiri dengan kepala tertunduk tanpa menatap wajah pria yang menolongnya, hanya tanda lahir di atas jempol pria itu yang dia lihat. "Terima kasih," ujar Zahira sambil membungkuk. Suara bariton pria bernama Daniswara Biantara mengalun dingin dan sedikit ketus, "Pergilah ke tempat di mana kamu dihargai! Jangan jadi orang bodoh yang gampang tertindas!" Zahira mendongak, tatapannya tertuju pada punggung pria yang berjalan ke depan. Sambil menghapus air matanya, Zahira bergumam, "Tadi itu nasehat atau aku habis di marahi?" Zahira menganggapnya sebagai nasehat. Jadi tanpa berpamitan, wanita muda itu memilih pergi sambil di iringi sindiran dari tamu undangan lainnya. "Pantas Emran meninggalkannya dan memilih Talitha. Lihat saja kelakuannya!" "Benar! Sangat memalukan!" Masih banyak cibiran yang membuat hati Zahira sakit. Jadi untuk pergi dari tempat itu adalah keputusan yang benar. Di sisi lain, Daniswara masuk ke dalam mobil mewahnya. Dia memberikan perintah, "Robi ... antar aku ke club!" Robi yang duduk di kursi kemudi menoleh, dengan sopan dia bertanya, "Ini sudah malam, Tuan." Daniswara mengendurkan dasinya dengan kasar, lalu berkata dengan galak, "Apa aku anak kecil?" "Tapi, Tuan baru- Daniswara yang menyela, "Turuti kataku!" titahnya dengan nada galak. Pria itu sangat kesal setelah melihat pertunjukan drama yang terjadi barusan. Kehadirannya sebagai tamu undangan karena dia dan Emran adalah teman lama. Robi meringis, begitu pula Sita, sang sekertaris yang duduk di sebelah Robi. "Baik Tuan!" Robi langsung menyalakan mobil. Mobil mewah itu berjalan membelah malam, Robi maupun Sita melirih kaca sepion tengah untuk melihat ekspresi Tuannya yang galak. Wajah tampan itu terlihat kesal, kedua alisnya menukik tajam. Pria itu duduk sambil menikmati pemandangan jalan dari kaca jendela mobil dan sesekali meraup wajahnya dengan kasar. "Sepertinya aku pernah lihat wanita bodoh itu. Tapi di mana?" gumam Daniswara dalam hati. Mobil mewah itu berhenti di depan pintu masuk. Papan nama club itu terpampang jelas, Kejora Club. Sita mengekor di belakang Daniswara sedangkan Robi baru saja memberikan kunci mobil pada petugas valet parking. Robi berlari kecil untuk mengejar Sita dan Danis. Daniswara seketika memutar tubuhnya saat merasa di ikuti, "Kalian mau apa?" tanyanya. Sita dan Robi hanya bisa menelan ludah dan tersenyum. Mereka sudah terbiasa dengan nada galak bosnya. Sita membuka mulutnya, "Kami- Ucapan Sita terpotong, "Kamu pulang! Dan kamu Robi, antar dia. Setelah itu kamu temani aku minum!" "Baik, Tuan!" ujar Robi. "Kak ... kata Ibu- "Pulang!" pekik Daniswara. Lalu pria itu berkacak pinggang sambil melotot. Sita meringsut, bulu kuduknya meremang. Akhirnya baik Sita ataupun Robi, mereka dengan cepat pergi dari hadapan Danis. Mereka tidak ingin merusak suasana hati Tuannya yang memang sudah rusak. Setelah Danis masuk ke dalam club. Sebuah taksi berhenti, seorang wanita muda keluar. Wanita itu memakai gaun pesta berwarna pastel sepanjang mata kaki. Namun terlihat sedikit kotor di area perutnya. Zahira mengelus pundaknya yang terbuka karena merasa sedikit malu, "Harusnya tadi aku bawa jaket," gumamnya sambil melangkah maju. Dengan langkah yang penuh percaya diri, Zahira memasuki tempat keramat itu. Saat masuk, Zahira di sambut dengan suara musik yang begitu keras dan lampu-lampu kerlap-kerlip yang membuat matanya sakit. Mata noraknya terbelaklak, mulutnya menganga, ini kali pertama dia melihat tempat seramai dan semewah ini. Di lantai dansa pria dan wanita menari dengan riang seperti tanpa beban dan tidak ada batasan ataupun peraturan. Zahira mengerjab-erjabkan matanya yang bengkak. Karena ini adalah pertama kalinya Zahira memasuki tempat itu, jadi wanita itu sibuk melihat ke sekelilingnya. Dia bersikap seperti sedang berkeliling di musium terlihat begitu antusias. "Aku akan bersenang-senang dan melupakan segalanya!" batin Zahira. Wanita itu memantapkan dirinya sambil meremas tas tangan yang dia bawa. Zahira mengabaikan tatapan yang memandangnya. Wanita itu berjalan menuju meja bartender dan duduk di sebuah kursi. "Kak ... Kak ... " panggil Zahira setengah berteriak. Seorang Bartender muda menoleh, "Mau pesan apa, Kak?" tanyanya dengan ramah. "Mmm ... jus jeruk ada?" tanya Zahira sambil mengerlingkan mata. Bartender itu terdiam sejenak lalu mengangguk dan menunaikan tugasnya. "Eh ... tunggu!" ujar Zahira dengan canggung. Bartender itu menoleh dan menatap wanita muda yang sibuk menggaruk kepalanya. Wajahnya yang cantik terlihat menggemaskan. Dengan ragu Zahira berkata, "Minuman yang ada kadar alkoholnya saja!" "Berapa persen?" tanya Bartender. Pria itu mengulas senyum tipis. Dia merasa yakin bahwa wanita yang ada di depannya pasti baru pertama datang ke tempat seperti ini. Jadi dia sedikit menggodanya. Untuk sejenak Zahira terdiam dan merasa bingung. "75 persen, hehe ... " Zahira tertawa kikuk. "Ohok!!" Seorang pria yang duduk di sebelah Zahira tersedak, dia langsung menoleh pada wanita koyol di sebelahnya sambil mengelap mulutnya yang basah. Bartender itu menahan tawanya, "Itu untuk kamu minum atau untuk membunuh kuman, Kak?" "Ya udah deh! Apapun yang kamu berikan akan aku minum. Yang penting ada alkoholnya. Malam ini aku harus mabuk!" ujar Zahira dengan penuh semangat. Dua tangannya terkepal sejajar pundaknya layaknya memberi semangat. Bartender itu akhirnya tertawa, saat mendengar jawaban polos dari wanita konyol di depannya. Walaupun mata gadis itu terlihat bengkak tapi tidak mempengaruhi kecantikannya. Riasan naturalnya membuat wanita itu tampak seperti peri. Peri yang tersesat!Pertanyaan itu cukup membuat Zahira termangu beberapa detik, "Maksudnya?"Wulan mengerutkan bibirnya dan wajahnya berubah murung lalu berkata dengan nada sedih, "Ehhh ... Talitha sangat sibuk, dia tidak pernah di rumah dan tidak pernah mengurus putraku. Jika di rumah dia hanya malas-malasan."Wulan menceritakan kehidupan Emran dan Talitha yang tidak ada hubungan dengan Zahira, membuat gadis itu merasa canggung. Zahira mengusap tengkuknya lalu berkata sambil tersenyum tipis, "Wajar si ... Talitha kan sedang hamil."Melihat ekspresi Zahira yang polos dan tidak terpengaruh membuat Wulan merasa kesal. Wanita paruh baya itu hanya menggertakkan giginya lalu kembali berpura-pura. Wulan kembali menghela nafas dan terlihat tidak berdaya. "Aku juga pernah hamil, tapi aku merasa dia aneh. Dia kadang terlihat dingin dan acuh pada Emran. Aku juga dengar rumor bahwa dia sedang dekat dengan pria lain. Jangan-jangan anak itu bukan milik putraku."Setelah mengatakan hal buruk pada menantunya yang dulu
Melihat Zahira ketakutan, Wulan menggigit bibirnya dengan canggung dan berkata dengan lembut dan hati-hati, "Boleh masuk, Ra? Ada hal yang ingin aku katakan." Zahira tercengang. Apakah matahari terbit dari barat? Kenapa nyonya angkuh seperti Wulan akan bersikap rendah hati seperti ini. Semakin dipikirkan, semakin terasa mustahil. Melihat Wulan begitu sopan, Zahira semakin merasa gelisah. Dia berkedip beberapa kali sambil memegang gagang pintu dengan kuat. Dia masih ingat setiap interaksi bersama Wulan, mereka tidak pernah berakhir menyenangkan. Jadi Zahira harus membuat alasan karena tidak ingin berduaan saja dengan ibu mantan pacarnya yang problematik itu. Setelah menenangkan diri, Zahira berdehem dan mulai merangkai alasan. "Tante, kebetulan tempat tinggalku masih berantakan. Sebentar lagi orang yang akan membereskannya akan segera datang. Bagaimana kalau kita mengobrol di kafe depan?" ujarnya dengan ragu. Jika ada interaksi di antara mereka berdua harus di depan umum agar ti
Karena terlalu hanyut dalam suasana, Danis dan Zahira tidak mendengar ketukan pintu. Mereka masih tenggelam dalam perasaan yang menggebu-gebu.Setelah beberapa ketukan tidak ada respon, Zaidan pun menjadi panik. Dia takut hal buruk terjadi pada adik kesayangannya. Zaidan pun membuat ancang-ancang dan mendobrak pintu dengan tubuhnya yang besar.Brak!!!Zahira dan Danis langsung terperanjat, mata mereka terbelaklak dengan wajah pucat. Saat melihat sosok yang berdiri dengan garang."Zaidan!""Kakak!"Melihat pemandangan yang mengotori matanya, mata Zaidan melotot dan hampir keluar dari tempatnya. Adik kesayangannya yang lugu dan polos sedang bermesraan dengan sahabatnya sendiri tanpa ikatan resmi. Sebagai Kakak dia tidak terima. Suara pria itu pun menggelegar penuh amarah, "Apa-apaan ini!" Zahira langsung mendorong tubuh Danis, dia langsung merapikan jubah mandinya dan duduk bersimpuh di atas ranjang. "Kami ga ngapa-ngapain, Kak!" ujarnya dengan suara bergetar.Danis berdehem dan wajahn
Danis menundukan kepalanya, wajahnya sedikit masam, "Apa?""Eh! Kak Danis ga boleh nyerah dong!" ujarnya sambil mengelus lengan Danis. "Kakak mau tau, kenapa aku ga mau tinggal sama Kak Zaidan?"Danis merangkul Zahira dan menggiringnya ke sisi ranjang. Dia masih menampilkan ekspresi sedih dan putus asa. "Kenapa?" tanya Danis dengan lirih.Mereka berdua duduk di sisi ranjang, Zahira membiarkan Danis merangkul pundaknya. Gadis itu mulai bercerita, "Kak Zaidan itu kan gila. Setiap teman yang manfaatin atau ngebuli aku pasti akan di buat babak belur, bahkan ada yang sampai patah tulang. Apalagi cowok yang dekati aku, habis sama dia. Makanya aku milih kabur dan ngancem ke Kak Zaidan, kalau dia berani ikut campur urusanku, aku tidak mau pulang."Danis tidak peduli, baginya cerita itu tidak lah menyeramkan. Bahkan dia juga seperti itu. Buktinya dia menonjok wajah Zaidan saat dia pikir sahabatnya itu menaruh rasa pada Zahira. Tapi untuk menarik simpati Zahira yang polos itu, dia berpura-pura
Danis mencekal lengan Zahira, nadanya kembali galak, "Ra ... kamu ngusir aku?" Zahira menggigit bibirnya, "Kamar yang satunya tidak pernah aku bersihkan, jadi banyak debu. Kakak pulang saja. Lagian kita cuma pacar bukan suami istri," ujarnya dengan canggung sambil mencoba melepaskan diri. Danis melepas cekalannya, dia duduk di sisi ranjang sambil bersedekap angkuh. Wajahnya terlihat dingin dan menatap Zahira dengan kedua alis menukik tajam. "Dari ekspresimu tadi. Kamu ga serius nerima aku ya? Kamu ga cinta apa sama aku?" tanyanya dengan nada kesal. Zahira menggaruk kepalanya, dia melirik jam dinding. Matahari sudah hampir bangun dari peraduan, tapi dia belum tidur juga. Zahira bahkan belum ganti baju atau menyisir rambutnya. Gadis itu kembali menutup jendela lalu berkata dengan ragu, "Mau jawaban jujur atau bohong?" Wajah Danis langsung berubah masam, "Jujur!" Dengan malu-malu Zahira menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Aku emang belum cinta sama kamu. Hehe." Tawa garing Z
"Emang cuma kamu saja yang boleh marah tanpa alasan. Huh!" ujar Danis sambil tersenyum. Senyuman palsunya terlihat jelek dan membuat Zahira mencebik. Melihat reaksi Zahira, Danis hanya menggelengkan kepala sambil menghisap rokoknya, asap keabuan itu menyeruak. "Kakak sudah tua dan asap rokok tidak baik untuk kesehatan! Kakak ingin cepat mati ya? Bukannya jawab pertanyaanku malah bengong!" Zahira terus mengomel lalu membuka pintu jendela agar asap rokok itu bisa keluar. Karena hari sudah pagi, udara yang masuk sangat dingin. Tubuhnya menggigil, dia ingin berganti baju tapi takut Danis mengambil kesempatan saat dia lengah. Mendengar Zahira terus merepet tanpa henti, Danis yang frustasi berdiri di depan jendela. Kepalanya sedikit menyembul keluar dan menikmati pemandangan kota dengan nanar. Angin yang masuk menyibak rambutnya yang mulai panjang. Karena sering dikatai tua oleh Zahira, Danis memotong rambutnya dengan gaya mulet dan membuatnya semakin tampan dan berkarisma. Apalagi eksp