Klekk!
Pintu kamar terbuka, seorang pria tampan rupawan menggunakan piama masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Aroma harum itu sampai ke hidung Zahira dan membuat perutnya lapar. "Kamu sudah bangun, sayang?" tanya Danis dengan senyum merekah. Pria itu berjalan dengan anggun. Tapi terlihat horor di mata Zahira yang mulai berair. "Kamu siapa?" tanya wanita itu dengan suara bergetar. "Jangan bilang kamu om-om yang udah nyulik aku ya?" tuduhnya sambil menunjuk jari. "Wah ... habis manis sepah di buang dong!" celetuk pria asing itu dengan wajah sedihnya. "Jangan bercanda, Pak?" ujar Zahira dengan suara tercekat. "Bapak siapa?" tanyanya sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. "Bapak ga niat ngurung aku kan kaya di film-film!" Danis menaruh nampan di atas nakas, mata Zahira hanya bisa mengikuti pergerakan pria asing itu dengan waspada. Pria itu mengerucutkan bibirnya, lalu tubuhnya menunduk dan berbisik, "Aku gigolo yang kamu pesan tadi malam di club!" Seperti tersambar petir, Zahira memucat, "Jadi itu bukan mimpi?" gumannya. "Bukan! Maaf ya, ternyata kamu masih virgin," ujar Danis dengan raut wajah bersalah. Lalu Danis menghela nafas, "Bagaimana dengan bayaranku?" tanyanya tanpa malu. Zahira hanya bisa mengerjabkan matanya yang memanas. Dia baru saja kehilangan mahkotanya dan juga harus bayar jasa gigolo. "Berapa?" tanya dengan suara tercekat Danis menggigit bibirnya, menahan tawa yang dia tahan, "Sesuai perjanjian!" "Berapa? Aku bahkan tidak ingat!" ujar Zahira dengan suara tercekat. Danis menggelengkan kepalanya dengan lemah, dia bahkan berpura-pura sedih, "Ya ampun! Jahat sekali kamu. Kenapa harus lupa si? Itulah kalau minum terlalu banyak!" "Benar! Ini semua karena aku mabuk! Bodoh sekali aku!" rutuk Zahira. Wanita itu memegang kepalanya dengan frustasi, "Tapi ini pertama kali kok!" ujarnya dengan bibir manyun. Karena tidak tahan, Danis membuang wajahnya guna menyembunyikan tawanya. "Ini seru!" batinnya. "Makanlah lalu mandi! Kamu ga mau kerja?" Sebelas alis Danis terangkat. "Kerja! Benar, aku harus kerja!" pekik Zahira. Zahira celingukan mencari tasnya dan terlihat heboh sendiri. Tas itu ada di atas nakas. Zahira langsung menyambar dan mengambil ponselnya untuk mengecek jadwal shiftnya. Zahira merasa lega karena hari ini shift malam. "Tuan Gigolo ... " panggilnya. "Daniswara ... panggil aku Danis. Paham!" ujar Danis dengan ketus. "Pak Danis! Boleh aku pinjam kamar mandinya?" tanya Zahira dengan canggung. Hati Danis menghangat, " Silahkan!" ujarnya sambil mengulurkan kedua tangan. Tanpa Danis sadari, dia baru saja berinisiatif. Pria itu melihat kedua tangannya yang terulur ke depan lalu beralih pada wajah cantik yang ada di depannya. Zahira menatap dua tangan yang terulur padanya. Lalu beralih menatap tubuh yang tinggi, tegap dan wajah yang rupawan tanpa berkedip. Jika pria itu gigolo, dia pasti gigolo premium atau limited edition. Hanya itu yang terlintas di kepala wanita itu. Ditatap seperti itu, Danis tersenyum tipis, "Kenapa? Aku tampan ya?" "Iya ... " jawab Zahira dengan polos. Mendengar jawaban wanita itu, Danis langsung memeluknya lalu berbisik, "Syukurlah kamu sadar," bisiknya. "Bapak! Apa-apaan ini! Aku bukan kekasihmu yang bisa kamu peluk sesuka hati!" ujar Zahira setengah memekik. Bagaimana tidak? Pria matang ini selain memeluknya tanpa izin, dia juga mengelus punggungnya yang terbuka dengan sensual. Rasanya geli dan panas. Danis melerai pelukannya, "Maaf aku terlalu terbawa suasana, Ra!" ujar Danis dengan canggung. "Kenapa aku jadi bodoh!" rutuknya dalam hati." "Hah! Bapak tau namaku?" tanyanya dengan wajah syok. Danis mengangguk lalu kembali berbohong, "Kamu tadi malam menyodorkan tangan sambil berkata, Aku Zahira Malik yang akan membayarmu sepuluh kali lipat. Tidurlah denganku. Kamu lupa?" "Hah!" Zahira hanya menganga mendengar ucapan pria bernama Danis itu. "Sepuluh kali lipat itu berapa?" pekiknya, matanya melotot horor. "Tarifku semalam adalah 50 juta, jadi kalau sepuluh kali lipat berarti?" Danis menghitung jarinya dengan wajah polos. "500 juta," ujar Zahira lilih dengan tatapan nanar. "Betul sekali. Kapan kamu mau membayarnya?" tanya Danis sambil mengangkat kedua alisnya. Mungkin ini keterlaluan, Danis begitu banyak berbohong sekarang. Hanya untuk bisa dekat dengan wanita bodoh yang baru dia temui. Rasanya sangat senang bisa menjaili wanita polos itu. Zahira rasanya ingin menangis, dari mana dia dapat uang sebanyak itu. Tabungannya saja hanya bisa untuk membayar ganti rugi gaun yang dia sewa dan sisanya hanya beberapa. Itu pun untuk bertahan hidup sampai gajihnya turun bulan ini. Dan itu masih sekitar tiga minggu lagi. Zahira hanya diam membeku sambil meremas selimut yang menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak bingung dan kalut. "Kenapa? Kamu tidak punya uang ya?" tanya Danis dengan mata memicing. Dia sudah menduganya. Bibir Zahira melengkung ke bawah, air matanya jatuh satu persatu. "Benar Pak Danis. Boleh aku mencicilnya? Aku mohon," ujarnya dengan nada memohon. Wanita itu berinisiatif untuk menggenggam tangan kanan Danis dan meremasnya lembut. Matanya yang bulat terlihat menyedihkan. Melihat tangannya di remas, membuat jantung pria galak itu menghangat dan berdebar. Danis mengangkat sudut bibirnya, "Tentu! Kamu punya hutang denganku sekarang. Bayar jika sudah terkumpul. Aku tidak suka uang receh!"Pertanyaan itu cukup membuat Zahira termangu beberapa detik, "Maksudnya?"Wulan mengerutkan bibirnya dan wajahnya berubah murung lalu berkata dengan nada sedih, "Ehhh ... Talitha sangat sibuk, dia tidak pernah di rumah dan tidak pernah mengurus putraku. Jika di rumah dia hanya malas-malasan."Wulan menceritakan kehidupan Emran dan Talitha yang tidak ada hubungan dengan Zahira, membuat gadis itu merasa canggung. Zahira mengusap tengkuknya lalu berkata sambil tersenyum tipis, "Wajar si ... Talitha kan sedang hamil."Melihat ekspresi Zahira yang polos dan tidak terpengaruh membuat Wulan merasa kesal. Wanita paruh baya itu hanya menggertakkan giginya lalu kembali berpura-pura. Wulan kembali menghela nafas dan terlihat tidak berdaya. "Aku juga pernah hamil, tapi aku merasa dia aneh. Dia kadang terlihat dingin dan acuh pada Emran. Aku juga dengar rumor bahwa dia sedang dekat dengan pria lain. Jangan-jangan anak itu bukan milik putraku."Setelah mengatakan hal buruk pada menantunya yang dulu
Melihat Zahira ketakutan, Wulan menggigit bibirnya dengan canggung dan berkata dengan lembut dan hati-hati, "Boleh masuk, Ra? Ada hal yang ingin aku katakan." Zahira tercengang. Apakah matahari terbit dari barat? Kenapa nyonya angkuh seperti Wulan akan bersikap rendah hati seperti ini. Semakin dipikirkan, semakin terasa mustahil. Melihat Wulan begitu sopan, Zahira semakin merasa gelisah. Dia berkedip beberapa kali sambil memegang gagang pintu dengan kuat. Dia masih ingat setiap interaksi bersama Wulan, mereka tidak pernah berakhir menyenangkan. Jadi Zahira harus membuat alasan karena tidak ingin berduaan saja dengan ibu mantan pacarnya yang problematik itu. Setelah menenangkan diri, Zahira berdehem dan mulai merangkai alasan. "Tante, kebetulan tempat tinggalku masih berantakan. Sebentar lagi orang yang akan membereskannya akan segera datang. Bagaimana kalau kita mengobrol di kafe depan?" ujarnya dengan ragu. Jika ada interaksi di antara mereka berdua harus di depan umum agar ti
Karena terlalu hanyut dalam suasana, Danis dan Zahira tidak mendengar ketukan pintu. Mereka masih tenggelam dalam perasaan yang menggebu-gebu.Setelah beberapa ketukan tidak ada respon, Zaidan pun menjadi panik. Dia takut hal buruk terjadi pada adik kesayangannya. Zaidan pun membuat ancang-ancang dan mendobrak pintu dengan tubuhnya yang besar.Brak!!!Zahira dan Danis langsung terperanjat, mata mereka terbelaklak dengan wajah pucat. Saat melihat sosok yang berdiri dengan garang."Zaidan!""Kakak!"Melihat pemandangan yang mengotori matanya, mata Zaidan melotot dan hampir keluar dari tempatnya. Adik kesayangannya yang lugu dan polos sedang bermesraan dengan sahabatnya sendiri tanpa ikatan resmi. Sebagai Kakak dia tidak terima. Suara pria itu pun menggelegar penuh amarah, "Apa-apaan ini!" Zahira langsung mendorong tubuh Danis, dia langsung merapikan jubah mandinya dan duduk bersimpuh di atas ranjang. "Kami ga ngapa-ngapain, Kak!" ujarnya dengan suara bergetar.Danis berdehem dan wajahn
Danis menundukan kepalanya, wajahnya sedikit masam, "Apa?""Eh! Kak Danis ga boleh nyerah dong!" ujarnya sambil mengelus lengan Danis. "Kakak mau tau, kenapa aku ga mau tinggal sama Kak Zaidan?"Danis merangkul Zahira dan menggiringnya ke sisi ranjang. Dia masih menampilkan ekspresi sedih dan putus asa. "Kenapa?" tanya Danis dengan lirih.Mereka berdua duduk di sisi ranjang, Zahira membiarkan Danis merangkul pundaknya. Gadis itu mulai bercerita, "Kak Zaidan itu kan gila. Setiap teman yang manfaatin atau ngebuli aku pasti akan di buat babak belur, bahkan ada yang sampai patah tulang. Apalagi cowok yang dekati aku, habis sama dia. Makanya aku milih kabur dan ngancem ke Kak Zaidan, kalau dia berani ikut campur urusanku, aku tidak mau pulang."Danis tidak peduli, baginya cerita itu tidak lah menyeramkan. Bahkan dia juga seperti itu. Buktinya dia menonjok wajah Zaidan saat dia pikir sahabatnya itu menaruh rasa pada Zahira. Tapi untuk menarik simpati Zahira yang polos itu, dia berpura-pura
Danis mencekal lengan Zahira, nadanya kembali galak, "Ra ... kamu ngusir aku?" Zahira menggigit bibirnya, "Kamar yang satunya tidak pernah aku bersihkan, jadi banyak debu. Kakak pulang saja. Lagian kita cuma pacar bukan suami istri," ujarnya dengan canggung sambil mencoba melepaskan diri. Danis melepas cekalannya, dia duduk di sisi ranjang sambil bersedekap angkuh. Wajahnya terlihat dingin dan menatap Zahira dengan kedua alis menukik tajam. "Dari ekspresimu tadi. Kamu ga serius nerima aku ya? Kamu ga cinta apa sama aku?" tanyanya dengan nada kesal. Zahira menggaruk kepalanya, dia melirik jam dinding. Matahari sudah hampir bangun dari peraduan, tapi dia belum tidur juga. Zahira bahkan belum ganti baju atau menyisir rambutnya. Gadis itu kembali menutup jendela lalu berkata dengan ragu, "Mau jawaban jujur atau bohong?" Wajah Danis langsung berubah masam, "Jujur!" Dengan malu-malu Zahira menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Aku emang belum cinta sama kamu. Hehe." Tawa garing Z
"Emang cuma kamu saja yang boleh marah tanpa alasan. Huh!" ujar Danis sambil tersenyum. Senyuman palsunya terlihat jelek dan membuat Zahira mencebik. Melihat reaksi Zahira, Danis hanya menggelengkan kepala sambil menghisap rokoknya, asap keabuan itu menyeruak. "Kakak sudah tua dan asap rokok tidak baik untuk kesehatan! Kakak ingin cepat mati ya? Bukannya jawab pertanyaanku malah bengong!" Zahira terus mengomel lalu membuka pintu jendela agar asap rokok itu bisa keluar. Karena hari sudah pagi, udara yang masuk sangat dingin. Tubuhnya menggigil, dia ingin berganti baju tapi takut Danis mengambil kesempatan saat dia lengah. Mendengar Zahira terus merepet tanpa henti, Danis yang frustasi berdiri di depan jendela. Kepalanya sedikit menyembul keluar dan menikmati pemandangan kota dengan nanar. Angin yang masuk menyibak rambutnya yang mulai panjang. Karena sering dikatai tua oleh Zahira, Danis memotong rambutnya dengan gaya mulet dan membuatnya semakin tampan dan berkarisma. Apalagi eksp