Flavia duduk di ruang tamu, pandangannya kosong menatap jendela. Sejak kecelakaan itu, banyak hal berubah dalam hidupnya. Kakinya belum pulih sepenuhnya, dan lebih parah lagi, Zafran, kekasihnya, semakin jarang berkunjung. Dulu, setiap hari Zafran selalu ada di sisinya, memastikan dia baik-baik saja. Tapi sekarang? Kehadirannya mulai langka. Bahkan sahabatnya, Aurellia, yang biasanya sering nongol dengan candaannya, kini entah ke mana.
Hati Flavia dipenuhi tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa keduanya seperti menghilang begitu saja dari hidupnya? Seakan dunia luar menjauh darinya, hanya menyisakan sunyi yang menyakitkan. Di tengah kegalauannya, ketukan pintu rumah berbunyi. Flavia menghela napas panjang. "Siapa lagi sekarang?" gumamnya pelan, tidak mengharapkan siapapun. Ibunya, yang baru saja selesai di dapur, melangkah ke depan pintu. Saat pintu terbuka, muncul sosok yang membuat Flavia sedikit tersenyum. Dr. Alessandro. "Selamat sore, Bu," sapa Alessandro dengan senyum hangatnya. "Saya mampir sebentar untuk mengecek kondisi Flavia." "Oh, tentu saja. Silakan masuk, Dok." Bu Mireya menggeser tubuhnya agar Alessandro bisa masuk. Sejak kecelakaan itu, Alessandro sering berkunjung setelah jam kerjanya selesai di rumah sakit. Dokter Alessandro datang untuk memeriksa kondisi Flavia mengingat rumah Dokter itu tidak terlalu jauh dari rumah Flavia. "Hai, Fla," sapa Alessandro seraya duduk di sebelahnya. "Bagaimana perasaanmu hari ini?" "Lumayan, Dok. Sedikit nyeri di kaki, tapi sudah lebih baik." Alessandro mengangguk sambil mengambil stetoskopnya. "Biar aku cek dulu, ya." "Semuanya terlihat baik. Kamu butuh lebih banyak istirahat dan jangan terlalu memaksakan kaki untuk berjalan." Alessandro menyimpan alat-alatnya dan menatap Flavia dengan senyum lembut. "Aku akan selalu ada kalau kamu butuh sesuatu, Fla." Sebelum Flavia bisa merespons, pintu depan terbuka lagi dengan cepat, diikuti suara langkah terburu-buru. Victor, lelaki yang diam-diam mencintai Flavia, muncul dengan wajah panik. Rambutnya acak-acakan, kemejanya sedikit berantakan. Ia bahkan tidak memperhatikan kehadiran Alessandro saat itu. "Flavia! Kamu harus lihat ini!" Victor hampir berteriak, seraya merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. "Victor, ada apa?" Flavia terkejut melihat ekspresi tegang Victor. Victor langsung menunjukkan layar ponselnya kepada Flavia, tanpa memperdulikan kehadiran Alessandro. "Kamu perlu lihat ini sekarang!" Di layar, terlihat Zafran, kekasihnya, duduk bersama Aurellia—sahabat terbaiknya. Mereka tampak begitu akrab, tertawa bersama, dan yang lebih mengejutkan, Zafran tampak menyuapi Aurellia dengan manis, seolah tidak ada beban. “Tidak mungkin …” bisik Flavia pelan, suaranya hampir lenyap. Alessandro yang duduk di sebelahnya ikut melihat video itu, wajahnya berubah serius. Dia bisa merasakan kesedihan Flavia yang semakin dalam. Victor, yang berdiri di depannya, masih bernapas dengan tidak beraturan. "Aku tahu ini sulit, Fla. Tapi aku tidak bisa kamu terus dalam kegelapan. Zafran ... dia tidak layak untukmu." Air mata mulai membasahi pipi Flavia. Selama ini, perasaannya yang campur aduk tentang Zafran dan Aurellia ternyata bukan sekadar firasat. Mereka benar-benar mengkhianatinya, tepat di depan matanya. "Kenapa mereka melakukan ini padaku?" Flavia berbicara dengan suara bergetar. "Aurellia adalah sahabatku ... Zafran ..." Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya, tenggorokannya terasa tercekat. Alessandro menaruh tangannya di bahu Flavia, mencoba menenangkan. "Flavia, aku tahu ini berat. Tapi kamu harus kuat. Mereka tidak pantas mendapatkan air matamu." Namun, Victor tidak tahan melihat Alessandro begitu dekat dengan Flavia. Dia merasa Dr. Alessandro memiliki niat yang lebih dari sekadar dokter sama pasien. "Dokter tidak perlu pura-pura perduli sama Fla, ada aku di sini yang akan selalu menjaganya!" sindir Victor tidak suka. Alessandro mendongak, matanya bertemu dengan tatapan tajam Victor. "Memangnya salah kalau aku perduli sama Fla, Victor?" Flavia merasakan ketegangan di antara kedua lelaki itu. Namun, dia tidak ingin terjebak dalam konflik baru. Rasa sakit yang dia rasakan akibat pengkhianatan Zafran dan Aurellia sudah cukup baginya. "Victor, dr. Alessandro ... cukup," Flavia berkata, suaranya lemah tapi tegas. "Aku tidak butuh pertengkaran ini sekarang." "Maaf, Fla. Aku hanya ... aku khawatir padamu. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi." Victor nampak ragu. Flavia mengangguk sambil mengusap air mata di pipinya. "Terima kasih, Victor. Tapi aku butuh waktu untuk mencerna semua ini." "Kalau kamu butuh aku, aku selalu ada untukmu," kata Victor dengan suara pelan sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Setelah Victor pergi, Alessandro tetap di tempatnya, menatap Flavia dengan penuh empati. "Kamu tidak sendirian, Fla. Kamu punya aku, kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi." ~~~~~ Keesokan harinya, suasana rumah Flavia terasa lebih sunyi dari biasanya. Meskipun Flavia berusaha menyibukkan diri di kamar, hatinya tidak bisa lepas dari perasaan hampa yang terus menghantui. Tiba-tiba, suara ketukan pintu menggetarkan keheningan. Flavia mengintip dari jendela, hatinya tersentak melihat Dr. Alessandro berdiri di depan pintu, dengan tatapan penuh perhatian. "Flavia? Ini aku, dr. Ale. Kamu baik-baik saja?" suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Flavia ragu sejenak, lalu membuka pintu. Dr. Alessandro masuk dengan membawa sebungkus makanan kesukaannya. Di ruang tamu, suasana canggung menyelimuti mereka. Dr. Alessandro mencoba menciptakan percakapan ringan, namun Flavia hanya merespons dengan senyum yang terpaksa. Meski begitu, Dr. Alessandro tetap berusaha menunjukkan kepeduliannya. Ia tidak pernah menyerah pada Flavia, apapun yang terjadi, dia ingin melihat Flavia semangat menjalani hidup. Tidak lama berselang, suara motor Victor terdengar mendekat, semakin mendekati rumah Flavia. Langkah berat terdengar, dan Flavia tahu Victor kembali. Ketika pintu terbuka, wajah Victor tampak tegang dan tidak seperti biasanya. Ia membawa sesuatu di tangannya, sepertinya kabar besar yang tidak bisa ditunda. "Flavia, kamu harus lihat ini," ucap Victor dengan napas yang tersengal. Matanya tajam, seperti menahan amarah dan kebingungan. Flavia mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang salah. "Apa itu, Victor?" Tanpa menjawab, Victor langsung menyerahkan ponselnya ke tangan Flavia. Ponsel itu menunjukkan sebuah video, dan tangan Flavia mulai gemetar saat dia meraihnya. Dr. Alessandro memandang dengan curiga, namun tidak berkata apa-apa, hanya menatap wajah Flavia yang perlahan berubah pucat. Jari-jari Flavia mulai menyentuh layar, memutar video tersebut. Flavia membeku, jantungnya seperti berhenti berdetak. Tangan yang memegang ponsel itu semakin bergetar hebat. Air mata mulai menggenang di matanya, namun ia tetap memaksakan diri untuk menyelesaikan video itu, meski hatinya hancur berkeping-keping. "Ini tidak mungkin, aku pasti sedang bermimpi," gumam Flavia dalam kekalutan. Dr. Alessandro yang duduk di sampingnya terdiam, melihat perubahan drastis di wajah Flavia. Dia mencoba meraih tangan Flavia, tapi Flavia menepisnya, seluruh tubuhnya gemetar hebat. Sebenarnya vidio apa yang dilihat Flavia?Pesan Tengah Malam“Siapa yang chat jam segini?” bisiknya pelan, memastikan Alessandro tetap terlelap.Flavia ragu sejenak. Ia tahu membuka ponsel suaminya tanpa izin bukanlah tindakan yang benar, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar. Apalagi Alessandro sudah pernah berjanji akan memutuskan semua hubungan dengan masa lalunya, termasuk Valeri.Ia meraih ponsel itu, sidik jarinya langsung membuka kunci layar. Sebuah notifikasi pesan WhatsApp muncul di layar. Tidak ada nama, hanya nomor. Namun, Flavia tahu siapa pemilik nomor itu.“Valeri...” gumamnya lirih, tangannya bergetar saat membaca pesan itu."Ale, apa kamu bahagia dengan istrimu sekarang?"Mata Flavia menatap kata-kata itu tajam. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang mulai menyelimuti dadanya.“Apa-apaan ini? Dia sudah menikah dengan orang lain. Buat apa dia tanya kebahagiaan suamiku?” pikir Flavia, hatinya campur aduk antara marah, cemburu, dan takut.Ia meletakkan ponsel itu kembali ke meja. Alessandro tetap te
Malam dengan RahasiaMalam itu terasa hangat. Setelah makan malam romantis di luar, Flavia dan Dr. Alessandro kini beristirahat di kamar. Flavia, dengan senyum yang tak henti-hentinya merekah, memeluk boneka beruang besar yang baru saja dibelikan oleh suaminya.“Terima kasih ya, Sayang. Aku nggak nyangka kamu bakal belikan aku ini,” ucap Flavia sambil mencium boneka itu. “Kamu tahu banget aku suka boneka beruang!”Dr. Alessandro hanya tersenyum kecil dari sofa, tetapi tatapannya tampak kosong. Ia duduk dengan kedua tangan menggenggam ponsel, pandangannya terpaku pada layar. Pikirannya teralihkan oleh pesan yang baru saja diterimanya dari Valeri, mantan kekasihnya. Ia tahu seharusnya pesan itu diabaikan, tapi kata-kata Valeri terasa seperti duri yang menusuk hati."Hai, Ale. Apa kabar? Aku cuma mau bilang, aku baru melahirkan anak perempuan. Senang banget akhirnya aku jadi seorang ibu. Tapi aku nggak lupa, dulu kita pernah bermimpi punya anak juga, kan?"Pesan itu masih terngiang-ngia
Malam yang Mengikat JiwaMalam itu, kamar Flavia dan dr. Alessandro dipenuhi dengan kehangatan. Fla, dengan wajah yang sedikit gugup tapi penuh cinta, duduk di tepi tempat tidur. Alessandro, atau akrab dipanggil dr. Ale, menghampirinya dengan senyum lembut."Sayang, malam ini kita sudah bisa dong ...," cakap dr. Ale dengan menaik-turunkan alisnya "Bisa apa, Mas? tanya Fla pura-pura tidak paham sambil menaham senyum."Bisa ... bisa ... menerima nafkah batin dariku? Kan, hari ini kamu sudah selesai haidnya," sambung dr. Ale lagi."Ih ... Mas Ale tahu aja," sahut Fla malu-malu.Dr. Ale tak menunggu aba-aba lagi, dia langsung mendekatkan wajahnya di depan wajah sang istri dan mencium lembut dahinya.“Sayang, kamu tahu nggak?” suara Alessandro pelan, “Apa, Mas?” Fla menoleh.“Aku bersyukur sekali Tuhan kasih kamu untuk aku. Kamu itu hadiah terbaik dalam hidupku.”Fla tersenyum, pipinya memerah. Alessandro menarik istrinya ke dalam pelukan. Malam itu, mereka bukan hanya bersatu secara fis
Kejutan di TegalFla membuka matanya yang masih terasa berat. Sebuah ciuman lembut di pipi membuatnya tersentak kecil, dan ia mendapati senyum hangat Dr. Ale yang sudah bersiap dengan sarung untuk salat Subuh."Bangun, Sayang, kita Salat Subuh dulu yuuk! Nanti kita Salatnya berjamaah. Mas sekarang sudah jadi imammu," bisik Ale sambil menepuk pipi istrinya pelan."Sebentar lagi," rajuk Fla manja sambil meringkuk kembali di bawah selimut. Namun, Dr. Ale tidak menyerah. Ia menggendong Fla dengan mudah menuju kamar mandi."Eh! Turunin, Mas! Aku bisa jalan sendiri!" protes Fla sambil tertawa, tangannya memukul dada suaminya."Aku nggak yakin. Kamu itu ahlinya minta tambahan waktu lima menit," balas Dr. Ale sambil tersenyum jahil.Setelah mandi, Fla keluar dengan rambut setengah basah, wajahnya tiba-tiba berubah. "Mas Ale!" panggilnya dengan nada protes. "Aku kan lagi datang bulan!"Dr. Ale terdiam sesaat, lalu menepuk jidatnya sambil tertawa lebar. "Astaga, Mas lupa total! Maaf, ya." ucap
Hadiah dari IbuDr. Alessandro keluar dari kamar setelah seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu, menyampaikan bahwa ada tamu yang menunggunya di ruang tamu. Dengan lembut, ia mengelus pipi istrinya, Flavia, yang sedang duduk di sisi ranjang sambil membereskan baju.“Sayang, aku pamit sebentar, ya? Ada tamu di bawah.”Flavia mengerucutkan bibirnya. “Siapa tamunya? Kenapa harus sekarang? Aku nggak suka ditinggal.”Dr. Alessandro tersenyum kecil, duduk di tepi tempat tidur, dan menggenggam tangan Flavia. “Temanku, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan. Kamu mau ikut? Kita temui sama-sama.”Flavia langsung menggeleng. “Nggak, ah. Teman-temanmu pasti pintar-pintar, sukses, dan ... ya, sederajat denganmu. Aku nggak nyaman, aku kan cuma ...” Kalimatnya menggantung, ragu melanjutkan.“Kamu cuma apa?” Alessandro menatap dalam-dalam, mencari mata istrinya yang menunduk.“Cuma perempuan biasa.”Perkataan itu menusuk hati Alessandro. Ia menarik Flavia ke pelukannya. “Kamu adalah per
Rumah Baru, Awal Baru"Bu ..." Alessandro akhirnya membuka suara, meletakkan cangkir kopinya perlahan. "Iya, Nak?" jawab Bu Mireya,"Ada yang ingin saya sampaikan. Sebenarnya ... saya ingin membawa Flavia ikut ke Brebes," kata Alessandro hati-hati. "Ada tugas pekerjaan yang harus saya jalani di sana sebagai dokter. Para pasien sudah menunggu, dan saya rasa lebih baik kalau Flavia ikut saya tinggal di sana."Flavia yang sedari tadi menunduk langsung mendongak, menatap Alessandro. "Ke Brebes, Mas?" tanyanya pelan, ada nada tak percaya.Alessandro menggenggam tangan Flavia di atas meja. "Iya, Sayang. Kita butuh ruang untuk memulai hidup baru. Aku ingin kita tenang ... jauh dari hal-hal yang bisa mengganggu," ujarnya sambil melirik sekilas ke arah Bu Mireya,Bu Mireya terdiam, menggigit bibir. "Tapi, Fla itu sudah seperti belahan nyawa saya. Saya belum pernah berpisah dengannya sejak kecil. Apalagi setelah Ibu menikah dengan ayahnya dulu ..." Suaranya mulai bergetar, seolah menahan air m
Malam Pertama yang TertundaResepsi sederhana yang diadakan di rumah Flavia di Cirebon telah berakhir dengan penuh kehangatan. Suara musik lembut dan tawa para tamu perlahan memudar seiring dengan selesainya acara. Kini, rumah kembali hening. Hanya tinggal Flavia dan Dokter Alessandro, yang kini resmi menjadi suami istri.Malam itu, Alessandro mendampingi Flavia menuju kamar mereka. Dengan hati-hati, ia menuntun istrinya melewati lorong menuju ruangan yang telah dihias cantik. Kamar itu dipenuhi nuansa romantis, dengan seprai putih bermotif bunga tulip dan taburan kelopak mawar. Aroma lembut bunga bercampur dengan harum lilin aroma terapi memenuhi udara.Flavia berdiri di depan cermin, perlahan mulai melepas riasan pengantinnya. Tangan Alessandro tiba-tiba menyentuh lembut bahunya. "Sayang, biar aku bantu," ucapnya dengan suara lembut, penuh perhatian.Flavia mengangguk pelan, membiarkan Alessandro membersihkan sisa riasan di wajahnya. "Kamu cantik, bahkan tanpa ini semua," bisik Ales
"Aku cuma ... takut, Mas. Takut jika semuanya ini hanya sementara. Takut jika kamu dan keluargamu nggak sebaik yang terlihat sekarang."Alessandro tertegun. "Maksud kamu?"Flavia menunduk, memainkan ujung kerudungnya. "Aku pernah percaya sama seseorang. Aku pikir dia akan jadi masa depanku, tapi nyatanya dia malah mengkhianati aku. Aku takut kamu bakal melakukan hal yang sama. Nggak ada yang tahu isi hati orang, kan?"Mendengar itu, Alessandro langsung meraih tangan Flavia. "Flavia, lihat aku."Flavia mengangkat wajahnya perlahan. Mata Alessandro menatapnya penuh kesungguhan."Aku bukan Zafran. Aku nggak akan pernah menyakitimu seperti dia. Aku tahu luka yang dia tinggalkan, dan aku nggak akan pernah jadi alasan kamu terluka lagi," ujarnya tegas."Tapi ..." Flavia berusaha menyangkal, namun Alessandro memotong dengan lembut."Aku janji, Flavia. Aku akan setia mendampingi kamu, bukan cuma sekarang, tapi sampai maut memisahkan kita."Tanpa diduga, Alessandro mencium tangan Flavia. Peras
Satu minggu kemudianSejak pagi, Flavia sibuk membantu ibunya menyiapkan hidangan makan malam. Aroma semur jengkol yang khas menyeruak di dapur, bercampur dengan harum ayam goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Sesekali, Flavia melirik jam dinding dengan perasaan gugup."Fla, kamu kenapa? Kok dari tadi keliatan gelisah?" tegur Bu Mireya sambil menata piring di meja."Enggak, Bu. Cuma deg-degan aja. Kan mereka baru pertama kali mau makan di sini, takutnya mereka gak suka dengan menunya. Secara mereka kan, orang kaya, Bu," jawab Flavia sambil tersenyum kecil.“Sudah, santai aja. Ibu yakin semuanya bakal lancar. Lagipula, dokter Alessandro itu kan orangnya baik. Orang tuanya pasti juga begitu.”Flavia mengangguk pelan, namun hatinya tetap berdebar.Saat sore menjelang, sebuah mobil hitam mengkilap berhenti di depan rumah sederhana itu. Dokter Alessandro turun dengan setelan kemeja biru muda yang rapi, diikuti kedua orang tuanya, Ibu Sofia dan Pak Maximus.“Selamat datang,” sambut