"Sudah, lupakan saja. Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang kamu harus bangkit dan semangat menata masa depan yang lebih baik," sahut dr. Ale, mengelak.
Aku hanya tersenyum tipis mendengar balasannya. Dan sesaat ponsel dr. Ale berdering dari dalam kantong celanannya lalu dia membaca chat yang masuk dengan serius. "Fla, aku pamit pulang dulu ya, biar kamu bisa istirahat. Dan jangan lupa makan yang teratur!" pungkas dr. Ale sebelum pulang. Malam Minggu ini seharusnya aku tidak punya rencana apa-apa. Namun, seperti biasa, Dokter Ale tiba-tiba menghubungiku sore tadi. Suaranya tenang, seperti biasa, namun penuh ketegasan. Ia berkata ingin datang malam ini, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Aku masih ingat saat pertama kali mengenal dekat dokter Ale, ketika aku sedang terpuruk karena pengkhianatan Zafran. Ia selalu ada di setiap momen terburukku, menghibur tanpa pernah memaksa. Ada rasa nyaman yang kurasakan, meski aku sendiri belum berani menafsirkan apa yang sebenarnya kurasakan terhadapnya. Malam ini, tepat jam tujuh, pintu rumah berbunyi. Dari jendela ruang tamu, aku mengintip dan mendapati sebuah mobil sport hitam mengkilap terparkir di depan rumah. Pintu mobil terbuka, dan dokter Ale keluar dengan kemeja biru muda yang rapi, celana hitam, dan kacamata hitam yang ia kenakan menambah kesan misterius namun memikat. Dia tampak begitu berbeda dari biasanya, lebih berkarisma, dan ... lebih mempesona. Dan saat ia mendekat ke pintu dengan buket bunga mawar putih dan merah di tangannya, aku seolah kehilangan kata-kata. “Ibu, siapa tuh? Kayaknya ganteng banget!” seru Alesa, adikku, yang langsung berlari ke pintu dengan antusias. Ibu Mireya pun terlihat dari dapur, menatapku penuh arti. “Kamu benar-benar beruntung, Nak. Dokter Ale ini sepertinya tulus sama kamu,” bisik ibu sambil tersenyum penuh harapan. Aku hanya bisa tersipu, tidak tahu harus menjawab apa. Saat pintu dibuka, Dokter Ale langsung menyapaku dengan senyum khasnya, namun ada sesuatu yang lebih lembut dalam pandangan matanya malam ini. “Selamat malam, Fla,” sapanya. Suaranya dalam dan penuh kehangatan, membuatku lupa sejenak tentang luka yang kutanggung. “Ini untuk kamu,” tambahnya, sambil menyerahkan buket bunga. “Terima kasih, Dokter Ale .. Kamu tidak perlu repot-repot seperti ini,” gumamku, merasa sedikit gugup. “Tidak masalah, aku senang bisa membuatmu tersenyum,” jawabnya, menatapku dalam. Kami duduk di ruang tamu, di mana ibu dan Alesa segera pamit dengan alasan membiarkan kami mengobrol lebih bebas. Namun aku tahu, ibu ingin memberiku ruang untuk merasakan ketulusan dari Dokter Ale. Suasana canggung sempat menyelimuti kami berdua. “Kamu kelihatan lebih baik,” kata Ale setelah beberapa saat hening, memecah suasana dengan suaranya yang lembut namun penuh perhatian. “Bagaimana kabarmu hari ini, Fla? Sudahkah semuanya membaik?” Aku menghela napas panjang. “Sejujurnya, masih berat. Tapi ... adanya Dokter di sini membantu banyak. Terima kasih, Dokter Ale.” Dia tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. “Aku senang mendengarnya. Sejak tahu tentang apa yang terjadi dengan Zafran, aku hanya ingin memastikan kamu tidak merasa sendirian. Kamu punya banyak orang yang perduli sama kamu, Fla. Termasuk aku.” Aku bisa merasakan kata-katanya bukan hanya basa-basi. Dia benar-benar tulus, dan itu membuat hatiku tersentuh. Rasa perduli yang ia tunjukkan selama ini begitu nyata. Namun, di balik semua kebaikannya, ada satu pertanyaan yang terus menghantuiku. Apakah perhatian Dokter Ale padaku ini lebih dari sekadar rasa empati? “Kenapa kamu perduli banget sama aku, Dokter Ale?” tanyaku akhirnya, memberanikan diri. “Aku ... aku tahu kamu baik, tapi ... kenapa sampai seperti ini? Aku takut kalau semua ini cuma karena kasihan.” Tatapan Ale berubah serius. Dia melepaskan kacamatanya dan menatapku dengan mata cokelatnya yang jernih. Ada kedalaman di sana, seolah dia sedang menimbang kata-katanya dengan hati-hati. “Fla, aku tidak pernah melihatmu hanya sebagai pasien, atau bahkan hanya sebagai teman,” katanya pelan, suaranya begitu dalam hingga menyentuh sesuatu di dalam hatiku. “Sejak awal, aku merasa terhubung denganmu. Bukan karena kasihan, tapi karena aku perduli. Aku tahu kamu terluka, dan aku ingin ada di sini untukmu—bukan sebagai doktermu, bukan sebagai teman biasa, tapi lebih dari itu.” Jantungku berdetak cepat. “Lebih dari itu?” aku mengulangi dengan suara pelan, seolah kata-katanya terlalu sulit untuk kupercaya. Ale mengangguk. “Entah kamu menganggap aku sebagai kakak, sahabat, atau bahkan lebih ... Aku hanya ingin berada di sini untukmu, mendukungmu melalui masa-masa sulit ini. Apa pun yang kamu butuhkan, aku akan berusaha ada.” ~~~~ Saat senja tiba, seperti biasa, Dokter Alessandro datang dengan senyum hangatnya. Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya setiap sore, memeriksa kondisi kakiku yang belum sepenuhnya pulih. Dia selalu sabar, membantu aku berjalan di halaman depan rumah yang cukup luas. Tangan kuatnya menggenggam tanganku erat, memastikan aku tidak terjatuh. "Pelan-pelan saja, Fla. Tidak usah buru-buru, yang penting stabil," katanya dengan nada lembut. Aku mengangguk sambil mencoba fokus pada langkahku. Tapi sesekali, tatapan matanya yang penuh perhatian membuatku merasa nyaman dan tenang. "Kamu tahu tidak, Fla?" katanya tiba-tiba dengan senyum menggoda. "Apa lagi, Dok?" tanyaku, setengah penasaran. "Kalau kamu jalannya makin lancar, aku nanti jadi tidak punya alasan buat sering-sering ke sini," dia tertawa kecil sambil melirikku. Aku tersenyum tipis, berusaha menahan tawa. Aku tahu dia hanya bercanda, tapi ada sesuatu dalam cara dia mengatakannya yang membuat jantungku berdebar. "Saya rasa, meski kaki saya sudah sembuh, Dokter tetap punya alasan buat datang," jawabku, sedikit menggoda balik. Dia tertawa lebih keras kali ini, lalu tanpa ragu menatap mataku dalam-dalam. "Ah, kalau alasan itu sudah pasti, Fla," katanya, membuat suasana seketika berubah lebih hangat. Aku tidak bisa menahan senyumku lebih lama. Meski baru-baru ini hatiku patah karena Zafran, Dokter Alessandro selalu berhasil membuatku merasa lebih baik, bahkan mengalihkan pikiranku dari rasa sakit itu. Namun, saat suasana mulai terasa nyaman dan akrab, tiba-tiba terdengar suara langkah berat mendekat. Aku menoleh ke arah suara itu, hanya untuk melihat sosok yang familiar, tetapi penuh kemarahan. Sebelum aku sempat berkata lebih banyak, dia sudah mendekat dengan langkah besar dan langsung menghantam Dr. Alessandro dengan keras. Tubuh Dokter Alessandro terhuyung dan jatuh ke tanah. Siapa orang yang telah menghantam Dokter Alessandro?"Benar, Mas. Kamu kan, Dokter, kamu pasti tahu caranya mengecek makanan untuk memastikan apakah ini aman atau enggak," sela Fla kemudian.Sang suami mengangguk lalu segera mengambil alat penguji makanan.Tatapannya penuh keteguhan. Ia sudah kehilangan Flavia sekali, dan ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.Di luar, hujan semakin deras, seolah ikut menciptakan ketegangan di dalam rumah itu.Sore itu, di dapur rumah besar keluarga Dokter Alessandro, suasana mendadak mencekam. Di atas meja, ada dua bungkus rujak buah dan asinan yang baru saja diterima dari orang tak dikenal. Alessandro—seorang dokter berpengalaman—menggunakan alat khusus untuk menguji kandungan makanan tersebut.Flavia, istrinya yang tengah hamil empat bulan, berdiri di sampingnya dengan ekspresi tegang. Pak Maximus, satpam yang berjaga di rumah itu, ikut menyaksikan dengan waspada.Beberapa detik kemudian, alat uji berbunyi nyaring. Alessandro menatap hasilnya, lalu menoleh ke arah Flavia dengan wajah menger
Perlahan Dr. Ale membukanya dengan dahi yang mengernyit."Jika aku tidak bisa memilikimu, maka tak seorang pun bisa."Alessandro menatap surat itu dengan rahang mengeras, sementara Flavia yang membacanya di sampingnya merasakan ketakutan menjalari tubuhnya.Mereka berpikir semuanya telah selesai. Tapi ternyata, badai baru saja dimulai."Valeri ... kau sungguh tidak waras. Aku dulu serius sama kamu, tapi kamu malah menduakan aku. Bahkan, sampai hamil dengan pria itu. Gimana bisa aku memaafkan pengkhianatan seperti itu? Kalau belum ada anak, mungkin aku bisa," gumam dr. Ale yang masih bisa didengar sang istri di sampingnya."Valeri benar-benar nekat ya, Mas. Dia gak takut apa kalau nanti kita laporkan dia ke polisi," sahut Fla menambahi."Dia sering mendapat kekerasan dari suaminya, dan pernah bilang kalau dia gak bahagia karena suaminya kasar dan temperamen. Hingga mungkin dia sekarang baru menyesali perbuatannya hingga sampai kehilangan kewarasannya," papar sang suami sambil merengkuh
Flavia duduk di tepi ranjang, tangannya refleks membelai perutnya yang mulai membesar. Senyum kecil terbit di wajahnya, membayangkan kehidupan baru yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Namun, ketenangan itu seketika pecah saat sebuah notifikasi masuk ke ponsel suaminya, Dr. Alessandro, yang tergeletak di atas nakas.Flavia menoleh. Biasanya, ia tidak pernah iseng membuka ponsel suaminya, tetapi ada sesuatu dalam hatinya yang mendorongnya untuk melihat pesan itu. Dengan sedikit ragu, ia meraih ponsel itu dan membuka aplikasi biru yang menampilkan pesan masuk dari Valeri.Sang suami yang berparas rupawan itu tengah di dalam kamar mandi dan baru saja masuk.Darahnya seketika membeku. Sebuah video berdurasi lima menit terlampir dalam pesan itu. Jantungnya berdebar kencang saat jarinya dengan gemetar menekan tombol putar.Di layar, terlihat suaminya—pria yang begitu ia cintai—berada di sebuah apartemen. Bajunya terlepas, dan di hadapannya ada Valeri yang hanya mengenakan gaun tidur tipis.
Hari ini adalah hari yang dinantikan. Setelah beberapa hari dirawat akibat kecelakaan yang menyebabkan tangan kanannya patah, akhirnya Dr. Alessandro bisa pulang. Meski kondisinya belum sepenuhnya pulih, dokter sudah mengizinkannya menjalani rawat jalan di rumah.Dr. Severino—adik Alessandro yang kini bertugas di Jakarta—datang untuk menjemputnya. Mereka memang sangat dekat, meskipun jarak memisahkan mereka karena tugas masing-masing. Saat Sever mengurus administrasi di resepsionis, Alessandro duduk di kursi roda sambil menghela napas panjang."Sudah nggak sabar pulang, ya?" tanya Sever sambil tersenyum setelah selesai dengan administrasi."Jelas," jawab Alessandro. "Kasihan Flavia, dia sendiri sedang hamil , masih harus mengurusku juga."Sever mengangguk paham. Ia tahu betapa besar cinta Alessandro pada istrinya. Flavia bukan hanya sedang hamil, tapi juga memiliki keterbatasan pada kakinya akibat kecelakaan yang dialaminya dulu. Tapi semua itu tak membuat Alessandro mencintainya kur
Ruangan ini masih berbau obat dan antiseptik khas rumah sakit. Aku duduk di kursi sebelah ranjang Dr. Ale—suamiku—yang terbaring dengan tangan kanannya dibalut gips. Kecelakaan itu hampir merenggut nyawanya. Sialnya, semua ini diduga karena satu orang, Zafran.Aku menghela napas berat, menatap wajah suamiku yang pucat. "Jadi, kamu yakin kalau Zafran yang menyebabkan kecelakaan ini?" tanyaku, mencoba menahan emosi yang mulai menggelegak.Dr. Ale menatapku dalam. "Aku tidak bilang yakin, tapi aku menduga dia melintas mendadak di depanku. Aku refleks banting setir dan..." Ia menggantungkan kalimatnya, seolah mengingat kembali momen mengerikan itu.Tanganku mengepal di atas pangkuan. "Kalau memang dia sengaja, aku tidak akan tinggal diam."Dr. Ale tersenyum tipis. "Jangan gegabah, sayang. Ini masih dugaan."Dugaan atau bukan, aku tahu bagaimana Zafran dan Aurellia. Mereka sudah cukup menyakiti aku di masa lalu. Sekarang mereka kembali muncul dan membawa malapetaka lain."Kamu tenang, jaga
Kabar Tak TerdugaFlavia merasa dunianya berputar saat mendengar kabar mengejutkan itu. Dr. Alessandro, suaminya yang penyayang dan selalu sabar menghadapi segala keadaan, mengalami kecelakaan. Tangan Flavia gemetar, bibirnya bergetar tanpa kata, dan kakinya terasa lemas. Dengan segera, ia gegas turun ke lantai bawah, niatnya untuk memberi tahu mertuanya, Ibu Sofia dan Bapak Maximus.Namun, langkah Flavia terhenti di depan pintu kamar mertuanya. Ia berdiri di sana, mondar-mandir dengan cemas. "Bagaimana cara mengatakannya? Aku gak enak malam-malam gini ganggu. Bagaimana kalau mereka syok?" pikirnya sambil menghela napas panjang. Ia menggigiti ujung kukunya, dadanya naik turun tidak karuan.Severus, adik iparnya yang berusia 30 tahun, muncul dari arah dapur. Ia membawa segelas air, tetapi langkahnya berhenti ketika melihat Flavia yang tampak panik di depan pintu kamar ibunya."Kak Flavia?" tegurnya dengan alis terangkat. "Kenapa mondar-mandir di situ? Ada apa sih, kelihatannya pani
Kehangatan yang TerusikFlavia terduduk di kursi goyang di kamarnya, rumah mertuanya. Tangannya lembut mengelus perut yang mulai membuncit, sebuah tanda kehidupan kecil yang tumbuh di dalamnya. Wajahnya terlihat damai, meski ada semburat kegelisahan yang tersimpan dalam tatapannya. "Sayang, kamu nggak usah terlalu capek, biar aku aja yang beresin baju nanti" ujar Alessandro Flavia tersenyum tipis. "Aku nggak capek kok. Ini kan, sudah tugasku sebagai istri."Alessandro mendekat dan berjongkok di hadapannya. "Aku cuma nggak mau kamu terlalu banyak pikiran atau lelah. Kamu itu prioritas aku sekarang, Fla. Kamu dan anak kita," ucapnya sambil menatap penuh kasih ke arah perut Flavia.Flavia mengangguk, tapi matanya tampak berkabut. "Aku cuma takut, Mas Ale. Semua ini terlalu indah ... dan aku takut ada yang merusaknya."Alessandro menarik tangan istrinya, menggenggamnya erat. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Mantan-mantan itu ... mereka hanya masa lalu. Masa depan kita yang penting. Aku
Pagi itu, kehangatan matahari masuk dari sela-sela tirai ruang makan rumah Dr. Alessandro. Di meja, Flavia tampak sibuk menyuapi dirinya sendiri, sementara Alessandro duduk di sampingnya, tak lepas dari tatapan protektif yang selalu ia tunjukkan sejak mereka menikah. Di ujung meja, kedua orang tua Alessandro menikmati roti panggang dan teh. Suasana nyaman ini terusik ketika Bi Imah muncul dari pintu ruang makan dengan ekspresi ragu-ragu."Permisi, Dokter," ucap Bi Imah pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian semua orang di meja itu. "Ada tamu di depan, katanya ingin bertemu Dokter."Flavia langsung menghentikan gerakannya, menatap Alessandro. Alessandro pun balik menatapnya, alisnya naik sedikit. Dalam sekejap, tatapan mereka seperti saling bertanya, Siapa tamu ini?"Tamu siapa, Bi?" tanya Alessandro dengan nada datar, namun ada sedikit nada curiga di sana.Bi Imah menggeleng. "Tidak tahu, Dokter. Dia tidak bilang. Cuma bilang mau bertemu dengan Dokter."Seketika itu, Alessandro be
Api Cemburu di Pagi Mingguwajah Flavia memucat. Di hadapannya berdiri seorang wanita dengan gaun elegan, rambutnya tertata sempurna—Valeri, mantan kekasih Alessandro.Flavia menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Ada apa, Valeri? Mas Ale nggak pernah cerita kamu akan datang."Valeri tersenyum tipis, penuh ejekan. "Aku hanya ingin bicara dengan suamimu."Alessandro menatapnya sinis. "Kenapa kamu ke sini, Valeri?""Karena aku sadar, aku membuat kesalahan besar meninggalkanmu dulu, Ale," kata Valeri dengan suara lirih. "Aku ingin kita kembali." Valeri mendekat ke arah Ale dan meraih tangannya. Namun Ale menghempaskan kasar tangan Valeri.Alessandro tertawa kecil, tapi nadanya penuh ketegasan. "Sudah terlambat. Aku punya keluarga sekarang. Dan aku bahagia." Dr. Ale malah mendekat ke arah istrinya sambil merengkuh pinggangnya.Namun, Valeri tak menyerah. "Apa kamu benar-benar bahagia, Ale? Lihat aku. Kita pernah punya mimpi bersama, semua hal yang pernah kita rencanakan. Jangan bilang kam