Andini merasakan kepalanya panas, bukan hanya karena kopi. Sikap Rania sudah keterlaluan. Namun ia masih punya hati untuk tidak membalasnya. Oh, tidak, insiden barusan terjadi begitu cepat.“Argh, dasar Nenek lampir,” gerutu Andini merapikan kemeja yang meskipun sudah dibersihkan oleh gulungan tisu tetap terlihat basah dan kotor. Noda kopi hitam memang agak membandel.Rasanya ia ingin melempar sesuatu sebagai pelampiasan. Ia melihat cangkir kopi itu dan terbesit ingin melemparnya ke dinding. Sebelum fantasi liarnya terwujud, suara derit pintu terdengar.Siluet tampan dan bertubuh gagah muncul di ambang pintu. Kemarahan itu meluap terbawa udara. Senyuman orang yang jarang tersenyum itu maut. Senyum Dewandaru Hadinata bikin hati Andini meleleh.Andini mengangkat kepala, berusaha tersenyum tipis. “Rapatnya udah selesai, Mas Dewa?”Tatapannya sebentar menelusuri wajah pria itu, lalu buru-buru berpaling. Ia tidak ingin Dewa melihat matanya yang sembab. Lupa, jika Dewa itu orang yang telit
Dipta berdiri di dekat pintu, masih dengan jas dokter yang separuh terbuka, masker tergantung di leher. Ia berjalan mendekat tanpa banyak bicara, menaruh sebuah termos kecil di meja.“Apa itu?” tanya Naura pelan.“Sup ayam. Dari kantin.” Jawabannya singkat, tapi matanya memerhatikan wajah Naura lekat-lekat. “Makan nanti kalau sudah agak enakan.”Naura mengangguk pelan. “Harusnya nggak usah repot-repot, Dok.”Dipta menarik kursi, duduk di sisi ranjang. “Kamu pikir aku mau lihat kamu pucat kayak tadi lagi?” Nada suaranya tegas, tak seperti biasa.Kenapa ya? Apa karena kasihan dia sakit?Naura menggigit bibir, tidak tahu harus membalas apa.Dipta bersandar sedikit, pandangannya tak lepas dari wajahnya. “Besok kamu libur. Nggak ada diskusi. Nggak ada tugas.”“Tapi—”“Nggak ada tapi.” Tatapan itu mengunci miliknya. Lalu, nada suaranya merendah. “Kamu bikin aku khawatir, Naura.”Hening sejenak. Naura menelan saliva, detak jantungnya terasa lebih keras. “Saya… nggak bermaksud…”“Aku tahu. Ak
Pintu IGD terbuka, dan dari luar terlihat Dr. Gilang berdiri di ambang pintu, kedua tangannya menyilang di dada. “Dia pasienku juga, Dipta. Aku harus tahu kondisinya.” Suaranya datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca.Dipta menoleh sekilas, wajahnya tetap dingin. “Kamu bisa baca hasil lab nanti. Sekarang, keluar.” Nada tegas itu membuat perawat yang sedang mencatat data pasien menelan ludah gugup.Tunggu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ke dua dokter itu terlihat bersaing dalam menolong dokter KOAS yang pingsan itu. Bisik-bisik pun mulai menyebar seperti bola panas yang bergerak liar.Gilang menghela napas, mengendalikan emosinya, melangkah masuk beberapa langkah. “Aku cuma mau memastikan dia baik-baik saja. Nggak perlu segitunya.” Dipta berdiri di sisi ranjang, tubuhnya seperti dinding pelindung. “Aku bilang keluar, Gilang.” Tatapan mereka bertemu dengan sorot yang tajam, seolah saling menantang. Udara di ruangan itu terasa lebih padat dari biasanya. Naura
Hujan baru saja reda. Jalanan basah berkilau memantulkan lampu jalan. Naura duduk di kursi penumpang, mengamati tetesan air yang masih menetes di kaca mobil dr. Gilang.“Makanya aku tawarin tumpangan, Naura. Taksi nggak bakal gampang lewat sore mana hujan,” kata Gilang sambil menyalakan pemanas.Naura tersenyum tipis. “Makasih, Dok.”Ia ragu sejenak, lalu bertanya santai, “Tadi… abis ngapain di mall?”Gilang menghela napas pelan. “Beli buku… sama nyari hadiah buat keponakan. Harusnya istriku ikut, tapi ya, dia sibuk.”Nada “sibuk” itu terdengar lebih berat daripada kata biasa.Naura melirik sekilas. “Lagi banyak operasi, ya?”Diam sejenak, lalu Gilang tersenyum miris. “Operasi, seminar, konferensi, semua diambil. Kayak… hidupnya cuma buat karier.” Tangannya mengetuk setir pelan. “Kadang aku pikir… kalau menikah itu harusnya saling isi, bukan saling tinggal.”Naura menunduk. Ia tidak nyaman mengomentari urusan pribadi, tapi tetap berusaha sopan menanggapi. “Mungkin dia cuma lagi kejar
Andini, Dewa dan Naura, mereka bertiga berjalan menuju eskalator. Dewa menggandeng tangan Andini erat, seolah takut istrinya terseret arus para gadun, eh, para pengunjung mall. Sementara itu Naura berjalan di belakang sambil meremas ujung jilbabnya. Sebuah kebiasaan kalau sedang canggung sembari mengunyah permen kapas yang entah siapa yang beliin. Sadar diri, kali ini menjelma menjadi ngengat di antara sepasang suami istri itu.“Aku beneran nggak nyangka, loh, Pak Dewa bisa langsung nyamber ke food court gitu,” ucap Naura, berusaha terdengar santai tapi ujung bibirnya menahan senyum. Dewa menoleh sedikit, wajahnya masih datar. “Refleks. Aku pikir ada yang perlu diamankan.” Naura menahan tawa. “Diamankan dari apa? Dari dokter ganteng? Oh, berarti bener dong… eh—” ia buru-buru menutup mulutnya, merasa terlalu blak-blakan.Andini menepuk lengannya. “Nana, tolong… jangan kompor-komporin. Kebiasaan deh kompor beledug,” “Tapi kan…” Naura menunduk, suaranya mengecil, “seru, Din. Tadi tuh
Naura baru saja menyuap potongan ayam saat seseorang mendekat ke meja mereka. “Permisi, mbak, boleh gabung? Meja penuh semua.”Naura langsung menegang. Tapi yang muncul ternyata hanya salah satu perawat IGD yang mereka kenal, Pak Wisnu. Seketika senyum tersungging di wajahnya. “Oh iya, silakan, Pak,” sambut Andini ramah.Naura ikut mengangguk, mencoba rileks lagi. Mereka ngobrol sebentar tentang shift jaga semalam, sambil sesekali tertawa kecil. “Eh, Bapak duluan ya. Soalnya istri Bapak telepon. Lain kali kita ngobrol lagi ya KOAS Naura dan Nona Andini.”Pak Wisnu tersenyum ramah pada Naura dan Andini.Untuk beberapa saat Naura menghela nafas panjang. Pun, Andini melihat raut wajah sahabatnya yang berubah-ubah mirip bunglon.Suasana kembali normal… sampai Naura mendengar suara berat yang terlalu familiar.Langkah sepatu sneaker. Nada bicara datar. Suara itu seperti hawa dingin yang tiba-tiba menurunkan suhu mall lima derajat. “Mario, kamu yakin mau di sini? Oh, ada meja kosong di—