Dewa berdiri mematung menatap Andini dengan tatapan yang sukar dimengerti. Sontak, Andini mendongak, menatap wajah tampan pria dewasa itu dengan gugup. Apalagi, tiba-tiba Dewa menyentuh helaian rambutnya lalu menyelipkannya ke balik telinganya.Andini mengerjap pelan. Ia menahan nafas karena jarak mereka terlalu dekat. Aura Dewa sangat kuat dan mendominasi. Ia bisa melihat bagian jakun pria itu yang naik turun. Bibirnya bergerak. “Saat masuk ruang rapat, semua mata pria melotot menatapmu.”Andini menghela nafas. “Termasuk Bima?”Dewa menegakkan tubuh, mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi kamu duduknya di sebelah aku. Jadi biarin aja dia melotot sampe matanya kering.”Andini diam. Bukan karena tersinggung, tapi karena... hatinya aneh. Lagi-lagi, di dekatnya Dewa menunjukkan sisi lembut yang tidak cocok dengan image ‘PresDir Galak’ tadi. “Kenapa diem?” tanya Dewa.“Om Dewa...” Andini menatapnya. “Kamu tuh... bikin aku bingung. Di luar galak dan keren banget. Di sini... jadi lembut dan perh
Rapat keluarga besar PT Hadinata Pharmaceutical siang itu, sejatinya bukan sekadar agenda bisnis. Ini rapat suksesi, sekaligus perebutan takhta tertinggi di keluarga besar Hadinata.Di ruangan eksekutif lantai dua puluh gedung pusat Hadinata Group, atmosfer begitu padat. Tak ada senyuman hangat keluarga. Hanya wajah tegang, dingin, dan sorot mata yang saling mengukur kekuatan.Di tengah ruangan duduk Surya Hadinata, pendiri sekaligus CEO yang sudah menua, namun masih menjadi sosok paling disegani. Di sebelahnya, Dewandaru Hadinata—anak bungsunya—duduk tegak dalam jas navy, dengan Andini di sampingnya, tampak anggun dalam balutan gaun berwarna putih dan elegan. Tanpa kacamata.Rapat dibuka. Agenda utama dibacakan, peralihan jabatan CEO PT Hadinata Pharmaceutical.“Saya rasa semua sudah tahu tujuan kita hari ini,” suara Surya serak namun tegas.Ya, pria itu terlihat tegas dan kharismatik saat berada di kantor. Berbeda sekali, saat ia berada di rumah—yang tampak sebagai family man. “Sud
Dewa bangun lalu menatap Andini yang terlihat kesal. Mengapa situasi menjadi terbalik. Seharusnya ia yang kesal karena Andini sudah mempersilakan tamu yang tak diundang masuk ke apartemen.“Siapa yang bilang punyamu kecil?” kata Dewa menatap ke arah dada Andini. “Badanmu kecil sih tapi—”Sontak, wajah Andini langsung memerah. Ke dua tangannya langsung menutupi bagian dadanya dengan bantal.Gadis itu mengibaskan rambutnya kesal lalu memilih kembali menumpuk bantal dan memunggungi Dewa.“Dasar bocah!” gerutu Dewa lalu memejamkan matanya.Suara azan subuh terdengar samar-samar di masjid nun jauh di sana.Dewa bangun terlebih dahulu. Dadanya berdegup kencang manakala saat bangun, pemandangan pertama yang menyambutnya ialah gadis mungil yang meringkuk di sampingnya. Tumpukan bantal sebagai benteng Takeshi itu sudah raib, berjatuhan ke lantai. Dewa menggeser tubuhnya, lalu menarik selimut tebal dan menyematkannya pada tubuh gadis itu.Dalam diam, ia memperhatikannya dengan seksama. Wajah g
Bima mendengus pelan sambil meneguk gelas keempatnya. Alkohol bukan sahabatnya, tapi malam ini ia butuh pelarian.Pikirannya masih tertambat pada wajah Dewa—yang mengusirnya dari apartemen seperti orang asing.Bukan cuma masalah harga diri. Tapi masalah perasaan.Dan wanita yang ia pikir masih menyimpan rasa padanya—Andini.“Om, om... Pasti kalian nikah kontrak,” gumam Bima sambil mengaduk es batu di dalam gelas. “Lah kenapa kayak suami posesif banget, hah?”Tangannya refleks menyapu meja, membuat beberapa tisu dan tutup botol jatuh. Ia kesal pada Dewa dan Andini.Ia tahu, Andini bukan lagi miliknya. Bahkan mungkin, tak pernah benar-benar jadi miliknya. Tapi tetap saja... harga dirinya menolak menerima kenyataan itu.Saat seseorang yang kamu sayangi pergi, barulah kamu merasakan apa yang disebut kehilangan.“Harusnya Om bela aku. Bukan rebut dia,” desisnya lirih. Kesadarannya sudah mulai menghilang. Beberapa pengunjung bar melirik, tapi Bima tak peduli. Ia duduk di pojok ruangan, deng
Bima menoleh pelan. Tatapannya tajam namun tak meledak.“Aku cuma mau bicara sama Andini.”Dewa melangkah masuk. Menutup pintu di belakangnya. Bunyinya ‘klik’, seperti bunyi palu hakim yang memutuskan persidangan.Suasana apartemen mendadak sunyi seperti pemakaman.Andini buru-buru bicara. “Mas Dewa, dia cuma—”Dewa menatapnya sebentar lalu menyelanya. “Tenang, aku cuma nanya.”Nada Dewa tenang. Namun di balik ketenangannya, ia mirip lautan yang bisa menenggelamkan siapapun.Ia menaruh tas kerjanya di meja, lalu duduk di samping Andini. Satu tangannya terangkat merangkul pundak Andini.Entah mengapa, tubuh Andini menegang seperti terkena arus listrik ribuan volt. Ia memperhatikan dengan seksama bagaimana Dewa duduk, menatapnya lalu menatap Bima. Persis seperti seekor harimau yang sedang menanti detik-detik mangsa lemahnya. Dewa menggerakan bibirnya lalu bersuara. “Jadi, kamu datang ke rumah orang yang udah menikah, tengah malam, cuma buat ngobrolin masa lalu?”Mendengar perkataan Dew
Esok pagiAndini terbangun dan melihat Dewa tersungkur di lantai dengan leher tengeng karena tidur tanpa bantal.Andini dilanda bingung dan kaget. Kesadarannya belum utuh.“Loh... Om ngapain di bawah?”Dewa masih setengah sadar. “Nemenin kamu belajar,”Andini membuka mata pelan-pelan, mendapati dirinya berselimut rapi di atas sofa. Sekilas, ia bingung. Lalu... pandangannya turun. Sang empunya apartemen tidur di lantai.Dewa tergeletak miring di karpet, rambut acak-acakan, wajah tertutup separuh bantal kecil, dan satu tangan masih menggenggam... buku herbal miliknya.Andini berkata lagi, penasaran. “Eh? Kok Om... di bawah?”Dewa hanya meringis pelan tanpa membuka mata.Andini nyengir, lalu duduk. “Om nungguin aku tidur ya?”Dewa menjawab dengan so cool. “Nggak... aku cuma ketiduran. Baca buku punyamu yang tebal.”Andini menghela nafas pelan. Namun tatapannya beralih pada posisi tidur Dewa. “Itu gaya tidur atau korban gempa sih? Leher kamu tengeng tuh.”Dewa langsung pegang lehernya da