“Kamu yakin ini perlu?” Dion—research scientist sekaligus sahabat Bima, dari balik meja bertanya pelan dengan ekspresi wajahnya ragu. “Kenapa mesti diubah? Bukannya tadi batch ketiga udah stabil?”Bima tak langsung menjawab. Ia malah menuang cairan biru ke dalam larutan bening—reaksi instan membuat cairan itu jadi kehijauan, tanda efek kimia baru terbentuk.“Justru karena udah stabil,” katanya akhirnya, suaranya dingin. “Makanya harus diacak sedikit.”Dion mengerutkan dahi. “Tapi... kalau ini ketahuan Pak Dewa, kita bisa habis, Bim,”Bima tertawa pendek. “Makanya, Dion. Aku ubah dosisnya. Ganti beberapa komponen aktif sama bahan legal yang susah dilacak. Kalau mereka mau ngecek hasil lab, ya silakan. Gak bakal cocok sama yang nyokap Andini buat.”“Kamu jahat juga ya,” gumam Dion. Meskipun Bima adalah keponakan dari Dewa, ia tidak yakin jika Dewa bisa bersikap subjektif. Justru semenjak di bawah kepemimpinannya, perusahaan PT Hadinata Pharmaceutical mulai mengalami banyak perubahan. D
“Om, kamu bawa dompet ‘kan?” tanya Andini menatap Dewa dengan tatapan serius. “Bawa. Kenapa? Jangan bilang kamu mau minta traktir ngopi di bandara?” tukas Dewa menoleh sesaat, lalu kembali ia fokus ke jalan.Andini tertawa sambil membetulkan poninya di kaca mobil. Matanya masih sembab, tapi pipinya mulai kembali bersinar. “Enggak. Takutnya lupa. Atau jangan-jangan dompetnya punya tangan dan kaki. Dia jalan-jalan duluan ke Thailand—” kata Andini menyindir Dewa—yang sudah dengan teramat tega menyembunyikan passport miliknya. “Kamu lagi nyindir aku ya.” Dewa nyengir, tangannya tetap mantap di kemudi, membawa mobil melaju ke arah bandara.Andini hanya terkekeh pelan. Pria dewasa di sampingnya memang agak absurd. Perjalanan pagi itu mendadak hening sejenak. Di luar jendela, langit Jakarta masih berwarna abu-abu, seperti ikut berat melepas Andini pergi. Dewa melirik sesekali. Tangannya ingin menggenggam tangan Andini, tapi gengsi masih menang.“Mau nyetel lagu?” tawar Dewa, mencoba menca
Dewa refleks berdiri. “Bulan depan, ya? Hmm. Nanti tidak ada yang membuatkan herbal lagi setiap pagi.”Andini ikut berdiri, lalu mendekatinya. “Aku sudah membuatkan stok, Om. Tapi hanya cukup untuk satu minggu saja—”Dewa tak bisa menahan senyumnya. Ia menunduk, menarik napas panjang, lalu menatap Andini dalam-dalam.“Aku belum siap ditinggal,” gumamnya lirih, meski masih berusaha terlihat tenang.Andini terkekeh, lalu meraih tangan Dewa yang sedari tadi terlipat. Tunggu, kenapa mereka terlihat seperti suami istri sungguhan?“Om Dewa, aku hanya akan masuk kuliah, kok—”Dewa terdiam. Lalu tiba-tiba, tanpa aba-aba, memeluk Andini—pelukan yang gengsi, tetapi erat.Andini membeku. Mengapa Dewa memeluknya? Dan mengapa pelukan itu terasa begitu nyaman?Waktu seolah melambat. Saat Dewa akhirnya melepaskan pelukan, pandangan mata mereka bertemu.“Mau pamitan ke mana dulu?” tanya Dewa, mengalihkan pandangan ke dinding.“Um, terserah Om. Mau ke rumah Ayah dan Ibu atau ke rumah Ayahku dulu,” jaw
“Kamu masih suka komunikasi dengan Bima?” tanya Dewa tiba-tiba.Andini langsung mendongak, alis naik setengah senti. “Lah, kok Om bawa-bawa nama Bima lagi sih? Emangnya dia nyangkut di tenggorokan?”Dewa langsung nyesel. Ya, salah lagi. Dia tuh kadang lupa kalau pertanyaan random bisa langsung nyulut sirene. “Cuma nanya doang, Din. Tanya doang. Gak pake maksud.”Andini manyun. “Iya, nanya doang. Tapi udah kayak polisi curiga. Jangan-jangan Om ada cita-cita lain sebelum jadi CEO?”Dewa nyengir kuda tapi juga kepikiran. Ini cewek kok bisa banget ya nyeletuk gitu. Dia narik napas dalam. Banyakin. Konon, menghadapi perempuan itu harus kayak cenayang. Banyak baca ekspresi dan reaksi. Bahkan kalimat yang diucapkan pun kalimat yang bersifat ambigu.Saat bilang ‘nggak’, bisa jadi ‘iya’.Bilang ‘aku gak apa-apa’, artinya ‘kamu udah jahatin aku.’Dan kalau udah bilang ‘terserah’, mending kalian kabur sekarang juga.Dewa senyum tipis. Ia yang badmood. Tapi melihat Andini badmood semakin menamba
“Ada yang aneh di divisi riset. Feelingku nggak enak," kata Dewa sambil berdiri di depan lift, jemarinya menekan tombol dengan wajah serius tapi... pakai sandal hotel.Yes. Sandal hotel. Dia baru sadar setelah dua orang staf wanita di belakangnya cekikikan pelan. Karena tergesa-gesa dan kurang fokus, pria tampan yang mirip dewa Yunani—yang sebetulnya belum pernah lihat wujudnya sih, keluar tanpa memerhatikan alas kakinya. Sungguh, penampilannya tidak matching. Betapa tidak, dari atas memakai outfit eksekutif tetapi alas kakinya sandal rumahan.Saat tatapannya turun. Rasanya ia ingin mengutuk kodok jadi pangeran.“Sial... kenapa tadi lupa ganti sepatu sih?!” Dewa mengumpat dalam hati sambil pura-pura ngebuka WhatsApp—padahal layarnya mati.Sesampainya di lantai riset, suasana ruangan begitu tenang. Terlalu tenang. Seperti habis ada rapat diam-diam yang tak dicatat sejarah.Dewa langsung masuk ke dalam tanpa permisi, dan seperti biasa, semua orang langsung tegang. Siapa sih yang tak k
“Flashdisk-ku... hilang?!”Naura nyaris tersedak udara. Matanya membelalak, nafasnya menggantung. Ia berdiri mendadak dari kursi ruang istirahat dokter dan mulai merogoh saku jas lab putih yang dikenakannya.Kanan dan kiri kosong. Hanya ada permen mint dan sapu tangan yang entah sejak kapan nangkring di sana.“Hah... mana, sih?!” gerutunya panik.Itu bukan flashdisk biasa. Flashdisk penting berisi salinan hasil investigasi tentang racikan obat penting milik almarhumah ibunya Andini, semua tersimpan di sana. Kalau sampai jatuh ke tangan yang salah... habis sudah!Saat itulah, pintu ruang istirahat terbuka.Masuklah dr. Gilang, dokter penyakit dalam paling kalem di rumah sakit itu—yang baru pindah bertugas di sana setelah sebelumnya mengabdi di rumah sakit luar kota, dengan senyum khas dan suara bariton setenang muazin.“KOAS Naura, kayaknya jas kita ketuker deh,” katanya santai. Ia mengangkat jas lab putih lain yang terlihat sedikit sempit di badannya.Naura menoleh cepat. “Jas?! Janga