Lanjut gak nih
Bima menyandarkan tubuh ke meja, suaranya menurun namun penuh tekanan.“Aku akan tetap jadi direktur divisi riset. Kalau tidak... besok pagi, berita soal ‘pernikahan palsumu’ tersebar di semua media.”Ancaman itu menggantung di udara.Dewa tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Bima dalam diam, lalu berdiri dari kursinya dengan tenang. Ia mengambil dokumen dari meja, membuka lembar pertama, lalu merobeknya perlahan. Potongan kertas jatuh berserakan ke lantai, menciptakan keheningan yang nyaris menyakitkan.“Silakan,” ucapnya datar. “Mau kubantu tulis siaran persnya juga? Aku jago bikin narasi dramatis.”Bima melotot, tidak percaya. Mengapa reaksi Dewa biasa saja. Ia seperti tidak terprovokasi. “Kamu... gila?”Dewa menatap langsung ke matanya, dingin tapi mantap. “Mungkin. Tapi lebih gila lagi kalau aku diam saat kamu menginjak orang yang kucintai.”Bima mendesis pelan. “Orang yang kucintai?? Cih!”“Pernikahan itu memang awalnya kontrak,” lanjutnya, suaranya begitu tenang. “Tapi kam
Dewa berbicara dengan tenang dan datar. “Aku sedang menelaah ulang beberapa jurnal internal. Menarik, karena salah satu formula yang kamu anggap sebagai ‘inspirasi dari literatur lama’... ternyata sangat identik dengan catatan pribadi seseorang. Dan aku tahu kamu pernah dekat dengan putrinya.”Amanda menimpali, suaranya sedikit meninggi. “Om Dewa... maksudnya Andini?”Dewa menoleh perlahan ke arah Amanda. “Kalau kamu tahu siapa yang kumaksud, maka aku tak perlu menyebut nama.” Senyum miring terbit di wajahnya.Ratih, yang merasakan ketegangan mulai meningkat, buru-buru melerai. “Dewa, ini kan urusan kantor. Bisa dibicarakan nanti.”Namun Dewa tetap tenang, meski nadanya mulai dingin. “Tentu, Bu. Tapi menurutku... keluarga seharusnya menjadi tempat paling jujur untuk bicara. Bukan tempat bersembunyi sambil memakai nama perusahaan.”Bima menyilangkan tangan di dada, menyunggingkan senyum sinis. “Om bisa periksa apa saja. Saya siap. Asal jangan sampai urusan pribadi mempengaruhi keputusa
Dewa menyalakan lilin aroma lavender di sudut kamar. Lampu utama ia padamkan, menyisakan cahaya lembut dari lampu meja di sisi ranjang. Tirai jendela sudah ditutup, dan udara dingin dari AC disetel rendah, cukup untuk memberi alasan saling berpelukan nanti.Pria dewasa itu sudah menyusun skenario terbaik untuk malam pertama dengan kekasih hati. Dengan satu syarat Andini bersedia. Jika ia belum siap ia tidak akan memaksanya. Baginya, kebahagiaan Andini adalah yang utama.Tempat tidur rapi, dengan sprei putih bersih dan selimut abu-abu lembut yang dilipat rapi di kaki ranjang.Dewa mengenakan kemeja putih dengan dua kancing terlepas di bagian atas, serta celana tidur katun gelap. Wajahnya bersih, segar setelah mandi, dan rambutnya masih sedikit basah. Tidak lupa parfum mahal sudah disemprot ke sekujur tubuhnya.Ia menunggu di sisi ranjang, menunduk sedikit, memijat jemarinya yang gelisah. Tak mudah baginya menunjukkan kelembutan, tapi malam ini... ia ingin jujur sepenuhnya.Pintu kamar
Andini baru saja selesai menyapu balkon apartemen. Rambutnya diikat asal, memakai sweater abu-abu oversized milik Dewa yang panjangnya nyaris menutupi celana pendek yang ia pakai.Saat merasa letih, ia duduk di kursi rotan di sana. Baru saja ia hendak menuang teh hangat, bel berbunyi.Drrrtttt. DING-DONG.Andini membuka pintu, lalu—jantungnya nyaris lepas dari katupnya. Dua makhluk cerewet sudah diam mematung dengan senyum sumringah di depan pintu apartemen.“Andini!” seru Sari dengan antusias. “Lo ilang kayak diculik CEO tau,” sambung Rika dengan senyuman khasnya.Rika dan Sari langsung masuk tanpa aba-aba, peluk sana-sini.Andini tertawa lemas. “Kalian kayak lagi sidak aja, bikin kaget.”Sari langsung melirik ke sekeliling ruangan apartemen yang luas dan cozy.“Ini… ini beneran… APARTEMEN? Mewah banget kayak apart punya artis Astaga naga?”Rika membelalakan matanya. Menatap desain interiornya termasuk furniture yang kalau dikonversi ke rupiah sangat mahal. “Serius kamu tinggal di s
Andini terbangun dengan kepala yang terasa berat seperti beban hidup. Saat kesadarannya mulai terkumpul, ia meringis pelan. “Ya Allah, seseorang menjebakku. Mengapa aku bisa lengah begini—”Helaan nafas berat lolos di bibirnya.Ia menggigit bibir bawahnya saat ingatan semalam melintas. Saat ia berbicara ngawur di depan teman-temannya. Kemudian pria itu—Dewa membawanya pulang. “Om Dewa?”Hatinya merasa mencelos. Tak terhitung pria itu sudah menolongnya ketika ia membutuhkan pertolongan. Matanya bergerak menyisir kamar hotel—yang berbeda. Andini berada di kamar di mana Dewa bermalam.Tatapannya tertuju pada pakaiannya yang sudah diganti dengan piyama kebesaran milik pria yang ternyata tengah tidur di sampingnya.Ia ingat, semalam ia memprovokasinya. Namun pria itu sama sekali tidak mengambil kesempatan lebih jauh saat dirinya tidak sadar. Padahal bisa dengan mudah pria itu mendapatkan haknya sebagai seorang suami. Detik itu Andini baru sadar, Dewa tidak seperti apa yang dipikirkanny
Dewa duduk di dalam mobil hitam, mengenakan kaus gelap dan jaket kulit. Ia memantau dari kejauhan saat Andini turun dari taksi bersama Sari dan Rika. Ia membuntuti istri kecilnya tepat saat ia keluar hotel dan pergi bersama teman-temannya. Biasanya ia menyuruh Tio atau Rangga. Namun karena ia ada di sana, ia meminta mereka untuk tidak mengawasi istrinya.Ia menggenggam setir, menatap tajam.“Acara ulang tahun?” gumamnya. “Kenapa harus di restoran mahal begini? Dan kenapa dia gak bilang siapa aja yang datang?”Setelah menunggu beberapa menit, Dewa turun dari mobil. Ia mengenakan masker hitam dan topi, menjaga agar tidak terlalu dikenali.Ia masuk dari pintu belakang, melewati dapur restoran dengan izin khusus dari staf yang dikenalnya—lewat jalur relasi.Dari balik tirai kaca, Dewa mengamati seperti seorang mata-mata.Andini tertawa bersama teman-temannya. Wajahnya bersinar malam itu. Cantik. Terlalu cantik sampai beberapa pasang mata di ruangan tak berhenti menatapnya.Dewa tidak suk