Vina kerap kali ikut Dylan ke kantor, apalagi sejak Dylan menyiapkan sebuah ruangan khusus untuknya di lantai desain. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi papan inspirasi, sketsa warna-warni, dan rak berisi kain-kain premium.Di tengah ruangan, berdiri meja desain besar dengan lampu sorot, tempat Vina menghabiskan waktu merancang koleksi busana barunya.Tak jarang, Vina membawa si kembar ke kantor. Dua bocah itu biasanya bermain di karpet bulu di sudut ruangan, ditemani segala jenis mainan edukatif. Sesekali, mereka merangkak ke ruang kerja Dylan, membuat suasana kantor yang biasanya serius menjadi lebih hidup.Karyawan di kantor sudah terbiasa melihat pemandangan itu—CEO dan istrinya berjalan beriringan di koridor, diikuti dua nanny dan anak kembar yang lucu.Bagi Dylan, momen itu adalah kombinasi sempurna antara pekerjaan dan keluarga. Ia bisa melihat Vina bekerja dengan passion-nya, sambil tetap dekat dengan anak-anak. Dan bagi Vina, itu adalah cara untuk tetap berkarya tanpa kehi
Dylan duduk di ruang kerjanya dengan sebuah amplop putih tebal di tangannya. Logo sebuah agensi hiburan besar tercetak di pojok kiri atas. Ia membuka surat itu dengan hati-hati, membaca kata demi kata, matanya sesekali membesar.Penawaran kontrak untuk menjadikan Clara sebagai penyanyi cilik profesional.Dylan tahu putrinya punya bakat, tapi ia tak menyangka bakat itu sampai menarik perhatian industri sebesar ini.Berkas itu ia kembalikan ke dalam amplop. Dylan keluar dari ruang kerja dan berjalan ke ruang makan.“Chagiya.” Dylan mencium leher Vina dari belakang.“Tumben, kerjanya cepet.” Vina menoleh sedikit“Kangen sama kamu.”Berikutnya, Vina terkekeh geli karena Dylan kembali menciuminya. Kedua tangan Dylan melingkari pinggang ramping Vina. Bahkan dengan sengaja merapatkan area pribadinya ke bokong Vina.“Sayang... nanti ada lihat!” Vina menolak godaan itu secara halus.“Siapa yang lihat jam segini? Ini jam sibuk. Semua orang sedang beraktifitas,” kilah Dylan.“Jangan di sini.”“O
Tiba di rumah, Clara masih tampak tegang. Ia tidak menyangka akan mendapat perlakuan tidak baik dari orang-orang di taman.“Ara kan nggak sombong, ya, Mom.” Clara tampak sedih.“Nggak. Clara anak baik.” Vina mencoba menghibur sang putri.Lalu, Dylan masuk. Vina membiarkan Dylan menemani Clara sementara ia pergi ke kamar si kembar untuk menyusui mereka.Dylan kembali mendengar keluh kesah Clara. Sejak mereka dalam perjalanan pulang, Vina memang sudah berbisik agar ia bicara pada Dylan.Bagi Vina, Dylan lebih bisa memberi pendapat sekaligus nasehat pada putri mereka yang mulai terkenal sebagai penyanyi cilik.“Jadi, nggak papa kalau ada yang minta foto? Ara takut kalau rame-rame gitu.” Clara memberengut pada sang daddy.“Boleh aja. Tetapi kalau kamu memang sedang santai. Misal, Clara sedang makan terus ada yang minta foto. Ara bilang aja Ara makan dulu, ya. Fotonya nanti.” Dylan memberi contoh.“Kalau mereka marah lagi kaya tadi? Terus Clara dibilang sombong?”“Itu tandanya mereka yang
Selain Vina yang menorehkan keberhasilan pada dunia fashion, Dylan semakin mengukuhkan namanya sebagai seorang pebisnis handal.Namun Dylan selalu mengelak bahwa kesuksesannya karena bimbingan Brandon. Hubungan mereka dengan keluarga Richmont juga semakin dekat.Hidup Vina bertambah sempurna saat Rere benar-benar pindah. Adiknya itu menjadi pegawai eksekutif di perusahaan Dylan. Ia menjadi salah satu orang yang menyeleksi pelamar.“Gimana kamu tau kalau orang itu Goldies sejati?” tanya Vina sambil menyusui.“Tinggal buka media sosialnya. Aku bisa lihat postingannya dan tagar yang orang itu pakai.” Rere bicara sambil menatap laptopnya.“Bisa aja dia baru bikin media sosial saat mau melamar kerja.”Rere melirik sang kakak. Vina benar-benar masih belum memahami cara kerja media sosial.“Kan bisa lihat tanggal pembuatan dan tanggal postingannya, Kak.”“Ohh bisa, ya?”Rere hanya merespon dengan mendengus geli.Meski tenggelam dalam kesibukan bisnis masing-masing, Vina dan Dylan selalu berp
Sebelum mencapai ruang makan, Dylan melihat karangan bunga besar yang indah. Ia menduga siapa yang mengirim bunga tersebut.“Bunganya dari Uncle Emil juga. Kata mommy, terserah Ara mau taro di mana. Di situ bagus, kan, Dad?”“Iya.” Dylan menjawab singkat.“Uncle Emil baik ya, Dad.”“Nggak tau. Daddy belum begitu kenal.”“Daddy kenalnya sama Uncle Brandon, ya? Uncle Brandon juga baik, tetapi diem aja. Ara nggak pernah ngobrol sama dia.”Dylan hanya menanggapi dengan senyum tipis. Jauh sekali memang jika membandingkan keramahan Brandon dan Emil.Di ruang makan, Dylan menatap meja yang penuh dengan makanan mewah. Vina yang sedang menata piring tersenyum pada sang suami.“Emil mengirimkan makanan sebagai tanda syukur kerja sama kita.”Kita? Dia dan istriku, kali! Dylan meralat lalu mendengus dalam hati.“Sayang? Nggak papa kan, kita makan ini?” Vina menatap Dylan yang hanya diam menatap makanan di meja.“Nggak papa.” Dylan memaksakan senyum dan duduk di samping Vina.Mereka mulai menyendo
“Serius, Re?!” Vina berseru antusias.Rere menelepon dan mengabarkan bahwa Rendra mendapat pekerjaan di kota di mana Vina tinggal. Mereka memutuskan untuk pindah hingga Rere dan Vina dapat berkumpul kembali.“Iya, Kak. Rendra sedang mengurus kepindahan kami.”“Ya ampuun. Senangnya aku.” Vina menutup mulutnya dan duduk di tepi ranjang.Ia mendengarkan cerita Rere tentang bagaimana Rendra mendapatkan pekerjaan sebagai salah satu dokter spesialis di salah satu rumah sakit. Rendra memang menuliskan nama Dokter Clark sebagai salah satu referensi kenalannya.“Rendra bilang sih pasti karena Dokter Clark terkenal sebagai dokter keluarga triyulner jadi ia diterima.” Rere terkekeh.“Jangan ambil pusing kalau ada yang mencemooh begitu.”“Tidak. Aku dan Rendra santai saja. Yang penting, Rendra memang bisa menjadi dokter ahli, bukan sekedar numpang nama tenar aja.”Vina tersenyum. Seandainya ia memiliki sifat santai seperti Rere mungkin hidupnya juga tanpa beban.Seperti sekarang ini, Vina masih s