“Mau apa dia ke rumahku?” batin Rika dengan tatapan penuh kemarahan. Rika membuka pintu rumahnya.
Matanya terbuka lebar, ketika melihat Andri bersama dengan Riana, wanita yang akan dinikahi suaminya itu datang. “Rika, kita harus bicara,” ucap Andri dengan lembut. Rika meremas ujung bajunya menahan amarah. Dia menatap kedua manusia dihadapannya dengan penuh kebencian. Manusia yang menoreh luka dalam di hatinya.
“Apalagi yang mau kalian bicarakan? Bukankah, aku sudah katakan urusan kita sudah selesai. Hubungi saja pengacaraku, apa kalian tidak mengerti dengan kata-kataku?” sahut Rika dengan tatapan mengintimidasi. “Lalu, soal rumah ini bagaimana, Rika?” tanya Andri tak tahu malu.
Mata Rika membuka lebar, mengernyitkan keningnya. “Memangnya, ada apa dengan rumah ini? Apalagi yang kamu inginkan dariku, Mas? Jangan bilang, kamu menginginkan rumah ini juga?” tanya Rika menajamkan tatapannya.
“Rika, kita nggak perlu bercerai. Mas, akan berlaku adil, padamu dan pada Riana. Kita bisa tinggal di rumah ini bersama-sama, membangun keluarga kita. Mas tahu, kamu juga masih mencintaiku, percayalah kita bisa mengatasi ini,” ujar Andri percaya diri, tanpa rasa bersalah dan tanpa beban.
“Apa? Cinta?” Rika berdiri menatap Andri dengan ekspresi wajah marah. Dalam hatinya, masih terluka karena mengetahui perselingkuhan suaminya dan sekarang harus mendengar permintaan konyol suaminya itu.
“Iya, Mas tahu kok. Kamu pasti sakit hati. Tapi kalau kamu bisa ikhlas, semua akan baik-baik saja. Kita bisa melalui semua bersama-sama. Kita bisa belajar bersama. Percayalah, kita bisa menjadi keluarga yang baik, Sayang,” bujuk Andri, meyakinkan Rika.
“Iya, Mbak. Kita pasti bisa akur, kita bisa saling membantu. Aku mengerti posisiku sebagai yang kedua. Jadi, Mbak nggak usah khawatir, aku akan banyak mengalah,” timpal Riana datar tanpa rasa bersalah.
Rika merasakan kebencian yang membara dan sakit hati yang tak terucapkan. Bagaimana mungkin dia harus bertemu dengan wanita yang kini berbagi hidup dengan pria yang pernah dia cintai dan sekarang dengan polosnya mengatakan ingin hidup bersama dan berusaha mengalah?
Memahami bahwa hidup harus terus berlanjut, Rika berusaha untuk meredakan emosi yang meluap-luap, dia menarik nafas dalam-dalam. Meskipun di dalam hatinya dia merasa hancur, dia tahu dirinya harus melangkah maju. Namun, setiap pandangan ke arah mereka membuat hatinya semakin teriris.
Rika mencoba untuk tersenyum, tetapi senyumnya terasa getir. Setiap percakapan terasa seperti pukulan emosional yang melukai dirinya. “Pergi kalian dari rumahku! Aku nggak akan mengubah keputusanku. Aku akan mengguggat cerai, atas perselingkuhan kalian!” teriak Rika dengan sorot mata penuh kemarahan.
“Rika, jangan begini. Jangan memperbesar masalah, Mas ini pegawai pemerintah. Masa depan Mas, bisa hancur. Reputasi bisa hancur. Tolong mengertilah, demi waktu yang pernah kita jalani bersama,” pintanya memohon.
“Iya, Mbak. Janganlah egois, hari gini jadi pegawai pemerintah itu susah. Orang tua Mas Andri pasti akan sangat membencimu, jika kamu tetap mempermalukan Mas Andri!” timpal Riana memperingatkan. Dada Rika semakin panas mendengarnya.
Tiba-tiba terdengar suara salam dari luar rumah, dan suara itu sangat dikenal Rika. “Assalamu alaikum,” sapa ibu dan bapak mertua yang datang.
Kening Rika mengernyit, tidak seperti biasanya mereka datang tanpa memberitahu. Rika semakin menaruh curiga akan kedatangannya. “Ibu dan Bapak tumben datang nggak memberitahu dulu,” sambut Rika dengan senyuman terpaksa dan tatapan curiga dengan kedatangan kedua orang tua Andri.
“Iya, Andri yang meminta kami untuk datang ke sini. Lagipula, kalau kami datang tiba-tiba, memang masalah buatmu?” desis ibu mertua ketus seperti biasanya.
Hembusan nafas keluar dari mulut Rika. Dia tidak heran dengan perlakuan ibu mertua padanya. Rika hanya tersenyum getir tanpa berkata apa-apa lagi.
“Oh, jadi ini yang namanya Riana?” tanya ibu dengan senyuman lebar menatap Riana. Rika menatap heran. ‘Apakah, ibu sudah tahu masalahnya?’ batin Rika. “Iya, Bu. Aku Riana,” sahut Riana dengan senyum sumringah.
Rika menatap Andri menuntut jawaban dengan apa yang sedang terjadi. Andri tampak menarik nafas dalam-dalam. “Ibu dan Bapak sudah tahu masalah kita, Rika,” ucap Andri menjawab arti tatapan Rika.
“Iya, Rika. Ibu sudah tahu masalah kalian. Sudahlah, maafkan saja suamimu. Lagi pula kamu itu mandul, tidak bisa punya anak. Buktinya sudah setahun menikah tidak hamil juga. Jadi, terima saja takdirmu. Kalian bisa hidup rukun bersama,” desis ibu ketus.
Rika mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah. Rintik hujan sore itu tidak bisa mendinginkan suasana hatinya yang terbakar. Kali Ini dia merasa suami dan keluarganya sudah keterlaluan dan Rika sudah tidak bisa menahannya lagi.
Padahal Andri lah yang menyuruhnya memakai alat kontrasepsi, dengan alasan tidak mau cepat-cepat punya anak. Rika sering protes. Namun, tadinya Rika berpikir kalau Andri khawatir dan belum siap bertanggung jawab sebagai seorang ayah. Hingga, dia dengan sabar menunggu sampai Andri mengizinkannya tidak memakai alat kontrasepsi agar bisa hamil.
“Oke, silahkan kalian menikah, tapi ceraikan aku, Mas. Dan keluar dari rumahku!” teriak Rika lantang, kilatan api kemarahan tampak jelas di wajahnya menyorot tajam ke arah Andri.
Semua mata yang ada di ruangan itu menatap Rika terkejut. Hingga, setelah beberapa detik semua tertawa karena ucapan Rika. Kecuali, Andri yang membisu dengan kepala menunduk dalam-dalam. Jantungnya terasa berdegup kencang, wajahnya tampak pucat menanggapi ucapan Rika.
“Hey, Rika! kami sudah cukup sabar menghadapi kelakuanmu. Andri nggak menceraikanmu hanya demi nama baiknya sebagai pegawai pemerintah. Namun, bukan berarti kamu itu bisa seenaknya mengklaim rumah ini milikmu, dasar wanita tidak tahu malu!” teriak ibu dengan suara keras sembari berkacak pinggang.
“Dengar ya, Rika. Kamu itu menumpang hidup dari uang suamimu. Rumah dan seluruh harta keluarga kalian adalah milik suamimu! Kamu jangan bermimpi memiliki semuanya!” sela bapak mertua dengan senyuman miring. Riana tersenyum puas melihat Rika yang terus dipojokkan.
Hujatan yang tajam, seperti belati menggetarkan hati Rika. Kata-kata kasar dan hinaan melewati batas-batas kesopanan. Namun, dia memilih untuk berdiam diri. Meski hatinya sakit, dia bertahan dengan sikap yang tenang, membiarkan hujan kata-kata keluar dari mulut mertuanya. Namun, dalam diamnya, ada kekuatan besar yang tak terbendung.
“Mas, jangan diam saja. Jelaskan pada orang tuamu. Dari mana kita sekarang mempunyai uang banyak dan memiliki rumah juga mobil!” desak Rika. Bukannya mengalah, Rika malah menuntut Indra untuk mengungkap kebenarannya.
“Hey, Andri! Kenapa kamu diam saja? Cepat jelaskan, jangan takut sama istrimu. Kamu itu laki-laki, jangan mau diinjak-injak oleh wanita parasit yang bisanya menumpang hidup, tapi mengaku-ngaku menjadi pemilik semuanya. Sudah, ceraikan saja istrimu!” Suara bariton Bapak terdengar memenuhi ruangan, sembari menatap putranya yang sedari tadi hanya diam, tak mampu membela diri.Semua mata menyorot tajam ke arah Andri, ibu bahkan mendekati Andri dan mengguncang tubuh Andri, yang menurutnya sangat bodoh jika mempertahankan Rika. Andri diam bergeming, mulutnya terasa terkunci. Semua menekannya untuk menceraikan Rika, tapi Andri tidak mau menceraikannya. Itu semua karena Andri tahu, Rika adalah mesin ATM untuknya.“Lihat, Mas! Semuanya menginginkan agar kamu menceraikan aku. Jadi ceraikan aku, Mas!” pinta Rika lantang dengan tatapan mengejek.Kini, Rika menyadari kalau suaminya mempertahankan dia hanya karena kemampuannya dalam mencari uang. Bukan karena cinta dan ingin hidup bersama seperti
Dua minggu terasa seperti waktu yang begitu panjang bagi Rika. Dia melewati berbagai tahap persiapan sidang perceraian. Hari itu akhirnya tiba. Rika menaiki motornya menuju pengadilan agama. Sesampainya di pengadilan, Rika duduk tegak di bangku penggugat. Menunggu hakim membacakan keputusan akhir.Hening menyelimuti ruangan saat hakim memulai pembacaan hasil sidang. Suasana tegang membuat detak jantung Rika semakin cepat. Matanya tak berkedip, fokus pada kata-kata yang akan diucapkan oleh hakim."Hakim telah mempertimbangkan dengan cermat segala bukti dan alasan yang disampaikan dalam persidangan ini. Berdasarkan hal tersebut, pengadilan mengabulkan permohonan cerai dari pihak penggugat," ucap hakim dengan tegas.Hati Rika berdesir saat mendengar kata-kata itu. Senyuman lega tampak dari wajahnya. Beban pikiran yang dia rasakan selama beberapa waktu terasa sirna. Ibu menghampiri dengan tatapan sinis. “Puas, kamu! Sekarang statusmu janda, mandul pula. Ibu yakin nggak ada laki-laki yang
“Eh, maksudnya gimana?” tanya Rika bingung. Dinda melangkah mendekat, menatap Rika lekat-lekat dengan tatapan memohon, kedua telapak tangannya disatukan di dadanya.“Tante, mau nggak jadi Mama aku? Aku ingin punya teman ngobrol dan jalan-jalan ke mall seperti teman-temanku yang lain,” pintanya lirih dengan tatapan memohon. Satya terlihat salah tingkah dengan permintaan putrinya yang tidak terduga.“Dinda, cukup! Dia tamu, Papa. Jangan bicara macam-macam!” bentak Satya. Dinda mengalihkan pandangan menatap Satya dengan bibir mengerucut. “Maafkan putri saya,” sesalnya sopan menatap Rika.“Iya, Pak. Nggak apa-apa, kok. Namanya juga anak-anak,” sahut Rika mengembangkan senyumannya, meski jantungnya serasa mau loncat saat mendengar permintaan gadis kecil bernama Dinda itu.“Tante Rika ini adalah seorang penulis, dia akan menulis biografi Papa dan kamu akan ada di dalam tulisannya. Kamu bisa mengakrabkan diri dengannya, tapi jangan berpikir yang aneh-aneh. Kamu mengerti maksud, Papa ‘kan?” S
Pagi itu, matahari bersinar terang, menerangi perjalanan Rika yang mengendarai motornya dengan penuh semangat. Tujuannya adalah rumah Satya Mahendra. Saat motornya sampai di depan gerbang rumah, senyum ramah pak satpam menyambut Rika.Rika segera memarkir motornya dan berjalan menuju pintu depan. Ternyata, Dinda, sudah menunggunya dengan senyuman lebar di teras. "Akhirnya Tante Rika datang!" seru Dinda sambil melompat kegirangan. "Hai, Sayang. Wah, kamu kelihatan semangat sekali hari ini," ucap Rika membalas dengan senyuman lebar."Papa bilang, Tante akan berkeliling rumah untuk menggambarkan rumah kami dalam tulisan, benar? Aku yang akan menemani, Tante." Dinda berkata antusias. "Iya, benar sekali, Sayang,” sahut Rika."Tapi, sebelumnya, bisakah Tante membantuku mengerjakan PR matematika? Aku agak bingung," pinta Dinda dengan manis. Rika tersenyum mengangguk. "Tentu saja, aku akan bantu. Mari kita selesaikan PR-nya terlebih dahulu."Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Rika dengan
Suasana menjadi tegang ketika Satya tiba-tiba meluapkan kemarahannya kepada Andri, mantan suami Rika, yang sudah mengabaikannya bahkan berkata tidak sopan pada Rika. Satya bicara dengan suara keras memecah keheningan, hingga teriakkannya menghentikan langkah Andri. “Hey! Apa maksud perkataanmu?” teriak Satya lantang. Andri berbalik dan menatap Satya dengan tatapan dingin. “Ah, ini bukan urusanmu. Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi, nggak usah ikut campur!” balas Andri dengan suara tinggi. Ucapan Andri memancing emosi Satya. “Aku tidak peduli! Yang jelas kamu tidak memiliki hak untuk menyakiti perasaan Rika dengan kata-kata kasar seperti itu!” bentak Satya tegas. Andri mengangkat bahunya. “Asal anda tahu. Rika, nggak bisa menerima kenyataan, kenapa aku mencari wanita lain,” ejeknya dengan senyuman miring. Terlihat senyuman mengejek, terukir di bibir Riana. “Justru, Rika tahu. Melepaskanmu, adalah cara terbaik untuk memperbaiki hidupnya!” Satya meninggikan suaranya. Meski Rika tidak mencer
"Pah, boleh ya, aku menginap di rumah Tante Rika malam ini?" desak Dinda, sambil menyuguhkan senyum manisnya. Satya masih terdiam, tatapan cemasnya tergambar jelas di wajah tampannya. Sebuah kekhawatiran yang tak terucapkan. Rika memang wanita baik, namun tetap saja Satya ragu untuk memberikan izin pada putrinya. "Boleh, ya, Pah?" Desakan lembut Dinda terdengar lagi. Satya merasa kebingungan, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan rasa kekhawatirannya tanpa membuat Dinda kecewa. Namun, sebelum dia bisa menjawab, Rika, melihat kekhawatiran di wajah Satya melepas putrinya, langsung memberi pengertian pada Dinda. "Dinda, Sayang, kamu nggak perlu menginap, kamu bisa datang ke rumah Tante setelah pulang sekolah. Kita bisa mengerjakan PR bersama, atau jika kamu ingin bercerita tentang teman-temanmu Tante selalu siap mendengarkan. Tante akan menunggumu, bagaimana?" Rika berkata dengan lembut. Rika sangat memahami perasaan Dinda yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu, karena dia
Satya melangkah tergesa-gesa di belakang Rika yang memimpin jalan menuju kamar. Wajahnya cemas, tetapi Satya mencoba menenangkan diri dari kepanikannya. "Rika, apa yang terjadi dengan Dinda?" desisnya, mencoba mengendalikan kecemasannya.Rika memasuki kamar dengan langkah cepat, Satya mengikutinya dengan tatapan khawatir yang tak bisa disembunyikan. "Dia seharusnya baik-baik saja, Pak Satya. Saya yakin itu hanya karena siklusnya," jawab Rika, mencoba memberikan penjelasan yang dapat menenangkan Satya.Namun, begitu mereka berdua melihat Dinda berbaring dengan wajah pucat, ekspresi panik kembali menghampiri wajah Satya. "Dinda, Sayang, apa yang terjadi? Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Satya dengan nada khawatir, hampir tanpa jeda.Dinda menatap mereka dengan wajah lemah, "Aku hanya merasa nggak enak badan, Pap. Aku rasa hanya perlu istirahat," jawab Dinda, mencoba meyakinkan mereka.Saat Rika hendak menjawab, Dinda memotong, "Tante Rika, jika tulisan biografi Papa sudah selesai, apa
Satya duduk di ruang tamu, menimbang-nimbang kemungkinan untuk mengajak Rika untuk bekerja bersamanya. Dia mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan rencananya. Lalu, dia melangkah ke kamar tamu untuk menemui Rika dan Dinda.Dia berdiri di depan pintu kamar tamu, dia bisa mendengar tawa ceria Dinda yang terdengar menyenangkan. Dalam hatinya, Satya merasa lega melihat putrinya bisa begitu dekat dengan Rika. Satya mengayunkan tangan dan mengetuk pelan kamar tamu.“Boleh, Papa masuk?” tanya Satya dari luar kamar. "Iya, Pah, masuk aja!" seru Dinda dari dalam kamar. Dengan perlahan, Satya membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan kamar."Papa lihat kamu gembira sekali, Dinda?" sapa Satya ramah sambil tersenyum pada mereka berdua. "Tentu dong, Pah. Aku senang karena ada teman curhat!" jawab Dinda melirik Rika sembari tersenyum senang.“Oh, iya. Bagaimana kondisi Dinda menurut dokter, Pak?” tanya Rika penuh perhatian. “Dia baik-baik saja, sepe