Pagi itu, sinar mentari masih malu-malu menerobos tirai jendela kamar. Alarm adzan subuh berbunyi dengan lembut. Dengan gerakan setengah sadar, Rika menggapai ponselnya yang bergetar di atas meja.Setelah menunaikan sholat subuh, Rika melangkah ke balkon kamar Dinda. Dari sana, pemandangan taman belakang rumah yang asri terhampar indah di hadapannya. Dinda, dengan rambut yang masih sedikit berantakan dan mata yang sedikit mengantuk, merasakan sentuhan udara pagi melangkah menghampiri Rika.“Tante, sudah bangun,” sapa Dinda. Rika menoleh dan tersenyum tipis. "Sudah, Sayang. Oh iya, perutmu tidak terasa sakit lagi, Din?" tanya Rika sambil memandang ke arah matahari yang mulai menampakkan keberadaannya di ufuk timur.Dinda mengangguk pelan. "Iya, Tante. Alhamdulillah, sudah nggak terlalu sakit seperti semalam," jawab Dinda mengembangkan senyumnya. Rika tersenyum lega mendengarnya."Baguslah kalau begitu. Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar
Rika melangkah perlahan menuju ruang makan. Mentari pagi yang lembut menyinari langit, memberikan kehangatan pada rumah itu.Ketika dia tiba di ruang makan, matanya langsung bertemu dengan wajah Dinda yang duduk di meja dengan sepiring pancake yang masih mengeluarkan uap. Dinda yang selalu terlihat energik dan ceria. Namun, kali ini ada keraguan yang tersemat di wajahnya, Dinda tampak sedang berpikir. “Ah, Dinda. Rasanya aku sulit meninggalkanmu,” batin Rika."Dinda!" sapanya sambil tersenyum. Pandangan Dinda melambat saat dia menoleh ke arah Rika, senyumnya terlihat ragu. "Tante Rika. Sudah bicara dengan papa?" tanyanya dengan tatapan sendu. Rika mengangguk dan duduk di kursi yang kosong di seberang Dinda. "Iya, Sayang. Wah, pancake wangi sekali," ujar Rika mencoba mencairkan suasana. Rika tahu Dinda sedang khawatir.Dinda tersenyum tipis, tapi ekspresinya segera berubah serius. "Tante Rika, aku harus tanyakan sesuatu. Apakah, Tante sudah menyelesaikan pekerjaan menulis buku biografi
Rika memasuki rumahnya dengan hati-hati, sambil melangkah dalam hati memikirkan kehadiran tiba-tiba mantan ibu mertuanya. Dia berharap kunjungan itu bukanlah awal dari masalah baru."Ibu, ada apa?" Rika mencoba tersenyum ramah sambil berjalan menuju ruang tamu, mencoba menahan rasa khawatirnya.“Dari mana saja, kamu? Bi Tina bilang, kamu menginap. Wah, baru berstatus janda langsung merasa bebas. Kamu tidur di hotel dengan laki-laki mana? Mentang-mentang mandul jadi bisa bebas!” maki ibu mertua dengan hinaan tanpa jeda, saat melihat Rika datang. Rika mengepalkan tangannya dengan mata membesar. “Maaf, itu bukan urusan ibu lagi. Aku bukan tanggung jawab Mas Andri lagi. Ibu harus ingat kalau kami sudah bercerai. Jadi, apapun yang aku lakukan, bukan menjadi urusan Mas Andri atau keluarganya lagi. Ada perlu apa, Ibu datang ke sini?” sahut Rika membalas ketus. Rika tidak mau lagi diam saat hinaan menghujamnya.“Wah, sombong sekali sekarang, kamu! Apa mentang-mentang bisa mencari uang, lanta
Dengan cepat Rika menggeser layar ponsel untuk menjawab panggilan dari Andri, meski dalam hati dia merasa enggan berurusan lagi dengannya.“Halo, ada apa lagi, Mas?” tanya Rika ketus.“Rika, ibuku masih ada di sana?” tanyanya dengan tergesa.“Ibu, baru saja keluar dari rumahku. Coba kamu telepon saja ke ponselnya,” sahut Rika dengan nada malas.“Aduh, masalahnya ponsel ibu nggak aktif. Padahal aku mau bilang, kalau aku mau pergi bersama Riana. Tadi dia mengatakan mau ke rumahku, tapi Riana ada perlu dengan temannya dan minta aku antarkan,” jelas Andri. Rika mendengarkan dengan malas.“Kamu tunggu saja dulu ibumu, jarak dari rumahku ke rumah kontrakanmu tidak jauh. Kasihan dia, nanti sudah jauh-jauh tidak ada orang di rumahmu,” saran Rika. “Ah, nggak usah sok ngajarin deh, kamu. Ya udah, aku pikir ibu masih ada di sana,” ucapnya lalu memutus sambungan telpon.Rika membuang nafas kasar. “Huhh, dasar laki-laki nggak pernah berubah, benar-benar egois!” umpat Rika dengan mata menyipit. Ti
Rika memasuki kamar dengan langkah gontai, tatapannya masih tergantung pada bayangan Satya dengan senyuman dan tatapan hangatnya. Dia duduk di pinggiran tempat tidur, menggenggam erat selimut yang terbentang di atasnya, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar kencang."Aduh, kenapa aku seperti ini?" gumam Rika pada dirinya sendiri sambil menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak boleh terlalu terbawa perasaan. Ini bukanlah cinta, ini hanya kebutuhan akan seseorang yang ada untukku."Dia mencoba meyakinkan hatinya sendiri bahwa perasaannya hanyalah kebutuhan akan kehangatan, kehadiran yang membuatnya merasa dihargai. Namun, dia berusaha keras untuk tidak terlalu larut dalam ilusi bahwa dirinya sepadan dengan sosok seperti Satya. Pria tampan, sukses, dan begitu menawan.Rika terdiam dalam lamunan yang kacau, membiarkan pikirannya melayang pada sosok Satya dan kerumitan perasaannya. Layar ponselnya tiba-tiba bergetar, memecah keheningan kamarnya. Dia menatap layar, wajahnya memancark
Rika terduduk dengan pandangan kosong. Dia mencoba meredakan rasa sakit di hatinya. Satya, yang sudah pergi untuk bekerja pagi itu, tidak menyadari betapa sikapnya yang cuek telah mempengaruhi Rika. Dia mencoba bertahan tegar, berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan rasa sedih itu menghancurkan semangatnya.“Aku harus tetap kuat. Ini bukan kesalahannya, dia hanya berbeda dalam cara menunjukkan perhatian. Aku harus menjaga hatiku,” gumam Rika.Dengan tekad yang bulat, Rika bangkit dari kursi dan melangkah ke kamarnya. Dia mengambil laptopnya dan keluar menuju taman belakang. Matahari pagi yang hangat menyambutnya, menyinari setiap sudut taman yang indah.Rika duduk di bawah pohon rindang dengan laptop di pangkuannya. Dia membuka dokumen biografi yang sedang ditulisnya tentang Satya. Meskipun hatinya masih terluka, Rika ingin menyelesaikan proyek tulisan ini sebagai bentuk penghargaan pada sosok Satya yang begitu unik baginya.Karena asyiknya menulis, Rika tidak menyadari k
Ucapan Dinda sontak membuat Rika terperanjat. Tatapan mata sendu dan penuh harap tergambar jelas di wajahnya. Rika langsung memeluk Dinda dengan penuh cinta.“Kamu nggak usah khawatir, Sayang. Tante, nggak akan meninggalkan kamu apapun yang terjadi. Meski nanti, papamu menikah dengan wanita yang dicintainya. Tante, akan tetap menganggapmu sebagai anak, dan Tante akan selalu jadi mamamu,”ucap Rika meyakinkan.“Meski, Tante sudah bersuami lagi? Kalau nanti Tante punya anak … apakah, Tante masih tetap menyayangiku?” sorot mata Dinda penuh harap. “Tentu saja, Sayang. Kalau pun nanti, Tante punya suami, anak Tante akan jadi adikmu. Kamu juga harus bertanggung jawab menjaganya,” Rika membelai rambut Dinda, terlihat Dinda memaksakan senyumannya.“Sebenarnya aku ingin punya adik jika Tante dan papaku menikah. Kalau memang nggak bisa, ya sudah aku terima dengan ikhlas,” ucapnya lirih. Rika mengelus lembut rambut gadis yang ada di hadapannya. Dia bisa merasakan kerinduan kasih sayang seorang ib
“Nanti, aku akan bilang ke papa untuk menemani Tante datang ke pesta pernikahan mantan suami Tante. Pasti, papa mau kalau aku yang minta,” ucap Dinda yakin. Mata Rika membola sempurna. “Eh jangan, Sayang. Tante bisa datang sendiri kok,” tolak Rika cepat. Dia khawatir Satya menjadi tidak nyaman dengannya, karena permintaan Dinda.“Aku maunya, Tante datang ke sana sama papaku. Please…,” pinta Dinda dengan tatapan penuh harap. Hembusan nafas keluar dari mulut Rika, bukannya tidak mau ditemani laki-laki gagah dan tampan seperti Satya. Hanya saja, Rika malah takut Satya yang merasa terpaksa.“Tapi, Sayang—“ Dinda memotong ucapan Rika. “Pokoknya, Tante nggak boleh nolak!” Dinda mengerucutkan bibirnya. Rika menyerah, “Ya sudah, tapi Dinda harus janji. Nggak boleh memaksa papa. Jika papa punya urusan yang lebih penting dan nggak bisa menemani Tante, Dinda harus mengerti dan nggak boleh merengek apalagi ngambek. Bagaimana?”“Setuju!” teriaknya senang. Rika menghela nafas lega. “Biarlah, Dinda