Share

7. Hari Pertama Bekerja

Penulis: Rin Rien
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-19 17:16:54

"Dok, bagaimana kondisi putra saya?" tanya Evita dengan perasaan tidak sabar.

Dokter bedah yang baru saja keluar dari ruang operasi, tidak langsung menjawab pertanyaan Evita. Pria itu terlebih dulu membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya.

"Syukurlah operasinya berjalan dengan sukses dan tanpa kesulitan yang berarti. Tapi untuk sementara waktu, pasien akan ditempatkan di ruang pemulihan. Agar kami bisa mengawasi perkembangan kondisi pasien, pasca menjalani operasi," tutur dokter menjelaskan.

Evita merasa sangat lega mendengar penjelasan dokter. Begitu pula Mira dan Lusi.

"Maaf, saya permisi dulu. Jika nanti ada perkembangan tentang kondisi putra Anda, saya akan memberitahukannya pada Anda," pamit dokter.

"Iya, Dok, silahkan. Terima kasih banyak," balas Evita yang langsung meraih tangan dokter dan menyalami tangan pria itu, sebagai ucapan terima kasih.

Dokter bedah itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, menanggapi ucapan Evita. Lalu ia berlalu pergi meninggalkan Evita.

"Sebaiknya kamu pulang dan beristirahat. Kamu pasti sangat lelah. Vio juga tampak sangat lelah. Lagipula saat ini Alif masih berada di ruang pemulihan dan belum bisa dijenguk," saran Mira, seraya mengusap lengan Evita.

Evita mengangguk lemah, sembari menatap wajah Viona yang tengah tertidur pulas di bangku panjang. Walaupun merasa berat harus meninggalkan putra sulungnya sendiri di rumah sakit, tapi ia tidak memiliki pilihan lain.

*

Arya berdecak kesal, ketika mobil yang dikendarai oleh asisten pribadinya, berhenti di pelataran parkir sebuah tempat hiburan malam.

"Kenapa tidak kamu katakan sejak awal, kalau klien meminta untuk bertemu kita ditempat seperti ini! Bukankah kami sudah tahu, jika aku sangat tidak menyukai tempat semacam ini!" sungut Arya dengan perasaan kesal.

"Maaf, Pak, saya juga tidak tahu. Mereka hanya memberikan alamatnya. Tanpa menyebutkan jika tempat itu adalah tempat hiburan malam. Saya pikir pertemuannya akan diadakan di restoran," sahut Niko, asisten pribadi Arya, dengan perasaan bersalah.

"Kalau begitu batalkan saja pertemuannya!" tegas Arya yang sangat anti dengan tempat hiburan malam.

"Ba-baik, Pak," balas Niko, lalu merogoh saku celana untuk mengambil ponsel.

"Tunggu!" seru Arya saat Niko hendak menelpon seseorang.

Kening Niko mengernyit dengan perasaan heran. Ditatapnya wajah Arya, lalu mengikuti arah pandangan bosnya tersebut.

Tampak seorang wanita cantik dengan rambut panjang tergerai, tengah berjalan memasuki pintu masuk cafe, yang sekaligus menjadi tempat karaoke. Polesan make-up tebal dan pakaian seksi, membalut tubuhnya yang sedikit kurus. Namun masih terlihat tonjolan di beberapa bagian tubuhnya, yang membuat setiap pria menelan air ludah, saat menatapnya.

Belum hilang perasaan heran di hati Niko dengan sikap Arya, tiba-tiba pria itu dikejutkan dengan tingkah sang bos, yang tiba-tiba keluar dari dalam mobil. Kemudian pria itu melangkah lebar mengejar wanita berpakaian seksi tersebut.

"Memangnya siapa wanita itu? Kenapa Pak Arya sampai mengejarnya?" tanya Niko dalam hati.

Tidak ingin kehilangan jejak Arya, Niko pun ikut keluar dari dalam mobil. Pria muda itu mengikuti langkah Arya yang berjalan dengan sangat cepat.

"Sial! Kemana perginya wanita itu?" rutuk Arya yang kehilangan jejak wanita yang tadi dikejarnya.

"Apa mungkin wanita itu adalah Evita? Wajahnya sangat mirip dengan Evita. Tapi apa yang dilakukannya di tempat seperti ini? Apalagi dengan pakaian kurang bahan seperti itu." Berbagai pertanyaan muncul di benak Arya.

"Pak, siapa yang tadi Bapak kejar? Apakah dia orang yang Bapak kenal?" tanya Niko dengan nafas tersengal, setelah berlari mengejar Arya.

"Sudahlah! Karena kita sudah terlanjur masuk, sebaiknya kita lanjutkan saja pertemuan dengan klien," putus Arya, yang berharap bisa kembali bertemu dengan Evita di tempat ini.

"Baik, Pak!" sahur Nico sembari menganggukkan kepalanya.

Sementara itu, Evita yang baru saja datang untuk melakukan pekerjaannya di hari pertama, langsung berjalan menuju ruang kantor. Ruangan pribadi, tempat suami Sinta menjalankan bisnisnya.

"Selamat datang di cafe milikku, Kakak ipar! Sudah lama sekali kita tidak pernah bertemu." Jimmy menyambut kedatangan Evita di ruangannya.

Pria paruh baya yang usianya jauh lebih tua dari Sinta dan Evita itu bangkit dari singgasananya. Ia berjalan pelan mendekati Evita. Ditatapnya wajah Evita yang tertunduk, dengan senyuman mesum.

"Tidak usah malu-malu, Vita! Lambat laun nanti kamu juga akan terbiasa, dengan pekerjaan di sini." Jimmy coba menenangkan hati Evita, agar wanita itu tidak terlalu tegang. Ia bisa melihat, jika kakak iparnya itu sangat tegang dan juga gugup.

"Apakah aku memang harus berpakaian seksi seperti ini dan juga berdandan dengan make-up yang tebal?" cicit Evita bertanya, sambil berusaha menutupi belahan dadanya yang terbuka.

"Kenapa? Apakah kamu merasa tidak percaya diri dengan tubuhmu?" Jimmy balik bertanya. Tatapan pria itu tertuju pada dua kaki jenjang milik Evita, yang memperlihatkan separuh bagian pahanya yang terbuka.

"A-aku tidak pernah memakai pakaian seperti ini sebelumnya. Tapi tadi Sinta datang dengan mengantarkan beberapa potong pakaian, yang semua modelnya terlihat seksi. Dia juga yang mendadani wajahku," jelas Evita yang merasa tidak nyaman dengan pakaian yang dikenakannya.

Jimmy tergelak mendengar penjelasan Evita. Pria itu berjalan pelan memutari tubuh Evita yang berdiri dengan badan gemetar. Diperhatikannya setiap lekuk tubuh kakak iparnya itu, yang membuatnya tidak bisa menahan, untuk tidak menelan ludah.

"Aku yakin, akan ada banyak tamu yang tertarik untuk mengajakmu check-in. Kamu benar-benar sangat cantik, Vita. Meskipun tubuhmu sedikit kurus, tapi itu tidak akan menjadi masalah," tutur Jimmy yang bisa membayangkan ekspresi wajah para pelanggannya, ketika melihat Evita.

Semakin banyak pelanggan yang meminta pelayanan dari Evita, maka semakin banyak pula pundi-pundi uang yang akan dikumpulkan oleh Jimmy. Sebab lima puluh persen pendapatan Evita dari tamu yang mem-booking-nya nanti, secara mutlak akan menjadi milik si empunya cafe.

Jimmy meraih gagang interkom yang terletak di atas meja kerjanya. Lalu pria itu menekan beberapa tombol pada pesawat interkom.

"Nina, datanglah ke kantorku sekarang! Ada pegawai baru yang harus kamu didik!" Jimmy berkata pada seseorang yang berada di seberang panggilan. Lalu pria itu meletakkan gagang telepon ke tempatnya semula.

Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu. Membuat jantung Evita semakin berdegup kencang.

"Masuk!" seru Jimmy yang sudah bisa menebak, siapakah orang yang baru saja mengetuk pintu kantornya.

Seorang wanita cantik dengan pakaian minim, masuk ke dalam ruang kantor Jimmy. Senyum manis dan menggoda, menghiasi wajah wanita tersebut. Lipstik merah menyala yang membalut bibir ranumnya, membuat setiap pria ingin mencicipinya.

"Kenalkan ... namanya Evita. Beritahukan padanya tentang tugas-tugas seorang LC. Lalu antarkan dia ke ruangan tamu VIP kita. Aku yakin mereka pasti akan sangat tertarik padanya." Jimmy langsung memberikan perintah pada Nina, pegawai senior yang sudah lama bekerja pada Jimmy.

"Asiap, Bos," sahut Nina dengan suara manja dan kerlingan mata.

"Ikut aku!" titah Nina sembari menatap kedua netra Evita.

Tanpa protes, Evita mengikuti langkah Nina keluar dari ruangan Jimmy. Lalu Nina pun menjelaskan pada Evita tentang tugasnya sebagai seorang LC, atau pemandu lagu. Ia juga mengajarkan Evita cara memikat tamu, agar bersedia mengeluarkan uang lebih.

"Sekarang pergilah ke ruang VIP nomer lima. Ada pelanggan yang sedang menunggu. Layani dia dengan baik. Jangan membuat bos Jimmy kecewa. Apakah kamu mengerti?" Nina memberikan tugas pertama untuk Evita.

Walaupun merasa takut dan cemas, Evita tetap mengiyakan perintah dari Nina. Sudah kepalang tanggung. Tidak ada jalan untuk mundur. Ia akan lakukan apapun demi anak-anaknya.

Sebelum masuk ke dalam ruangan yang disebutkan oleh Nina, Evita terlebih dulu mengetuk pintu ruangan tersebut. Lalu masuk tanpa menunggu jawaban.

Di dalam ruangan yang cahayanya temaram itu, tampak empat orang pria, yang mengenakan pakaian formal. Tampaknya mereka sedang mengadakan pertemuan bisnis. Lalu salah seorang pria tersebut melambaikan tangan ke arah Evita. Sebagai isyarat agar wanita itu datang mendekat.

"Duduklah di sini, cantik." Pria itu meminta Evita duduk di sampingnya.

"Boleh tahu, siapa namamu?" tanya pria itu seraya menurunkan tangannya ke paha Evita dan mengusapnya. Tatapan lapar tampak dari sorot matanya.

Tanpa Evita dan semua orang sadari, salah seorang dari keempat pria itu, terlihat gusar. Wajahnya merah menahan marah. Kedua tangannya terkepal kuat, hingga buku-buku tangannya memutih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   60. Bunuh Diri

    "Kalau begitu, Mama tinggalkan kalian berdua untuk ngobrol," kata Santi, yang ingin memberikan kesempatan pada Arya dan Shanum untuk bicara berdua. "Baik, Ma. Terima kasih," ucap Arya sembari menganggukkan kepala. Santi pergi meninggalkan ruang rawat inap putrinya, dengan diiringi oleh tatapan mata Arya. Lalu tatapan pria itu beralih pada wajah Shanum, setelah bayangan Santi menghilang di balik pintu. "Bagaimana keadaanmu, Num? Apakah kamu sudah makan?" tanya Arya yang hanya sekedar basa-basi, untuk mencairkan suasana yang terasa tegang.Senyum sinis seketika tergambar di wajah Shanum, mendengar pertanyaan Arya."Untuk apa kamu menanyakan kabarku? Apakah kamu sudah puas sekarang? Anak yang kamu abaikan sudah tidak ada lagi! Sekarang tidak akan ada lagi yang bisa menghalangimu, untuk memanjakan anak-anak tirimu itu!" salak Shanum dengan kilatan emosi yang terpancar dari kedua matanya.Tentu saja Arya sangat kaget mendengar tuduhan-tuduhan Shanum. Ia sadar, hari-hari belakangan ini d

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   59. Mengunjungi Shanum

    Arya bangkit dari duduknya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Lalu pria itu menggeser tombol hijau pada layar ponsel dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya."Halo?" sapa Arya pada orang yang berada di seberang panggilan."Arya, sebelumnya Mama minta maaf, karena sudah mengganggumu yang sedang berkabung." Terdengar suara seorang wanita dari seberang panggilan."Tidak apa, Ma," sahut Arya pada wanita yang dulu pernah menjadi ibu mertuanya.Meskipun Santi bukan lagi ibu mertuanya, tapi Arya masih tetap menghormatinya dan memanggil ibu Shanum itu dengan sebutan mama. "Apakah ada yang bisa saya bantu, Ma?" imbuh Arya yang ingin tahu tujuan wanita itu menghubunginya."Ini tentang Shanum, Ar. Mama tahu saat ini kamu pasti tidak ingin diganggu. Tapi bisakah tolong kamu datang kemari untuk menemui dan bicara dengannya?" pinta Santi kepada mantan menantunya.Kening Arya seketika mengernyit dengan kedua alis yang saling bertautan."Memangnya apa yang terjadi pada Sh

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   58. Larut Dalam Duka

    Arya duduk termenung di samping gundukan tanah yang masih basah. Tatapannya terus tertuju pada batu nisan di atas gundukan tanah, yang hampir seluruh bagiannya tertutup oleh bunga warna-warni.Sedangkan Evita tetap setia berada di samping pria itu, dengan mengenakan dress berwarna hitam. Warna yang sama dengan pakaian yang dikenakan oleh Arya."Saya turut berdukacita, Pak. Semoga Pak Arya bisa ikhlas dan tabah menerima cobaan ini." Nico, asisten Arya di kantor, menyampaikan belasungkawanya.Pria kepercayaan Arya di perusahaan itu berdiri di samping Arya, dengan mengenakan kacamata hitam. Wajahnya terlihat sedih. Ia bisa merasakan kesedihan yang kini tengah dirasakan oleh bosnya."Terima kasih sudah hadir di acara pemakaman Arsen," balas Arya tanpa melihat wajah lawan bicaranya. Tatapan pria itu tidak mau beralih dari batu nisan yang bertuliskan nama putranya.Raut wajah Arya memang masih terlihat sedih, tapi air mata sudah tidak lagi menetes dari kedua matanya. Kedua netra pria itu te

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   57. Kehilangan

    Tenggorokan Evita sontak tercekat. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan membuatnya sulit untuk bernafas. Lidahnya keluh tidak bisa mengatakan apapun. Buliran bening perlahan luruh dari kedua sudut matanya. Tatapan matanya terus mengikuti brankar tersebut yang didorong pergi menjauh dari ruang operasi. "Apakah Anda keluarga dari ananda Arsen?" Terdengar suara seseorang bertanya pada Evita.Perlahan Evita mengalihkan tatapan ke arah suara. Dilihatnya seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu mengenakan scrub suit warna hijau dan penutup kepala. Sebuah masker menutupi sebagian wajahnya, hingga yang terlihat hanya matanya saja."Suami saya adalah ayah dari Arsen," jawab Evita dengan suara yang terdengar serak. Tenggorokannya terasa kering."Bisakah saya bicara dengan beliau?" Pria itu bertanya dengan bola mata yang bergerak menelisik ruang tunggu. Seolah sedang mencari keberadaan seseorang."Tunggu sebentar. Saya akan menghubunginya," balas Evita yang kemudian mengambil ponsel

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   56. Operasi

    Eddy seketika terperanjat, melihat wajah putranya. Pria yang ia kenal kuat dan dingin itu kini terlihat sedang berurai air mata. Kesedihan dan hati yang hancur tergambar jelas di wajah putranya tersebut."Ar, apa yang terjadi, Nak?" Eddy bertanya pada Arya dengan dada yang bergemuruh. Ia yakin ada peristiwa yang sangat buruk yang terjadi, yang membuat putranya terlihat begitu terpuruk.Arya yang tatapannya kosong, perlahan mengalihkan pandangannya ke arah layar ponsel. Ditatapnya wajah ayahnya dengan air mata yang masih terus mengalir."Arsen ... dan Rianti kecelakaan." Dengan suara parau dan tersendat, Arya menjawab pertanyaan ayahnya.Seperti disambar petir, Eddy benar-benar terkejut mendengar berita yang disampaikan oleh putranya. Kedua matanya membulat, dengan mulut yang sedikit menganga."Saat ini keduanya dalam kondisi kritis. Sedangkan Rianti saat ini sedang menjalani operasi." Arya melanjutkan ucapannya dengan suara yang terdengar lemah."Kalau begitu kirimkan lokasi rumah sak

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   55. Terguncang

    Arya langsung bergeser dan menepi, saat melihat dua brankar yang didorong memasuki ruang intensive care unit. Ruangan dimana saat ini Rianti juga mendapatkan penanganan. Perhatian Arya sama sekali tidak tertuju pada dua brankar tersebut. Pria itu lebih fokus mendengarkan dering ponsel yang sedang memanggil ayahnya. Pikirannya saat ini juga dipenuhi dengan kekhawatiran.Evita yang berdiri di dekat Arya, tanpa sengaja melihat wajah wanita yang terbaring di atas brankar. Sontak Evita terkejut dengan dua mata yang membulat sempurna.Beberapa saat, Evita terpaku diam seperti patung. Tapi sesaat kemudian dirinya tersadar dan langsung menarik lengan kemeja Arya."Ar ... Shanum ...." Evita berkata dengan suara yang terdengar gagap dan bergetar. Tatapan wanita itu tidak lepas dari wajah Shanum, yang tampak mengalirkan darah segar dari keningnya.Arya yang tengah fokus menunggu ayahnya menjawab panggilan darinya, perlahan perhatiannya teralihkan. Pria itu menatap wajah istrinya yang terlihat s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status