"Dok, bagaimana kondisi putra saya?" tanya Evita dengan perasaan tidak sabar.
Dokter bedah yang baru saja keluar dari ruang operasi, tidak langsung menjawab pertanyaan Evita. Pria itu terlebih dulu membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. "Syukurlah operasinya berjalan dengan sukses dan tanpa kesulitan yang berarti. Tapi untuk sementara waktu, pasien akan ditempatkan di ruang pemulihan. Agar kami bisa mengawasi perkembangan kondisi pasien, pasca menjalani operasi," tutur dokter menjelaskan. Evita merasa sangat lega mendengar penjelasan dokter. Begitu pula Mira dan Lusi. "Maaf, saya permisi dulu. Jika nanti ada perkembangan tentang kondisi putra Anda, saya akan memberitahukannya pada Anda," pamit dokter. "Iya, Dok, silahkan. Terima kasih banyak," balas Evita yang langsung meraih tangan dokter dan menyalami tangan pria itu, sebagai ucapan terima kasih. Dokter bedah itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, menanggapi ucapan Evita. Lalu ia berlalu pergi meninggalkan Evita. "Sebaiknya kamu pulang dan beristirahat. Kamu pasti sangat lelah. Vio juga tampak sangat lelah. Lagipula saat ini Alif masih berada di ruang pemulihan dan belum bisa dijenguk," saran Mira, seraya mengusap lengan Evita. Evita mengangguk lemah, sembari menatap wajah Viona yang tengah tertidur pulas di bangku panjang. Walaupun merasa berat harus meninggalkan putra sulungnya sendiri di rumah sakit, tapi ia tidak memiliki pilihan lain. * Arya berdecak kesal, ketika mobil yang dikendarai oleh asisten pribadinya, berhenti di pelataran parkir sebuah tempat hiburan malam. "Kenapa tidak kamu katakan sejak awal, kalau klien meminta untuk bertemu kita ditempat seperti ini! Bukankah kami sudah tahu, jika aku sangat tidak menyukai tempat semacam ini!" sungut Arya dengan perasaan kesal. "Maaf, Pak, saya juga tidak tahu. Mereka hanya memberikan alamatnya. Tanpa menyebutkan jika tempat itu adalah tempat hiburan malam. Saya pikir pertemuannya akan diadakan di restoran," sahut Niko, asisten pribadi Arya, dengan perasaan bersalah. "Kalau begitu batalkan saja pertemuannya!" tegas Arya yang sangat anti dengan tempat hiburan malam. "Ba-baik, Pak," balas Niko, lalu merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. "Tunggu!" seru Arya saat Niko hendak menelpon seseorang. Kening Niko mengernyit dengan perasaan heran. Ditatapnya wajah Arya, lalu mengikuti arah pandangan bosnya tersebut. Tampak seorang wanita cantik dengan rambut panjang tergerai, tengah berjalan memasuki pintu masuk cafe, yang sekaligus menjadi tempat karaoke. Polesan make-up tebal dan pakaian seksi, membalut tubuhnya yang sedikit kurus. Namun masih terlihat tonjolan di beberapa bagian tubuhnya, yang membuat setiap pria menelan air ludah, saat menatapnya. Belum hilang perasaan heran di hati Niko dengan sikap Arya, tiba-tiba pria itu dikejutkan dengan tingkah sang bos, yang tiba-tiba keluar dari dalam mobil. Kemudian pria itu melangkah lebar mengejar wanita berpakaian seksi tersebut. "Memangnya siapa wanita itu? Kenapa Pak Arya sampai mengejarnya?" tanya Niko dalam hati. Tidak ingin kehilangan jejak Arya, Niko pun ikut keluar dari dalam mobil. Pria muda itu mengikuti langkah Arya yang berjalan dengan sangat cepat. "Sial! Kemana perginya wanita itu?" rutuk Arya yang kehilangan jejak wanita yang tadi dikejarnya. "Apa mungkin wanita itu adalah Evita? Wajahnya sangat mirip dengan Evita. Tapi apa yang dilakukannya di tempat seperti ini? Apalagi dengan pakaian kurang bahan seperti itu." Berbagai pertanyaan muncul di benak Arya. "Pak, siapa yang tadi Bapak kejar? Apakah dia orang yang Bapak kenal?" tanya Niko dengan nafas tersengal, setelah berlari mengejar Arya. "Sudahlah! Karena kita sudah terlanjur masuk, sebaiknya kita lanjutkan saja pertemuan dengan klien," putus Arya, yang berharap bisa kembali bertemu dengan Evita di tempat ini. "Baik, Pak!" sahur Nico sembari menganggukkan kepalanya. Sementara itu, Evita yang baru saja datang untuk melakukan pekerjaannya di hari pertama, langsung berjalan menuju ruang kantor. Ruangan pribadi, tempat suami Sinta menjalankan bisnisnya. "Selamat datang di cafe milikku, Kakak ipar! Sudah lama sekali kita tidak pernah bertemu." Jimmy menyambut kedatangan Evita di ruangannya. Pria paruh baya yang usianya jauh lebih tua dari Sinta dan Evita itu bangkit dari singgasananya. Ia berjalan pelan mendekati Evita. Ditatapnya wajah Evita yang tertunduk, dengan senyuman mesum. "Tidak usah malu-malu, Vita! Lambat laun nanti kamu juga akan terbiasa, dengan pekerjaan di sini." Jimmy coba menenangkan hati Evita, agar wanita itu tidak terlalu tegang. Ia bisa melihat, jika kakak iparnya itu sangat tegang dan juga gugup. "Apakah aku memang harus berpakaian seksi seperti ini dan juga berdandan dengan make-up yang tebal?" cicit Evita bertanya, sambil berusaha menutupi belahan dadanya yang terbuka. "Kenapa? Apakah kamu merasa tidak percaya diri dengan tubuhmu?" Jimmy balik bertanya. Tatapan pria itu tertuju pada dua kaki jenjang milik Evita, yang memperlihatkan separuh bagian pahanya yang terbuka. "A-aku tidak pernah memakai pakaian seperti ini sebelumnya. Tapi tadi Sinta datang dengan mengantarkan beberapa potong pakaian, yang semua modelnya terlihat seksi. Dia juga yang mendadani wajahku," jelas Evita yang merasa tidak nyaman dengan pakaian yang dikenakannya. Jimmy tergelak mendengar penjelasan Evita. Pria itu berjalan pelan memutari tubuh Evita yang berdiri dengan badan gemetar. Diperhatikannya setiap lekuk tubuh kakak iparnya itu, yang membuatnya tidak bisa menahan, untuk tidak menelan ludah. "Aku yakin, akan ada banyak tamu yang tertarik untuk mengajakmu check-in. Kamu benar-benar sangat cantik, Vita. Meskipun tubuhmu sedikit kurus, tapi itu tidak akan menjadi masalah," tutur Jimmy yang bisa membayangkan ekspresi wajah para pelanggannya, ketika melihat Evita. Semakin banyak pelanggan yang meminta pelayanan dari Evita, maka semakin banyak pula pundi-pundi uang yang akan dikumpulkan oleh Jimmy. Sebab lima puluh persen pendapatan Evita dari tamu yang mem-booking-nya nanti, secara mutlak akan menjadi milik si empunya cafe. Jimmy meraih gagang interkom yang terletak di atas meja kerjanya. Lalu pria itu menekan beberapa tombol pada pesawat interkom. "Nina, datanglah ke kantorku sekarang! Ada pegawai baru yang harus kamu didik!" Jimmy berkata pada seseorang yang berada di seberang panggilan. Lalu pria itu meletakkan gagang telepon ke tempatnya semula. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu. Membuat jantung Evita semakin berdegup kencang. "Masuk!" seru Jimmy yang sudah bisa menebak, siapakah orang yang baru saja mengetuk pintu kantornya. Seorang wanita cantik dengan pakaian minim, masuk ke dalam ruang kantor Jimmy. Senyum manis dan menggoda, menghiasi wajah wanita tersebut. Lipstik merah menyala yang membalut bibir ranumnya, membuat setiap pria ingin mencicipinya. "Kenalkan ... namanya Evita. Beritahukan padanya tentang tugas-tugas seorang LC. Lalu antarkan dia ke ruangan tamu VIP kita. Aku yakin mereka pasti akan sangat tertarik padanya." Jimmy langsung memberikan perintah pada Nina, pegawai senior yang sudah lama bekerja pada Jimmy. "Asiap, Bos," sahut Nina dengan suara manja dan kerlingan mata. "Ikut aku!" titah Nina sembari menatap kedua netra Evita. Tanpa protes, Evita mengikuti langkah Nina keluar dari ruangan Jimmy. Lalu Nina pun menjelaskan pada Evita tentang tugasnya sebagai seorang LC, atau pemandu lagu. Ia juga mengajarkan Evita cara memikat tamu, agar bersedia mengeluarkan uang lebih. "Sekarang pergilah ke ruang VIP nomer lima. Ada pelanggan yang sedang menunggu. Layani dia dengan baik. Jangan membuat bos Jimmy kecewa. Apakah kamu mengerti?" Nina memberikan tugas pertama untuk Evita. Walaupun merasa takut dan cemas, Evita tetap mengiyakan perintah dari Nina. Sudah kepalang tanggung. Tidak ada jalan untuk mundur. Ia akan lakukan apapun demi anak-anaknya. Sebelum masuk ke dalam ruangan yang disebutkan oleh Nina, Evita terlebih dulu mengetuk pintu ruangan tersebut. Lalu masuk tanpa menunggu jawaban. Di dalam ruangan yang cahayanya temaram itu, tampak empat orang pria, yang mengenakan pakaian formal. Tampaknya mereka sedang mengadakan pertemuan bisnis. Lalu salah seorang pria tersebut melambaikan tangan ke arah Evita. Sebagai isyarat agar wanita itu datang mendekat. "Duduklah di sini, cantik." Pria itu meminta Evita duduk di sampingnya. "Boleh tahu, siapa namamu?" tanya pria itu seraya menurunkan tangannya ke paha Evita dan mengusapnya. Tatapan lapar tampak dari sorot matanya. Tanpa Evita dan semua orang sadari, salah seorang dari keempat pria itu, terlihat gusar. Wajahnya merah menahan marah. Kedua tangannya terkepal kuat, hingga buku-buku tangannya memutih."Apa kamu tidak salah, memilih tempat tinggal? Tempat seperti ini sama sekali tidak layak, untuk perkembangan mental anak-anakmu yang masih kecil!" Arya berkata dengan perasaan geram."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Hanya tempat ini yang mampu aku sewa, sekaligus yang paling dekat dengan gedung sekolah anak-anakku," sahut Evita."Kalau begitu kemasi barang-barangmu! Hari ini juga kamu dan anak-anakmu harus pindah!" tegas Arya."Memangnya kemana kami harus pindah? Aku sudah tidak punya uang lagi untuk menyewa tempat tinggal," tukas Evita yang merasa sedikit kesal. Sebab Arya memberikan perintah tanpa mengerti kondisi keuangannya saat ini."Kamu tidak perlu memikirkan biaya sewa. Yang terpenting adalah keselamatan mental anak-anakmu. Sebab aku juga seorang ayah yang memiliki seorang anak. Dan pastinya aku tidak akan pernah membiarkan anakku, untuk tinggal di lingkungan seperti ini," tukas Arya yang tiba-tiba teringat akan putra semata wayangnya.Tanpa menunggu persetujuan dari Evita,
"Aku hanya lulusan SMA. Bagaimana aku bisa menjadi sekretarismu? Aku juga tidak punya pengalaman bekerja di kantor," ujar Evita yang merasa tidak pantas untuk menduduki posisi tersebut."Kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Aku akan mengajari dan membantumu. Aku tahu kamu wanita yang pintar. Dulu setiap tahun, kamu selalu mendapatkan ranking tiga besar di kelas. Aku yakin tidak akan sulit bagimu untuk mempelajari tugas-tugas seorang sekretaris." Arya berusaha meyakinkan Evita.Dengan hati yang masih diliputi perasaan ragu, Evita mengangguk. Wanita itu menyetujui tawaran Arya.Kegembiraan seketika tergambar di wajah Arya. Senyuman manis menghiasi bibir pria tersebut."Kalau begitu, sebaiknya sekarang kamu pulang saja. Aku akan mengantarmu pulang," kata Arya yang tidak ingin Evita kembali masuk ke dalam cafe."Tidak usah, Ar. Biar aku pesan ojek online saja," sahut Evita yang tidak ingin terus menerus merepotkan Arya."Sudahlah. Aku tidak ingin mendengar penolakan lagi!" tegas Arya
"Na-nama saya, Vita." Evita menjawab dengan suara yang terdengar gugup.Merasa tidak nyaman dengan perbuatan pria yang duduk di sampingnya, Evita berusaha menyingkirkan tangan pria itu dari pahanya."Maaf, bisakah kita berkaraoke saja? Saya akan bantu memutarkan lagu yang bapak-bapak inginkan. Atau kalau kalian meminta, saya juga bisa bernyanyi untuk menghibur kalian semuanya." Evita menawarkan untuk menghilangkan kecanggungan yang kini tengah dirasakannya. Dipaksanya bibirnya untuk tersenyum.Walaupun AC di ruangan itu sangat dingin, namun tubuh dan wajah Evita tak hentinya mengeluarkan keringat dingin."Tapi saat ini kami sedang tidak ingin bernyanyi. Kami butuh seseorang untuk menghibur dan menemani kami minum. Untuk merayakan kesepakatan bisnis yang baru saja kami tandatangani," balas pria di samping Evita, yang kini mendaratkan tangannya pada wajah Evita. Lalu mengelus pipi mulus wanita tersebut.Evita yang merasa risih disentuh oleh pria asing yang tidak dikenalnya, berusaha unt
"Dok, bagaimana kondisi putra saya?" tanya Evita dengan perasaan tidak sabar.Dokter bedah yang baru saja keluar dari ruang operasi, tidak langsung menjawab pertanyaan Evita. Pria itu terlebih dulu membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya."Syukurlah operasinya berjalan dengan sukses dan tanpa kesulitan yang berarti. Tapi untuk sementara waktu, pasien akan ditempatkan di ruang pemulihan. Agar kami bisa mengawasi perkembangan kondisi pasien, pasca menjalani operasi," tutur dokter menjelaskan.Evita merasa sangat lega mendengar penjelasan dokter. Begitu pula Mira dan Lusi. "Maaf, saya permisi dulu. Jika nanti ada perkembangan tentang kondisi putra Anda, saya akan memberitahukannya pada Anda," pamit dokter."Iya, Dok, silahkan. Terima kasih banyak," balas Evita yang langsung meraih tangan dokter dan menyalami tangan pria itu, sebagai ucapan terima kasih.Dokter bedah itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, menanggapi ucapan Evita. Lalu ia berlalu pergi meninggalkan Evita."Sebai
Sinta berjalan perlahan mendekati Evita. Ditatapnya dengan lekat seluruh bagian tubuh Evita dari kepala hingga kaki. Wanita itu bahkan berjalan memutari tubuh Evita. Bagian belakang tubuh kakak tirinya itu pun tak luput dari perhatiannya."Aku lihat postur tubuh Kak Vita lumayan bagus, meskipun sudah pernah melahirkan tiga orang anak. Wajah Kak Vita juga cantik, walaupun tak secantik aku. Aku rasa Kakak bisa menjadi primadona dan menghasilkan banyak uang di tempat karaoke milik suamiku," tutur Sinta yang mengakui kecantikan kakak tirinya.Kening Evita mengerut. "Memangnya apa yang harus aku lakukan di tempat itu? Apakah aku akan menjadi pelayan?" tanya Evita yang sama sekali belum pernah masuk ke tempat hiburan semacam itu."Pekerjaan sebagai pelayan tidak akan menghasilkan banyak uang. Uang yang didapat hanya cukup untuk biaya hidup Kak Vita dan anak-anak. Lantas bagaimana hutang Kak Vita bisa lunas?" tukas Sinta."Lalu apa yang harus aku lakukan di tempat itu?" Evita kembali bertany
Evita menutup panggilan telepon dengan perasaan kecewa. Wanita itu baru saja menghubungi Dito untuk menceritakan tentang kondisi putra sulung mereka berdua. Ia juga meminta Dito untuk mencarikan uang untuk biaya operasi Alif. Namun jawaban yang diterima oleh Evita benar-benar diluar dugaan. Pria yang masih resmi berstatus sebagai suaminya itu sama sekali tidak peduli pada putranya."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kemana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya Evita dalam hati.Air mata tampak mulai mengalir dari kedua sudut matanya. Perasaan sedih, cemas, takut dan juga putus asa, bercampur jadi satu menguasai hati dan pikirannya."Tidak mungkin aku meminta tolong pada mbak Mira. Aku sudah terlalu sering menyusahkannya. Lagipula jumlah segitu bukanlah jumlah yang kecil," kata Evita dalam hati ketika teringat pada Mira."Kenapa Mama menangis? Siapa yang udah bikin Mama sedih?" Tiba-tiba terdengar suara bocah kecil.Tampak Viona yang sudah berdiri di dekat kaki Evita. Gad