"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara
"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu. Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih. Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya. "Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?" "Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu." Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri di sana. Namun, dari percakapan di video itu, ia bisa tahu itu suara Bagas, suaminya. “Lakukan sesuai perintahku, tapi jangan terburu-buru. Aku ingin semuanya berjalan mulus. Buat kejadian itu seperti kecelakaan biasa bukan rekayasa. Kamu paham?” Buliran bening jatuh tanpa dipinta, meleleh di pipi Inara. Sepertinya ibunya tahu jika Bagas sedang merencanakan sesuatu padanya. Sayangnya belum sempat diberitahu ke Inara, ibunya keburu meninggal. Inara menghela napas panjang sambil menahan sesak di dada. "Dasar pria biadab. Mas Bagas, kau tak pantas disebut manusia lagi," umpat Inara seraya mengerang. "Itulah sebabnya aku merahasiakan keberadaanmu dan mengganti identitasmu, Inara. Aku tidak tahu apa maksud Bagas melakukan ini semua dan masih menyelidikinya." Inara mengusap air mata, kini dugaannya salah terhadap dokter Jody. Ia pikir Dokter Jody bekerjasama dengan Bagas, tapi ternyata tidak. Dokter Jody memang dokter kepercayaan ibunya dan sangat tulus membantunya. "Maafkan aku, Inara. Aku gagal menyelamatkan ibumu waktu itu.” Inara hanya membisu, saat kejadian ibunya mendapat serangan jantung. Inara memang sedang berada di luar kota bersama Bagas. Sedangkan Dokter Jody juga sedang melakukan seminar di luar kota. Bisa jadi itu adalah alibi yang dipersiapkan Bagas. Inara tidak menanggapi ucapan Dokter Jody, dia hanya fokus dengan ponsel milik sang ibu dan pergi begitu saja menuju kamarnya. Namun, terlihat jelas dalam binar matanya bahwa perempuan itu benar-benar syok setelah melihat rekaman video milik mendiang ibunya tadi. Hantaman keras langsung meninju seluruh tubuhnya sehingga Inara tak kuat menopang tubuhnya dan terjatuh di lantai kamar. Isakan tangis mulai terdengar kembali membuat Dokter Jody semakin merasa bersalah karena telah gagal menyelamatkan ibunya Inara. "Biarkan Inara sendirian, dia butuh waktu untuk menerima semua ini. Ibu yakin Inara tak akan menyalahkanmu, Yah.” Istri Dokter Jody mencoba menghibur sambil mengelus bahunya pelan. Pria paruh baya itu hanya mengangguk. Perlahan dia meninggalkan kamar Inara. Benar kata istrinya, Inara memang butuh waktu untuk sendiri. Sementara itu, Inara masih terdiam. Ia duduk di lantai dengan gerakan bahu naik turun mengolah udara. Banyak amarah berjejalan di sana dan Inara tidak tahu harus berbuat apa. Silih berganti berkelebatan wajah ibunya dan sang Putri tercinta di benaknya. Tangan Inara mengepal tiap mengingat video di ponsel tadi. Teganya Bagas melakukan ini semua. Bahkan hingga detik ini, Inara masih belum tahu tujuan Bagas melakukan semuanya. Serta merta rasa cinta pada Bagas berangsur menghilang berganti dengan kebencian yang membuncah. Perlahan mata Inara tertuju pada tasnya. Sebuah undangan pernikahan menyembul dari dalam sana. Inara ingat tadi Rika memberinya undangan. Inara langsung menyambar undangan itu dan menatapnya dengan nanar. "Berani sekali kau tersenyum di atas lukaku ini Mas Bagas! Aku tidak akan diam saja. Tunggu saja pembalasanku!!” Inara meremas undangan tersebut, meluapkan semua kekesalannya. Mengepalkan jemarinya kuat-kuat sambil memejamkan kedua mata. Inara sudah bersumpah dalam hati akan membalas semua perlakuan Bagas padanya. Keesokan pagi, Inara sudah berangkat ke kantor, ada meeting penting pagi ini. Matanya yang sembab karena habis menangis semalaman kini sudah tak terlihat lagi karena dipoles riasan tebal. Inara harus kuat dan tegar di depan semua orang, tak boleh ada yang tahu kalau dirinya itu adalah istri bodoh yang dikhianati oleh suami hingga hartanya terkuras habis. Begitu tiba di ruangan, Inara langsung mengambil beberapa berkas dan membawanya ke ruangan Daniel. Ia membutuhkan tanda tangan Daniel. Setelah beberapa kali ketuk, terdengar sahutan dari dalam. Inara bergegas masuk. Namun, langkahnya langsung terhenti saat melihat Daniel tampak sedang berdiri bersitegang. Ada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi menjadi lawannya. “Kenalkan dia!!!! Ditha, sekretaris sekaligus calon istriku!!” seru Daniel kemudian. Sontak mata Inara terbelalak kaget. Ia berulang mengerjap sambil menatap Daniel. Kedatangannya ke ruangan ini untuk meminta tanda tangan bukan mendapat kejutan seperti ini. Daniel tersenyum berjalan ke arahnya, kemudian langsung merengkuh pinggul Inara. Kembali Inara shock. Ini kali pertama ia disentuh pria selain suaminya. Inara menoleh ke arah Daniel. Ia mau membuka mulut, tapi Daniel sudah memberi isyarat melalui matanya agar dia mengikuti perintah Daniel. “Ayo, Sayang. Kenalan sama Om Nicholas. Dia adiknya papa.” Kembali Daniel bersuara. Inara melirik Daniel dan lagi-lagi bosnya itu memberi isyarat melalui mata. Inara mengangguk dengan gugup kemudian sudah mengulurkan tangan memperkenalkan diri. “Ditha,” ujar Inara. Untung kali ini suaranya tidak terdengar gugup. “Cukup cantik untuk menjadi calon mantuku,” cetus Nicholas. Ditha hanya diam. Ia masih berdiri di samping Daniel dengan tegang. Berkas yang ia bawa tadi dipeluknya dengan erat. Jantungnya berdetak semakin kencang, apalagi Daniel tidak melepas rangkulannya dari pinggul Inara. “Baiklah kalau begitu. Jangan lupa ajak dia makan malam akhir pekan ini, Daniel. Kamu pasti ingin mengenalkan dia ke semua anggota keluarga, bukan?” Nicholas bersuara sambil bangkit dari duduknya. Sementara Daniel hanya menganggukkan kepala. Setelahnya, Nicholas berpamitan pulang. Tinggal Daniel dan Inara yang tersisa. “Pak, apa maksudnya ini?” tanya Inara kemudian. Daniel sudah menjauh dan kembali duduk di kursi kerjanya. Ia terdiam menatap Inara. Tangannya sudah saling bertautan. “Aku serius dengan ucapanku tadi, Ditha.” Inara terperangah dan berjalan mendekat kemudian duduk di kursi depan meja Daniel. “Namun, saya gak bisa, Pak. Saya sudah me---” “Tolong aku … aku benar-benar membutuhkan bantuanmu. Aku harus menikah akhir tahun ini. Kalau tidak, perusahaan ini akan jatuh ke paman Nicholas dan aku tidak mau itu terjadi.” Daniel sudah memotong lebih dulu dan memberi penjelasan. Inara membisu, matanya menatap pria tampan di depannya ini. Padahal dia baru saja berduka akibat ulah tidak bertanggung jawab suaminya. Rasanya jika dia akan menjalin sebuah hubungan lagi, Inara masih kesulitan. Namun, sekarang dirinya bukan Inara melainkan Ditha. Dia sudah berganti identitas dan ini kesempatan emas untuk melakukan pembalasan. Pembalasan pada Bagas dan Rika. Inara terdiam sejenak, mengangkat kepala hingga matanya bertemu dengan mata Daniel. “Aku akan membayar berapa saja asal kamu bersedia menolongku, Ditha.” Kembali Daniel bersuara. Inara menganggukkan kepala sambil mengulas senyuman. “Baik, saya bersedia menikah dengan Bapak. Namun, saya punya syarat.”Dia merapikan riasannya agar tak terlalu norak, si wanita yang menghiasnya tadi pun memberikan sepatu berwarna senada dengan gaun yang dikenakannya. Tidak lama kemudian, suara ketukan terdengar dari balik pintu. "Masuk saja," ucap Inara mengetahui bahwa itu adalah suara Daniel. Ketika tangan Daniel membuka pintu tersebut, matanya terbelalak kaget ketika mendapati Inara yang begitu cantik dengan gaun yang dikenakannya. Mulutnnya hingga ternganga membulat dan berbentuk huruf o. "Kamu cantik seka--" Daniel tak melanjutkan kalimatnya namun bibirnya langsung saja menyambar bibir ranum perempuan itu, tanpa penolakan dari Inara. Beruntungnya si perias tadi sudah dipersilahkannya keluar lebih dulu. Sentuhan lembut itu mampu memancing hasrat Inara yang juga menggebu hingga terjadi pangutan yang begitu lama, "Kamu cantik sekali, Ra," bisik Daniel baru menyadari orang-orang telah menunggunya di bawah."Terima kasih, El.""Apa kamu yakin dengan pernikahan ini, Ra?" "Apa maksudmu?
Daniel meminta Joe untuk menemukqn Inara secepatnya."Bagaimana bisa sudah satu minggu lamanya kalian tak menemukan Inara.""Kami akan berusaha menemukannya, Pak." Di sidang pada hari berikutnya, Rika lagi-lagi terus berkelit.“Nona Rika, kami minta tolong untuk Anda berkata jujur dan tidak berkelit,” ucap sang hakim agung.“Maaf, Yang Mulia. Tapi begitulah kenyataannya. Aku sama sekali tidak mengerti tentang kejadian yang Anda maksudkan atau yang kalian tuduhkan kepadaku. Aku benar-benar tidak bersalah dalam kasus ini,” ucap Rika.“Tapi, kenapa semua saksi berkata jika Anda juga terlibat kalau memang Anda tidak terlibat, Nona?"“I-itu pasti karena mereka sudah bersekongkol untuk menjebloskan aku ke dalam penjara!” kelit Rika sambil menyilangkan tangan di depan dada. Terdengar derit pintu terbuka membuat semua orang menoleh ke sumber suara."Tentu saja yqng salah harus dihukum. Aku datang sebagai korban atas pembunuhan yang telah kamu rencanakan, Rika. Bukan hanya aku yang men
Inara langsung meremas tangan Daniel dengan kuat hingga ia tidak menyadari jika kuku panjangnya itu membuat jemari Daniel terluka."Yang benar saja kamu melukai jariku," gumam Daniel merasakan perih di punggung tangannya. Tidak cukup di situ saja, Inara langsung memeluk Daniel karena takutan dengan kegelapan. Perempuan itu baru membuka matanya ketika Daniel sudah mengatakan bahwa lampu sudah menyala."Yang benar saja villa semegah ini bis--" Inara mengatupkan bibirnya karena melihat ruangan kamar itu dipenuhi dengan bunga-bunga dihiasi dengan sebuah kata-kata yang membuatnya terbelalak kaget."Apa maksudnya ini, El?" tanya Inara langsung menoleh ke arah Daniel."Maukah kamu menikah denganku?" Daniel dengan duduk berjongkok lalu menyodorkan sepasang cincin ke arah Inara."Benarkah kamu ingin menikah denganku?" tanya Inara benar-benar tidak percaya."Bukankah kamu harus menjawab pertanyaanku tadi? Mengapa nalah balik bertanya." Tanpa berpikir panjang lagi Daniel langs
Langsung saja perempuan itu menarik tangan Daniel dan memintanya untuk menjauh dari seorang gadis yang menjaga toko tersebut."Apakah itu tidak terlalu mahal?" protes Inara sembari membujuk Daniel untuk memikir ulang membeli cincin tersebut."Tidak apa-apa, Ra! Kan jarang banget aku membeli barang seperti ini dan aku tidak pernah menilai sesuatu dari harganya," balas Daniel meminta pelayan untuk membungkusnya."Apakah kamu ingin membeli yang lain? Pilih saja, nanti aku yang akan bayar," tawar Daniel melirik Inara yang terus saja mengomelinya. Hipotesa negatif mulai bersarang di dalam otaknya, melihat Daniel yang membeli barang tanpa memikirkan nilai harganya dantidak tahu untuk siap cincin tersebut maka membuat jiwa Inara bergejolak dan ingin membeli sesuatu yang sama nilainya dngan cincin tersebut."Baiklah, aku ingin membeli gelang, tetapi kalau harganya mahal, kamu tidak akan protes kan?" Inara sontak menoleh ke arah Daniel yang sedang duduk santai di atas sofa. Daniel t
Inara yang menatap dua orang itu saling beradu pandang pun merasa jengkel. Ia terus meneguk habis minumannya hingga membuatnya tersendak.Uhuukk... Uhuuk.."Minumlah." Daniel menyodorkan segelas air mineral ke arahnya. Melihat tindakan Daniel yang begitu sigap membantunya, membuat Inara sering bertanya-tanya apa yang sebenarnya Daniel pikirkan. Bagaimana bisa dia memberi perhatian kepada dua perempuan sekaligus. Hubungannya yang begitu dekat dengan Kanza benar-benar membuat Inara harus extra sabar menyaksikan hal itu."Mengapa aku jadi cemburu sih." Bagaimana tidak cemburu, Kanza pun terkadang bersikap manja dengan seorang pria blasteran itu di depan Daniel dan dirinya. Bahkan mereka saling menatap penuh makna satu sama lain. Ketika makanan sudah dihidangkan di atas meja, Kanza pun menyodorkan makanan kesukaan sang bule itu ke arahnya lalu memaksa sang pria bermanik mata hijau itu memakan satu suapan untuknya. Bukan hanya cantik saja, tetapi Kanza juga begitu handal m
"Iya, El." Inara menjawab terbata-bata karena jarak mereka yang hanya beberapa senti meter saja membuat Inara sedikit ketakutan. Daniel menelisik tajam ke arah Inara dan menatap sepasang bola mata perempuan cantik itu lalu ia membisikkan sesuatu hal yang membuat Inara berteriak. "Apa kamu sudah tak waras, El! Aku mana mungkin melakukan itu, hal yang terjadi kepada kita itu karena ketidaksengajaan." Inara mengingatkan Daniel apa yang pernah mereka lewati ketika malam nahas itu. Pria itu masih mengunci pergerakannya dan menatap Inara dengan sangat dalam, dia tahu bahwa saat ini Inara sedikit ketakutan dengannya. Namun, Daniel ingin membuat Inara sadar, lalu dia membisikan sesuatu lagi."Itupun jika kamu mau menikah denganku, jika tidak ya terserah padamu," ucapnya sedikit mengancam dengan senyuman yang mengembang di sudut bibirnya."Tidak akan! Aku tidak akan melakukan itu." Inara protes tidak menyetujui keinginan pria tersebut. Kemudian Daniel menatap lagi k