MasukMobil melaju stabil menuju bandara. Suasana di dalam mobil tegang tapi… juga agak kocak.
Andreas duduk di kursi belakang, sedikit membungkuk ke arah Alina di sampingnya.Sementara itu, Alina hanya menatap keluar jendela tanpa minat apa pun.Andreas mencondongkan badan.“Aku beneran minta maaf,” katanya pelan.Alina tidak bergeming.Andreas mencoba lagi.“Kamu masih marah, ya?”Alina tetap diam. Hanya suara AC yang terdengar.Dirga yang menyetir melirik lewat kaca spion. Bibirnya otomatis naik sedikit lalu buru-buru ditahan.Dalam hati dia ngomel sendiri.Astaga… bos kalau sama karyawan galaknya minta ampun, tapi di sebelah nyonya… jadi kayak anak kucing kebasahan. Jangan ketawa, Dirga. Jangan ketawa.Andreas mendesah panjang, lalu menyenggol pelan lengan Alina.“Aku salah banget, ya?”Nada suaranya sudah level memohon.Alina akhirnya menjawab tanpa menoleh.“Sadar sAndreas duduk di sisi ranjang rumah sakit. Punggungnya tegak, rahangnya kaku. Wajahnya tetap dingin seperti biasa, tapi kali ini jelas ada tekanan di sana, amarah yang ditahan dan keputusan yang sudah bulat. “Aku akan menikahinya.” Hansen yang setengah bersandar dengan infus di lengannya langsung terlonjak. “Apa yang kamu bilang?” Andreas tidak menoleh. Suaranya datar, tanpa ragu. “Aku akan menikahi Nadira.” “Kamu gila?” suara Hansen meninggi. “Aku memang minta kamu jaga dia. Tapi bukan berarti kamu harus menikahinya. Nana sangat mencintai Dikta. Walau aku tidak pernah setuju, yang aku pikirkan cuma satu, kebahagiaannya.” Andreas akhirnya menoleh. Tatapannya tajam, menusuk. “Kamu yakin mau biarkan adikmu menikah dengan pria yang berselingkuh?” Hansen terdiam sesaat. “Apa maksudmu?” “Bajingan itu tidur dengan adik tiri kalian sendiri,” jawab Andreas tanpa basa-basi. “Maudy.”
Kami berciuman lama di dalam mobil bukan ciuman yang liar, melainkan penuh desakan emosi yang tak terucap. Saat napas kami mulai terengah, Andreas melepaskanku lebih dulu. Rahangnya mengeras, matanya menatap lurus ke depan ketika ia menyalakan mesin. Sepanjang perjalanan, hanya suara mesin dan detak jantungku yang terasa terlalu keras. Lift apartemen menelan kami dalam ruang sempit. Begitu pintu menutup, Andreas menoleh. Tanpa peringatan, ia meraih wajahku dan kembali menciumku singkat, menekan, seolah ingin memastikan sesuatu. Aku membalas, jari-jariku mencengkeram kerah jasnya. Ding. Pintu lift terbuka. Kami terpisah seketika, sama-sama terdiam, lalu melangkah keluar seolah tak terjadi apa-apa. Lorong apartemen lengang. Lampu temaram memanjang seperti saksi bisu. Baru beberapa langkah, Andreas berhenti. Ia menarikku ke arahnya dan menciumku lagi, kali ini lebih pelan, lebih dalam. Aku merasakan napasnya di
Aku berdiri di depan cermin cukup lama sebelum akhirnya keluar kamar. Gaun hitam sederhana membalut tubuhku, rambutku tergerai rapi, make-up tipis tapi cukup membuat wajahku terlihat segar. Begitu aku melangkah ke ruang tengah, andreas sudah duduk di sofa. Kaki panjangnya menyilang, ponsel di tangan, tapi matanya langsung terangkat saat melihatku. Tatapannya berhenti terlalu lama. “Mau ke mana?” tanyanya datar. “Ada reuni teman-teman kuliah,” jawabku sambil mengambil tas kecil di meja. “Aku antar,” katanya cepat. “Gak usah. Aku dijemput teman.” Alisnya terangkat tipis. “Pria?” “Iya,” jawabku singkat tanpa menoleh. Dia diam. Terlalu diam. Udara di ruang itu terasa berubah, lebih dingin. Aku tahu ekspresi itu andreas sedang menahan sesuatu, entah apa. Aku melangkah ke pintu, sengaja menaikkan volume suaraku. “Udah lama nunggu?” Danuel be
Andreas menatapku lama, jelas tak percaya. “Jadi itu pria yang mau kamu nikahi tiga bulan lagi?” Nada suaranya datar, tapi tatapannya merendahkan. “Selera kamu jelek banget.” Aku memutar mata. Kali ini tak membantah, karena aku tahu dia benar. “Pantas saja Hansen nggak setuju,” lanjutnya tanpa belas kasihan. “Tapi kamu bego, malah maksa.” Aku mencubit pinggangnya pelan tapi kesal. “Iya, aku emang bego,” kataku jujur. “Tapi aku sudah sadar. Dan soal pernikahan itu? Aku juga nggak sudi.” Andreas menoleh cepat. “Jadi kamu mau batalin pernikahannya?” Aku mengangguk. “Dia selingkuh. Aku lihat sendiri pakai mata kepalaku.” Napasku sedikit tercekat. “Dan aku… aku juga sudah tidur denganmu. Mana mungkin aku menikah sama dia.” Tatapan Andreas berubah sinis. “Jadi kamu ngarep aku nikahin kamu?”
Aku membuka mata dengan kepala masih terasa berat. Pelipisku berdenyut saat tanganku terangkat refleks menyentuhnya. Selimut menyelimuti tubuhku dan aku sadar, di baliknya aku telanjang. Aku memejamkan mata sejenak. Ingatanku kembali utuh. Semua yang terjadi semalam. Bukan sekali. Lebih dari itu. Seperti dua orang yang larut rindu dan hasrat. Rasa malu menghantamku telak. Pintu terbuka pelan. Andreas masuk membawa semangkuk sup hangat. Uapnya naik perlahan, aromanya lembut dan menenangkan. Aku ingin menghilang saja. Kalau bisa berubah jadi semut dan bersembunyi di lubang tikus, aku akan melakukannya sekarang juga. Aku menunduk. Jemariku meremas ujung selimut, menutupi dada seolah itu bisa menyembunyikan rasa kikukku. Andreas meletakkan mangkuk di meja kecil di samping ranjang, lalu duduk di tepinya. Wajahnya tetap tenang, dingin seperti biasa seolah semalam hanyalah satu kejadian yang sudah selesai dan tersimpan rapi.
Malam itu tubuhku benar-benar di ujung batas. Tenagaku sudah terkuras habis sejak pagi, tapi aku masih harus menemani Pak Nolan. Bayu sudah mengingatkanku berkali-kali, kontrak ini penting. Sangat penting. Tapi tidak ada yang lebih penting dari keselamatanku sendiri. Kami duduk di ruang privat restoran itu. Lampu temaram. Musik pelan. Terlalu pelan. Terlalu sunyi. Tatapan Nolan membuat kulitku meremang. Dia memesan minuman. Aku menolaknya. “Aku tidak minum alkohol,” kataku dingin. Aku melihat perubahan kecil di wajahnya, senyum yang gagal disembunyikan. Senyum bajingan. “Tenang saja,” katanya ringan. “Ini tanpa alkohol.” Gelas diletakkan di depanku. Aku memperhatikannya dengan seksama. Aromanya normal. Warnanya normal. Tidak ada yang mencurigakan. Aku t







