Rahayu sedang mengikuti meeting bersama Pak Darmawan team lainya untuk membahas mengenai pencapaian perusahaan dan menyusun strategi menghadapi bulan berikutnya. Namun fokusnya mulai terganggu akibat kondisi badanya yang kurang nyaman.
Awalnya Rahayu hanya merasa tidak enak badan sejak bangun tidur pagi tadi, namun ia mengabaikanya. Kini sepertinya kondisi kesehatanya semakin memburuk. Ia merasa kepalanya mulai pusing dan pandanganya kabur. Suara pak Darmawan yang sedang berbicara tiba-tiba tak dapat Rahayu dengar dengan jelas.
Pandangan Rahayu pun mulai berkunang-kunang. Awalnya hanya satu dua kunang-kunang yang berterbangan hingga lama kelamaan semakin banyak dan kencang kunang-kunang tersebut berterbangan dalam pandangan Rahayu.
Bruk! Rahayu terjatuh dari kursi di ruang meeting.
"Rahayu?!" Pekik Cintya yang kaget sekaligus panik melihat teman sekerjanya terjatuh. Pak Darmawan, Rafi dan Hartanti tak kalah paniknya. Mereka segera membawa Rahayu ke ruang unit kesehatan.
Rahayu segera dibaringkan di sebuah sofa yang terletak di ruang kesehatan yang sekaligus menjadi ruang laktasi bagi karyawan yang perempuan yang memiliki bayi. Hartanti memanggil OB untuk membuatkan teh hangat, sementara Cintya mencari minyak kayu putih untuk dibalurkan ke tubuh Rahayu yang mengeluarkan keringat dingin.
"Sebaiknya bawa Rahayu ke rumah sakit, aku khawatir dengan kesehatanya" Ucap Pak Darmawan melihat kondisi Rahayu yang terlihat pucat dengan keringat dingin membasahi wajahnya.
"Apakah Pak Sakir boleh mengantarkan Rahayu ke dokter Pak?" Tanya Hartanti sambil menerima teh hangat yang dibawakan oleh OB. Pak Sakir adalah supir pribadi Pak Darmawan, itu sebabnya Hartanti meminta ijin terlebih dahulu.
"Tentu saja, suruh Sakir mengantar Rahayu ke dokter Hartanti" Ucap Pak Darmawan. Lelaki paruh baya yang sangat menyayangi Rahayu itu tentu tak mau karyawan andalanya sakit.
Aroma minyak kayu putih di hidung Rahayu berhasil menyadarkanya dari pinsan. "Maaf, aku pusing sekali" Ucap Rahayu berusaha bangun dari sofa tempat dia berbaring.
"Sudah, tiduran dulu saja nanti kalo sudah baikan biarkan Pak Sakir mengantarmu" Ucap Cintya, wanita cantik yang selalu berpenampilan modis itu masih sibuk menggosokan minyak kayu putih di kaki Rahayu.
Rahayu kembali tiduran di sofa seperti apa yang dikatakan Cintya. Kepalanya masih terasa pusing dan badanya sangat lemas. Ia baru ingat bahwa dirinya memang belum makan semenjak kemarin, ditambah kurang tidur karena harus menyelesaikan pekerjaan rumah setelah pulang kerja larut malam.
***
"Pak, saya rasa tidak perlu ke dokter, deh! Saya hanya ingin istirahat dan tidur di rumah" Ucap Rahayu kepada Pak Sakir ketika dirinya di dalam mobil.
Tadinya ia hendak ke dokter, namun Rahayu malas sekali jika harus mengantri dokter. Sedangkan dirinya tahu persis bahwa sumber penyakit yang saat ini dia rasakan adalah akibat dari kurang tidur dan terlambat makan.
"Tapi, apakah Ibu Rahayu yakin tidak apa-apa? Saya takut dimarahin Pak Bos loh Bu?!" Ucap Pak Sakir dengan logat Jawanya. Pak Sakir memang sering memanggil Pak Darmawan dengan julukan Pak Bos.
"Tidak apa-apa Pak, lagian saya males antrinya kalo ke dokter, mendingan buat tidur di rumah Pak" Ucap Rahayu meyakinkan.
"Baik Bu, saya antar ke rumah saja yah" Ucap Pak Sakir, lelaki itu kemudian membelokan mobilnya ke arah rumah Rahayu.
Rahayu mengangguk lalu memejamkan matanya, untuk mengurangi rasa pusing yang menderanya. Tadi ia sempat memakan roti di kantor untuk mengganjal perutnya yang belum terisi makanan sejak kemarin, kali ini rasa lemas di tubuhnya sudah sedikit berkurang. Namun rasa pusingnya sama sekali belum berkurang bahkan ia merasa sedikit mual akibat naik mobil.
"Bu, sudah sampai" Ucap Pak Sakir sopan, ia terlihat ragu membangunkan Rahayu yang tertidur.
"Oh sudah yah Pak, saya turun dulu Pak, makasih yah" Ucap Rahayu, ia berusaha turun dari mobil sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Rahayu memasuki rumahnya yang terasa sepi, gerbangnya ternyata tak di kunci. Ia tak melihat motor Sarah, adik iparnya itu pasti sedang kuliah. Tetapi terlihat sandal mba Fitri dan sandal Sadewo, artiya mereka ada di rumah. Saat Rahayu memegang gagang pintu untuk membukanya, ternyata pintunya terkunci.
Tok Tok Tok!
"Assalamualaikum Mas Dewo, Mba Fitri" Ucap Rahayu dengan suara kencang, namun pintu tak segera di buka. Rahayu yang merasa pusing akhirnya menekan bel rumah kemudian duduk di kursi teras demi menenangkan dirinya yang merasa sangat pusing.
"Lama sekali sih Mas Sadewo dan Mba Fitri" Ucap Rahayu, ia hendak menekan bel sekali lagi, namun tiba-tiba Sadewo membuka pintu rumahnya dengan bertelanjang dada.
Wajah Sadewo terlihat pucat dengan rambut acak-acakan membuat Rahayu heran. "Kamu sakit Mas?" Tanya Rahayu memastikan kondisi suaminya.
"Emm,, ini Yu, aku cuma sedikit lelah saja" Ucap Sadewo grogi.
"Makanya jangan main game terus dong Mas!" Ucap Rahayu jengkel sambil berjalan memasuki rumahnya. Rahayu menduga Sadewo asik-asikan bermain game hingga ia pucat begitu.
Rahayu celingukan memasuki rumah yang terasa sepi tak seperti biasanya.
"Ibu kemana Mas?" Tanya Rahayu ingin tahu.
"Ibu Arisan, Sarah kuliah" Ucap Sadewo, lelaki itu mengikuti Rahayu dengan salah tingkah.
"Athala kemana?" Tanya Rahayu sambil mengerutkan keningnya, ia lalu berjalan menuju kamar Arkana dan Athala
"Athala tidur siang di kamar sama mbak Fitri" Ucap Sadewo masih membuntuti kemana langkah Rahayu.
Rahayu membuka kamar Arkana dan Athala, terlihat Athala yang sedang tidur sementara mba Fitri sedang sibuk mengganti seprai di ranjang Arkana. Kondisi mbak Fitri juga terlihat kacau dengan muka pucat dan rambut di ikat ke atas ala kadarnya yang terlihat berantakan. Lagi-lagi Rahayu heran.
"Bukankah tadi pagi ia sudah membereskan tempat tidur kedua anaknya, kenapa sekarang berantakan lagi?" Batin Rahayu
Pikiran buruk mulai singgah di kepala Rahayu, namun karena dirinya merasa sangat pusing, ia mencoba untuk mengabaikanya. Rahayu lalu berjalan ke kamarnya, ia berniat untuk istirahat sejenak sebelum kembali bekerja. Ia tahu, rasa pusing di kepalanya diakibatkan oleh kurang tidur.
Ardhi kembali membuka kontak Rahayu di ponselnya. Jempolnya sempat ragu mengetik. Berkali-kali ia hapus dan tulis ulang pesannya. Lagi-lagi dia mempunyai alasan agar bisa dekat dengan ibu dua anak itu."Rahayu, sebagai tugas tambahan, tolong besok bawakan bekal makan siang buatanmu!" Pesan terkirim.Ia meletakkan ponsel ke meja, pura-pura sibuk membaca dokumen. Tapi matanya melirik layar setiap lima detik sekali, menunggu notifikasi.Di sisi lain, Rahayu yang baru saja selesai menyiapkan pakaian tidur anak-anak, terkejut melihat pesan dari Ardhi.Alisnya terangkat. "Tugas tambahan? Bekal makan siang?" Gumamnya dengan perasaan aneh.Ia membaca ulang pesan itu beberapa kali. Kalimatnya terdengar resmi dan seperti perintah pekerjaan. Tapi Rahayu bukan gadis dua puluh tahun yang mudah dibohongi.Ia tahu ini bukan sekadar tentang bekal makan siang.Namun, ia memilih membalas dengan sopan."Baik, Pak. Besok saya akan bawakan. Ada permintaan khusus, atau saya buatkan seperti bekal yang biasa
“Mama… kita beneran tinggal di sini?” tanya Athala, matanya berbinar.Sore itu, Rahayu tiba di depan gedung apartemen yang disebut Ardhi. Ia sempat ragu turun dari mobil, memandangi bangunan tinggi dengan arsitektur modern dan penjagaan yang ketat di lobi depan. Namun ia memantapkan hati bahwa ini semua demi kebaikan anak-anaknya.“Iya, Nak. Tapi ini hanya sementara,” jawab Rahayu dengan senyum gugup.Arkana sibuk memperhatikan ke sekeliling, “Waaah… itu kolam renang, Mah!” ucap Arkana dengan takjub.Senyum Rahayu perlahan tumbuh. Ia menggandeng kedua anaknya masuk ke dalam lobi. Petugas keamanan langsung menyapa dengan ramah dan mengarahkan mereka ke lift menuju lantai delapan. Ardhi sudah mengirimkan akses unit dan petunjuk lokasi.Saat pintu apartemen terbuka, Rahayu terdiam. Ruang tamu langsung menyambut dengan pencahayaan hangat, sofa empuk berwarna krem yang elegan, rak buku minimalis yang sudah terisi setengah, dan tanaman hijau di sudut ruangan memberi kesan hidup. Lantai kayu
Di jam istirahat, suasana kantor di perusahaan Darmawan Group mulai lengang. Beberapa karyawan memilih makan siang di kantin perusahaan, ada juga yang memilih untuk makan di luar kantor, beberapa lainya membawa bekal sehingga memilih makan siang di pantry.Rahayu terlihat masih sibuk dengan pekerjaanya. Matanya menatap layar laptop dengan serus, satu tangan di atas keyboard dan satu lagi di atas tumpukan dokumen CV."Rahayu, kamu tidak makan siang?" Ucap Ardhi tiba-tiba, hampir mengagetkan Rahayu yang sedang fokus."Saya masih membuat laporan hasil rekrutmen untuk cabang kantor baru, Pak Ardhi" jawab Rahayu, menoleh sebentar ke Ardhi lalu melanjutkan pekerjaanya."Kamu bawa bekal makan siang?" Ardhi bertanya lagi."Enggak Pak, saya hanya sempat membuat sarapan dan bekal untuk anak-anak saja""Kalau begitu, kita makan siang bersama. Ada tempat makan baru yang ingin kucoba siang ini""Tapi Pak Ardhi... Saya masih...""Cepat tutup pekerjaanmu dan ku tunggu di mobil" ucap Ardhi, sebelum p
“Terima kasih Pak Ardhi...” suara Rahayu lirih, nyaris seperti bisikan. “Kalau bukan karena Bapak, aku mungkin… aku mungkin tidak akan melihat anak-anakku lagi.” ucap Rahayu. Rahayu duduk di kursi tengah mobil mewah Ardhi sambil mendekap Arkana yang tertidur di pangkuannya. Athala bersandar lelah di bahu Rahayu, jari-jarinya masih mencengkeram erat lengan ibunya, ketakutan dan trauma masih menyelimuti perasaan bocah kecil itu. Ardhi yang duduk di samping Rahayu menoleh, memandangi Rahayu yang masih tampak syok namun mulai tenang. Tatapan mereka bertemu, Rahayu menunduk.“Kamu ibu mereka, Rahayu. Mereka butuh kamu. Dan kamu pantas mendapatkan keadilan.”Air mata menggenang di mata Rahayu. Ia menunduk, mencium kening Arkana, lalu menatap Ardhi dengan penuh rasa syukur, ada perasaan aneh dan canggung di hati Rahayu. Ia merasa apa yang Ardhi lakukan padanya berlebihan jika dinilai sebagai seorang atasan dan bawahan, namun tak dapat dipungkiri Rahayu membutuhkan bantuan Ardhi.“Aku nggak
Brakh!!Pintu rumah reyot itu terdobrak dengan keras, daun pintunya menghantam dinding dengan keras hingga nyaris copot dari engselnya. Suara dentuman itu menggema di seluruh ruangan, membuat Yanti dan Luna tersentak ketakutan."Apa-apaan ini?!" teriak Yanti kaget, wajahnya pucat pasi.Luna langsung berdiri, matanya membelalak saat melihat Ardhi berdiri di ambang pintu, diapit oleh empat bodyguard bertubuh kekar yang mengenakan seragam hitam. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, tatapannya penuh amarah yang membara.Di belakang Ardhi, Rahayu muncul dengan napas memburu. Matanya merah dan basah oleh air mata, tetapi sorot matanya tajam, penuh keberanian."Di mana anak-anakku?!" suara Rahayu bergetar, tapi penuh tekanan.Yanti mundur beberapa langkah, panik. “Ka-Kalian tidak boleh masuk!”Ardhi hanya melirik sekilas ke arah bodyguardnya. Salah satu dari mereka langsung melangkah maju, menyingkirkan Yanti dengan mudah seperti boneka kain.Luna ikut ketakutan, tangannya mencengkeram ujung
Rahayu tiba di sekolah Arkana dan Athala setelah pulang kerja untuk menjemput kedua putranya."Maaf Ibu, tadi anak-anak sudah dijemput oleh Omanya" ucap seorang guru yang terbiasa mengajar Athala."Omanya?" ucap Rahayu heran, seingatnya mertuanya Yanti tak pernah peduli pada kedua putranya. Tumben sekali dia mau menjemputnya. Pikiran buruk mulai melintas di kepala Rahayu.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam tas. Dengan tangan gemetar, Rahayu mengangkatnya.Suara di seberang terdengar dingin dan penuh kepuasan.“Kau mencari anak-anakmu, Rahayu?” suara Yanti terdengar tajam.Rahayu langsung menegang. “Di mana mereka?! Apa yang kau lakukan pada anak-anakku, Yanti?!”Terdengar tawa sinis dari seberang. “Jangan panik begitu, Rahayu. Mereka baik-baik saja bersamaku, ingat aku ini neneknya!.”Rahayu merasakan tubuhnya lemas, tapi ia memaksakan diri tetap berdiri. “Jangan macam-macam, Yanti. Kembalikan mereka sekarang juga!”“Kembalikan? Hah! Setelah semua yang kau lakukan padaku dan Sadew