Grand Mercure Hospital
27 Oktober 2020
Audrey dan suaminya tersenyum bahagia melihat Ventria sudah bisa tertawa setelah operasi transplantasi sumsum tulang belakang yang telah dilakukan beberapa hari lalu. Tinggal pemulihan berangsur-angsur yang akan membuat kesehatan bayi ini semakin membaik. Mereka sudah membawa Ventria pulang dari rumah sakit. Perasaan suka cita bibik Andar dan Yanti menyambut kepulangan Ventria dengan mengihias rumah itu dengan balon hias serta bunga-bunga yang mereka rawat yg tumbuh disamping rumah. Pesta kecil dipersiapkan dengan matang. Mereka mendatangkan banyak kerabat, teman juga saudara. Tak lupa, puluhan anak yang bernaung di panti asuhan yang Audrey sesekali memberikan donaturnya. Sebuah yayasan yang didirikan beberapa teman Audrey dan dirinya yang sebagai bendahara, merawat dan menyekolahkan anak-anak itu agar mendapatkan kasih sayang yang semestinya mereka dapatkan. Audrey memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Sementara itu kondisi tuan Abellard juga sudah tersadar dari komanya.
Abellard sudah pulang ke rumah, menemani kucing kesayangan dan beberapa burung yang sekian lama ditinggalkan. Sejak istrinya meninggal, Abellard memilih tidak menikah lagi. Seorang pelayan yang dipekerjakan oleh Audrey membantu mengurusi hewan-hewan piaraan Abellard dan terkadang menemaninya mencari udara pagi. Namanya Sam. Ia lelaki berkebangsaan Perancis, yang telah lama menetap di Indonesia seperti halnya Abellard. Johannes Abellard adalah seorang keturunan bangsawan yang jatuh cinta kepada wanita bernama Suryani. Rasa sayangnya yang mendalam tidak membuatnya ragu untuk menikahi wanita itu, meskipun Suryani sudah memberitahunya bahwa ia dalam keadaan berbadan dua. Dengan tanpa restu dari orang tuanya yang kaya raya dan memiliki darah biru, Johannes Abellard menikahi wanita itu dan memilih mengikuti kewarganegaraan Suryani. Kebahagiaan mereka semakin bertambah dengan hadirnya seorang putra tampan yang bermata abu-abu, mirip dengan mata ayahnya. Kecantikan Suryani yang khas wanita sunda tidak hanya menurun ke putrinya, Audrey, tapi juga memahat wajah Jonash menjadi pria rupawan. Jonash tumbuh dewasa memiliki postur sedikit melebihi kakak wanitanya, selisih tiga belas senti. Limpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya membuat Jonash tumbuh menjadi anak yang suka bersenang-senang. Tapi kebaikan hati ayah dan ibunya tak ayal tetap menurun pula kepadanya, sebagaimana sang kakak.Setelah menyelesaikan kuliahnya, Jonash masih belum ingin bekerja. Sampai dia bertemu dengan seorang wanita di sebuah kelab malam dan mengharuskan dia nikahi karena suatu sebab. Kejadian dia tertangkap tangan sedang membawa narkoba membuatnya berurusan dengan pihak kepolisian.
Benigno Jacob Andriano telah membuktikan ucapannya. Jonash Abellard menunggu beberapa minggu sebelum pengacara terhebat di negeri ini akan dapat membebaskannya dari jerat hukum. Hutang bank mereka pun tanpa sepengetahuan suaminya telah Audrey lunasi. Kesulitan Audrey telah berangsur-angsur teratasi.…
29 Oktober 2020
Siang panas pukul tiga belas, Benigno berjanji akan memberikan jalan keluar terbaik untuk memuluskan rencana pernikahan mereka. Di kafe Sekopi Hitam, mereka akan mengadakan pertemuan rahasia.
Audrey datang sesuai waktu yang telah mereka sepakati. Kandungannya yang sudah menginjak usia lima bulan tetap tidak tampak di kemeja besarnya. Audrey yang bertubuh ramping dapat menyembunyikannya dari lelaki itu.
Benigno sudah duduk menantinya di private room.
“Kau lihat video ini,” ujarnya pada Audrey. Benigno memperlihatkan sebuah rekaman di telephone genggamnya.
Audrey menatap yang dituju. Dilihat seksama dengan wajah penuh perhatian.
“Kau asing tidak dengan pria ini?” tunjuk ibu jari Benigno pada suatu wajah yang diperbesar.
“Aku bawa foto mereka juga agar kamu dapat melihat kalau video ini bukanlah rekayasa.” Tentu saja bukan hal yang sulit mendapatkan rekaman hal tidak senonoh yang telah Denish berikan padanya, Prabu tidak menyadari perbuatan Denish yang merekam aksi mereka.
Benigno membuka sebuah map dan mengambil beberapa lembar foto dari cctv sebuah penginapan.
“Mas Prabu!” Audrey menjerit seakan tidak percaya. Dilihat lagi dengan teliti. Tangkapan layar yang dicetak itu menunjukkan sepasang insan yang sedang berciuman mesra didepan sebuah pintu kamar hotel. Foto wajah wanita yang telah diperbesar itu tidak asing bagi Andrea, Denish. Adik iparnya. Beberapa poto adegan dewasa juga Benigno tunjukkan, itu sangat melukai hati Audrey, memporak porandakan kepercayaan yang selama ini telah dia berikan kepada suami dan adik iparnya.
“Mereka sering menghabiskan waktu di hotel itu. Sudah selama lebih dari setengah tahun.”
“Cobaan apa lagi ini, Duh Gusti! Saya mengenal baik sebelum memutuskan menerima pinangan Mas Prabu, dan Denish? Bagaimana dengan rumah tangga adikku itu” tangis Audrey tidak tertahan.
"Jonash memang saudara tiriku, tapi aku sayang padanya, karena hanya dia satu-satunya saudara yang aku punya saat ini, setelah ibu meninggal. Aku pun tidak tahu keberadaan ayah kandungku, yang pasti kata ibu sebelum berpulang dulu, ayah adalah lelaki yang baik, aku ingin sekali bertemu beliau. Barangkali beliau bisa sedikit membantu kesulitan ini. Bagaimana kedepannya aku harus bersama dengan lelaki yang sebelumnya telah merenggut paksa kehormatanku?" ratap Audrey dalam hati. Dia tidak ingin lelaki didepanya itu tahu betapa rapuh jiwanya saat ini.
Benigno yang melihat wanita cantik itu tertunduk sedih, mengusap ujung lengan Audrey dengan lembut, berharap bisa mengurangi beban emosi yang menindihnya.
“Aku sudah tahu tabiat suamimu itu yang suka bersenang-senang jauh sebelum pertemuan kita. Itulah kenapa aku ingin merebutmu dari sisinya. Aku tidak terima caranya memperlakukanmu, wanita yang kucintai. Tetapi aku juga tidak tahu cara apa yang bisa kulakukan, maafkan aku harus menodai kehormatanmu. Tapi sejak dulu dikampus aku memang sudah sangat ingin menikahimu.” Tentu saja Benigno berbohong. Tangan Benigno mencoba meraih tangan Audrey dimeja itu, tapi Audrey menepisnya.
Walau Audrey sangat membenci Benigno tapi dia tidak berani menggugurkan anak tidak berdosa ini, perbuatan ayahnya tercela tapi anak ini suci.
“Kehadiranmu dirahimku juga tidak akan kuberitahukan ayahnya, karena segera aku akan melakukan proses perceraian beberapa saat setelah menikah, tidak sudi aku berbagi hidup dengan manusia jahat ini,” bathin Audrey.
“Aku berjanji akan menghilangkan deritamu, akan menyeka tangismu. Percayalah aku akan membuatmu bahagia,” ujar Benigno lembut.
Audrey menundukkan wajahnya menahan geram, dia tidak ingin gemeretak rahangnya terlihat oleh Benigno, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.
Seraut wajah menatap kedua insan itu dari kejauhan, sebuah pojok ruangan dengan penuh perhatian. Wajahnya sendu. Seorang wanita cantik dengan rambut pendek. Didahinya terdapat poni yang rapi dan manis. Mengenakan kacamata rayban agar tidak nampak jatidirinya. Wajahnya masam dengan bibir terkatup. Wanita itu telah melakukan perjalanan jauh dari negaranya, dan menemukan keberadaan kekasihnya. Sebuah tekad menyelinap di relung hatinya. Tekad untuk melenyapkan wanita yang telah merebut perhatian lelaki itu, lelaki yang seharusnya hanya memberikan perhatian hanya dengannya saja. Sebuah rencana besar ia susun.
Ceritakan tentang anakku.” Audrey bertanya saat mereka duduk di teras kecil itu.Audrey tiba-tiba bertanya kepada Nathan.“Beberapa kali kau mengatakan kata ‘anakku’, itu menyiratkan kalau anakku bukan anak kandungmu karena kau bilang kau suamiku.”Sungguh Nathan merasa ini episode tersulit yang harus ia dan istrinya lalui.Lelaki itu menatap ke arah cangkir kopinya yang telah kosong.Audrey tahu, sesuatu yang ia lupakan dan masih menjadi misteri itu bukan suatu kabar baik.“Kau pernah menikah dengan seseorang sebelum aku nikahi.” Akhirnya kata itu keluar dari bibirnya.“Apakah dia, Benigno yang aku cari?” Audrey menatap Nathan dengan ekspresi dalam, rasa ingin tahunya terlihat jelas.“Bukan.”“Lantas?”“Baiklah, aku akan membuka semua identitasmu.”Audrey memposisikan dirinya pada pose senyaman mungkin. Ia telah siap mendengarkan cerita Nathan.“Aku masih berkabung atas berpulangnya sahabatku, rekan kerjaku pada perusahaan yang kami berdua jalankan, ketika seminggu setelah pemakamanny
Sinar matahari menyinari kamar tidur nyaman ini. Kehangatan lembut meresap pada permukaan kulitnya.Pernahkah ia merasa lebih aman dan bahagia? Audrey sulit menjawab karena ingatannya hampir tak ada.Tapi ia tak bisa membayangkan merasa lebih aman daripada yang ia rasa sekarang ini.Kemarin, setelah singgah di sebuah desa terdapat sebuah toko bahan pangan, Ia melihat Nathan mengisi dua troli besar dengan sejumlah bahan makanan. Mereka berkendara selama berkilo-kilometer, jauh memasuki daerah pegunungan. Saat kemudian Nathan memasuki jalan berkerikil di puncak bukit, napas Audrey terasa terhenti, ia mengira dirinya telah melihat surga dalam perjalanan tadi, tapi itu hanya awalnya saja.Rumah kayu dua lantai milik Nathan terletak di puncak bukit menjulang. Terdapat teras kecil, di kedua lantai. Mereka menghadap lembah memikat dipenuhi pepohonan hijau menyejukkan. Tinggi dan masiv, pegunungan menjulang di kejauhan, menambah keindahan yang menakjubkan. Ia keluar dari mobil begitu Nathan be
"Enak saja. Jangan berani-beraninya kau menyalahkan dirimu. Ini semua salah Benigno. Sejak dulu bahkan sebelum aku mengenalmu, aku tahu siapa dia.”“Ceritakan bagaimana dia versimu.”Angin lembut menggerakkan rambut sebahu Audrey yang berwarna merah berpadu coklat yang keemasan, tampak kontras dengan pipinya yang bersih tanpa cela yang kini tidak pucat lagi, rona kemerahan telah tampak di situ.Begaimanapun saat ini adalah hari dimana ia merasa usahanya perlahan mulai menampakkan berita baik. Nathan akan menunda dulu cerita mengenai saudara tirinya itu agar tidak merusak suasana hati wanita ini.“Suatu saat aku akan menceritakan semua yang ingin kau katahui, ini hanya masalah waktu, SayangPanggilan itu sekali lagi membuat desir di hati Audrey tak tertahankan. Ia bisa menebak, lelaki di sampingnya tidak ingin suasana hatinya berubah karena mendengar sesuatu yang akan membuat ia tidak suka.Mungkin Nathan benar. Tapi ia tidak dapat mengenyahkan kenyataan bahwa jika ia tak pergi sendiri
Kau telah banyak membantu menguak tabir ini, Audrey,” ujar Patrick. “Berdasarkan informasi yang kau berikan dari sesi hipnotismu dua hari lalu, kami punya gambaran yang lebih jelas tentang keadaan fasilitas itu. Sepertinya dia punya banyak orang yang di rekrut untuk membantunya. Masalahnya, mereka itu siapa dan darimana asalnya?”“Mereka gelandangan.”“Apa?” Lima orang bertanya sekaligus.“Saat aku melatih, aku mendengar salah seorang pemuda menangis, mengatakan kalau dia ingin pulang. Pria yang memimpin latihan menghardiknya dan berkata, “Kau lupa? Kau tak punya rumah, layaknya idiot-idiot lain di sini. Kami memberi kalian para idiot gelandangan kesempatan tapi kalian bahkan tidak merasa beruntung.”“Itu masuk akal. Begitu banyak anak-anak jalanan sehingga tak ada yang kehilangan mereka saat mereka tak nampak.”Patrick berdiri, menandakan pertemuan hari ini akan usai. “Kau telah memberikan pemahaman baru bagi kami yang bahkan belum pernah kami pertimbangkan. Kerja yang bagus, Audrey.
Audrey mengedarkan pandangannya ke orang-orang dalam ruangan.“Suara lembut, jahat, melengking tapi maskulin, mengatakan padaku...” Audrey menelah ludah. “Dia akan menikmati saat menjinakkanku.”Nathan menahan perutnya yang bergolak, giginya gemeretak. Tapi ia berusaha menyembunyikan reaksi itu.Setelah menghembuskan napas panjang, Audrey berkata pelan. “Aku ingat rasa sakit...siksaan. Dia sangat menikmatinya.” Ia memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. “Aku mendengar tawa melengking...nyaris seperti memekik. Dia menertawakanku. Kurasa dia merancang siksaan berdasarkan yang menurutnya paling merendahkan dan sungguh menyakitkan.”Ketika Audrey membuka mata, Nathan yang memandangnya tidak berkedip, ingin melolong, ikut merasakan penderitaan nyata yang dipantulkan mata itu. Penderitaan dan rasa sakit tak terperi yang ia rasakan.“Aku digantung terbalik dalam kondisi telanjang...dan disirami air dingin. Kemudian dia menyuruh mereka meninggalkanku terbaring di satu tangan dan kakiku y
Troy Ferguson melangkahkan kaki ke dalam rumah utama, ia dilanda kebimbangan. Ia bertugas sebagai seorang eksekutor. Kali ini ia harus melakukan tugas itu lagi.Diketuknya pintu lab utama. Pemimpin membentak, “Masuk.”Dua pria berdiri di samping “Pemimpin”, mereka memegangi seorang wanita paruh baya, berambut gelap diantara mereka.Wanita itu telanjang. Tubuhnya lebam-lebam dan berdarah karena telah dipukuli. Penciumannya membawa aroma amis. Anak buah pemimpin sudah memakainya sebagai pelampiasan syahwat... wanita itu telah dihukum. Sungguh suatu pemandangan menyayat hati. Ia tak tahu alasannya, ia pun tak berani bertanya, karena kalau pemimpin sudah berkehendak, tiada yang boleh menghalangi. Jika pemimpin memilih untuk menghukum, itu haknya. Tidak ada yang boleh bertanya apalagi membangkang. Mata wanita itu bengkak dari pukulan bertubi-tubi yang telah ia terima. Dia mendongak, memandangnya dan sesuatu dalam dirinya tersentak, menusuk kebingungan tersebut. Wanita itu tersiksa, terluk
Wanita itu menariknya lagi. Meski pandangannya kabur, Audrey mengingat secangkir teh yang ia minum tadi sebelum tidur. Sambil mengelakkan tangaai yang mencengkeram kuat, Audrey bergerak ke samping wanita itu dan mengulurkan tangan. Jemarinya menggenggam cangkir yang akan ia pergunakan. Sebagai senjata, benda itu bukan berarti apa-apa tapi lebih baik dari pada tak ada sama sekali. Ia menunggu sampai wanita itu mendekatinya lagi. Dan ketika ia sudah mendekat, tangan itu ia ayun sekuatnya. Getaran benturan dan suara gedebug memuaskan, memberi tahu Audrey serangannya mengenai sasaran.Terdengar raungan kemarahan. “Aku akan pergi dari sini!” gumamnya. Ia lari meninggalkan kamar.Titik-titik hitam itu muncul di penglihatan Audrey, bertambah besar. Tapi ia tidak bisa membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Ia harus menghentikannya, dan tak ada orang lain yang dapat melakukan itu...kecuali dia sendiriTapi kakinya kaku tidak mau bekerja sama. Audrey tertatih, tersandung melintasi kamar dan m
"Bagaimana keadaanmu pagi ini?” tanya Nathan mengalihkan rasa canggungnya.“Baik, masih sedikit pusing.”“Ada yang kau ingat?”“Sedikit. Tidak ada yang penting.”“Seperti?”Audrey memijit keningnya dan meskipun Nathan lebih rela memakan kaca daripada memberikan lagi kepedihan pada istrinya itu, ia perlu tahu sebanyak yang ia bisa tentang apa yang Audrey ingat.“Ingatan-ingatan samar, bahkan lebih daripada saat aku tiba di sini.”Profesor Dimitri sudah memperkirakan hal itu. Pemulihan kecanduan obat-obatan membuat ingatan-ingatan itu memudar. Kita perlu mendapatkan sebanyak apapun yang bisa didapatkan sebelum ingatan itu memudar.Audrey mengangguk. “Iya, aku tahu… hanya saja sedikit sekali. Aku hanya ingat aku mengenakan pakaian putih…kurasa seragam. Aku ingat ruangan penuh matras, dan ada pertarungan. Tapi wajah-wajah di sana… semua berkabut.”Nathan memberikan sebuah bungkusan plastik kepada Audrey.“Ini apa?”“Peralatan melukis.”“Untuk apa?”“Kau pelukis yang berbakat, Audrey. Apa
"Kami akan melakukan apapun sebisa kami. Pertama kami akan coba menghipnotis. Sampai kami tahu, efek seperti apa yang terus di bawa obat itu. Aku tak suka merawatnya dengan menggunakan banyak macam obat.”Nathan menarik napas, siap dengan ancaman bila memang itu diperlukan. “Lakukan sebisamu. Jika dia tidak mengalami perkembangan, aku akan membawanya pulang bersamaku, akan kusembuhkan dengan caraku. Mungkin aku tidak akan memaksanya untuk sesuatu yang memang sudah betul-betul hilang dari ingatannya."Mata gelap Patrick menelusuri wajah Nathan, kemudian berpaling ke arah Profesor Dimitri. “Bagaimana menurutmu?”Profesor Dimitri mengangguk. “Nathan dan aku sudah membicarakan tentang ini tadi malam. Audrey merasa lebih tenang bersamanya, kurasa ini ide bagus.”Patrick menatap Nathan. “Kau tahu, Beningno sudah pasti akan mencarinya?”“Pasti aku akan menjaganya.” Nathan kembali menoleh ke arah Profesor Dimitri. “Apa yang seharusnya kuharapkan?”Ekspresi Dimitri terlihat frustasi. “Berdasar