Qiyana spontan bangkit dari tempat duduknya setelah mendengar jawaban Kenzo. Dari semua rencana yang dapat dilakukan, ia tidak Kenzo malah memilih rencana seperti ini. Sudah pasti, Qiyana tidak akan menyetujuinya.
“Apa? Kamu ingin membuat perusahaan ayahku bangkrut? Kenapa kamu malah melakukan itu? Perusahaan itu ayahku bangun dari nol, kamu tidak boleh membuat perusahaan ayahku bangkrut. Aku yakin pasti ada—”“Tunggu dulu, Qiyana. Aku belum selesai bicara,” potong Kenzo cepat. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan melangkah mendekati Qiyana.“Jangan panik dulu. Maksudku begini, aku akan melakukan sesuatu yang membuat perusahaan itu kolaps. Kamu pasti mengerti kalau kebanyakan orang tidak akan mau menanam modal di perusahaan yang sudah kolaps. Bahkan, saham yang sudah ada juga akan mereka tarik lagi.” Kenzo menjelaskan rencananya pelan-pelan.“Ketika sudah tidak ada lagi yang bersedia membantu mereka, aku akan datang. Aku akan menanamkan saham di sana. Namun, tanpa mereka sadari aku akan mengambil semuanya pelan-pelan. Ketika mereka sadar nantinya, mereka sudah tidak punya apa-apa lagi,” sambung lelaki itu lagi.Qiyana hanya diam sembari mencerna rencana yang ingin Kenzo lakukan. Jujur saja, ia tidak yakin rencana seperti ini akan berhasil. Apalagi resikonya juga sangat tinggi dan perusahaan peninggalan ayahnya sendiri yang menjadi taruhannya.Kenzo kembali memangkas jaraknya dengan Qiyana. Tangannya terulur menangkup wajah wanita itu. “Aku berjanji akan mengembalikan semuanya padamu lagi. Kamu percaya padaku, ‘kan?”Lagi-lagi Qiyana tidak menjawab. Ia masih merasa sangsi dengan rencana ini. Wanita itu tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika rencana mereka gagal. Di saat yang sama Kenzo sudah terlanjur membuat perusahaan ayahnya hancur.“Ayo ikut denganku! Aku akan menjelaskan lebih detail lagi tentang rencana ini. Aku harap penjelasan ku bisa mengurangi kekhawatiran mu nanti.” Kenzo langsung menggenggam tangan Qiyana keluar dari kamar itu.Qiyana mengikuti Kenzo ke ruang kerja lelaki itu yang terletak di lantai yang sama dengan kamar mereka. Ruangan luas dengan perlengkapan kantoran yang cukup lengkap langsung terpampang di hadapan wanita itu.Kenzo menggeser salah satu kursi di dekat meja kerjanya memutari meja itu. Lalu, meminta Qiyana duduk di sana. Lelaki itu langsung menjelaskan seluruh rencananya lebih detail lagi sembari menunjukkan beberapa file dari komputernya.“Bagaimana? Apa kamu masih ragu sekarang?” tanya Kenzo setelah penjelasannya selesai. “Kalau kamu masih ragu juga, silakan pikirkan lagi. Aku akan mematangkan rencana ini selagi menunggu persetujuan mu.”Qiyana yang duduk di samping Kenzo menghela napas pelan. “Baiklah, aku akan mempertimbangkan semuanya. Aku hanya khawatir rencana ini tidak berjalan seperti yang kita inginkan dan perusahaan ayahku malah berantakan.”Ketika Kenzo ingin menanggapi kata-kata Qiyana, ponsel lelaki itu tiba-tiba berdering. Qiyana yang merasa tidak memiliki kepentingan apa pun lagi segera pamit undur diri. Wanita itu menatap kembali pintu ruang kerja Kenzo yang sudah tertutup rapat. Entah kenapa, ia malah semakin merasa ragu.Qiyana mulai menyesali keputusannya yang ia ambil terlalu cepat. Wanita itu mengangkat tangannya dan menatap cincin berlian yang Kenzo sematkan di jemarinya tadi. Apa keputusannya untuk bekerja sama dengan lelaki itu sudah paling tepat?Sepersekian detik kemudian Qiyana langsung menggeleng. Ia tidak boleh seperti ini. Apa pun konsekuensi dari keputusan yang dirinya ambil ini harus ia terima. Tujuannya bukan hanya untuk membalaskan sakit hatinya atas pengkhianatan itu, melainkan demi menyelamatkan perusahaan ayahnya juga.“Aku harus yakin kalau semuanya akan berhasil,” gumam Qiyana sembari mengulas senyum tipis.Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan, Qiyana langsung berkutat dengan ponselnya. Wanita itu menanyakan bagaimana keadaan di perusahaan setelah dirinya pergi pada sekretarisnya. Ia semakin sedih dan marah setelah mengetahui apa yang kakak tiri dan mantan tunangannya lakukan di sana.Sekretarisnya mengatakan jika setelah dirinya dipecat secara mendadak, Jovan langsung mengganti semua peraturan. Beberapa karyawan melakukan protes karena keberatan, namun akhirnya mereka malah dipecat. Qiyana bersumpah akan mengambil perusahaan peninggalan sang ayah lagi secepatnya. Ia tidak akan membiarkan mereka menghancurkan semuanya.Qiyana kembali keluar dari kamarnya ketika matahari nyaris tenggelam. Ia berencana memasak untuk makan malamnya daripada hanya berdiam diri di kamar. Wanita itu juga ingin mengajak Kenzo makan malam bersama sebagai bentuk terima kasihnya.Beberapa pelayan yang ada di dapur langsung menawarkan diri untuk membantu Qiyana. Namun, wanita itu menolak dan mengatakan bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Kurang lebih satu jam Qiyana berkutat di sana dan sekarang beberapa menu masakan lezat sudah tersaji di atas meja makan.“Apa dia tidak ada di kamarnya ya?” gumam Qiyana yang sudah mengetuk pintu kamar Kenzo berulang kali, namun tidak ada jawaban. “Lebih baik aku mencari Kenzo di ruang kerjanya saja, siapa tahu dia ada di sana.”Qiyana segera menggerakkan tungkai jenjangnya menjauh dari kamar Kenzo. Senyumnya mengembang saat melihat pintu ruang kerja Kenzo yang sedikit terbuka. Sepertinya lelaki itu memang berada di sana. Namun, ternyata ruangan itu kosong, Kenzo tidak berada di sana.Kebetulan ada seorang pelayan yang melintas di dekatnya dan Qiyana langsung menghampiri orang itu. “Apa kamu tahu di mana Kenzo berada?” tanya wanita itu tanpa basa-basi.Gadis muda yang semula tersenyum ramah itu tampak tersentak setelah mendengar pertanyaan Qiyana. Perubahan ekspresi yang sangat signifikan terlihat jelas dari wajahnya dan membuat Qiyana keheranan.“Emm … kamu tidak tahu ya? Ya sudah kalau begitu, terima—”“Sebenarnya Tuan Kenzo sedang berada di halaman belakang. Tapi ….”“Tapi apa?” tanya Qiyana yang semakin dibuat bingung. Ia tidak mengerti mengapa gadis muda di hadapannya ini terlihat sangat aneh. Padahal pertanyaannya pun tidak sulit dijawab.Sang pelayan menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa, Nyonya. Anda bisa menggunakan pintu itu ke halaman belakang. Saya permisi dulu.” Setelah menunjukkan di mana pintu yang mengarah ke halaman belakang, gadis itu langsung buru-buru melangkah pergi dari sana.Qiyana mengerutkan keningnya menatap kepergian pelayan aneh itu. “Mungkin dia sedang buru-buru,” gumamnya seraya melanjutkan langkah. Wanita itu menuruni undakan tangga menuju lantai satu dan berbelok ke arah pintu yang ditunjuk oleh pelayan tadi.Langkah Qiyana terhenti ketika manik matanya tak sengaja menangkap keberadaan banyak lelaki bertubuh kekar di halaman belakang. Wanita itu mundur beberapa langkah dan mengintip ke arah luar dari balik jendela.Qiyana terbelalak dan membekap mulutnya melihat seorang lelaki dengan wajah penuh luka berlutut di depan Kenzo. Ia tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas karena penerangan yang cukup temaram. Namun, terlihat jelas kalau lelaki itu terluka sangat parah.“Siapa dia sebenarnya?” monolog Qiyana dengan ekspresi syok. Wanita itu spontan melangkah mundur. Namun, ketika ia hendak pergi, tubuhnya malah oleng dan tak sengaja menyenggol salah satu guci di atas meja.PRANG!“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras