‘Apa benar Alicia adalah namaku?’
Anya masih bertanya-tanya di dalam hatinya atas ingatan aneh yang menyusup di dalam kepalanya secara tiba-tiba. Walaupun hanya sekilas dan wajah orang di dalam ingatannya tadi tidak jelas, tetapi Anya sangat yakin jika panggilan itu ditujukan padanya. Air mata di pelupuknya tiba-tiba jatuh tanpa terasa. Anehnya, hatinya terasa sedikit perih dan rasa rindu di dalam dadanya terasa meluap-luap. Meskipun kepalanya masih terasa sakit akibat benturan tadi dan darah masih menetes dari pelipisnya, Anya mencoba untuk berdiri sendiri. Ia pun melangkah pergi dengan sisa harga dirinya yang terakhir. Namun, langkah Anya sempat terhenti ketika salah seorang pelayan melemparkan satu koper di hadapannya. “Pergi saja tetap merepotkanku! Dasar jalang!” maki pelayan itu─dia diminta oleh Edwin untuk mengemas barang milik Anya tadi. Kedua kepalan tangan Anya mengetat. Ia hanya melayangkan tatapan tajamnya kepada pelayan itu dan melirik barang bawaannya yang tercerai berai di lantai karena koper lusuhnya terbuka. Hanya ada beberapa pakaian kusam di dalam koper tersebut. Padahal Anya masih memiliki beberapa pakaian yang layak dipakai yang dibelinya dengan uang jerih payahnya sendiri. Tanpa bertanya pun, Anya tahu jika pelayan itulah yang mengambil barangnya untuk keuntungannya sendiri. Anya tidak mengajukan protesnya. Ia tidak ingin memperdebatkan hal itu karena ia sudah terlalu lelah untuk melakukannya. Dengan diiringi tatapan penuh cemooh, Anya pun meninggalkan rumah itu tanpa membawa koper itu. Thalia berdiri di atas balkon kamar Edwin, memandang sosok Anya yang berjalan tertatih-tatih keluar dari kediaman Stein. "Akhirnya aku bisa menendangnya keluar," pikir wanita itu. "Tapi ... kudengar semalam dia kabur dari pria tua itu. Jadi sebenarnya dia tidur dengan siapa?" *** Sementara itu di Presidential Suite Room 117. “Shit! Apa ada pencuri yang sudah menyusup ke kamar ini?” Reinhard Xavier Hernandez baru saja terbangun setelah terik matahari telah mencapai puncak gedung hotel tempatnya bermalam saat ini. “Benar-benar malam yang liar,” gumam Reinhard ketika melihat kekacauan di dalam kamarnya. Ia memegang pundak kokohnya di mana tertinggal cakaran kuku wanita itu yang menandakan betapa bergairahnya wanita itu dalam permainan intim mereka semalam. Reinhard memejamkan netranya sejenak. Ia masih mencoba menelusuri ingatannya untuk mengingat kembali wajah wanita yang ditidurinya semalam. Ia ingin tahu siapa wanita yang sudah begitu nekat merayunya dan naik ke atas ranjangnya! “Siapa yang sudah mengirimkan wanita itu?” gumam Reinhard dengan wajah yang terlihat dingin. Netra ambernya dipenuhi kecurigaan. Ia mengira ada seseorang yang sengaja menggunakan tipu muslihat untuk mendapatkan kelemahannya. Namun, semua keraguannya tersingkirkan ketika satu per satu ingatan momen intim yang dilaluinya bersama wanita itu kembali mengalir di dalam kepalanya. Malam penuh gairah itu memicu kembali gelora panas yang membuncah di dalam dadanya. “Wanita itu ….” Reinhard meringis sembari memijit pelipisnya yang berdenyut hebat. Mata amber bak elang pemangsa itu mendadak terbuka dan memicing tajam tatkala wajah wanita itu terpatri di dalam ingatannya. Wajah wanita itu, meskipun samar, tampak menyisakan perasaan tak menentu dan kerinduan yang mendalam di hatinya. Mata biru yang melengkung indah seperti bulan sabit, senyuman yang menawan dan juga erangan manis yang bergulir ketika wanita itu berada di bawah kungkungannya tengah membanjiri ingatan Reinhard. ”Tidak … ini tidak mungkin ….” Reinhard bergegas bangkit. Ia meraih handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, lalu dengan cepat menyusuri setiap ruang di dalam kamar tersebut. Namun, ia tidak menemukan jejak wanita itu. “Sial! Ke mana dia?” gumam Reinhard dengan frustasi. Ia pun memungut jasnya yang tergeletak di lantai ruang tamu dan merogoh ponselnya. Jemarinya begerak cepat dan menekan nomor kontak asistennya. “Owen, berikan aku salinan rekaman CCTV di depan kamarku dan lacak informasi wanita yang masuk ke kamarku semalam! Aku ingin mengetahui keberadaannya sekarang!” titah Reinhard ketika panggilannya terhubung. Tanpa menunggu tanggapan dari asistennya, Reinhard langsung mematikan telepon tersebut secara sepihak. Ia pun bergegas membersihkan tubuhnya, lalu pergi memastikan jika semua hal yang baru saja terlintas di dalam ingatannya bukanlah sekedar halusinasi ataupun mimpinya! *** Rintik hujan membasahi lahan sebuah pemakaman yang cukup mewah. Tampak sosok Anya berdiri di depan sebuah makam yang terawat dengan baik. Batu nisan itu bertuliskan “James Stein”, nama kepala keluarga Stein terdahulu, sosok yang paling dihormati dan dipercayai oleh Anya. “Tuan Stein, kamu pernah bilang kalau aku adalah penyelamat keluargamu, memintaku untuk terus membantu Edwin dan perusahaan,” bisik wanita itu dengan suara serak. Air mata Anya mengalir tanpa henti saat ia mengingat kebaikan hati James Stein yang selalu memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Saat James masih hidup, kehidupan Anya jauh lebih baik daripada saat ini. Bahkan Edwin dan keluarga Stein lainnya akan berhati-hati dalam bersikap dan berbicara dengannya. Namun, semuanya berubah ketika James meninggal dunia. Edwin berubah menjadi orang yang sangat berbeda dari saat awal pernikahan mereka hingga tadi Anya menyadari jika ternyata ia bukanlah siapa-siapa bagi mereka selain gelandangan yang menyedihkan. Seulas senyuman getir terulas di bibir Anya. “Apa benar yang telah dikatakan Edwin tadi? Apa benar kalau Anda …,” suaranya tercekat oleh air matanya selama beberapa detik sebelum akhirnya bergumam kembali, “apa benar Anda telah membohongiku, Tuan Stein?” Kecelakaan tiga tahun lalu sempat membuat Anya koma selama dua bulan penuh, tetapi ketika ia sadar ia memang tidak mengingat apa pun dan semua ingatannya saat itu adalah pengakuan yang diberikan oleh James Stein dan putranya! Setelah dipikirkan kembali, Anya merasa ia memang bodoh seperti yang diucapkan Edwin tadi. Bisa-bisanya ia percaya begitu saja dengan ucapan mereka. Bahkan, selama tiga tahun ini, ia telah memberikan kontribusi besar di belakang layar atas kejayaan perusahaan Stein dan tidak ada yang mengetahui hal itu selain James sendiri. Semua ia lakukan karena ayah mertuanya yang memintanya dengan dalih membantu reputasi Edwin nanti, tetapi sekarang … apa yang didapatkannya? Selama hampir satu jam lamanya, Anya berdiri meratapi makam tersebut dengan wajah tanpa ekspresi. Darah dari pelipisnya telah bercampur dengan tetesan air hujan, tetapi rasa sakit tersebut tidak sebanding dengan perih yang menusuk di dalam hatinya. Wajah Anya perlahan tertunduk. Kepalanya terasa semakin pusing. Ia mencoba mencari pegangan, tetapi tangannya yang gemetar hanya menangkap udara kosong. Tubuhnya pun limbung dan akhirnya terjatuh di depan makam tersebut. Hujan masih terus turun membasahi tubuh lemah wanita malang itu. Di tengah keheningan yang didominasi suara hujan tersebut, Anya mendengar suara langkah kaki berat di dekatnya. Suara langkah itu terhenti di depan tubuh Anya. ‘Siapa?’ batin Anya, berusaha membuka matanya yang terasa berat. Pandangannya samar-samar menangkap bayangan seorang pria yang berdiri di hadapannya. Pria itu tampak tinggi dan berwibawa meskipun sebagian wajahnya tersembunyi di balik payung hitam yang dibawanya. Detik berikutnya, Anya telah kehilangan kesadaran sepenuhnya. Pria berpenampilan elegan itu berjongkok di samping tubuh Anya. Satu tangannya mencengkeram pelan dagu wanita itu agar ia bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Sorot mata ambernya telah diselimuti kebingungan. "Bagaimana bisa ada dua orang yang begitu mirip seperti ini?”Di sudut taman terlihat Margaret duduk sendirian. Tangannya menopang dagu, sementara segelas mocktail yang sudah mencair tergeletak di meja kecil di sampingnya.“Di mana sebenarnya pangeran kuda putihku? Apa suatu saat nanti aku juga bisa menemukan pasangan hebat seperti Tuan Muda Hernandez?” gumamnya dengan suara yang terdengar tidak bersemangat.“Kenapa? Anda iri, Nona Carson?”Suara bariton seorang pria menyentakkan lamunannya. Saat ia mendongak, ia menemukan Owen telah berdiri di dekatnya.“Tidak perlu merasa iri. Mereka dapat bersatu seperti ini juga bukan hal yang mudah,” lanjut Owen seraya menyesap minuman di tangannya.“Saya tidak iri,” bantah Margaret. Perlahan ekspresi wajahnya berubah sendu, lalu ia bergumam pelan, “Aku tahu kok standarku sendiri. Hanya saja di usiaku yang hampir kepala tiga ini. Bukan lagi waktunya untuk bermain-main dengan cinta.”Usia seorang wanita memang ibarat sekuntum bunga yang mekar dalam waktu singkat dan layu perlahan jika tak segera dipetik. Kare
Tatapan Reinhard dan Alicia saling terkunci, seolah tak ada satu pun suara di sekitar yang mampu menembus ruang di antara mereka berdua hingga suara lembut Reinhard memecah keheningan tersebut.“Alicia, kamu tahu … dari pertama kita bertemu, kamu sudah berhasil memporakporandakan hidupku dengan segala ide nakalmu untuk mencuri perhatianku. Saat itu, aku mengira semua perasaan sukamu hanyalah sekadar kekaguman sesaat dari seorang remaja saja. Dan aku pun terus menyangkal perasaanku sendiri, meyakinkan diriku bahwa kamu hanyalah adik bagiku.”“Apaan sih?” Alicia menggigit bibir bawahnya, merasa malu mendengarnya. Wajahnya memerah, tetapi senyuman masih terulas di bibirnya.Reinhard melanjutkan, “Tapi, saat mendengar kabar kematianmu tiga tahun lalu, aku pun merasakan penyesalan terdalamku dan terus menyalahkan diriku sendiri atas kebodohan yang telah kulakukan.”Manik mata Alicia mulai berembun. Ia dapat melihat bagaimana ketulusan terpancar dari sorot mata pria itu.“Selama tiga tahun i
“Sempurna!” seru Elisabeth saat menambahkan sapuan akhir highlighter tipis di tulang pipi Alicia.“Ya ampun … Aku sudah pernah mendandani banyak perempuan, tapi kamu sangat berbeda. Kamu benar-benar terlihat seperti melihat bidadari cantik yang turun dari langit ke tujuh, Alicia,” puji Elisabeth terkagum-kagum.“Tidak usah berlebihan deh,” balas Alicia seraya tersipu malu.“Ini semua berkat jari emas Lisa Willow, sang makeup artist yang tersibuk sejagat raya,” imbuh Alicia, menggoda sahabatnya tersebut.Elisabeth mendecak sambil pura-pura cemberut. “Udah ah. Ayo, sekarang ganti bajumu,” katanya sambil menarik Alicia untuk bangkit dari duduknya.“Elisa, apa kamu tidak bisa membocorkan sedikit padaku?” sungut Alicia yang tampak kesal. Ia masih belum mengetahui acara apa yang harus dihadirinya malam ini bersama Reinhard hingga harus mengirim sahabatnya dari belahan negara lain hanya untuk merias wajahnya.Sayangnya, bibir Elisabeth terlalu rapat untuk membeberkan rencana mereka.“Kalau k
Senja keemasan perlahan melukis langit di atas kediaman keluarga Lorenzo. Alicia baru saja selesai mandi setelah seharian berkeliling kota kelahirannya bersama Reinhard.Rambutnya masih basah, dan embun hangat dari air mandi belum sepenuhnya menguap dari kulitnya saat sebuah suara familiar mengejutkannya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi pribadinya."Sudah selesai, Nona?"Seorang perempuan berpenampilan kasual berdiri dengan senyum lebar di depan pintu."E-Elisa?!" Alicia membelalak tak percaya. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"“Saya datang untuk membantu Anda, Nona Alicia Lorenzo,” jawab Elisabeth Willow, sahabat lamanya.Alicia memiringkan kepalanya. "Kamu … tahu dari mana kalau aku adalah Alicia Lorenzo?"Seingatnya, Alicia belum pernah mengungkapkan identitas aslinya secara langsung kepada sahabatnya itu. Terakhir mereka berkomunikasi adalah ketika Elisabeth mengabari bahwa ia menang penghargaan penata rias terbaik di ajang fashion internasional Paris.“Bagaimana saya bis
“Akh! Sakit! Sakit!”Suara pekikan histeris meluncur dari bibir Reinhard tatkala Alicia mengolesi obat pada luka memar di bahu kirinya.“Baru tahu sakit, huh? Aku kira kamu sudah mati rasa,” cibir Alicia dengan sarkas.Melihat wajah cemberut istrinya, Reinhard mengulum senyumnya. “Kamu marah, Sayang?” tanyanya dengan suara lembut yang mencoba mengambil hati sang istri. Akan tetapi, Alicia hanya mendengus dan memalingkan wajahnya dengan malas.Tak kehabisan akal, Reinhard mencubit dagu istrinya pelan, memaksanya menatap. “Tapi, aku dapat melihat api kasih sayang yang berkobar di dalam matamu ini, Sayang,” godanya.Alicia mendelik kesal. Ditepisnya tangan pria itu, lalu ia melayangkan tatapan tajamnya. “Tidak usah berpura-pura mengalihkan pembicaraan. Kamu tidak lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan tadi, kan, Xavier?”Reinhard tersenyum kecil. Ia memahami alasan kemarahan istrinya. Beberapa jam sebelumnya, ia berbohong dengan mengatakan bahwa Nyonya Tua Lorenzo ingin bicara empat mat
Keesokan harinya, Reinhard tiba di tempat latihan Royal Dragon—sebuah arena semi terbuka yang terletak tidak jauh dari mansion keluarga Lorenzo. Tempat itu sudah dilengkapi dengan berbagai perlengkapan bela diri dan menjadi lokasi latihan rutin bagi anggota inti organisasi tersebut.Saat tiba, Reinhard mendapati Regis sudah bersiap di arena. Pria itu mengenakan seragam taekwondo lengkap dengan sabuk hitam, berdiri dengan tangan terlipat di depan dada.“Kamu telat lima menit, Xavier,” ujar Regis seraya tersenyum remeh. “Aku pikir kamu tidak akan datang.”“Tadi aku ada sedikit urusan dengan Alicia. Kamu tahu kan kalau dia sangat khawatir dengan duel ini?” balas Reinhard dengan santai.“Alasan,” cibir Regis sambil menggeleng malas.Reinhard hanya menyeringai tipis, lalu melepas kemejanya dan melemparkannya ke pinggir arena. Salah satu anggota Royal Dragon segera menyerahkan seragam taekwondo yang telah disiapkan untuknya.Setelah berganti pakaian, Reinhard naik ke atas arena. Tatapannya