“Kamu tidak mengenalku, Anya Stein?”
Netra Anya terbelalak. “A-Anda … laki-laki yang semalam ….”
Anya menggigit bibirnya dengan kuat. Degup jantungnya mendadak berpacu cepat ketika mengingat kegilaannya semalam, tetapi ia mengusir ingatan memalukan itu dari dalam kepalanya dan kembali menatap pria asing itu dengan gugup.
“Dari mana Anda tahu nama saya, Tuan?” selidik Anya.
Tanpa menjawab pertanyaannya, Reinhard mengeluarkan kartu tanda pengenal dari saku jasnya dan menyerahkannya kepada wanita itu.
“Kenapa Anda bisa memegang kartu identitas saya?” tanya Anya, semakin bingung.
“Aku membutuhkannya untuk mengisi data pasien,” jawab Reinhard dengan acuh tak acuh.
Anya pun tertegun menatap kartu identitasnya. Ia baru menyadari jika ruangannya yang ditempatinya saat ini adalah kamar rumah sakit.
“Anda … memasukkan saya ke kamar VIP?” tanya Anya dengan syok.
“Apa ada masalah?” Kening Reinhard mengerut.
Namun, Anya tidak menjawab. Ia bergegas bangkit dari ranjangnya, tetapi gerakannya tertahan karena kepalanya─yang masih dibalut perban─tiba-tiba berdenyut sakit.
“Kamu mau pergi ke mana?” Reinhard menatap wanita itu dengan penuh selidik, lalu memperingatkannya, “Sebaiknya kamu berhenti bergerak sembarangan. Lukamu baru saja diobati.”
Sayangnya, Anya tidak menggubris pria itu. Dengan menahan rasa sakit di dalam kepalanya, ia kembali bangkit dan turun dari ranjangnya.
Ketika Anya hendak mencabut selang infusnya, Reinhard menghalanginya dengan mencengkeram kedua lengannya. “Apa kamu sudah gila? Kamu tidak dengar apa yang aku katakan tadi?” hardik pria itu.
“Anda yang gila, Tuan!” balas Anya tidak kalah murkanya. Netra birunya menyalang tajam dan membuat pria itu terpaku.
Gadis itu kembali berkata, “Saya tidak punya uang untuk membayar kamar ini, Tuan!”
Reinhard tercengang selama tiga detik sebelum terbentuk kerutan di dahinya, lalu detik berikutnya suara tawa kecil pun meluncur dari bibirnya.
Anya pun menatap pria asing itu dengan bingung. Ia merasa sedikit tersinggung dan bertanya, “Apa yang Anda tertawakan?”
Perlahan suara kekehan Reinhard terhenti. Ia juga cukup terkejut dan merasa aneh dengan sikapnya sendiri.
‘Apa yang sudah kulakukan?’ Reinhard ikut bertanya-tanya sendiri. Ia tidak menyangka akan spontan bersikap akrab dengan wanita itu.
“Tuan,” panggil Anya, membuyarkan lamunan Reinhard.
Pria itu pun menoleh, berdeham canggung, lalu berkata, “Mengenai masalah uang, kamu tidak perlu mencemaskannya, Nona. Aku berani membawamu ke sini berarti aku yang menjamin biayanya.”
Anya tertegun, memandang pria itu dengan curiga. “Ini aneh. Kita tidak saling mengenal. Anda tidak memiliki alasan untuk melakukan semua ini untuk saya.”
“Alasan?” Reinhard tersenyum smirk. “Aku baru tahu kalau membantu seseorang harus memerlukan alasan. Jika memang begitu, pantas saja sekarang banyak orang yang memilih untuk tidak peduli dengan kesulitan orang lain.”
Ucapan pria itu menyadarkan Anya bahwa pria itu memang tulus ingin membantunya. “Terima kasih atas bantuanmu, Tuan,” cicit Anya, merasa malu pada dirinya sendiri karena meragukannya.
Akan tetapi, Anya tidak merasa lega begitu saja. Ia tetap merasa aneh dengan pria asing itu. Entah kenapa setiap kali melihat wajahnya, ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat.
“Hanya itu?” Satu alis Reinhard terangkat, mengalihkan pandangan Anya padanya.
Kening Anya mengernyit. Ia tidak memahami maksudnya. Namun, sikap acuh tak acuh pria itu sangat mengusiknya.
“Bisakah Anda bersikap dan berbicara sedikit lebih sopan? Sejak tadi Anda terus berbicara santai seolah kita sangat akrab.”
Mendengar protes yang dilontarkan wanita itu, Reinhard malah tersenyum tipis.
“Aku sudah menyelamatkanmu dua kali. Aku rasa aku tidak perlu berbicara formal denganmu dan aku juga pantas mendapatkan lebih dari sekedar ucapan terima kasih,” balas Reinhard dengan nada menggoda, tetapi netra tajamnya mengamati reaksi Anya.
Ingatan malam panas yang mereka lakukan kembali berkelebat di dalam benak Anya.
“Menyelamatkanku?” Wanita itu pun tersenyum getir dan memandang Reinhard dengan tajam. “Apa meniduriku semalam juga kamu perhitungkan sebagai bantuan, Tuan?”
Sindiran sinis yang meluncur dari bibir Anya membuat Reinhard terhenyak. Kini wanita itu juga memasang sikap yang sama dengannya, tidak lagi menunjukkan tata kramanya.
Reinhard dapat melihat kemarahan dari netra wanita itu. Namun, ia tetap bersikap tenang dan membalasnya, “Tentu saja termasuk bantuan meskipun sebenarnya aku terpaksa melakukannya. Tapi, karena kamu begitu agresif, aku─”
Bola mata Anya melebar. “Bohong!” sangkalnya dengan cepat.
“Ini adalah kenyataan, Nona Stein,” ucap Reinhard. “Kamu lupa kalau semalam kamu yang sudah meminta untuk terus melanjutkan permainan sampai beronde-ronde?”
Wajah Anya memerah seketika. “Ti-tidak mungkin!” tampiknya lagi.
“Kenapa tidak mungkin? Kamu mau lihat bukti betapa liarnya kamu semalam, huh?” Reinhard pun membuka mantelnya dan berniat membuka kancing kemejanya untuk menunjukkan bekas cakaran yang ditinggalkan wanita itu di punggungnya.
Namun, wanita itu buru-buru menahan tangannya. “Apa yang kamu lakukan? Dasar mesum!”
Reinhard mengurungkan tindakannya sembari tersenyum smirk. “Seharusnya kamu bersyukur, Anya Stein. Kalau bukan karena aku, semalam kamu pasti─”
Plak!
Satu tamparan keras melayang pada pipi Reinhard, langsung menghentikan ucapannya saat itu juga. Rasa perih pun menjalar pada pipi kanannya. Ia terpaku syok selama tiga detik, lalu dengan cepat kesadarannya kembali, menoleh kepada Anya dan mencengkeram erat pergelangan wanita itu. “Apa kamu sudah gila? Kenapa kamu─”
Bentakan Reinhard terhenti tatkala dirinya melihat sorot mata biru yang menatapnya dengan tajam, seolah menyelami mata ambernya dalam-dalam. Kilasan ingatan tiga tahun lalu kembali berkelebat di dalam kepalanya.
“A-Alicia ….” Reinhard bergumam pelan secara spontan.
Anya bergeming syok saat mendengar sebutan familiar dari bibir pria itu. Air mata yang menggenang pada pelupuk matanya pun luruh seketika dan membuat perasaannya semakin bercampur aduk. Dadanya terasa sangat sesak dan perih. Namun, ia menyeka air matanya dengan cepat.
Di sisi lain, Reinhard tampak kebingungan. Sorot mata wanita itu benar-benar menghipnotisnya. Kerinduan di dalam hatinya pun menggebu-gebu. Terlebih lagi ketika sinar mata yang dipenuhi amarah itu menyala hebat.
“Kamu masih hidup?” gumam Reinhard lagi. Suaranya terdengar berat, namun perih. Tangannya telah menyentuh wajah Anya dengan lembut dan membuat wanita itu mematung, kaget.
Anya menatapnya dengan penuh waspada, tetapi rasa ingin tahunya menguatkan dirinya dan akhirnya ia membuka suaranya dengan gugup, “Kenapa kamu bicara seperti itu?”
Reinhard tersentak. Ia menahan napasnya selama beberapa detik, lalu menarik kembali tangannya dari wajah Anya dan mengepalkannya dengan kuat. Keraguan kembali merayap di dalam hatinya saat wanita itu menatapnya dengan penuh kebingungan.
Perlahan Reinhard memalingkan wajahnya, memejamkan netranya kuat-kuat. ‘Gila! Apa yang sudah aku pikirkan?’ geramnya kepada dirinya sendiri.
Bisa-bisanya ia mengira Alicia masih hidup! Mana mungkin hal itu terjadi!
Sementara itu, masih dengan penuh kebingungan, Anya tertegun dalam-dalam. ‘Tadi … aku tidak salah dengar, kan? Dia memanggilku … Alicia?’
Ingatan asing yang sempat terlintas beberapa waktu lalu dan ucapan aneh pria itu membuat Anya menyadari jika ada satu hal yang tidak sesuai di dalam dirinya.
Kebohongan yang dikatakan Edwin sebelumnya semakin memperkuat dugaan ada rahasia besar yang terselubung di balik kecelakaan yang dialaminya tiga tahun lalu dan ia merasa pria jangkung di hadapannya ini pasti memiliki jawaban yang diinginkannya!
Di sudut taman terlihat Margaret duduk sendirian. Tangannya menopang dagu, sementara segelas mocktail yang sudah mencair tergeletak di meja kecil di sampingnya.“Di mana sebenarnya pangeran kuda putihku? Apa suatu saat nanti aku juga bisa menemukan pasangan hebat seperti Tuan Muda Hernandez?” gumamnya dengan suara yang terdengar tidak bersemangat.“Kenapa? Anda iri, Nona Carson?”Suara bariton seorang pria menyentakkan lamunannya. Saat ia mendongak, ia menemukan Owen telah berdiri di dekatnya.“Tidak perlu merasa iri. Mereka dapat bersatu seperti ini juga bukan hal yang mudah,” lanjut Owen seraya menyesap minuman di tangannya.“Saya tidak iri,” bantah Margaret. Perlahan ekspresi wajahnya berubah sendu, lalu ia bergumam pelan, “Aku tahu kok standarku sendiri. Hanya saja di usiaku yang hampir kepala tiga ini. Bukan lagi waktunya untuk bermain-main dengan cinta.”Usia seorang wanita memang ibarat sekuntum bunga yang mekar dalam waktu singkat dan layu perlahan jika tak segera dipetik. Kare
Tatapan Reinhard dan Alicia saling terkunci, seolah tak ada satu pun suara di sekitar yang mampu menembus ruang di antara mereka berdua hingga suara lembut Reinhard memecah keheningan tersebut.“Alicia, kamu tahu … dari pertama kita bertemu, kamu sudah berhasil memporakporandakan hidupku dengan segala ide nakalmu untuk mencuri perhatianku. Saat itu, aku mengira semua perasaan sukamu hanyalah sekadar kekaguman sesaat dari seorang remaja saja. Dan aku pun terus menyangkal perasaanku sendiri, meyakinkan diriku bahwa kamu hanyalah adik bagiku.”“Apaan sih?” Alicia menggigit bibir bawahnya, merasa malu mendengarnya. Wajahnya memerah, tetapi senyuman masih terulas di bibirnya.Reinhard melanjutkan, “Tapi, saat mendengar kabar kematianmu tiga tahun lalu, aku pun merasakan penyesalan terdalamku dan terus menyalahkan diriku sendiri atas kebodohan yang telah kulakukan.”Manik mata Alicia mulai berembun. Ia dapat melihat bagaimana ketulusan terpancar dari sorot mata pria itu.“Selama tiga tahun i
“Sempurna!” seru Elisabeth saat menambahkan sapuan akhir highlighter tipis di tulang pipi Alicia.“Ya ampun … Aku sudah pernah mendandani banyak perempuan, tapi kamu sangat berbeda. Kamu benar-benar terlihat seperti melihat bidadari cantik yang turun dari langit ke tujuh, Alicia,” puji Elisabeth terkagum-kagum.“Tidak usah berlebihan deh,” balas Alicia seraya tersipu malu.“Ini semua berkat jari emas Lisa Willow, sang makeup artist yang tersibuk sejagat raya,” imbuh Alicia, menggoda sahabatnya tersebut.Elisabeth mendecak sambil pura-pura cemberut. “Udah ah. Ayo, sekarang ganti bajumu,” katanya sambil menarik Alicia untuk bangkit dari duduknya.“Elisa, apa kamu tidak bisa membocorkan sedikit padaku?” sungut Alicia yang tampak kesal. Ia masih belum mengetahui acara apa yang harus dihadirinya malam ini bersama Reinhard hingga harus mengirim sahabatnya dari belahan negara lain hanya untuk merias wajahnya.Sayangnya, bibir Elisabeth terlalu rapat untuk membeberkan rencana mereka.“Kalau k
Senja keemasan perlahan melukis langit di atas kediaman keluarga Lorenzo. Alicia baru saja selesai mandi setelah seharian berkeliling kota kelahirannya bersama Reinhard.Rambutnya masih basah, dan embun hangat dari air mandi belum sepenuhnya menguap dari kulitnya saat sebuah suara familiar mengejutkannya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi pribadinya."Sudah selesai, Nona?"Seorang perempuan berpenampilan kasual berdiri dengan senyum lebar di depan pintu."E-Elisa?!" Alicia membelalak tak percaya. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"“Saya datang untuk membantu Anda, Nona Alicia Lorenzo,” jawab Elisabeth Willow, sahabat lamanya.Alicia memiringkan kepalanya. "Kamu … tahu dari mana kalau aku adalah Alicia Lorenzo?"Seingatnya, Alicia belum pernah mengungkapkan identitas aslinya secara langsung kepada sahabatnya itu. Terakhir mereka berkomunikasi adalah ketika Elisabeth mengabari bahwa ia menang penghargaan penata rias terbaik di ajang fashion internasional Paris.“Bagaimana saya bis
“Akh! Sakit! Sakit!”Suara pekikan histeris meluncur dari bibir Reinhard tatkala Alicia mengolesi obat pada luka memar di bahu kirinya.“Baru tahu sakit, huh? Aku kira kamu sudah mati rasa,” cibir Alicia dengan sarkas.Melihat wajah cemberut istrinya, Reinhard mengulum senyumnya. “Kamu marah, Sayang?” tanyanya dengan suara lembut yang mencoba mengambil hati sang istri. Akan tetapi, Alicia hanya mendengus dan memalingkan wajahnya dengan malas.Tak kehabisan akal, Reinhard mencubit dagu istrinya pelan, memaksanya menatap. “Tapi, aku dapat melihat api kasih sayang yang berkobar di dalam matamu ini, Sayang,” godanya.Alicia mendelik kesal. Ditepisnya tangan pria itu, lalu ia melayangkan tatapan tajamnya. “Tidak usah berpura-pura mengalihkan pembicaraan. Kamu tidak lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan tadi, kan, Xavier?”Reinhard tersenyum kecil. Ia memahami alasan kemarahan istrinya. Beberapa jam sebelumnya, ia berbohong dengan mengatakan bahwa Nyonya Tua Lorenzo ingin bicara empat mat
Keesokan harinya, Reinhard tiba di tempat latihan Royal Dragon—sebuah arena semi terbuka yang terletak tidak jauh dari mansion keluarga Lorenzo. Tempat itu sudah dilengkapi dengan berbagai perlengkapan bela diri dan menjadi lokasi latihan rutin bagi anggota inti organisasi tersebut.Saat tiba, Reinhard mendapati Regis sudah bersiap di arena. Pria itu mengenakan seragam taekwondo lengkap dengan sabuk hitam, berdiri dengan tangan terlipat di depan dada.“Kamu telat lima menit, Xavier,” ujar Regis seraya tersenyum remeh. “Aku pikir kamu tidak akan datang.”“Tadi aku ada sedikit urusan dengan Alicia. Kamu tahu kan kalau dia sangat khawatir dengan duel ini?” balas Reinhard dengan santai.“Alasan,” cibir Regis sambil menggeleng malas.Reinhard hanya menyeringai tipis, lalu melepas kemejanya dan melemparkannya ke pinggir arena. Salah satu anggota Royal Dragon segera menyerahkan seragam taekwondo yang telah disiapkan untuknya.Setelah berganti pakaian, Reinhard naik ke atas arena. Tatapannya