"Si-siapa Alicia?" Anya bertanya dengan suara yang bergetar. Ia mencoba menginterogasi pria itu dengan harapan dapat menemukan sedikit titik terang atas rasa ingin tahunya.
Namun, Reinhard malah menatapnya dengan dingin, pandangannya seakan menjadi tembok tak tertembus yang memisahkan mereka.
Anya bisa merasakan suhu ruangan seolah turun beberapa derajat, dan sebuah perasaan asing menyelinap di hatinya—perasaan bahwa ia telah melangkahi batas yang seharusnya tak pernah disentuh.
“Mengenai hal yang terjadi semalam, aku tidak ingin kamu menyalahkanku secara sepihak. Kamu yang mendatangiku dan meminta bantuanku, sedangkan aku hanya melakukan yang kamu inginkan.”
Alih-alih menjawab, Reinhard malah meluruskan kesalahpahaman wanita itu terhadapnya. Namun, Anya malah memberikan tatapan tajam.
“Kamu tahu kan apa pun bisa terjadi di saat seseorang berada dalam pengaruh alkohol?” Reinhard mencoba membela dirinya dan tidak menerima tuduhan yang memberatkannya atas perbuatan yang dilakukan semalam atas dasar keinginan dan hasrat masing-masing.
“Terlebih lagi dalam pengaruh afrodisiak. Benar-benar sulit untuk menghentikanmu sebelum kamu terpuaskan. Kamu harusnya bersyukur karena aku mau membantumu dengan mengikuti keinginanmu,” tukas pria itu kemudian.
Mendengar hal tersebut, Anya pun mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”
Reinhard tersenyum smirk. “Seperti kuduga, ternyata kamu memang tidak sadar kalau kamu sudah dalam pengaruh obat peningkat gairah semalam.”
“A-apa?” Netra Anya terbelalak lebar.
Perlahan wajahnya tertunduk dalam. Ia kembali teringat dengan keanehan yang terjadi padanya kemarin malam. ‘Pantas saja aku tidak dapat mengendalikan diriku. Ternyata karena ….’
Bayangan lelaki paruh baya berperut buncit yang hendak menodainya semalam kembali terbayang di dalam benaknya. Manik mata Anya pun berubah horor seketika. Refleks, ia memeluk tubuhnya yang gemetar karena rasa takut dan jijik yang menyelimuti pikirannya.
Anya kembali mengangkat wajahnya, menatap lekat sosok Reinhard, pria gila yang telah mengambil kesempatannya semalam.
Walaupun ia sempat merasakan ketakutan terhadap pria ini, tetapi anehnya, semalam ia tidak merasa risi dengan perlakuannya.
Seingatnya, pria ini memang melakukannya dengan lembut, walaupun terkadang juga sangat menggila di saat gairahnya memuncak.
‘Sial! Sepertinya otakku benar-benar rusak.’ Anya memegang sisi kepalanya yang berdenyut perih, lalu kembali membatin, ‘Apa pun alasannya, hal ini tetap tidak dapat dibenarkan. Dia sama saja dengan penjahat cabul, Anya. Jangan lengah hanya karena wajah tampannya!’
Anya menarik napasnya dalam-dalam, menenangkan pikirannya yang semakin kacau. “Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal ini di saat aku sendiri tidak tahu?”
Tatapan penuh curiga ditujukan Anya kepada Reinhard, lalu sebuah dugaan mencuat di dalam benaknya. “Apa jangan-jangan … kamu yang sudah melakukannya dan berpura-pura bekerja sama dengan biadab tua itu untuk menjebakku?”
Reinhard sangat terkejut mendengar kecurigaan wanita itu, tetapi detik berikutnya ia terkekeh pelan.
“Apa yang kamu tertawakan? Apa begitu lucu menjebak seseorang ke dalam permainan gilamu yang menjijikkan itu?” hardik Anya yang membuat tawa Reinhard terhenti.
Bibir Anya terkatup rapat ketika pria itu menatapnya dengan tajam. Sorot mata dari kilatan amber milik pria itu membuat jantung Anya berdebar cepat. Ada sesuatu dalam tatapan Reinhard yang membuat Anya merasa terperangkap, seolah-olah dia sedang dihakimi oleh mata yang lebih mengetahui segalanya.
“Analisa yang sangat konyol,” desis Reinhard dengan dingin. “Apa kamu lupa kalau kamu yang mendatangiku dan meminta bantuanku? Atas dasar alasan apa kamu menuduhku telah menjebakmu? Apa kamu memiliki bukti?”
Ketegangan pun tercipta di antara mereka. Anya merasakan napasnya tercekat, tetapi ia tidak dapat menjawab pria itu.
“Aku tidak peduli apakah kamu percaya padaku atau tidak, Anya Stein,” lanjut Reinhard yang membuat perasaan Anya semakin tertekan.
Namun, sebelum Anya sempat memberikan tanggapan, tiba-tiba saja pria itu menyodorkan ponselnya. dan memperlihatkan rekaman video di mana Anya dan Edwin sedang melakukan makan malam bersama di restoran Grand Luxury.
“Dari mana kamu bisa memiliki rekaman ini?” tanya Anya dengan bingung.
“Tidak perlu memusingkan hal itu. Lihatlah sendiri dan kamu akan mendapatkan jawaban yang kamu inginkan,” jawab Reinhard yang membuat wanita itu kembali menatap layar ponselnya.
Terlihat momen romantis yang dilakukan Edwin padanya semalam dan membuat Anya sempat merasa hal yang dilakukannya bersama suaminya itu hanyalah sekedar mimpi kosong belaka. Kening Anya mengernyit ketika netranya menangkap tindakan mencurigakan yang dilakukan Edwin.
Anya pun kembali teringat jika ia memang sempat meninggalkan kursinya untuk melakukan pembayaran di meja kasir atas permintaan suaminya tersebut.
Ternyata Edwin menuangkan sesuatu di dalam gelas minumannya di saat Anya lengah dan ketika ia kembali ke meja tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit pun, Anya meneguk minumannya saat Edwin mengajaknya bersulang!
“Jadi … Edwin yang sudah ….”
Ponsel di tangan Anya teremas erat. Ia masih tidak dapat percaya dengan kebenaran yang diperlihatkan padanya, tetapi tidak ada lagi hal yang bisa disangkalnya.
Hanya saja Anya tidak dapat memahami kenapa bisa ada lelaki paruh baya yang tak dikenalnya masuk ke dalam kamar hotel mereka. Apakah Edwin juga yang telah merencanakannya?
Pandangan Anya kembali tertuju pada layar ponsel Reinhard. Netranya memicing tajam tatkala melihat sosok seorang wanita yang terekam jelas pada layar ponselnya.
Wanita itu─Thalia Vale berdiri di depan pintu kamar hotelnya, lalu tidak berapa lama kemudian tampak sosok pria paruh baya semalam yang ingin melecehkan Anya berbincang dengannya.
Thalia menyerahkan sebuah kartu kepada pria paruh baya itu dan dengan kartu akses tersebut, pria paruh baya itu masuk ke dalam kamar hotelnya!
“Tha-Thalia, jadi dia yang ….”
Gumaman Anya tercekat. Ia masih tidak dapat mempercayai apa yang baru saja dilihatnya.
Ternyata bukan karena Anya yang lupa mengunci pintu kamarnya ataupun kesalahan dari pihak hotel dalam memberikan kartu akses kamarnya, tetapi karena Thalia dan Edwin yang telah merencanakan semuanya untuk menjebaknya!
Anya meremas kedua tangannya di depan dadanya yang terasa perih. Ia masih tidak memahami alasan Thalia ikut bekerja sama dengan Edwin melakukan hal ini.
Selama satu tahun terakhir ini, Anya begitu percaya padanya. Sejak Thalia kembali dari pendidikannya di luar negeri, ia selalu datang ke kediaman Stein dan menjalin hubungan yang baik dengannya.
Wanita itu juga sering membelanya apabila Edwin bersikap buruk padanya. Tidak ada celah sedikit pun yang menunjukkan jika Thalia memiliki alasan untuk melakukan semua ini.
‘Sebenarnya kenapa─’
Kegelisahan Anya terhenti sejenak, Rekaman CCTV yang ditampilkan pada layar ponsel Reinhard kembali memperlihatkan sosok Edwin yang datang menghampiri Thalia setelah menyerahkan kartu akses kamar hotel tersebut.
Bola mata Anya telah berkilat tajam ketika melihat Edwin merangkul mesra pinggang Thalia dan mencumbu bibir wanita itu. Mereka pun pergi begitu saja tanpa mempedulikan hal buruk yang mungkin akan terjadi pada Anya di dalam kamar tersebut.
“Jadi … mereka berdua ….”
Seketika air mata Anya berjatuhan tanpa terkendali. Ia kembali teringat dengan ekspresi dan senyuman sinis Thalia saat melihatnya terjatuh setelah didorong oleh Edwin tadi.
Satu lagi kebodohan telah dilakukan Anya dengan mempercayai wanita itu. Rasa sakit yang menjalar di dadanya semakin kuat. Seluruh kepercayaannya telah runtuh dalam sekejap oleh kedua orang yang dianggap berharga baginya.
‘Ternyata semua hanya rencana busuk kalian agar bisa memfitnahku dan Edwin memiliki alasan untuk menceraikanku!’ pikir Anya.
Amarah dan kebencian telah berkobar di dalam dadanya. Ia bersumpah tidak akan pernah memaafkan semua perbuatan Edwin dan Thalia yang telah memfitnah, menipu dan membodohinya selama ini.
‘Aku pasti akan membuat kalian membayar semua ini!’ batin Anya dengan tekad yang membara.
Di sudut taman terlihat Margaret duduk sendirian. Tangannya menopang dagu, sementara segelas mocktail yang sudah mencair tergeletak di meja kecil di sampingnya.“Di mana sebenarnya pangeran kuda putihku? Apa suatu saat nanti aku juga bisa menemukan pasangan hebat seperti Tuan Muda Hernandez?” gumamnya dengan suara yang terdengar tidak bersemangat.“Kenapa? Anda iri, Nona Carson?”Suara bariton seorang pria menyentakkan lamunannya. Saat ia mendongak, ia menemukan Owen telah berdiri di dekatnya.“Tidak perlu merasa iri. Mereka dapat bersatu seperti ini juga bukan hal yang mudah,” lanjut Owen seraya menyesap minuman di tangannya.“Saya tidak iri,” bantah Margaret. Perlahan ekspresi wajahnya berubah sendu, lalu ia bergumam pelan, “Aku tahu kok standarku sendiri. Hanya saja di usiaku yang hampir kepala tiga ini. Bukan lagi waktunya untuk bermain-main dengan cinta.”Usia seorang wanita memang ibarat sekuntum bunga yang mekar dalam waktu singkat dan layu perlahan jika tak segera dipetik. Kare
Tatapan Reinhard dan Alicia saling terkunci, seolah tak ada satu pun suara di sekitar yang mampu menembus ruang di antara mereka berdua hingga suara lembut Reinhard memecah keheningan tersebut.“Alicia, kamu tahu … dari pertama kita bertemu, kamu sudah berhasil memporakporandakan hidupku dengan segala ide nakalmu untuk mencuri perhatianku. Saat itu, aku mengira semua perasaan sukamu hanyalah sekadar kekaguman sesaat dari seorang remaja saja. Dan aku pun terus menyangkal perasaanku sendiri, meyakinkan diriku bahwa kamu hanyalah adik bagiku.”“Apaan sih?” Alicia menggigit bibir bawahnya, merasa malu mendengarnya. Wajahnya memerah, tetapi senyuman masih terulas di bibirnya.Reinhard melanjutkan, “Tapi, saat mendengar kabar kematianmu tiga tahun lalu, aku pun merasakan penyesalan terdalamku dan terus menyalahkan diriku sendiri atas kebodohan yang telah kulakukan.”Manik mata Alicia mulai berembun. Ia dapat melihat bagaimana ketulusan terpancar dari sorot mata pria itu.“Selama tiga tahun i
“Sempurna!” seru Elisabeth saat menambahkan sapuan akhir highlighter tipis di tulang pipi Alicia.“Ya ampun … Aku sudah pernah mendandani banyak perempuan, tapi kamu sangat berbeda. Kamu benar-benar terlihat seperti melihat bidadari cantik yang turun dari langit ke tujuh, Alicia,” puji Elisabeth terkagum-kagum.“Tidak usah berlebihan deh,” balas Alicia seraya tersipu malu.“Ini semua berkat jari emas Lisa Willow, sang makeup artist yang tersibuk sejagat raya,” imbuh Alicia, menggoda sahabatnya tersebut.Elisabeth mendecak sambil pura-pura cemberut. “Udah ah. Ayo, sekarang ganti bajumu,” katanya sambil menarik Alicia untuk bangkit dari duduknya.“Elisa, apa kamu tidak bisa membocorkan sedikit padaku?” sungut Alicia yang tampak kesal. Ia masih belum mengetahui acara apa yang harus dihadirinya malam ini bersama Reinhard hingga harus mengirim sahabatnya dari belahan negara lain hanya untuk merias wajahnya.Sayangnya, bibir Elisabeth terlalu rapat untuk membeberkan rencana mereka.“Kalau k
Senja keemasan perlahan melukis langit di atas kediaman keluarga Lorenzo. Alicia baru saja selesai mandi setelah seharian berkeliling kota kelahirannya bersama Reinhard.Rambutnya masih basah, dan embun hangat dari air mandi belum sepenuhnya menguap dari kulitnya saat sebuah suara familiar mengejutkannya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi pribadinya."Sudah selesai, Nona?"Seorang perempuan berpenampilan kasual berdiri dengan senyum lebar di depan pintu."E-Elisa?!" Alicia membelalak tak percaya. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"“Saya datang untuk membantu Anda, Nona Alicia Lorenzo,” jawab Elisabeth Willow, sahabat lamanya.Alicia memiringkan kepalanya. "Kamu … tahu dari mana kalau aku adalah Alicia Lorenzo?"Seingatnya, Alicia belum pernah mengungkapkan identitas aslinya secara langsung kepada sahabatnya itu. Terakhir mereka berkomunikasi adalah ketika Elisabeth mengabari bahwa ia menang penghargaan penata rias terbaik di ajang fashion internasional Paris.“Bagaimana saya bis
“Akh! Sakit! Sakit!”Suara pekikan histeris meluncur dari bibir Reinhard tatkala Alicia mengolesi obat pada luka memar di bahu kirinya.“Baru tahu sakit, huh? Aku kira kamu sudah mati rasa,” cibir Alicia dengan sarkas.Melihat wajah cemberut istrinya, Reinhard mengulum senyumnya. “Kamu marah, Sayang?” tanyanya dengan suara lembut yang mencoba mengambil hati sang istri. Akan tetapi, Alicia hanya mendengus dan memalingkan wajahnya dengan malas.Tak kehabisan akal, Reinhard mencubit dagu istrinya pelan, memaksanya menatap. “Tapi, aku dapat melihat api kasih sayang yang berkobar di dalam matamu ini, Sayang,” godanya.Alicia mendelik kesal. Ditepisnya tangan pria itu, lalu ia melayangkan tatapan tajamnya. “Tidak usah berpura-pura mengalihkan pembicaraan. Kamu tidak lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan tadi, kan, Xavier?”Reinhard tersenyum kecil. Ia memahami alasan kemarahan istrinya. Beberapa jam sebelumnya, ia berbohong dengan mengatakan bahwa Nyonya Tua Lorenzo ingin bicara empat mat
Keesokan harinya, Reinhard tiba di tempat latihan Royal Dragon—sebuah arena semi terbuka yang terletak tidak jauh dari mansion keluarga Lorenzo. Tempat itu sudah dilengkapi dengan berbagai perlengkapan bela diri dan menjadi lokasi latihan rutin bagi anggota inti organisasi tersebut.Saat tiba, Reinhard mendapati Regis sudah bersiap di arena. Pria itu mengenakan seragam taekwondo lengkap dengan sabuk hitam, berdiri dengan tangan terlipat di depan dada.“Kamu telat lima menit, Xavier,” ujar Regis seraya tersenyum remeh. “Aku pikir kamu tidak akan datang.”“Tadi aku ada sedikit urusan dengan Alicia. Kamu tahu kan kalau dia sangat khawatir dengan duel ini?” balas Reinhard dengan santai.“Alasan,” cibir Regis sambil menggeleng malas.Reinhard hanya menyeringai tipis, lalu melepas kemejanya dan melemparkannya ke pinggir arena. Salah satu anggota Royal Dragon segera menyerahkan seragam taekwondo yang telah disiapkan untuknya.Setelah berganti pakaian, Reinhard naik ke atas arena. Tatapannya