“Jangan sungkan, Aisyah. Sebentar lagi kita berdua akan menjadi suami istri!” Ucap Galih, menatap Aisyah yang kini menatap ke arah lain.
“Aku baru saja bertemu dengan kamu, aku sama sekali tidak kenal dengan kamu, tidak tau asal usulmu. Bagaimana bisa kamu mengatakan kita akan menikah sebentar lagi?” Ujar Aisyah, mengungkapkan keresahannya. “Kita bisa perkenalan setelah menikah.” Sahut Galih. Obrolan mereka terjeda sesaat. Seorang pelayan datang dengan membawa sebuah minuman, meletakkannya di atas meja. “Terima kasih...” Ucap Aisyah, pelayan itu hanya tersenyum sembari mengangguk. Galih memberi kode pada pelayan tersebut, agar segera meninggalkan mereka berdua. “Minumlah dulu agar pikiran kamu tenang, Aisyah.” Ujarnya dengan lembut. Aisyah tercengang. Tak percaya jika seorang preman di hadapannya itu bisa berbicara lembut seperti itu. “Oh ya, kenapa kamu melunasi hutang paman? Apa sebenarnya tujuan kamu, Galih??” satu pertanyaan yang membuat Aisyah penasaran sejak tadi, akhirnya terlontar. “Karena kamu Aisyah!” “Ck, rupanya preman seperti kamu juga hobi menggombal perempuan!” Aisyah mencebik kesal, tak puas dengan jawaban pria itu. “Saya gak gombal, saya hanya memberikan jawaban dari pertanyaan kamu.” Jawabnya dengan santai. Galih dengan mudahnya menawarkan pernikahan pada Aisyah, padahal sebelumnya mereka berdua tak saling kenal. Aisyah masih merasa penasaran. Apa sebenarnya tujuan pria ini mau menikahinya? “Hmm... Pernikahan itu hal yang sakral, juga ibadah terpanjang. Ada banyak hal yang harus di persiapkan sebelum memutuskan untuk menikah!” “Katakan saja! Kamu mau menikah dengan konsep yang seperti apa, Aisyah??” Sahut Galih cepat. “Bukan itu. Maksud aku, tujuan menikah dan lainnya itu harus jelas.” “Oh itu... Kamu tenang saja! Saya tidak akan banyak janji! Saya pastikan, kamu tidak akan menyesal setelah menikah denganku!” Ujar Galih, sungguh percaya diri sekali lelaki berhidung mancung itu. “Besok kita akan segera menikah, tapi secara agama saja dulu. Agar saya bisa secepatnya membawa kamu pergi dari rumah pamanmu yang kurang ajar itu!” Ujar Galih, merasa geram terhadap Herman. Aisyah terperangah. Pernikahannya dengan Galih akan di langsungkan besok? Secepat itu?? “Apa?? Besok kamu bilang?!” Pekik Aisyah, terkejut. “Ya! Sesuatu yang baik, bukankah tidak baik jika harus di tunda??” Galih menaikkan satu alisnya sambil tersenyum. Aisyah terdiam, yang di katakan Galih memang benar. Namun, ia sama sekali tak pernah menyangka, jika Galih akan mempercepat pernikahan mereka itu. Aisyah sendiri sudah tak bisa menolak. Ia sendiri yang sudah memutuskan untuk menikah dengan Galih dari pada dengan juragan tanah beristri tiga itu. Apalagi pria itu juga sudah mengeluarkan sejumlah uang yang besar, untuk melunasi semua hutang Herman-pamannya. Meskipun banyak tanda tanya dalam pikirannya, dimana Galih mendapatkan uang sebanyak itu. Namun tak dapat di pungkiri, bahwa ia sedikit merasa janggal karena hingga saat ini bahkan beberapa jam lagi akan melangsungkan akad nikah secara agama. Dirinya bahkan belum mengetahui asal usul pria yang berpenampilan seperti preman itu. °•°•°•° “Mbak... Jadi beneran Mbak mau nikah??” Tanya Fadil. Aisyah mengangguk, “Iya, Dil. Mau bagaimana lagi?!” Jawabnya. Semalam, Aisyah telah menceritakan semuanya pada sang adik. Ia merasa bahwa Fadil berhak tahu akan hal ini. “Iya sih, Mbak. Dari pada dengan juragan Bram, lebih baik sama Bang Galih. Meskipun dirinya terlihat preman, tapi dia itu kelihatannya baik.” Fadil sudah bertemu dengan Galih semalam, di saat pria itu mengantar Aisyah pulang. Seharian kemarin, Aisyah dan Galih sempat mampir ke tempat rias pengantin yang ada di desa itu. Untung saja, meski merasa dadakan, perias itu masih bisa merias Aisyah nanti siang. Tukang dekor juga sudah datang pagi-pagi sekali, untuk mendekorasi ruang tamu rumah itu menjadi tempat akad nikah yang sederhana. Aisyah sendiri yang meminta, agar pernikahan mereka di adakan secara sederhana saja. Selain tak ingin memberatkan Galih, gadis itu juga merasa jika pernikahannya ini masih abu-abu. Herman dan Rina sejak tadi hanya sibuk menunggu kedatangan Syahnaz-putri mereka. Mereka berdua bahkan tak peduli tentang persiapan pernikahan keponakannya itu. Tak berselang lama. Sebuah mobil Honda Jazz tiba di depan rumah. Empat orang turun dari mobil itu seraya mengedarkan pandangan. ‘Lho, ini ada acara apa ya?’ Syahnaz membatin. Ia memang tidak di beritahu apapun mengenai pernikahan sepupunya itu. Herman dan Rina bergegas keluar untuk menghampiri anak kesayangan mereka. “Syahnaz... Akhirnya kamu sampai juga, Nak.” Rina dengan wajah berbinar-binar, berjalan cepat menghampiri putri semata wayangnya itu. Aisyah hanya melihat dari dalam, di karenakan Syahnaz memang tak menyukainya. Ia tak mau ada keributan, jika Aisyah ikut menyambut kedatangannya. “Bu, ada acara apa ini??” Tanya Syahnaz, penasaran. “Oh ini... Itu si Aisyah mau nikah sama anak buah Juragan Bram.” Jawab Rina. Mata Rina kemudian beralih menatap tiga orang di belakang Syahnaz. Tiga orang itu adalah calon suami Syahnaz beserta kedua orang tuanya. “Waah... Ini pasti calon suami Syahnaz ya?? Ayo, mari masuk.” Ucap Rina, mempersilahkan. “Ayo, Mas.” Syahnaz menggandeng lelaki yang sejak tadi menatap jijik ke rumah calon istrinya itu. Syahnaz sendiri tak peduli dengan Aisyah yang sebentar lagi akan menikah. Seburuk itu memang hubungan mereka berdua. Kedua orang tua calon suami Syahnaz pun sama. Sejak turun dari mobil, sudah merasa tak nyaman berada di rumah tersebut. “Maaf ya... Rumahnya masih berantakan, soalnya mau di dekor.” Ujar Rina. Rina membawa calon besannya itu masuk ke ruang tengah. Tak ada sahutan dari lawan bicaranya, bahkan sejak tadi Arman juga tak menyapa calon mertuanya. “Hmm... Begini, kita langsung saja_” Seorang pria paruh baya yang seumuran dengan Herman itu angkat bicara. Herman memotong ucapan Ayah dari Arman. “Duduk dulu, Pak.” Herman mempersilahkan tamunya untuk duduk terlebih dahulu. “Ayo duduk, Tante.” Ajak Syahnaz, sudah lebih dulu duduk. Mau tidak mau, Arman dan kedua orang tuanya pun ikut duduk di sofa yang sudah usang. “Pak, kenalin dulu. Ini Mas Arman, calon suami Syahnaz.” Ucap Syahnaz dengan senyum mengembang. Ia merasa bangga, karena pada akhirnya gadis itu bisa memiliki seorang Arman-sang Manager keuangan di tempat gadis itu bekerja. “Arman.” Arman menyalami tangan Herman dengan singkat, tak ingin berlama-lama bersentuhan tangan dengan Ayah Syahnaz. “Maaf... Kedatangan kami tidak akan lama! Kami hanya ingin menyampaikan bahwa bulan depan, kami akan menikahkan Arman dengan Syahnaz.” Rina seketika tersenyum sumringah. “Waah... Boleh, boleh.” Sahut Rina cepat. Sejak tadi ia memperhatikan terus menerus penampilan Ibu Arman dengan seksama. Mulai dari tas, pakaian dan perhiasan yang di kenakan Ibu Arman itu membuat Rina terpukau. Wanita paruh baya itu semakin yakin, jika Arman memang orang kaya.“Halo Dio, ada apalagi? Mama gak kuat liat Papamu lama-lama,” Ucap Renita masih dengan suara parau. [Maa... Papa, Ma...] “Iya, Mama sudah memaafkannya Dio. Bilang sama Papamu, Mama sudah memaafkannya!” Ujar Renita dengan dada yang sesak. [Maa... Papa pergi, Ma. Papa pergi...] “Pergi? Pergi ke mana maksud kamu Dio?” Tanya Renita, jantungnya seketika berdebar-debar. [Papa pergi meninggalkan kita untuk selamanya, Ma...] Deg! Tubuh Renita seketika lemas. “Ka-Kamu gak bohong kan Dio?” Tanyanya dengan suara bergetar. [Enggak, Ma. Ini Dio lagi di RS, tadi abis nelpon Mama, Papa langsung drop, pas perjalanan ke RS kondisi Papa makin lemah, dokter barusan bilang kalau Papa udah gak ada, Ma...] [Dio bingung, Ma. Ini jenazah Papa mau dimakamkan di mana?] “INNALILAHI WAINNAILAIHI RAJI'UN... Bawa ke sini Dio. Makamkan di sini saja!” Jawab Renita tanpa banyak pikir. [Jenazah Papa di bawa pulang ke rumah?] “Iya, rumah itu akan menjadi milikmu kelak, dan kamu berhak membawa Papamu ke sana
Beberapa bulan berlalu sejak hasil tes DNA itu keluar, hubungan Dio dan Renita tetap baik-baik saja, bahkan di katakan jauh lebih baik dari sebelumnya. Renita sama sekali tak mengurangi kasih sayangnya, hanya saja terkadang Dio sendiri yang merasa sungkan karena merasa tak pantas mendapatkan semua kasih sayang dari Renita. Terasa berat untuk menerima kenyataan ini bagi Renita. Namun, ia sudah ikhlas. la yakin bahwa apa yang di gariskan Tuhan dalam hidupnya tidak akan pernah salah. Setelah hasil tes DNA itu keluar, Dio juga akhirnya meminta Wijaya untuk mengatakan dimana letak pemakaman anak kandung Renita yang sebenarnya. Ternyata Wijaya memakamkan anaknya di dekat makam keluarganya. Renita dan yang lainnya pun langsung mendatangi makam itu. Meskipun makam bayi, ternyata Wijaya memberikan tempat yang istimewa, bahkan di tata dan di rawat selayaknya makam orang dewasa. Renita juga tak bisa menyalahkan Wijaya sepenuhnya, lagi-lagi ia berusaha ikhlas dalam menerima takdir dalam hidu
“Bisa langsung to the point saja gak sih, Bang?!” Pinta Dio jengah, lelah membuatnya enggan banyak bertanya. “Nunggu Mama dulu. Sebentar lagi Mama turun,” Jawab Galih. Dio menghela napas panjang, ia pun beristirahat sambil menunggu Ibunya turun. Beberapa menit kemudian, Renita akhirnya turun juga dan langsung menyapa putranya yang baru saja datang. “Bagaimana perjalananmu, Dio? Macet gak?” Tanya Renita sambil berjalan menghampiri kedua putranya. “Gak kok, Ma. Buktinya Dio bisa sampai sini tepat waktu,” Jawab Dio. la memang berangkat tengah malam agar pagi-pagi sudah sampai di rumah. Tak mau membuang waktu, Renita pun akhirnya menjelaskan maksudnya kenapa meminta Dio pulang kali ini. la menceritakan semua kronologinya mulai dari cerita Wijaya yang tak di percaya oleh Renita itu. “Jadi Papa bilang aku bukan anak kandung Mama?” Ulang Dio, memastikan bahwa kabar yang baru di dengar itu tidak salah. Renita mengangguk. “Itu hanya ucapan Papa kamu aja, Dio. Nyatanya Mama mengandung
Galih masih tercengang setelah mendengar cerita Renita, “Jadi sebenernya yang ngejar itu Tante Indri? Bukan papa?” Tanya Galih memastikan. “Halah sama saja! Papa kamu aja yang bodoh! Sudah Mama peringatkan sejak dulu, masih aja bisa ketipu sama si janda itu. Entah apa yang di lakukan si janda itu sampai papamu akhirnya tergoda. Dasarnya bajingan ketemu wanita bajingan ya begitu.” Ungkap Renita, berusaha menahan kesal dalam dada, ia sudah berusaha untuk mengikhlaskan semuanya. “Ma...” Panggil Galih pelan, merasa sangat iba, ia menatap Ibunya dengan raut wajah yang sendu. “Mama gak apa-apa, Nak. Mama sudah ikhlas, sekarang biarkan Papamu menikmati hasil dari apa yang lakukan. Mama juga gak akan balas dendam pada mereka. Biarkan karma berjalan sesuai dengan ketentuan Tuhan. Mama sudah cukup puas dengan mengalihkan semua aset dan berpisah dari lelaki itu.” Ujar Renita seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang menutupi segala kesakitannya. “Mama hebat! Galih sangat bangga sama Mama!” U
Indri mendadak berdiri dari kursinya, wajahnya memerah dengan amarah bercampur kepanikan. “Ini pasti salah, Dokter! Anda pasti salah memeriksa,” Ujar Indri dengan suara gemetar. Masih tak bisa menerima. Tanpa menunggu jawaban dari dokter, Indri menoleh ke arah Rian yang tampak bingung dan cemas. “Ayo, kita pulang saja, Rian! Tidak ada gunanya periksa di sini!” Indri segera melangkah keluar ruangan dengan terburu-buru, air mata mulai mengalir di pipinya. Hati Indri begitu kalut, tak sanggup menerima kenyataan pahit yang baru saja ia dengarkan. Sementara itu, Rian masih duduk terpaku, mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Dengan berat hati, ia menatap ke dokter dengan serius. “Dok, saya mohon, tolong jelaskan bagaimana cara penyembuhan penyakit ini? Apa yang harus kami lakukan?” Tanya Rian dengan nada penuh harap. Dokter menghela napas sejenak lalu menjelaskan dengan tenang bahwa HIV memang belum bisa di sembuhkan sepenuhnya, tetapi dengan pengobatan yang tepat, pasien
Sebelum menemui istrinya di balkon kamar, Galih lebih dulu masuk ke kamar Ibunya. Ternyata Renita sudah tertidur pulas, wanita itu terlihat pucat, tak seperti biasanya. Galih menghampiri dan berdiri di samping ranjang, ‘Ma, lekas sehat ya, besok Mama harus melakukan tes!! Galih gak akan maafin Papa kalau sampai Mama tertular penyakit itu!’ Batin Galih. Ia tak akan bisa memaafkan perbuatan Wijaya yang berimbas hal fatal seperti ini. Galih kemudian membetulkan selimut Renita, kemudian mengecup kening Ibunya dengan penuh kasih sayang. Ia pun keluar dan menutup pintu dengan hati-hati. “Mama sudah tidur ya, Mas?” Tanya Aisyah. Mereka kini berada di balkon kamarnya yang ada di lantai atas. Galih mengangguk, “Iya, Sayang...” Jawabnya lembut. “Syukurlah, kasian Mama, Mas... Sepertinya Mama lagi banyak pikiran sampai akhirnya drop seperti itu,” Ujar Aisyah merasa iba pada Ibu mertuanya. “Mama masih sering nangis gak, sayang?” Tanya Galih, penasaran. Ingin tahu apa saja yang di lakukan I