“Jangan sungkan, Aisyah. Sebentar lagi kita berdua akan menjadi suami istri!” Ucap Galih, menatap Aisyah yang kini menatap ke arah lain.
“Aku baru saja bertemu dengan kamu, aku sama sekali tidak kenal dengan kamu, tidak tau asal usulmu. Bagaimana bisa kamu mengatakan kita akan menikah sebentar lagi?” Ujar Aisyah, mengungkapkan keresahannya. “Kita bisa perkenalan setelah menikah.” Sahut Galih. Obrolan mereka terjeda sesaat. Seorang pelayan datang dengan membawa sebuah minuman, meletakkannya di atas meja. “Terima kasih...” Ucap Aisyah, pelayan itu hanya tersenyum sembari mengangguk. Galih memberi kode pada pelayan tersebut, agar segera meninggalkan mereka berdua. “Minumlah dulu agar pikiran kamu tenang, Aisyah.” Ujarnya dengan lembut. Aisyah tercengang. Tak percaya jika seorang preman di hadapannya itu bisa berbicara lembut seperti itu. “Oh ya, kenapa kamu melunasi hutang paman? Apa sebenarnya tujuan kamu, Galih??” satu pertanyaan yang membuat Aisyah penasaran sejak tadi, akhirnya terlontar. “Karena kamu Aisyah!” “Ck, rupanya preman seperti kamu juga hobi menggombal perempuan!” Aisyah mencebik kesal, tak puas dengan jawaban pria itu. “Saya gak gombal, saya hanya memberikan jawaban dari pertanyaan kamu.” Jawabnya dengan santai. Galih dengan mudahnya menawarkan pernikahan pada Aisyah, padahal sebelumnya mereka berdua tak saling kenal. Aisyah masih merasa penasaran. Apa sebenarnya tujuan pria ini mau menikahinya? “Hmm... Pernikahan itu hal yang sakral, juga ibadah terpanjang. Ada banyak hal yang harus di persiapkan sebelum memutuskan untuk menikah!” “Katakan saja! Kamu mau menikah dengan konsep yang seperti apa, Aisyah??” Sahut Galih cepat. “Bukan itu. Maksud aku, tujuan menikah dan lainnya itu harus jelas.” “Oh itu... Kamu tenang saja! Saya tidak akan banyak janji! Saya pastikan, kamu tidak akan menyesal setelah menikah denganku!” Ujar Galih, sungguh percaya diri sekali lelaki berhidung mancung itu. “Besok kita akan segera menikah, tapi secara agama saja dulu. Agar saya bisa secepatnya membawa kamu pergi dari rumah pamanmu yang kurang ajar itu!” Ujar Galih, merasa geram terhadap Herman. Aisyah terperangah. Pernikahannya dengan Galih akan di langsungkan besok? Secepat itu?? “Apa?? Besok kamu bilang?!” Pekik Aisyah, terkejut. “Ya! Sesuatu yang baik, bukankah tidak baik jika harus di tunda??” Galih menaikkan satu alisnya sambil tersenyum. Aisyah terdiam, yang di katakan Galih memang benar. Namun, ia sama sekali tak pernah menyangka, jika Galih akan mempercepat pernikahan mereka itu. Aisyah sendiri sudah tak bisa menolak. Ia sendiri yang sudah memutuskan untuk menikah dengan Galih dari pada dengan juragan tanah beristri tiga itu. Apalagi pria itu juga sudah mengeluarkan sejumlah uang yang besar, untuk melunasi semua hutang Herman-pamannya. Meskipun banyak tanda tanya dalam pikirannya, dimana Galih mendapatkan uang sebanyak itu. Namun tak dapat di pungkiri, bahwa ia sedikit merasa janggal karena hingga saat ini bahkan beberapa jam lagi akan melangsungkan akad nikah secara agama. Dirinya bahkan belum mengetahui asal usul pria yang berpenampilan seperti preman itu. °•°•°•° “Mbak... Jadi beneran Mbak mau nikah??” Tanya Fadil. Aisyah mengangguk, “Iya, Dil. Mau bagaimana lagi?!” Jawabnya. Semalam, Aisyah telah menceritakan semuanya pada sang adik. Ia merasa bahwa Fadil berhak tahu akan hal ini. “Iya sih, Mbak. Dari pada dengan juragan Bram, lebih baik sama Bang Galih. Meskipun dirinya terlihat preman, tapi dia itu kelihatannya baik.” Fadil sudah bertemu dengan Galih semalam, di saat pria itu mengantar Aisyah pulang. Seharian kemarin, Aisyah dan Galih sempat mampir ke tempat rias pengantin yang ada di desa itu. Untung saja, meski merasa dadakan, perias itu masih bisa merias Aisyah nanti siang. Tukang dekor juga sudah datang pagi-pagi sekali, untuk mendekorasi ruang tamu rumah itu menjadi tempat akad nikah yang sederhana. Aisyah sendiri yang meminta, agar pernikahan mereka di adakan secara sederhana saja. Selain tak ingin memberatkan Galih, gadis itu juga merasa jika pernikahannya ini masih abu-abu. Herman dan Rina sejak tadi hanya sibuk menunggu kedatangan Syahnaz-putri mereka. Mereka berdua bahkan tak peduli tentang persiapan pernikahan keponakannya itu. Tak berselang lama. Sebuah mobil Honda Jazz tiba di depan rumah. Empat orang turun dari mobil itu seraya mengedarkan pandangan. ‘Lho, ini ada acara apa ya?’ Syahnaz membatin. Ia memang tidak di beritahu apapun mengenai pernikahan sepupunya itu. Herman dan Rina bergegas keluar untuk menghampiri anak kesayangan mereka. “Syahnaz... Akhirnya kamu sampai juga, Nak.” Rina dengan wajah berbinar-binar, berjalan cepat menghampiri putri semata wayangnya itu. Aisyah hanya melihat dari dalam, di karenakan Syahnaz memang tak menyukainya. Ia tak mau ada keributan, jika Aisyah ikut menyambut kedatangannya. “Bu, ada acara apa ini??” Tanya Syahnaz, penasaran. “Oh ini... Itu si Aisyah mau nikah sama anak buah Juragan Bram.” Jawab Rina. Mata Rina kemudian beralih menatap tiga orang di belakang Syahnaz. Tiga orang itu adalah calon suami Syahnaz beserta kedua orang tuanya. “Waah... Ini pasti calon suami Syahnaz ya?? Ayo, mari masuk.” Ucap Rina, mempersilahkan. “Ayo, Mas.” Syahnaz menggandeng lelaki yang sejak tadi menatap jijik ke rumah calon istrinya itu. Syahnaz sendiri tak peduli dengan Aisyah yang sebentar lagi akan menikah. Seburuk itu memang hubungan mereka berdua. Kedua orang tua calon suami Syahnaz pun sama. Sejak turun dari mobil, sudah merasa tak nyaman berada di rumah tersebut. “Maaf ya... Rumahnya masih berantakan, soalnya mau di dekor.” Ujar Rina. Rina membawa calon besannya itu masuk ke ruang tengah. Tak ada sahutan dari lawan bicaranya, bahkan sejak tadi Arman juga tak menyapa calon mertuanya. “Hmm... Begini, kita langsung saja_” Seorang pria paruh baya yang seumuran dengan Herman itu angkat bicara. Herman memotong ucapan Ayah dari Arman. “Duduk dulu, Pak.” Herman mempersilahkan tamunya untuk duduk terlebih dahulu. “Ayo duduk, Tante.” Ajak Syahnaz, sudah lebih dulu duduk. Mau tidak mau, Arman dan kedua orang tuanya pun ikut duduk di sofa yang sudah usang. “Pak, kenalin dulu. Ini Mas Arman, calon suami Syahnaz.” Ucap Syahnaz dengan senyum mengembang. Ia merasa bangga, karena pada akhirnya gadis itu bisa memiliki seorang Arman-sang Manager keuangan di tempat gadis itu bekerja. “Arman.” Arman menyalami tangan Herman dengan singkat, tak ingin berlama-lama bersentuhan tangan dengan Ayah Syahnaz. “Maaf... Kedatangan kami tidak akan lama! Kami hanya ingin menyampaikan bahwa bulan depan, kami akan menikahkan Arman dengan Syahnaz.” Rina seketika tersenyum sumringah. “Waah... Boleh, boleh.” Sahut Rina cepat. Sejak tadi ia memperhatikan terus menerus penampilan Ibu Arman dengan seksama. Mulai dari tas, pakaian dan perhiasan yang di kenakan Ibu Arman itu membuat Rina terpukau. Wanita paruh baya itu semakin yakin, jika Arman memang orang kaya.“Eh, tunggu dulu! Syahnaz ini kan putri kami satu-satunya. Jadi, sebelum pernikahan di selenggarakan, kami ingin memberikan persyaratan terlebih dahulu untuk Nak Arman.” Ucap Herman. Arman mengernyit heran, penasaran. Persyaratan apa yang akan di berikan oleh calon mertuanya itu? “Apa syaratnya?” Tanya Arman cepat. “Kami ingin... Nak Arman memberikan mahar pada Syahnaz sebesar seratus juta!” Ujar Herman. Seketika membuat Arman dan kedua orang tuanya terkejut hebat. Mahar seratus juta?? “Apaa?!! Seratus juta???” Pekik mereka bertiga, kompak. Saking terkejutnya. “Iya! Kalian tidak keberatan kan?” Rina menimpali. Syahnaz seketika melotot pada kedua orang tuanya. “Pak, apa-apaan ini!” Protes Syahnaz. “Syahnaz, kamu berhak mendapatkan mahar yang besar! Jangan mau kalah sama Aisyah, calon suaminya juga memberikan Bapak uang sebesar seratus juta!!” Ujar Herman, tentu saja pria paruh baya itu tidak ingin mengatakan jika uang itu sebenarnya untuk membayar semua hutangnya. “Kalian ini
Pukul 01.00 wib. Di dalam sebuah kamar yang sangat sederhana. Aisyah sedang menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang campur aduk. Ia baru saja selesai di rias. Karena hari ini adalah hari pernikahannya yang memang dipercepat karena keinginan pria dengan tampang preman itu. Ia mengenakan kebaya putih cerah, sangat pas di tubuh langsingnya yang indah. Rambut hitam panjangnya yang sehalus sutra di sanggul dengan berhiaskan aksesoris jepit kecil berbahan mutiara, hanya tampilan yang sangat sederhana namun sangat tangguh dan elegan. Mencerminkan kepribadian Aisyah yang sesungguhnya. “Wah... Kamu sangat cantik, Mbak Aisyah.” Kagum seorang wanita yang telah memakaikan riasan make up pengantin ke wajah Aisyah. Make up yang tidak terlalu menor atau berlebihan seperti keinginan Aisyah sendiri. Aisyah hanya tersenyum tipis. Entah ia harus bahagia untuk hari istimewa ini ataukah justru sedih. ‘Ya Allah, jika memang ini jalan takdir yang harus hamba tempuh, hamba mohon berika
“Kamu tau dari mana?” Tanya Aisyah penuh selidik. Galih menatap dalam-dalam manik Aisyah. “Itu tidak penting, Aisyah! Cepat... Kemas barang-barang yang ingin kamu bawa!” Aisyah mendengus kesal. “Kamu harus menjelaskan semuanya! Kenapa kamu banyak tau hal tentang keluargaku?!” Galih menghela napas panjang. “Nanti aku ceritakan, Syah! Cepat kemasi barangmu, kasihan Fadil sudah menunggu!” Ucapnya lembut. Rasa penasaran Aisyah belum hilang tentang dari mana Galih mendapatkan uang sebanyak seratus juta untuk melunasi hutang Herman, juga mahar sebesar lima puluh juta. Kini Aisyah di buat penasaran lagi tentang jati diri Galih yang sebenarnya. Mengapa pria itu seakan banyak mengetahui tentang keluarganya, bahkan sampai ke masalah yang sifatnya rahasia itu. “Gak usah bawa baju banyak-banyak. Nanti saya belikan yang baru!” Jelas Galih. Aisyah yang sedang mengemasi pakaiannya, sontak menoleh pada pria itu. “Tidak perlu! Baju sudah banyak.” Sahut Aisyah, kembali menyusun pakaiannya. Baj
“Mobilnya siapa itu?” Tanya Aisyah, bingung. Seorang supir membukakan pintu setelah mereka tiba di dekat mobil. “Silahkan Tuan, Nyonya.” Ucap sang supir, mempersilahkan. “Ayo masuk Aisyah, Fadil!” Ajak Galih pada sang istri dan adik iparnya. “Waah... Ini mobilnya Bang Galih?? Ih, keren banget... Kayak punya sultan mobilnya.” Ujar Fadil dengan wajah berbinar, kegirangan. Suara Fadil yang cukup besar, membuat Herman dan Rina yang masih di dalam rumah merasa penasaran. Mereka melangkah keluar dengan tergesa-gesa. “Wah, keren banget mobilnya, Pak.” Mata Rina seketika berbinar-binar, takjub. “Iya, Bu. Ini mobil yang harganya miliaran itu kan??” Herman tak kalah takjub. “Pak? Kok si preman itu bisa pakai mobil mewah ya?? Jangan-jangan dia memang beneran kaya lagi, Pak?!” Ujar Rina. “Halah... Gak mungkin, Bu! Palingan itu mobil pinjem punya juragan siapa gitu!!” Sanggah Syahnaz tiba-tiba. Gadis itu rupanya juga penasaran mendengar kehebohan di luar rumahnya. “Hem... Iya juga ya, N
Mobil yang mereka tumpangi kini tiba di pusat perbelanjaan.“Kok kita ke sini, Mas?” Tanya Aisyah, terheran.“Iya, kita belanja dulu! Di rumah masih kosong, gak ada stok bahan makanan, sekalian juga buat beli baju kamu dan Fadil!” Jawab Galih.“Waah... Asyik...” Ujar Fadil, kegirangan.Aisyah menoleh ke arah Fadil, menggeleng pelan. “Di sini pasti mahal-mahal, Dil. Kita gak usah beli apa-apa, beli bahan untuk makan kita saja!” Tolak Aisyah, cepat.Galih menatap lekat manik Aisyah, “Hey... Kalian tinggal memilih apa yang kalian butuhkan! Tak perlu sungkan!” Ujar Galih cepat.“Tapi, Mas_” Ucapan Aisyah terhenti, Galih menempelkan telunjuknya di bibir istrinya itu.“Nurut aja apa kata suami!” Pinta Galih, kemudian turun lebih dulu dari mobil.Aisyah diam mematung, memegang bibirnya yang baru saja di sentuh oleh jari Galih.“Ayo, turun!” Titah Galih pada Aisyah dan Fadil.Aisyah masih terdiam, ia pun turun dengan perasaan yang sulit di artikan.“Beli apa aja yang kamu mau, Dil!” Tawar Gal
‘Gak! Ini gak mungkin!.’ Batin Rian, tak percaya, sebab mereka baru putus tiga hari yang lalu. Ada rasa panas dan tak ikhlas, saat menyaksikan wanita yang selama ini ia puja di gandeng oleh pria lain di depan matanya sendiri. Meskipun pria itu sendiri yang memutuskan hubungan mereka, tapi jauh dari lubuk hatinya yang dalam, Rian masih sangat mencintai Aisyah. Rian hanya terjerat dalam situasi, di karenakan orang tuanya tak merestui hubungan pria itu dengan Aisyah, bahkan sudah disiapkan jodoh untuk dirinya. Mila, gadis yang dipilihkan oleh orang tuanya, yang terbilang lebih segalanya dari Aisyah. Mil seorang wanita berhijab, berpendidikan dan berasal dari keluarga kaya. Namun, lagi-lagi hati tak bisa di bohongi. Perasaan Rian rupanya masih terpaut pada gadis sederhana seperti Aisyah. “Mas? Dari tadi aku nyariin kamu ternyata ada di sini!” ucap seorang wanita dengan hijab berwarna cream. “Mila, kita pulang sekarang aja ya.” Pinta Rian. “Iya, Mas. Aku juga udah selesai belanjanya
“Kita bahas soal itu besok aja ya. Soalnya, ini malam pertama kita...” Bisik Galih pada Aisyah yang seketika meremang.“Eh!” Aisyah sontak termundur.“Kenapa, Syah?” Tanya Galih, mengernyit heran.“Eem, A-aku... Aku mau mandi dulu!” Jawab Aisyah, cepat-cepat bangkit dari tempat tidur.Galih menghela napas panjang, “Oh, oke baiklah...” Ucapnya.‘Dasar preman mesum! Katanya di suruh istirahat, tapi malah...’ Aisyah bergidik ngeri. Ia belum siap jika harus melepas kegadisannya sekarang.“Katanya mau mandi?” Tegur Galih.Sedari tadi Aisyah hanya berdiam diri di samping ranjang.“Eh, iya ini mau ambil handuk dulu!” Jawab Aisyah cepat.“Handuknya sudah ada di walk in closed!” Aisyah pun berjalan cepat menuju kamar mandi, tapi bukannya ke pintu kamar mandi, wanita itu malah menuju ke pintu keluar.“Hei, Aisyah? Kamu mau ke mana?” Tanya Galih.Aisyah tergelak sinis, “Ya ampun... Udah di beritahu kalau aku mau mandi kan? Yang sabar sedikit, kenapa sih? Buru-buru amat!” Ketus Aisyah, kesal, ju
“Kamu tidur aja, Syah! Besok Mama sama Papa mau ke sini, ketemu sama kamu.” Titah Galih lembut.Aisyah mendadak di liputi rasa tegang. Apakah orang tua Galih akan menerimanya?“Mereka tau kalau kamu nikah sama aku?” Tanyanya, penasaran.Galih mengangguk pelan, “Tentu saja, Aisyah! Maaf ya, tadi mereka gak sempat datang karena acaranya dadakan. Tapi tenang aja, nanti kita resepsi besar-besaran, mengundang banyak orang juga.” Jawab Galih meyakinkan Aisyah.Galih memang sudah memberitahu orang tuanya, jika dirinya akan segera menikah. Tapi, orang tuanya Galih sedang ada urusan yang tak bisa di tinggal.“Eh, gak usah, Mas. Gak apa-apa kok. Seperti ini saja sudah cukup.” Ucap Aisyah, merasa tak enak hati karena sudah sering kali merepotkan suaminya.Galih mengeryit heran, “Kenapa? Apa kamu gak mau mengundang teman-teman kamu dan mengumumkan pernikahan kita ini??” Tanya Galih, menatap lekat wajah Aisyah yang tampak kebingungan.“Em... Bukan begitu, Mas. Sebenarnya aku gak punya banyak teman
“Sial*n!!” Umpat Syahnaz, “Perasaan Raymond dulu pernah bilang rumahnya daerah sini, tapi kenapa orang-orang sini gak ada yang kenal?” Gumamnya, kesal. Hingga saat ini ia belum juga menemukan keberadaan ayah dari anak di kandungnya. Syahnaz saat ini tengah duduk di jok belakang bersama tukang ojek yang mengantarnya. “Gimana, Mbak? Rumahnya yang mana nih??” Tanya tukang ojek. “Belum tau, Pak. Kan dari tadi gak ada yang tau orang-orang sini,” Jawab Syahnaz. Syahnaz memang sudah bertanya beberapa kali pada orang-orang sini. Dan tak ada satu pun dari mereka yang kenal dengan Raymond. ‘Apa dia punya nama samaran ya?’ Batin Syahnaz menebak. “Pak berhenti di sini dulu, ya!” Titah Syahnaz. Meski sudah kesal karena sejak tadi muter-muter tak karuan, tukang ojek itu pun akhirnya menurut lagi. Syahnaz segera turun, kemudian menghampiri wanita yang sedang menyapu halaman. “Mbak, permisi... Apa Mbak kenal dengan orang ini?” Syahnaz memperlihatkan foto Raymond yang ada di ponselnya. Wanita
Pukul 16.00 wib_Fadil pulang dari sekolah dengan langkah riang. Wajahnya berseri-seri, seolah-olah hari ini adalah hari terbaik dalam hidupnya. Begitu sampai di rumah, ia langsung berlari masuk ke dalam, mencari sosok wanita yang selama ini selalu bersamanya.“Mbak Aisyah!!” Teriak Fadil, suaranya menggema di ruang tamu.Aisyah, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas air putih di tangannya, tersenyum melihat Fadil yang begitu bersemangat. “Iya, Fadil. Kenapa? Kok keliatannya kamu seneng banget??” Tanyanya.Fadil langsung menghampiri kakak semata wayangnya itu dan duduk di sebelah Aisyah, “Fadil denger dari Bang Galih tadi, katanya Mbak Aisyah hamil ya?! Dan Fadil bakal jadi Om??” Tanyanya penuh kegembiraan. Matanya berbinar-binar seolah tak percaya.Aisyah tersenyum lembut, lalu mengangguk. “Iya, Dil. Kamu bakalan jadi Om yang hebat deh nantinya.”“Fadil janji, Mbak. Fadil bakalan jagain Mbakdan calon keponakan Fadil seperti Mbak Aisyah selama ini jagain Fadil!!” Tegasnya.
“Selama Mas ada di samping aku, Rian gak akan berani deketin aku, Mas. Tadi aja dia deketin karena gak ada Mas kan?” Jelas Aisyah, masih berusaha menenangkan sang suami. Galih terdiam sejenak, kemudian mengangguk dengan pelan. “Sudah ya Mas... Tahan emosinya, sayang... Nanti dede bayinya sedih lagi,” Ungkap Aisyah membuat raut wajah Galih seketika berubah sumringah. “Ah iya, Mas sampai lupa ngabarin Mama. Mama pasti seneng banget denger kabar ini, Sayang.” Aisyah mengangguk, “Iya, Mas. Nanti kita kasih tau Mama ya kalau udah sampai rumah,” ia tak sabar mendengar respon mertuanya tentang kehamilannya ini. °°° Sesampainya di rumah, Galih langsung bergegas memberikan instruksi kepada asisten rumah tangganya. “Bi Ani, tolong bersihkan kamar tamu di lantai bawah sekarang juga ya. Hari ini kami akan pindah ke kamar itu. Saya gak mau istri saya naik turun tangga. Pastikan kamarnya nyaman, dan siapkan segala kebutuhan di kamar itu juga!” Titah Galih tegas, membuat Bi Ani segera bergera
Setelah memakan waktu yang cukup lama, kini akhirnya Aisyah sudah selesai di periksa. Raut wajah keduanya sama-sama bahagia saat keluar dari ruangan dokter spesialis kandungan. “Ingat kata dokter tadi ya, Sayang. Kamu harus banyak istirahat, banyak makan yang bergizi, gak boleh kecapean apalagi stress,” Jelas Galih, mengingatkan kembali pada pesan dokter tadi pada istrinya itu. Keduanya tengah duduk di ruang tunggu lobby. Vitamin untuk Aisyah sedang di siapkan oleh bagian apotik rumah sakit. “Iya, Mas.” Aisyah senang melihat suaminya ini cerewet sekali sejak di ruangan periksa tadi. Galih sangat aktif bertanya banyak hal pada dokter tadi. “Kamu tadi pingsan lama lho, Sayang. Mas udah khawatir banget,” Ungkap Galih dengan tampang serius. “Pokoknya mulai sekarang kamu gak boleh yang namanya nyiapin makanan. Sepertinya kamar kita juga nanti akan Mas pindahkan di bawah saja di kamar tamu. Nanti Mas akan renovasi dulu biar lebih bagus!” Galih terus mengeluarkan ide-idenya pada Aisya
Sementara itu, kini Fadil sudah pulang ke rumah dengan bersenandung ria. Merasa puas karena sudah mempermainkan Rina tadi. “Hey, kamu kenapa Dil? Senyam-senyum gitu, kayak orang jatuh cinta aja,” Ucap Aisyah terheran melihat adiknya masuk rumah dengan bersenandung. “Ini lebih dari jatuh cinta, Mbak.” Jawab Fadil. Aisyah mengerutkan kening, “Apa yang lebih dari jatuh cinta? Kamu sudah punya pacar, Dil??” Tanyanya dengan tatapan menyelidik. Fadil cepat-cepat menggeleng. “Enggak, Mbak. Fadil gak suka pacar-pacaran,” sahutnya. Aisyah mengangguk setuju sembari tersenyum. “Bagus! Jangan mainin hati perempuan ya,” Jelas Aisyah. Fadil tersenyum dengan menahan tawa, “Mbak tau gak?” “Ya gak tau, Fadil. Makanya tadi Mbak nanya sama kamu. Ada apa? Eh, malah kamu balik nanya.” “Tadi Fadil ketemu Tante Rina di sekolah, Mbak.” Jawab Fadil. “Hah? Tante Rina ngapain di sekolah kamu?” Tanya Aisyah sedikit terkejut. “Enggak tau juga sih. Tapi tadi Tante Rina jalan kaki dari arah utara, Mbak. K
Sepulang dari menjenguk Herman di Lapas, Rina seakan mendapat vitamin kehidupan. la kini berjalan menyusuri jalanan untuk mencari pekerjaan. Tak apa, wanita itu rela untuk kembali bekerja agar bisa mengunjungi kembali suaminya di lapas. “Bu, Ibu butuh tenaga kerja gak?” Tanya Rina di sebuah toko campuran. “Kamu panggil saya Ibu? Ngaca dong! Situ kali yang Ibu-ibu!” sentak pemilik toko campuran yang seorang gadis. Rina tersentak. Pemilik toko campuran tersebut tak terima di panggil Ibu oleh dirinya. “Eh, maaf Mbak...” Ralat Rina cepat, “Butuh pekerja gak Mbak? Kebetulan saya lagi cari kerjaan.” sambungnya. “Nggak ada!!” Jawab gadis itu ketus bukan main. Rina menghela napas berat, tanpa banyak bicara lagi ia segera pergi meninggalkan toko itu. Kembali berjalan menyusuri jalanan dan masuk ke beberapa toko lainnya serta rumah makan untuk menanyakan info lowongan pekerjaan. “Jangankan lowongan kerja, Bu. Pegawai saya aja pada nganggur itu di belakang karena lagi sepi pembeli,” keluh
“Terus sekarang gimana, hah? Kenapa kamu malah minta tanggung jawab sama Arman kemarin?” Tanya Rina lagi, masih ingin tahu. “Karena Syahnaz gak cinta sama lelaki itu, Bu!” Jawabnya. “Gak cinta tapi sampai punya anak? Kamu jadi wanita bayaran? Dasar bodoh!!!” Umpat Rina, semakin menggeram. Ia mendorong kepala putrinya itu dengan jari telunjuknya, benar-benar muak bukan main dengan pernyataan Syahnaz kali ini. “Sstt!! Jangan keras-keras bicaranya, Bu!” Syahnaz kembali memperingati ibunya. “Pokoknya Ibu gak mau tau!! Kamu harus minta tanggung jawab sama lelaki yang sudah menghamili kamu itu!” Pinta Rina sedikit mendesak. “Gimana caranya Bu? Dia udah punya istri dan juga anak,” Jawab Syahnaz, tak bersemangat. “Ya kamu temui istrinya itu, mau gak mau kamu harus jadi istri keduanya!” Tambah Rina lagi. Syahnaz menggeleng, “Enggak, Bu!! Syahnaz gak mau jadi istri kedua?” Tolak Syahnaz. Tak pernah ada keinginan dalam dirinya untuk jadi istri kedua. “Kalau kamu gak mau jadi istri kedua,
Pukul 07.00 wib_ Aisyah sedang membuat dua cangkir minuman hangat untuk dirinya dan Galih. Gadis itu tersenyum manis menghirup aroma wangi dari cangkir berisi kopi susu panas itu. “Hmmm... Wangi!” Ucapnya sambil memejamkan mata. Galih diam-diam mengamati tingkah Aisyah sembari bersandar di dinding sambil bersidekap. Istrinya itu ternyata sedang memakai dress piyama yang oversize. Terlihat longgar di tubuh langsingnya. Namun tetap menampilkan betis indahnya yang bersih. “Cantik.” Gumamnya. Galih berjalan mendekati Aisyah yang membelakanginya. “Wangi banget aromanya sayang!” bisik Galih di telinga Aisyah sambil memeluk wanita itu dari belakang. Seperti biasa, selalu mengecup tengkuk istrinya yang beraroma cologne bayi. Aisyah sedikit kaget karena suaminya itu tiba-tiba datang memeluknya. “Eh Iya Mas, aku buat untuk kita berdua.” Aisyah tersenyum lembut sambil mengelus pipi Galih dengan sebelah tangannya. “Yuk Mas kita minum di meja makan. Enak nih dingin-dingin begini minum y
“Naz... Ibu kangen sama bapak. Ayo kita jenguk bapak ya, Nak.” Pinta Rina. Sudah sebulan Herman mendekam di Lapas, tetapi Rina dan Syahnaz tak pernah mengunjungi. Di karenakan tak ada biaya.“Apa sih, Bu? Jangan kayak anak kecil deh! Biarkan saja Bapak di sana sampai waktunya keluar! Salah Bapak sendiri karena sudah ceroboh!” Tanpa perlu berpikir, Syahnaz langsung menolak dengan jelas permintaan Ibunya itu.Rina terkejut mendengar jawaban Syahnaz yang tidak punya hati pada ayahnya sendiri.“Kurang ajar kamu, Syahnaz!!” Umpat Rina kesal.Bukannya kasihan dengan Ayahnya di penjara, Syahnaz malah justru menyalahkan Herman.“Apa, Bu? Memang nyatanya begitu kan?”Rina menggeleng, tak terima. “Pokoknya Ibu mau jenguk bapak kamu!” kekehnya keras kepala.“Memangnya Ibu ada uang? Ke Lapas gak akan cukup kalau bawa uang hanya lima puluh ribu, belum lagi nanti pasti bapak minta makananlah, cemilan lah! Di lapas itu kalau bawa makanan juga harus banyak biar bisa di bagi sama penghuni lainnya. Me