“Tangan kamu bekas sunscreen itu Iho, sayang... Jadi, biar Mas aja yang suapin ya sayang?!!”Aisyah pun mengangguk seraya tersenyum malu, karena sejak tadi Galih tak berhenti menatapnya dengan intens.Setelah makan beberapa potong buah, Aisyah menatap suaminya itu dengan tatapan penuh cinta. “Mas, aku ingin makan di taman samping rumah ya?” Pinta Aisyah, suaranya terdengar lembut.Galih segera menyetujui permintaan istrinya. la tidak pernah menolak keinginan Aisyah, terutama sejak istri tercintanya hamil. Galih merasa ini adalah momen di mana ia bisa lebih dekat dengan istrinya dan memastikan kesehatan fisik Aisyah terjaga dengan baik.“Ayo, Sayang,” Jawab Galih.Dengan hati-hati, Galih membantu Aisyah berdiri. Setiap gerakan di lakukan dengan penuh kehati-hatian, seolah-olah Aisyah adalah sesuatu yang sangat rapuh yang perlu di lindungi. Tangan Galih menggandeng tangan Aisyah erat-erat saat mereka berjalan perlahan menuju taman samping rumah.Taman itu sangat indah, di penuhi dengan
Malam harinya, semua penghuni di rumah besar milik majikan Rina sudah berada di dalam kamar masing-masing.Sebelum tidur, Rina harus memastikan lebih dahulu bahwa semua sudut ruangan sudah rapi agar esok hari pekerjaannya tidak menumpuk.Ia berjalan ke ruang tengah, matanya tiba-tiba menangkap sebuah dompet yang ada di sofa depan televisi.“Dompet siapa ini?” gumam Rina.Ia kemudian meraih dompet itu, hatinya berdebar antara penasaran dengan isi dompet itu, tetapi juga rasa takut bila ketahuan pemiliknya.‘Sepertinya ini dompet suaminya Bu Sandra,’ batin Rina melihat model dompet dengan khas laki-laki itu.Rina mengedarkan pandangan, menatap ke sekeliling ruangan, memastikan bahwa tidak ada orang di sekitarnya.‘Sepertinya aman.’ Batinnya lagi.Dengan perlahan, Rina membuka dompet tersebut. Matanya seketika melebar saat melihat banyaknya uang di dalam dompet itu. Tak hanya uang, berbagai kartu ATM pun tampak berjejer di dalamnya.“Ya ampun... Dompet ini isinya banyak sekali,” gumamnya
“Bu? Jadi Ibu juga nyalahin Mas Arman??” Tanya Syahnaz ingin tahu. [lyalah, Ibu suruh dia tanggung jawab gara-gara dia kamu seperti itu!] Syahnaz menghela napas kasar, pantas saja mantan suaminya itu malah pulang tak masuk menjenguknya. Pria itu pasti kesal dengan tuduhan ibu Syahnaz. “Ibu ini gimana sih! Aku begini bukan gara-gara Mas Arman Bu! Malah Mas Arman yang nolong aku, Bu. Ibu ishhh, pantesan aja Mas Arman gak jengukin aku,” Ucap Syahnaz, kesal. [Halah, udahlah Naz... Ibu pusing, Naz!! Udah, Ibu sekarang mau kerja lagi, nanti di marahin majikan gara-gara telponan terus] Rina mematikan panggilan sepihak. “Ibu benar-benar keterlaluan banget sih,” gerutu Syahnaz seraya menahan nyeri di perutnya. Rasanya Syahnaz benar-benar ingin menangis sekarang juga. Di tengah rasa sakit yang masih terasa, hatinya juga ikut sakit akibat sikap Rina yang tak memperdulikannya. ‘Padahal Ibu yang nyuruh aku ke kota ini untuk mencari Ray, andai saja bukan karena desakan Ibu, mungkin aku gak a
“Apa aku bilang, Ma? Keluarga Syahnaz itu suka cari masalah, makanya aku malas untuk menghubungi mereka,” Ujar Arman seraya mengembuskan napas berat.“Ya terus sekarang gimana dong, Arman? Masa kita harus ngurusin mantan istri kamu itu sampai sembuh?” Tiara mendengus kesal. Ia memang kasian, tetapi bukan berarti harus mengurus Syahnaz juga.“Mama gak mau tau ya, Arman!! Pokoknya Mama gak mau kamu kasih celah buat wanita itu!!” Ujar Tiara memperingati putranya agar tak ada keinginan untuk kembali lagi pada Syahnaz.Tiara mulai waspada, sebab wanita ular seperti Syahnaz pasti akan menjadikan sakitnya itu sebagai senjata agar bisa rujuk kembali pada Arman.Semalaman menunggu Syahnaz di rumah sakit, Arman juga belum masuk ke ruangan menjenguk Syahnaz. Padahal, operasi wanita itu sudah selesai, begitu pun dengan Syahnaz yang sudah sadar dan sudah di pindahkan ke ruangan pasien.Tiara menjaga putranya itu agar jangan sampai bertemu dengan mantan menantunya. Tiara takut Arman akan merasa iba
Drrt... Tiba-tiba ponsel Arman begetar, notifikasi pesan dari Tiara membuat ia bingung. Karena tak kunjung membalas pesannya, Tiara pun akhirnya menelpon. “Ya, Ma?” Tanya Arman saat panggilan terhubung. [Halo, Arman. Kamu di mana??] “Emm... Arman lagi di rumah sakit, Ma. Kenapa?” [Hah? Rumah sakit? Kamu kenapa, Arman?] “Nggak Ma, Arman gak apa-apa. I-ini Ma... Syahnaz pendarahan dan sekarang Iagi operasi karena janinnya meninggal.” Di seberang sana, Tiara terdengar bergeming, kaget. Tiara memang tidak menyukai Syahnaz. Tetapi mendengar perempuan yang pendarahan dan keguguran membuat wanita itu juga ikut merasa iba. [Kamu di rumah sakit mana?] “Rumah sakit Medical Insan, Ma.” [Bukankah kamu sudah mengantar Syahnaz pulang waktu itu, Arman? Kenapa dia bisa ada di sekitar kota ini Iagi?] “Armam juga gak tau, Ma. Arman di sini sendirian, gak ada yang bisa di tanyai kenapa Syahnaz bisa ada di kota ini dan sampai pendarahan,” sahut Arman. [Baiklah, Mama ke situ nemenin kamu ya]
Syahnaz terbaring lemah di atas brankar yang di dorong dengan cepat oleh para perawat menuju ruangan IGD. Suara langkah cepat para petugas medis, di tambah derit roda brankar yang berkejaran dengan waktu, menciptakan suasana mencekam. Wajah Syahnaz semakin pucat, keringat dingin mengalir deras, sementara tangannya gemetar memegangi perutnya yang terkoyak dari dalam.Syahnaz berusaha keras menahan rasa sakit yang semakin menghimpit tubuhnya. Setiap kali ia ingin bernapas, rasa nyeri itu datang seperti gelombang tanpa henti. Dalam kepalanya hanya ada satu pikiran, satu ketakutan—apa yang akan terjadi pada dirinya dan bayinya?Sementara itu, di ruang perawat, salah satu staf sibuk mencari kontak darurat di ponsel Syahnaz. Matanya menangkap sebuah nama yang terdaftar sebagai Suamiku. Tanpa berpikir dua kali, perawat itu langsung menghubungi nomor tersebut.°°Di sisi Iain, kini Arman sedang duduk di sofa, pandangannya kosong menatap ke arah jendela. Drrt...Ponselnya tiba-tiba berdering.
“Sial*n!!” Umpat Syahnaz, “Perasaan Raymond dulu pernah bilang rumahnya daerah sini, tapi kenapa orang-orang sini gak ada yang kenal?” Gumamnya, kesal. Hingga saat ini ia belum juga menemukan keberadaan ayah dari anak di kandungnya. Syahnaz saat ini tengah duduk di jok belakang bersama tukang ojek yang mengantarnya. “Gimana, Mbak? Rumahnya yang mana nih??” Tanya tukang ojek. “Belum tau, Pak. Kan dari tadi gak ada yang tau orang-orang sini,” Jawab Syahnaz. Syahnaz memang sudah bertanya beberapa kali pada orang-orang sini. Dan tak ada satu pun dari mereka yang kenal dengan Raymond. ‘Apa dia punya nama samaran ya?’ Batin Syahnaz menebak. “Pak berhenti di sini dulu, ya!” Titah Syahnaz. Meski sudah kesal karena sejak tadi muter-muter tak karuan, tukang ojek itu pun akhirnya menurut lagi. Syahnaz segera turun, kemudian menghampiri wanita yang sedang menyapu halaman. “Mbak, permisi... Apa Mbak kenal dengan orang ini?” Syahnaz memperlihatkan foto Raymond yang ada di ponselnya. Wanita
Pukul 16.00 wib_Fadil pulang dari sekolah dengan langkah riang. Wajahnya berseri-seri, seolah-olah hari ini adalah hari terbaik dalam hidupnya. Begitu sampai di rumah, ia langsung berlari masuk ke dalam, mencari sosok wanita yang selama ini selalu bersamanya.“Mbak Aisyah!!” Teriak Fadil, suaranya menggema di ruang tamu.Aisyah, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas air putih di tangannya, tersenyum melihat Fadil yang begitu bersemangat. “Iya, Fadil. Kenapa? Kok keliatannya kamu seneng banget??” Tanyanya.Fadil langsung menghampiri kakak semata wayangnya itu dan duduk di sebelah Aisyah, “Fadil denger dari Bang Galih tadi, katanya Mbak Aisyah hamil ya?! Dan Fadil bakal jadi Om??” Tanyanya penuh kegembiraan. Matanya berbinar-binar seolah tak percaya.Aisyah tersenyum lembut, lalu mengangguk. “Iya, Dil. Kamu bakalan jadi Om yang hebat deh nantinya.”“Fadil janji, Mbak. Fadil bakalan jagain Mbakdan calon keponakan Fadil seperti Mbak Aisyah selama ini jagain Fadil!!” Tegasnya.
“Selama Mas ada di samping aku, Rian gak akan berani deketin aku, Mas. Tadi aja dia deketin karena gak ada Mas kan?” Jelas Aisyah, masih berusaha menenangkan sang suami. Galih terdiam sejenak, kemudian mengangguk dengan pelan. “Sudah ya Mas... Tahan emosinya, sayang... Nanti dede bayinya sedih lagi,” Ungkap Aisyah membuat raut wajah Galih seketika berubah sumringah. “Ah iya, Mas sampai lupa ngabarin Mama. Mama pasti seneng banget denger kabar ini, Sayang.” Aisyah mengangguk, “Iya, Mas. Nanti kita kasih tau Mama ya kalau udah sampai rumah,” ia tak sabar mendengar respon mertuanya tentang kehamilannya ini. °°° Sesampainya di rumah, Galih langsung bergegas memberikan instruksi kepada asisten rumah tangganya. “Bi Ani, tolong bersihkan kamar tamu di lantai bawah sekarang juga ya. Hari ini kami akan pindah ke kamar itu. Saya gak mau istri saya naik turun tangga. Pastikan kamarnya nyaman, dan siapkan segala kebutuhan di kamar itu juga!” Titah Galih tegas, membuat Bi Ani segera bergera