Setelah setuju untuk kembali menikah, Damar mengira jika dirinya akan selesai untuk didesak. Nyatanya, tidak.
Seperti pagi ini, Damar hendak pergi ke kantor sebelum dirinya pergi ke kampus. Tapi ibunya sudah kembali melayangkan sebuah pertanyaan.
“Kamu beneran mau menikah, kan?” tanya sang ibu, yang kini sedang menatap Damar.
Damar sampai harus menghela napas pelan. Tangannya terulur mengusap belakang kepala putrinya, yang tengah asyik menikmati roti selai cokelat miliknya.
Ia berganti menatap ibunya, yang kini menatapnya penuh harap. “Kan aku sudah bilang kemarin, Bu? Pokoknya Ibu nggak perlu khawatir lagi,” ujarnya.
“Tapi Ibu masih penasaran, dengan siapa kamu mau menikah?” tanya Bu Mustika. “Maksud Ibu, kamu nggak kelihatan sedang dekat dengan perempuan manapun. Dan satu-satunya perempuan yang dekat dengan keluarga kita, cuma Mega.”
“Dengan siapa aku akan menikah, Ibu nggak perlu khawatir. Yang jelas, aku bakal menikah sesuai dengan kemauan Ibu,” kata Damar.
“Tapi—”
“Kecuali dengan Mega!” Damar menatap ibunya lurus. “Aku akan menikah, kecuali dengan dia!”
“Sudah to, Bu. Biarkan itu jadi urusan Damar,” sang Bapak yang sejak tadi diam, kini ikut bersuara. “Dia ini sudah dewasa, pasti sudah tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Mau dengan siapa dia menikah nanti, yang terpenting perempuan itu sayang dengan Damar dan juga anaknya.”
Sang ibu yang hendak kembali bersuara, mendadak urung. Apalagi saat melihat tatapan Damar, yang seolah tidak menerima bantahan lagi.
Damar merapikan kemejanya, lalu memeriksa kembali tasnya. Pria itu kemudian melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Aku pergi ke kantor dulu, Pak, Bu. Hari ini ada rapat internal, dan aku juga harus ke kampus,” ucap Damar.
Damar meraih tangan ayah dan ibunya, kemudian diciumnya punggung tangan kedua orang tuanya. Kemudian ia beralih kepada gadis kecil, yang sejak tadi tidak menghiraukan pembicaraan para orang tua.
“Papa berangkat dulu, ya? Kalau ada apa-apa telepon Papa. Oke?” Damar tersenyum lembut pada gadis cilik itu.
“Iya Papa,” jawab gadis kecil itu, yang nampaknya sudah lebih baik kondisinya, dibanding kemarin.
Setelah berpamitan, Damar segera bergegas menuju ke kantor. Karena asistennya sudah menunggu di luar pintu, untuk menjemputnya.
“Pagi Pak,” sapa sang asisten.
“Langsung ke kantor saja. Nanti jam 11, aku harus ke kampus. Kamu handle sisa pekerjaanku, dan aku tunggu laporannya nanti malam!” ujar Damar sambil terus melangkah, yang diikuti oleh sang asisten di belakangnya.
“Baik Pak,” asisten Damar mengangguk patuh.
***
Damar merasa hari ini benar-benar sangat lelah. Selesai dengan urusan kantor, pria itu kini harus berpindah tempat lagi menuju ke kampus.
Sejujurnya, menjadi dosen adalah cita-citanya sejak kecil. Tapi, statusnya sebagai pewaris tunggal di keluarganya, membuat Damar terpaksa harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh sang ayah.
Mau bagaimana pun, perusahaan yang telah dirintis sang ayah dari dulu, harus ia jalankan dan kembangkan. Meski mengeluh, Damar tetap profesional terhadap pekerjaannya.
“Kami sudah tiba di kampus Pak,” ucap Ramdan.
Suara Ramdan sang supir, membuyarkan lamunan Damar. Sebelum turun, ia memberi pesan kepada supirnya.
“Kamu balik lagi ke kantor, atau standby di rumah. Siapa tahu Ibu butuh driver untuk mengantarnya ke suatu tempat. Mobil tinggal di sini,” kata Damar.
“Baik Pak,” Ramdan mengangguk patuh.
Damar memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepada sang supir, lalu setelahnya ia turun dari mobil dan menerima kunci mobil dari supirnya itu.
Pria tampan itu berderap pelan, kadang membalas sapaan mahasiswa atau rekan sejawatnya. Dan tiba di ruangan di mana ia akan mengajar, Damar menghela napas pelan. Ingatannya kembali pada pembicaraannya dengan sang ibu pagi tadi.
Sejujurnya Damar sendiri belum menemukan, siapa perempuan yang akan ia nikahi. Karena ia benar-benar tidak berniat melakukan hal itu. Tapi mengingat bagaimana putrinya kemarin, perasaan bersalah membuatnya mencoba untuk memantapkan hati untuk mencari calon istri.
Sesampainya di ruang kelas dan membuka pintu, Damar mengedarkan pandangan. Mahasiswanya terlihat langsung mengambil sikap duduk yang baik, saat kedatangan dirinya.
Hal itu sudah lumrah, bagi seorang Damar.
“Pagi semuanya!” Damar menyapa para mahasiswa di kelasnya.
“Pagi Pakkkkk!!!” balas mahasiswa dengan kompak.
“Ehem,” Damar berdehem pelan. Pria itu memakai kacamata minusnya, kemudian mulai mengambil sebuah map dari dalam tasnya. “Pagi ini saya akan mengumumkan hasil evaluasi kalian minggu kemarin,” ujarnya.
Semua mata tertuju pada sosok dosen tampan, yang kini tengah duduk tegap di mejanya. Berbagai ekspresi dari masing-masing mereka, menunjukkan jika mereka turut penasaran dengan nilai mereka.
“Yang akan saya bagikan, hanya yang mendapat nilai di bawah D. Selain itu akan saya bagikan hasilnya melalui e-mail,” Damar berkata sambil menatap mahasiswanya, yang juga tengah memperhatikan dirinya dari tempat duduk mereka.
Suasana mendadak tegang, terlebih mereka sibuk menerka, siapa kiranya yang akan dipanggil oleh si dosen tampan itu.
“Restu Adrian Dwi Wijaya!” Damar memanggil nama salah satu mahasiswanya. Ia menatap lurus pemuda yang secara pribadi, masih memiliki hubungan darah dengannya.
“Kamu tidak capek, mengulang mata kuliah saya terus?” tanya Damar—sarkas.
“Ya, capek lah Mas—ehem—Bapak, maksudnya,” pemuda itu mengoreksi panggilannya untuk sang dosen. Apalagi saat melihat tatapan kakak sepupu sekaligus dosennya itu sangat tidak bersahabat.
Damar menggeleng pelan. “Kembali ke tempat dudukmu. Belajar lebih giat lagi, karena saya tidak ingin melihat kamu mengulang mata kuliah saya di semester depan.”
“Baik Pak,” ujar Adrian. Pemuda itu beranjak dari duduknya dan menundukkan kepalanya, sebelum ia kembali ke tempat duduknya.
Lagi, Damar melihat lembar berikutnya. Ia kembali menghela napas. Masalahnya, nama yang akan ia panggil juga salah satu ‘langganan’ mengulang kelasnya di setiap semester.
Tapi Damar harus tetap profesional, semua ini memang harus ia lakukan. Meski sudah sedikit—bosan, melihat mahasiswinya itu.
“Diah Ayu Kinanti!” panggil Damar.
“Saya Pak?” tanya seorang gadis, dari tempat duduknya.
“Memangnya yang memiliki nama itu siapa lagi, selain kamu?” tanya Damar. Nada bicaranya memang tidak meninggi, cenderung datar tapi terkesan dingin. Namun mampu membuat mahasiswa lainnya bergidik ngeri.
Bukannya takut, gadis itu justru tersenyum. Seolah ia tidak merasa malu atau khawatir sama sekali.
“Kamu memang tidak pernah bosan ya, mengulang mata kuliah saya terus?” Damar bertanya pelan. Inginnya marah-marah, tapi ia sedang tidak memiliki energi lebih untuk melakukan itu.
Damar menatap lurus, gadis yang duduk di depan mejanya itu. Ia saja sudah sangat lelah menghadapinya. Bagaimana bisa, gadis itu bersikap tenang-tenang saja?
“Enggak sih, Pak. Soalnya saya memang sengaja, biar ketemu sama Bapak terus,” jawab Kinanti santai, sambil mengulas sebuah senyuman.
Sorakan para mahasiswa yang menanggapi gombalan Kinanti, menggema di dalam ruangan kelas yang menjadi riuh.
Kali ini Damar benar-benar kehabisan kata-kata.
***
“Kangen nggak sama Tante?” Kinanti tersenyum lembut, kepada gadis kecil yang sejak tadi memeluk lehernya. “Kangen!” sahut gadis cilik itu. Matanya berbinar, saat menatap Kinanti. “Tante jarang banget main ke sini. Kan, Ola jadi kangen?” Kinanti tertawa kecil, saat melihat wajah Ola yang sedikit memberengut. Ditambah lagi, bibir gadis kecil itu yang sedikit mengerucut dengan pipi yang menggembung. Sangat menggemaskan! Dan Kinanti tidak tahan, untuk tidak mencium pipi Ola. “Aduh, anak Tante gemesin banget, sih?” kata perempuan itu. “Maaf, ya? akhir-akhir ini Tante memang lagi sibuk banget di kampus. Kuliah Tante lagi banyak tugas.”Ola menghela napas pelan. “Tapi hari ini kita beneran main kan, Tante?” tanyanya. “Iya, dong,” Kinanti mencubit pelan. “Pokoknya, hari ini kita main sampai puas. Oke?”Ola mengangguk senang, kemudian tatapannya beralih kepada sang ayah yang ikut tersenyum. “Papa ikut nggak?” tanya gadis kecil itu. Damar tersenyum tipis. “Nanti Papa nyusul aja, ya? soa
“Kinan, Sayang? kok malah ngelamun?”Kinanti mengerjap cepat, kemudian menggeleng pelan dan tersenyum kecil pada Damar. Ia baru tersadar, jika sejak tadi tengah melamun. Sampai akhirnya mendengar suara Damar. “Eh? enggak, aku nggak melamun kok, Mas,” elaknya. “Tadi cuma kepikiran tugas kuliah aja.”Damar menghela napas pelan. “Pelan-pelan saja, nggak perlu terlalu diforsir. Kalau butuh bantuan, bilang sama aku. Hm?”Kinanti mengangguk cepat, karena tak ingin membuat pria tampan itu semakin khawatir kepadanya. Sementara Damar, diam-diam menghubungi asistennya. [Tolong suruh Eric, mengawasi Rangga. Dia tampak mencurigakan][Siap, Pak]Pria tampan itu menghela napas pelan. Ia menatap Kinanti yang kini tengah mencuci piring, bekas makan mereka.Ia berderap pelan, kemudian memeluk perempuannya dari belakang. “Kenapa kamu cuci piringnya, hm?”Kinanti meringis, karena suara Damar terasa seperti menggelitiki tengkuknya. “Mas, geli, ih!”Bukannya berhenti, Dama malah semakin menggelitiki
Ditanya begitu, membuat Kinanti kembali teringat beberapa waktu lalu, di saat pertama kali Rangga mendekati dirinya. *flashback on*Awalnya Kinanti tidak begitu tertarik dengan pemuda itu. Karena gosip tentang Rangga yang terkenal playboy, sudah menyebar ke seluruh penjuru kampus. Tapi rupanya pemuda tampan itu memiliki sifat yang pantang menyerah. Ia begitu gigih mendekati Kinanti. Hingga suatu waktu, Kinanti tak sengaja diganggu oleh beberapa preman, saat dirinya baru saja pulang kerja kelompok. Kinanti tidak takut, jika hanya melawan satu orang saja. Tapi ini ada empat, dan mereka semua terlihat sedang mabuk. “Nggak usah macam-macam!” seru Kinanti. Ia menutupi dirinya, menggunakan kedua lengannya. Keempat pria itu terkekeh, matanya memindai Kinanti dari atas hingga ke bawah. “Nggak usah takut, Cantik. Kami nggak bakal macam-macam, justru kami ingin buat kamu bahagia,” kata salah seorang dari preman itu. Jantung Kinanti berdebar, keringat dingin mulai menjalar di sekujur tub
Rangga benar-benar merasa terhina, atas apa yang baru saja Anggita katakan. Pemuda tampan itu mengetatkan rahangnya. Kemudian ia menatap punggung Anggita yang belum terlalu jauh. “Lo lihat aja nanti, gue bakal bikin teman lo itu, bertekuk lutut di hadapan gue!” Rangga berseru, penuh dengan semangat. Kepercayaan dirinya semakin meningkat. Ia yakin, akan bisa mendapatkan Kinanti kembali. Memangnya ada perempuan yang sanggup menolaknya? Persetan dengan Damar, ia tidak takut dengannya. Secara fisik dan materi, memang dosen itu jauh lebih unggul. Tapi soal usia dan status? Jelas Rangga yang lebih unggul. Rangga masih muda, perjaka, dan juga tampan.Sedangkan Damar? Selisih usia dengan Kinanti saja, 10 tahun lebih. Belum lagi status pria itu, duda satu anak. Ia yakin sekali, orang tua Kinanti tidak akan setuju dengan hubungan mereka. Senyum di wajah tampan Rangga, kembali terbit. “Lihat aja, gue atau dosen duda itu yang bisa dapatkan Kinanti?”***“Mas kok nggak pernah bilang, kal
Kening Kinanti berkerut, menatap laki-laki yang masih duduk di atas motornya, dengan tatapan tak senang. Dan perempuan itu kembali melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia menghela napas panjang. Apalagi saat melihat pemuda yang tadi duduk di atas motor, kini turun dari motornya dan berderap mendekatinya. “Mau ngapain sih, lo?!” gadis itu bertanya dengan galak. Laki-laki yang tak lain adalah Rangga, terkekeh pelan. “Lo nih, lucunya nggak ilang-ilang ya, Ki?” katanya. Kinanti menjauhkan tubuhnya, saat melihat akan ada pergerakan dari tangan Rangga, yang mencoba untuk mendekatinya. Perempuan itu menatap lurus ke depan, seolah mantannya ini adalah makhluk tak kasat mata. Dalam hati Rangga, merasa mantannya ini pasti sengaja untuk membuatnya merasa kesal. Padahal yang terjadi, adalah ia merasa semakin gemas. “Lo nungguin siapa, deh?” tanya Rangga. “Ojol, ya? Udah cancel aja, bareng sama gue,” katanya. Kinanti melirik mantannya dari atas sampai ke bawah. “Gue?
“Lo nggak ada niatan buat pisahin mereka, kan?”Rangga tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Ya, tergantung,” katanya pelan. Temannya itu mengerutkan keningnya. “Tergantung gimana, maksud lo?” tanyanya.“Ya, kalau mereka nggak putus-putus, terpaksa gue yang bikin mereka putus.”“Gila ya, lo!” seru teman Rangga. “Saingan lo Pak Damar, dosen yang paling populer di kampus ini. Yakin lo?”Rangga hanya mengedikkan bahunya, tapi senyuman tak luntur dari wajahnya.Jika dulu ia bisa dengan mudah menaklukan Kinanti, makas sekarang pun seharusnya begitu.Lagipula, Kinanti paling hanya ingin memanasi dirinya saja—menurut Rangga.Dan Rangga jelas tidak peduli, jika harus bersaing dengan Damar. Dosen idola di kampusnya.Yang terpenting, Kinanti harus kembali luluh kepadanya—bagaimanapun caranya.***Kinanti baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya hari ini, dan sesuai perjanjian, seharusnya Damar akan menjemputnya.“Pulang sama siapa, Ki?” tanya Adrian, yang duduk di sebelah bangku Kinanti.“Mas