Home / Romansa / Dikontrak Cinta Dosen Duda / 4. Chapter 4 : Ide Gila Damar

Share

4. Chapter 4 : Ide Gila Damar

Author: Raynasha
last update Last Updated: 2025-02-25 20:36:24

Jika ada orang yang ingin berteriak seperti manusia dengan gangguan mental, maka itu adalah Damar.

Damar menghela napas pelan, menatap gadis cantik yang duduk di depan mejanya. “Kembali ke tempat dudukmu!” ujarnya tegas, sembari menyerahkan lembar evaluasi milik gadis itu.

“Terimakasih Pak!” kata gadis itu, yang sama sekali tidak ada takut-takutnya dengan sang dosen.

Dari tempat duduknya, Damar menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan mahasiswanya.

Sementara Kinanti, mendapat tatapan dari beberapa teman sekelasnya. Tapi gadis itu benar-benar tidak peduli.

Sambil menyimpan lembar evaluasinya ke dalam tas, Kinanti tetap bersikap tenang seperti biasa.

“Buset, berani banget lo ngomong begitu ke Mas Damar!” bisik Adrian, yang duduk di samping Kinanti.

Kinanti tersenyum tipis, ia melirik Damar yang tengah memanggil mahasiswa yang kasusnya sama seperti dirinya.

Kinanti mengangkat bahu. “Biar nggak kaku banget, Yan. Lagian Kakak sepupu lo itu, apa nggak cepat tua, marah-marah terus begitu?”

Dari ekor matanya Damar dapat melihat Kinanti dan Adrian yang asik berbisik. Kemudian ia menatap mahasiswa yang sedang duduk di depan mejanya.

“Saya harap, di semester depan kamu tidak mengulang mata kuliah saya!” Damar berkata sambil melirik ke arah bangku Kinanti dan Adrian yang bersisian. “Bukan malah bangga, karena terus mengulang mata kuliah yang sama!”

Kinanti dan Adrian kompak mengatupkan bibirnya. Mereka sangat sadar, sedang disindir oleh sang dosen.

Sementara Damar menggeleng pelan, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya.

***

Seminggu berlalu, dan kini Damar tengah menemani putrinya bermain di ruang keluarga. Di sana juga ada sang ibu juga ayahnya, yang sedang bersantai menikmati acara TV.

“Damar, Ibu mau ngomong penting sama kamu” ujar Bu Mustika serius.

Damar menatap ibunya, kemudian ia beralih menatap suster yang biasa menemani putrinya. Pria itu memberi kode, agar perempuan itu mengajak putrinya bermain ke ruang bermain.

“Ola, Sayang. Mainnya sama Sus Rina dulu, ya?” pinta Damar lembut. “Papa mau bicara sama Eyang dulu. Hm?”

Gadis kecil itu seolah paham dengan maksud sang ayah, ia pun mengangguk. “Iya Papa,” jawabnya. Kemudian mengemasi mainannya yang dibantu oleh susternya.

Damar tersenyum, kemudian mengecup kening sang putri. “Good girl. Nanti Papa nyusul, oke?” putrinya hanya mengangguk.

Sepeninggal sang putri, Damar kembali menatap ibunya. Wanita yang telah melahirkannya tiga puluh empat tahun silam itu, terlihat begitu serius menatapnya.

“Jadi, Ibu mau ngomong apa?” tanya Damar pelan. 

Bu Mustika menatap putra satu-satunya itu dengan serius. “Kamu bilang, mau menikah kan?” tanyanya.

Meski sempat merasa bingung, Damar tetap mengangguk sebagai jawaban.

“Lalu, mana calon istri kamu?” tanya Bu Mustika lagi. “Sudah seminggu, dan kamu nggak ada tanda-tanda mengenalkan calon istri kamu sama Ibu. Kamu serius nggak sih, Damar?!” Bu Mustika menekan nada bicaranya.

“Ah, itu …” Damar sibuk memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang ibu. “Nanti akan aku kenalkan sama Ibu dan Bapak,” ujarnya—nadanya terdengar tidak begitu meyakinkan.

“Kamu serius?!” Bu Mustika memicingkan matanya. 

“Sangat serius,” Damar mengangguk mantap.

Lalu Bu Mustika menghela napas pelan. Wanita itu mengambil bantal sofa yang ada di dekatnya, dijadikannya bantal itu untuk menopang kedua lengannya.

“Ya sudah kalau begitu. Ibu harap kamu benar-benar serius kali ini. Karena kalau tidak …” Bu Mustika menjeda kalimatnya sejenak. “... Ibu terpaksa akan melamar Mega untuk kamu,” sambungnya, yang membuat Damar terkejut.

“Mana bisa begitu, Bu?!” protes Damar.

Bu Mustika hanya mengangkat bahunya. Ia kembali menikmati acara TV, tanpa menghiraukan Damar yang sedang melayangkan protes karena keputusannya.

Biar saja, kalau tidak begitu putranya mungkin hanya akan kembali memberinya harapan palsu.

***

“Kenapa membuat laporan seperti ini saja tidak bisa?” tanya Damar pada salah satu manajer keuangan di perusahaannya.

“M-maaf Pak, nanti akan saya perbaiki,” kata pria paruh baya itu dengan gugup.

Damar membuang napas kasar. “Ya sudah, saya ingin laporannya segera.”

“Baik Pak,” kata manajer itu lagi. “Apa masih ada lagi, Pak?” tanyanya takut-takut.

“Tidak ada,” jawab Damar datar. Ia menggestur sang manager untuk meninggalkan ruangannya.

Sepeninggal manajer keuangan itu, Damar memutar kursi kebesarannya. Ia menatap kaca besar yang menampilkan pemandangan kota.

Helaan napasnya terasa berat, apalagi jika mengingat pembicaraannya dengan sang ibu malam tadi.

“Yang benar saja, aku harus menikahi dia?” gumam Damar. Tatapannya memang fokus pada satu titik, tapi pikirannya berkelana.

Damar masih tidak habis pikir dengan sang ibu, yang akan menjodohkannya dengan adik dari mendiang sang istri. Dan sepertinya memang kali ini ibunya itu sangat serius.

Kepalanya mendadak berdenyut memikirkan hal itu. Dari mana ia menemukan perempuan, untuk dikenalkan pada ibunya dalam waktu kurang dari satu minggu?

Rasanya beban di pundak Damar semakin berat saja. Kalau tahu akan begini kejadiannya, lebih baik ia tidak mengiyakan permintaan ibunya untuk menikah waktu itu.

Sedang memikirkan itu semua, Damar dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Dan tak lama setelah itu, suara pintu terbuka juga langkah kaki yang berderap pelan.

“Ada apa Aidan?” tanya Damar pada sang asisten. Pria itu tahu, jika yang baru saja masuk ke dalam ruangannya adalah Aidan—sang asisten.

“Maaf Pak, baru saja saya dapat kabar jika dari perusahaan Abimanyu, sedang dalam perjalanan menuju lokasi meeting hari ini,” tutur Aidan pelan.

Damar menghela napas pelan, ia sendiri bahkan lupa jika akan ada meeting di luar kantor. Untung saja sang asisten mengingatkannya.

Meski sedang tidak ingin mengerjakan apapun, tapi Damar harus tetap profesional. Beruntungnya hari ini ia tidak ada kegiatan mengajar di kampus.

“Kabari mereka, kita akan tiba dalam 10 menit!” ucap Damar, sambil beranjak dari posisinya.

Aidan mengangguk patuh. “Baik Pak.”

***

Sementara itu di salah satu sudut kafe, di sana sudah ada tiga orang yang terdiri dari dua orang gadis dan satu orang pemuda.

Mereka semua adalah mahasiswa dari kampus yang letaknya tidak jauh dari kafe tempat mereka berada.

“Kinan, lo tahu nggak sih, kalau si Rangga udah punya pacar baru?” tanya Anggita—teman Kinanti. Gadis itu menunjukkan ponselnya, yang tengah membuka laman sosial media miliknya.

Sedangkan Kinanti menatap malas layar ponsel Kinanti. “Tahu kok, dan mereka jadian selang satu minggu setelah kita putus. Gila kan?”

“Lo sih, dibilangin sama gue nggak percayaan banget!” celetuk Adrian, sebagai satu-satunya laki-laki yang ikut bergabung di sana.

Kinanti merotasi bola matanya malas, selalu saja hal itu yang diungkit oleh temannya itu.

“Si Rangga itu emang playboy, Ki. Ceweknya ada di mana-mana!” kata Adrian lagi. “Gue pikir malah dia udah tobat pas bareng lo, nggak taunya sama aja!” pemuda itu mengangkat bahu. Ia kembali mencomot keripik kentang yang ada di atas meja.

“Diem aja deh, Yan! gue ini lagi kesal tahu nggak?! bisa-bisanya dia mutusin gue cuma buat pacaran sama si Marissa!” Kinanti mendengus kesal. Ia benar-benar tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Rangga.

Memangnya siapa dia?

Kinanti tidak terima, tapi bukan berarti ia cemburu. Sama sekali tidak cemburu. Hanya saja ia merasa harga dirinya sedikit terluka.

“Terus lo mau gimana?” tanya Anggita. “Gue lihat tuh, dia sering banget lewat depan kelas kita bareng sama pacar barunya. Sengaja mau manasin lo, Ki!”

“Cih, gue juga bisa begitu!” ujar Kinanti. “Tapi masalahnya, gimana caranya gue dapat pacar dalam waktu dekat?” Kinanti menghela napas pelan, seiring dengan bahunya yang juga merosot ke bawah.

“Gue ada ide!” celetuk Adrian, yang membuat kedua temannya itu langsung memusatkan atensi padanya.

“Ide apaan?” tanya Kinanti.

Adrian tersenyum miring. “Gimana kalau lo pakai jasa sewa pacar? cuma buat balik manas-manasin Rangga aja. Jadi lo cukup cari cowok buat jadi pacar pura-pura.”

Kinanti terdiam, ia mencoba memikirkan ide dari Adrian. Tapi dari mana ia akan mendapatkan orang yang mau disewa olehnya?

Sementara itu, di salah kursi yang letaknya tak jauh dari keberadaan gadis itu dan kedua temannya, seorang pria tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.

Damar terdiam di tempatnya, sebelum akhirnya pria itu tersenyum samar karena sebuah ide gila dalam benaknya.

“Interesting!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   82. Chapter 82

    “Besok kamu kelas pagi?” tanya Damar, saat dalam perjalanan mengantar Kinanti pulang ke kosnya.“Jam 8 sih, Mas,” jawab perempuan cantik itu. “Mas besok ada jadwal di kampus juga?” tanyanya.“Ada, tapi cuma sebentar. Paling cuma sampai jam 10,” pria itu menjawab pelan. Fokusnya masih pada kemudi, meski sesekali ia melirik sang kekasih yang duduk di sampingnya. “Kamu nanti kabari saja selesai jam berapa, biar Aidan yang jemput kamu,” lanjutnya lagi.Kinanti yang tengah bermain ponsel, mengalihkan pandangannya sejenak. “Mas … nggak bisa jemput, ya?” tanyanya.“Iya,” Damar mengangguk kecil. “Aku harus cek berkas, dan juga ada lunch bareng klien siangnya.”Kinanti mengangguk-angguk paham. Ia tidak masalah dengan hal itu, dan mengerti akan kesibukan sang kekasih.Karena hanya diam, Damar melirik Kinanti. Ia khawatir, perempuan itu akan marah dengannya karena berhalangan untuk menjemput.“Ini … kamu nggak apa-apa kan, Sayang? bukan lagi ngambek?” tanya pria itu.“Hah?” kening Kinanti berker

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   81. Chapter 81

    Rangga ikut bangkit, saat wanita di depannya juga bangkit. Dengan gerakan seolah tanpa disengaja, ia sedikit menabrak wanita itu, hingga minumannya tumpah dan mengenai tas wanita itu. “Oh, maaf,” kata Rangga pelan. “Saya tidak sengaja. Saya bantu bersihkan?” tawarnya. Wanita itu mendongak menatap Rangga, yang kini tengah tersenyum manis padanya. Namun di balik itu semua, ia justru penasaran dengan tatapan Rangga, yang sepertinya menyimpan sesuatu. Maka wanita itu pun mengangguk kecil, menerima ajakan Rangga. Mereka keluar dari tempat itu, tentu saja dengan gerakan yang tidak sampai mencuri perhatian siapapun—terutama Damar dan Kinanti. Begitu merasa berada di tempat yang aman, barulah Mega melontarkan pertanyaan. “Kenapa kamu bawa saya ke sini? kita nggak saling kenal, kan?” tanyanya. Alih-alih langsung menjawab, Rangga justru tersenyum kecil. Ia kembali melihat sekitar, memastikan sekali lagi, jika mereka betul-betul sudah aman. “Kita memang nggak saling kenal,tapi saya yakin

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   80. Chapter 80

    “Udah lah, ikhlasin aja itu si Kinanti.”Kalimat itu berasal dari salah seorang sahabat Rangga. Tentu saja, membuat pemuda itu langsung menoleh, dan memberikan tatapan tajamnya. “Ikhlasin?” ulang Rangga. “Enak aja, gue susah payah dapatkan dia. Masa ujungnya dia sama orang tua itu?”Kedua sahabat Rangga saling melempar pandangan. Mereka merasa, jika Rangga ini sepertinya sudah gila. Masalahnya, penyebab putusnya hubungan Rangga dan Kinanti, ya karena ulah pemuda itu sendiri. Dan sekarang, tiba-tiba merasa tak senang, Kinanti berhubungan dengan laki-laki lain. Aneh betul memang si Rangga ini. “Ya, lo juga bego, anjir!” salah satu teman Rangga yang lain, ikut menyahut. “Udah tahu susah dapatinnya, malah selingkuh. Kan, goblok!”Rangga berdecak kesal. Apalagi jika diingatkan kembali, tentang alasan hubungannya dengan Kinanti berakhir.Ya, memang betul salah dirinya, tapi bisakah untuk tidak mengingatkannya? Rangga paham betul, jika dirinya salah. Tapi tetap saja ia tidak mau mengak

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   79. Chapter 79

    Rangga tersenyum miring, menatap pria yang ada di hadapannya. Meski begitu, dalam hatinya mengumpati pria itu—Damar.Bisa-bisanya, pria yang dari segi usia saja, jauh di atasnya. Apalagi dari segi status. Jelas Rangga lebih unggul. Rangga lebih muda, dan mungkin hanya satu tahun di atas Kinanti. Secara status jelas, ia adalah seorang pria lajang—lebih tepatnya bujangan. Sedangkan Damar? pria itu dilihat dari perbedaan usia saja, jauh di atas Kinanti. Dan lagi, pria itu berstatus duda dengan satu anak. Artinya, sangat tidak cocok dengan Kinanti, yang masih gadis. Meski dari segi finansial, Damar jelas jauh lebih unggul dibanding Rangga. Tapi tetap saja, itu semua tidak bisa menjadi landasan untuk keduanya menjalin hubungan asmara. Apalagi mengingat Damar yang juga berprofesi sebagai dosen, di kampus yang sama dengannya. Rasanya sangat tidak etis, jika ada hubungan asmara antara mahasiswi dan dosennya. Dan Rangga sangat yakin, jika ada sesuatu yang mendasari hubungan mereka. Kare

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   78. Chapter 78

    “Kangen nggak sama Tante?” Kinanti tersenyum lembut, kepada gadis kecil yang sejak tadi memeluk lehernya. “Kangen!” sahut gadis cilik itu. Matanya berbinar, saat menatap Kinanti. “Tante jarang banget main ke sini. Kan, Ola jadi kangen?” Kinanti tertawa kecil, saat melihat wajah Ola yang sedikit memberengut. Ditambah lagi, bibir gadis kecil itu yang sedikit mengerucut dengan pipi yang menggembung. Sangat menggemaskan! Dan Kinanti tidak tahan, untuk tidak mencium pipi Ola. “Aduh, anak Tante gemesin banget, sih?” kata perempuan itu. “Maaf, ya? akhir-akhir ini Tante memang lagi sibuk banget di kampus. Kuliah Tante lagi banyak tugas.”Ola menghela napas pelan. “Tapi hari ini kita beneran main kan, Tante?” tanyanya. “Iya, dong,” Kinanti mencubit pelan. “Pokoknya, hari ini kita main sampai puas. Oke?”Ola mengangguk senang, kemudian tatapannya beralih kepada sang ayah yang ikut tersenyum. “Papa ikut nggak?” tanya gadis kecil itu. Damar tersenyum tipis. “Nanti Papa nyusul aja, ya? soa

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   77. Chapter 77

    “Kinan, Sayang? kok malah ngelamun?”Kinanti mengerjap cepat, kemudian menggeleng pelan dan tersenyum kecil pada Damar. Ia baru tersadar, jika sejak tadi tengah melamun. Sampai akhirnya mendengar suara Damar. “Eh? enggak, aku nggak melamun kok, Mas,” elaknya. “Tadi cuma kepikiran tugas kuliah aja.”Damar menghela napas pelan. “Pelan-pelan saja, nggak perlu terlalu diforsir. Kalau butuh bantuan, bilang sama aku. Hm?”Kinanti mengangguk cepat, karena tak ingin membuat pria tampan itu semakin khawatir kepadanya. Sementara Damar, diam-diam menghubungi asistennya. [Tolong suruh Eric, mengawasi Rangga. Dia tampak mencurigakan][Siap, Pak]Pria tampan itu menghela napas pelan. Ia menatap Kinanti yang kini tengah mencuci piring, bekas makan mereka.Ia berderap pelan, kemudian memeluk perempuannya dari belakang. “Kenapa kamu cuci piringnya, hm?”Kinanti meringis, karena suara Damar terasa seperti menggelitiki tengkuknya. “Mas, geli, ih!”Bukannya berhenti, Dama malah semakin menggelitiki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status