Jika ada orang yang ingin berteriak seperti manusia dengan gangguan mental, maka itu adalah Damar.
Damar menghela napas pelan, menatap gadis cantik yang duduk di depan mejanya. “Kembali ke tempat dudukmu!” ujarnya tegas, sembari menyerahkan lembar evaluasi milik gadis itu.
“Terimakasih Pak!” kata gadis itu, yang sama sekali tidak ada takut-takutnya dengan sang dosen.
Dari tempat duduknya, Damar menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan mahasiswanya.
Sementara Kinanti, mendapat tatapan dari beberapa teman sekelasnya. Tapi gadis itu benar-benar tidak peduli.
Sambil menyimpan lembar evaluasinya ke dalam tas, Kinanti tetap bersikap tenang seperti biasa.
“Buset, berani banget lo ngomong begitu ke Mas Damar!” bisik Adrian, yang duduk di samping Kinanti.
Kinanti tersenyum tipis, ia melirik Damar yang tengah memanggil mahasiswa yang kasusnya sama seperti dirinya.
Kinanti mengangkat bahu. “Biar nggak kaku banget, Yan. Lagian Kakak sepupu lo itu, apa nggak cepat tua, marah-marah terus begitu?”
Dari ekor matanya Damar dapat melihat Kinanti dan Adrian yang asik berbisik. Kemudian ia menatap mahasiswa yang sedang duduk di depan mejanya.
“Saya harap, di semester depan kamu tidak mengulang mata kuliah saya!” Damar berkata sambil melirik ke arah bangku Kinanti dan Adrian yang bersisian. “Bukan malah bangga, karena terus mengulang mata kuliah yang sama!”
Kinanti dan Adrian kompak mengatupkan bibirnya. Mereka sangat sadar, sedang disindir oleh sang dosen.
Sementara Damar menggeleng pelan, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
***
Seminggu berlalu, dan kini Damar tengah menemani putrinya bermain di ruang keluarga. Di sana juga ada sang ibu juga ayahnya, yang sedang bersantai menikmati acara TV.
“Damar, Ibu mau ngomong penting sama kamu” ujar Bu Mustika serius.
Damar menatap ibunya, kemudian ia beralih menatap suster yang biasa menemani putrinya. Pria itu memberi kode, agar perempuan itu mengajak putrinya bermain ke ruang bermain.
“Ola, Sayang. Mainnya sama Sus Rina dulu, ya?” pinta Damar lembut. “Papa mau bicara sama Eyang dulu. Hm?”
Gadis kecil itu seolah paham dengan maksud sang ayah, ia pun mengangguk. “Iya Papa,” jawabnya. Kemudian mengemasi mainannya yang dibantu oleh susternya.
Damar tersenyum, kemudian mengecup kening sang putri. “Good girl. Nanti Papa nyusul, oke?” putrinya hanya mengangguk.
Sepeninggal sang putri, Damar kembali menatap ibunya. Wanita yang telah melahirkannya tiga puluh empat tahun silam itu, terlihat begitu serius menatapnya.
“Jadi, Ibu mau ngomong apa?” tanya Damar pelan.
Bu Mustika menatap putra satu-satunya itu dengan serius. “Kamu bilang, mau menikah kan?” tanyanya.
Meski sempat merasa bingung, Damar tetap mengangguk sebagai jawaban.
“Lalu, mana calon istri kamu?” tanya Bu Mustika lagi. “Sudah seminggu, dan kamu nggak ada tanda-tanda mengenalkan calon istri kamu sama Ibu. Kamu serius nggak sih, Damar?!” Bu Mustika menekan nada bicaranya.
“Ah, itu …” Damar sibuk memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang ibu. “Nanti akan aku kenalkan sama Ibu dan Bapak,” ujarnya—nadanya terdengar tidak begitu meyakinkan.
“Kamu serius?!” Bu Mustika memicingkan matanya.
“Sangat serius,” Damar mengangguk mantap.
Lalu Bu Mustika menghela napas pelan. Wanita itu mengambil bantal sofa yang ada di dekatnya, dijadikannya bantal itu untuk menopang kedua lengannya.
“Ya sudah kalau begitu. Ibu harap kamu benar-benar serius kali ini. Karena kalau tidak …” Bu Mustika menjeda kalimatnya sejenak. “... Ibu terpaksa akan melamar Mega untuk kamu,” sambungnya, yang membuat Damar terkejut.
“Mana bisa begitu, Bu?!” protes Damar.
Bu Mustika hanya mengangkat bahunya. Ia kembali menikmati acara TV, tanpa menghiraukan Damar yang sedang melayangkan protes karena keputusannya.
Biar saja, kalau tidak begitu putranya mungkin hanya akan kembali memberinya harapan palsu.
***
“Kenapa membuat laporan seperti ini saja tidak bisa?” tanya Damar pada salah satu manajer keuangan di perusahaannya.
“M-maaf Pak, nanti akan saya perbaiki,” kata pria paruh baya itu dengan gugup.
Damar membuang napas kasar. “Ya sudah, saya ingin laporannya segera.”
“Baik Pak,” kata manajer itu lagi. “Apa masih ada lagi, Pak?” tanyanya takut-takut.
“Tidak ada,” jawab Damar datar. Ia menggestur sang manager untuk meninggalkan ruangannya.
Sepeninggal manajer keuangan itu, Damar memutar kursi kebesarannya. Ia menatap kaca besar yang menampilkan pemandangan kota.
Helaan napasnya terasa berat, apalagi jika mengingat pembicaraannya dengan sang ibu malam tadi.
“Yang benar saja, aku harus menikahi dia?” gumam Damar. Tatapannya memang fokus pada satu titik, tapi pikirannya berkelana.
Damar masih tidak habis pikir dengan sang ibu, yang akan menjodohkannya dengan adik dari mendiang sang istri. Dan sepertinya memang kali ini ibunya itu sangat serius.
Kepalanya mendadak berdenyut memikirkan hal itu. Dari mana ia menemukan perempuan, untuk dikenalkan pada ibunya dalam waktu kurang dari satu minggu?
Rasanya beban di pundak Damar semakin berat saja. Kalau tahu akan begini kejadiannya, lebih baik ia tidak mengiyakan permintaan ibunya untuk menikah waktu itu.
Sedang memikirkan itu semua, Damar dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Dan tak lama setelah itu, suara pintu terbuka juga langkah kaki yang berderap pelan.
“Ada apa Aidan?” tanya Damar pada sang asisten. Pria itu tahu, jika yang baru saja masuk ke dalam ruangannya adalah Aidan—sang asisten.
“Maaf Pak, baru saja saya dapat kabar jika dari perusahaan Abimanyu, sedang dalam perjalanan menuju lokasi meeting hari ini,” tutur Aidan pelan.
Damar menghela napas pelan, ia sendiri bahkan lupa jika akan ada meeting di luar kantor. Untung saja sang asisten mengingatkannya.
Meski sedang tidak ingin mengerjakan apapun, tapi Damar harus tetap profesional. Beruntungnya hari ini ia tidak ada kegiatan mengajar di kampus.
“Kabari mereka, kita akan tiba dalam 10 menit!” ucap Damar, sambil beranjak dari posisinya.
Aidan mengangguk patuh. “Baik Pak.”
***
Sementara itu di salah satu sudut kafe, di sana sudah ada tiga orang yang terdiri dari dua orang gadis dan satu orang pemuda.
Mereka semua adalah mahasiswa dari kampus yang letaknya tidak jauh dari kafe tempat mereka berada.
“Kinan, lo tahu nggak sih, kalau si Rangga udah punya pacar baru?” tanya Anggita—teman Kinanti. Gadis itu menunjukkan ponselnya, yang tengah membuka laman sosial media miliknya.
Sedangkan Kinanti menatap malas layar ponsel Kinanti. “Tahu kok, dan mereka jadian selang satu minggu setelah kita putus. Gila kan?”
“Lo sih, dibilangin sama gue nggak percayaan banget!” celetuk Adrian, sebagai satu-satunya laki-laki yang ikut bergabung di sana.
Kinanti merotasi bola matanya malas, selalu saja hal itu yang diungkit oleh temannya itu.
“Si Rangga itu emang playboy, Ki. Ceweknya ada di mana-mana!” kata Adrian lagi. “Gue pikir malah dia udah tobat pas bareng lo, nggak taunya sama aja!” pemuda itu mengangkat bahu. Ia kembali mencomot keripik kentang yang ada di atas meja.
“Diem aja deh, Yan! gue ini lagi kesal tahu nggak?! bisa-bisanya dia mutusin gue cuma buat pacaran sama si Marissa!” Kinanti mendengus kesal. Ia benar-benar tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Rangga.
Memangnya siapa dia?
Kinanti tidak terima, tapi bukan berarti ia cemburu. Sama sekali tidak cemburu. Hanya saja ia merasa harga dirinya sedikit terluka.
“Terus lo mau gimana?” tanya Anggita. “Gue lihat tuh, dia sering banget lewat depan kelas kita bareng sama pacar barunya. Sengaja mau manasin lo, Ki!”
“Cih, gue juga bisa begitu!” ujar Kinanti. “Tapi masalahnya, gimana caranya gue dapat pacar dalam waktu dekat?” Kinanti menghela napas pelan, seiring dengan bahunya yang juga merosot ke bawah.
“Gue ada ide!” celetuk Adrian, yang membuat kedua temannya itu langsung memusatkan atensi padanya.
“Ide apaan?” tanya Kinanti.
Adrian tersenyum miring. “Gimana kalau lo pakai jasa sewa pacar? cuma buat balik manas-manasin Rangga aja. Jadi lo cukup cari cowok buat jadi pacar pura-pura.”
Kinanti terdiam, ia mencoba memikirkan ide dari Adrian. Tapi dari mana ia akan mendapatkan orang yang mau disewa olehnya?
Sementara itu, di salah kursi yang letaknya tak jauh dari keberadaan gadis itu dan kedua temannya, seorang pria tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.
Damar terdiam di tempatnya, sebelum akhirnya pria itu tersenyum samar karena sebuah ide gila dalam benaknya.
“Interesting!”
“Kangen nggak sama Tante?” Kinanti tersenyum lembut, kepada gadis kecil yang sejak tadi memeluk lehernya. “Kangen!” sahut gadis cilik itu. Matanya berbinar, saat menatap Kinanti. “Tante jarang banget main ke sini. Kan, Ola jadi kangen?” Kinanti tertawa kecil, saat melihat wajah Ola yang sedikit memberengut. Ditambah lagi, bibir gadis kecil itu yang sedikit mengerucut dengan pipi yang menggembung. Sangat menggemaskan! Dan Kinanti tidak tahan, untuk tidak mencium pipi Ola. “Aduh, anak Tante gemesin banget, sih?” kata perempuan itu. “Maaf, ya? akhir-akhir ini Tante memang lagi sibuk banget di kampus. Kuliah Tante lagi banyak tugas.”Ola menghela napas pelan. “Tapi hari ini kita beneran main kan, Tante?” tanyanya. “Iya, dong,” Kinanti mencubit pelan. “Pokoknya, hari ini kita main sampai puas. Oke?”Ola mengangguk senang, kemudian tatapannya beralih kepada sang ayah yang ikut tersenyum. “Papa ikut nggak?” tanya gadis kecil itu. Damar tersenyum tipis. “Nanti Papa nyusul aja, ya? soa
“Kinan, Sayang? kok malah ngelamun?”Kinanti mengerjap cepat, kemudian menggeleng pelan dan tersenyum kecil pada Damar. Ia baru tersadar, jika sejak tadi tengah melamun. Sampai akhirnya mendengar suara Damar. “Eh? enggak, aku nggak melamun kok, Mas,” elaknya. “Tadi cuma kepikiran tugas kuliah aja.”Damar menghela napas pelan. “Pelan-pelan saja, nggak perlu terlalu diforsir. Kalau butuh bantuan, bilang sama aku. Hm?”Kinanti mengangguk cepat, karena tak ingin membuat pria tampan itu semakin khawatir kepadanya. Sementara Damar, diam-diam menghubungi asistennya. [Tolong suruh Eric, mengawasi Rangga. Dia tampak mencurigakan][Siap, Pak]Pria tampan itu menghela napas pelan. Ia menatap Kinanti yang kini tengah mencuci piring, bekas makan mereka.Ia berderap pelan, kemudian memeluk perempuannya dari belakang. “Kenapa kamu cuci piringnya, hm?”Kinanti meringis, karena suara Damar terasa seperti menggelitiki tengkuknya. “Mas, geli, ih!”Bukannya berhenti, Dama malah semakin menggelitiki
Ditanya begitu, membuat Kinanti kembali teringat beberapa waktu lalu, di saat pertama kali Rangga mendekati dirinya. *flashback on*Awalnya Kinanti tidak begitu tertarik dengan pemuda itu. Karena gosip tentang Rangga yang terkenal playboy, sudah menyebar ke seluruh penjuru kampus. Tapi rupanya pemuda tampan itu memiliki sifat yang pantang menyerah. Ia begitu gigih mendekati Kinanti. Hingga suatu waktu, Kinanti tak sengaja diganggu oleh beberapa preman, saat dirinya baru saja pulang kerja kelompok. Kinanti tidak takut, jika hanya melawan satu orang saja. Tapi ini ada empat, dan mereka semua terlihat sedang mabuk. “Nggak usah macam-macam!” seru Kinanti. Ia menutupi dirinya, menggunakan kedua lengannya. Keempat pria itu terkekeh, matanya memindai Kinanti dari atas hingga ke bawah. “Nggak usah takut, Cantik. Kami nggak bakal macam-macam, justru kami ingin buat kamu bahagia,” kata salah seorang dari preman itu. Jantung Kinanti berdebar, keringat dingin mulai menjalar di sekujur tub
Rangga benar-benar merasa terhina, atas apa yang baru saja Anggita katakan. Pemuda tampan itu mengetatkan rahangnya. Kemudian ia menatap punggung Anggita yang belum terlalu jauh. “Lo lihat aja nanti, gue bakal bikin teman lo itu, bertekuk lutut di hadapan gue!” Rangga berseru, penuh dengan semangat. Kepercayaan dirinya semakin meningkat. Ia yakin, akan bisa mendapatkan Kinanti kembali. Memangnya ada perempuan yang sanggup menolaknya? Persetan dengan Damar, ia tidak takut dengannya. Secara fisik dan materi, memang dosen itu jauh lebih unggul. Tapi soal usia dan status? Jelas Rangga yang lebih unggul. Rangga masih muda, perjaka, dan juga tampan.Sedangkan Damar? Selisih usia dengan Kinanti saja, 10 tahun lebih. Belum lagi status pria itu, duda satu anak. Ia yakin sekali, orang tua Kinanti tidak akan setuju dengan hubungan mereka. Senyum di wajah tampan Rangga, kembali terbit. “Lihat aja, gue atau dosen duda itu yang bisa dapatkan Kinanti?”***“Mas kok nggak pernah bilang, kal
Kening Kinanti berkerut, menatap laki-laki yang masih duduk di atas motornya, dengan tatapan tak senang. Dan perempuan itu kembali melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia menghela napas panjang. Apalagi saat melihat pemuda yang tadi duduk di atas motor, kini turun dari motornya dan berderap mendekatinya. “Mau ngapain sih, lo?!” gadis itu bertanya dengan galak. Laki-laki yang tak lain adalah Rangga, terkekeh pelan. “Lo nih, lucunya nggak ilang-ilang ya, Ki?” katanya. Kinanti menjauhkan tubuhnya, saat melihat akan ada pergerakan dari tangan Rangga, yang mencoba untuk mendekatinya. Perempuan itu menatap lurus ke depan, seolah mantannya ini adalah makhluk tak kasat mata. Dalam hati Rangga, merasa mantannya ini pasti sengaja untuk membuatnya merasa kesal. Padahal yang terjadi, adalah ia merasa semakin gemas. “Lo nungguin siapa, deh?” tanya Rangga. “Ojol, ya? Udah cancel aja, bareng sama gue,” katanya. Kinanti melirik mantannya dari atas sampai ke bawah. “Gue?
“Lo nggak ada niatan buat pisahin mereka, kan?”Rangga tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Ya, tergantung,” katanya pelan. Temannya itu mengerutkan keningnya. “Tergantung gimana, maksud lo?” tanyanya.“Ya, kalau mereka nggak putus-putus, terpaksa gue yang bikin mereka putus.”“Gila ya, lo!” seru teman Rangga. “Saingan lo Pak Damar, dosen yang paling populer di kampus ini. Yakin lo?”Rangga hanya mengedikkan bahunya, tapi senyuman tak luntur dari wajahnya.Jika dulu ia bisa dengan mudah menaklukan Kinanti, makas sekarang pun seharusnya begitu.Lagipula, Kinanti paling hanya ingin memanasi dirinya saja—menurut Rangga.Dan Rangga jelas tidak peduli, jika harus bersaing dengan Damar. Dosen idola di kampusnya.Yang terpenting, Kinanti harus kembali luluh kepadanya—bagaimanapun caranya.***Kinanti baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya hari ini, dan sesuai perjanjian, seharusnya Damar akan menjemputnya.“Pulang sama siapa, Ki?” tanya Adrian, yang duduk di sebelah bangku Kinanti.“Mas