Share

06. Sebuah Janji

Suasana pemakaman umum di Jakarta Barat terlihat tidak terlalu ramai di pagi hari, hanya ada beberapa penjaga yang tengah membersihkan area makam.

Terlihat sebuah mobil sedan mewah milik Bumi terparkir di halaman pemakaman.

Salah seorang penjaga menghampiri mobil tersebut. "Saya kira Anda tidak akan datang. Karena sudah dua minggu Anda tidak ke sini," ucapnya pada Bumi yang baru saja turun seraya memegang setangkai bunga mawar putih.

Bumi tersenyum formal. "Maaf, saya sedang berada di luar negeri," balasnya.

Si penjaga mengangguk mengerti. "Seperti biasa?"

Bumi mengangguk.

"Hati-hati. Tadi malam turun hujan. Tanahnya jadi basah."

Bumi kembali mengangguk, lalu berpamitan pada si penjaga. Dia terus membawa langkahnya pada salah satu makam yang terawat.

Bagus Hendrawan Bin Asep Sunandar.

Itu adalah nama nisan makam yang Bumi hampiri.

Bumi meletakkan setangkai bunga mawar putih di bawah nisan, lalu duduk di sekitar makam. "Halo, Bapak Bagus," sapanya.

"Bagaimana keadaan Bapak di atas sana? Semoga Bapak tidak bosan melihat saya yang selalu datang ke sini."

Bumi menatap nama yang tertera di nisan dengan tatapan penuh penyesalan.

"Saya tahu mungkin Bapak sudah bosan dengan ucapan maaf dari saya. Tapi, saya benar-benar meminta maaf pada Bapak dari hati tentang kejadian 13 tahun lalu."

"Maaf, karena saya Bapak harus meninggal di tempat. Karena saya Bapak harus meninggalkan keluarga Bapak secara paksa. Dan karena saya keluarga Bapak harus hidup dengan kesusahan."

"Apalagi putri Bapak satu-satunya yang bernama Karina Lavina harus rela bekerja di sela-sela kegiatan sekolahnya."

"Sedangkan saya, saya malah kabur ke luar negeri tanpa bertanggung jawab atas kesalahan saya sendiri, dan hidup tanpa kekurangan apa pun."

Bumi kembali mengingat peristiwa kelamnya tiga belas tahun lalu, saat dirinya tengah melakukan balap liar, dan tidak sengaja menabrak seorang pria dewasa yang tengah menyebrang.

Bingung dan takut.

Adalah dua perasaan yang dirasakan oleh Bumi kala itu. Dia tidak mau masuk penjara di usia terbilang muda, dua puluh tahun.

Maka, Bumi meminta sang kakek untuk mengirimkannya ke salah satu perusahaan yang berada di negara Swiss.

Selama di Swiss sampai sekarang pun Bumi selalu bermimpi tentang tabrakan yang dilakukan olehnya.

"Pak Bagus, saya pernah berjanji akan bertanggung jawab atas kesalahan saya pada keluarga Bapak." Bumi melanjutkan ceritanya pada makam ayahnya Karina.

"Untuk itu saya meminta izin untuk mempersunting putri Anda sebagai istri saya. Saya berjanji akan selalu melindungi dia apa pun yang terjadi."

"Pak Bagus tidak perlu khawatir tentang adanya niat lain yang saya akan lakukan, karena saya murni menikah dengan Karina hanya sebuah pertanggungjawaban atas kesalahan saya pada Bapak 13 tahun lalu. Dan saya berjanji tidak akan jatuh cinta pada Karina."

"Karena bagaimanapun seorang pengecut seperti saya tidak pantas mencintai seorang malaikat seperti Karina Lavina."

Bumi melihat jam tangan yang berada di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir dua jam dia berada di sana, dan bercerita dengan makam Pak Bagus.

Dia menghela napas panjang, lalu berdiri. "Pak Bagus, maaf saya tidak bisa berlama-lama di sini. Karena saya ada pertemuan dengan putri Bapak, untuk membicarakan tentang pernikahan kita berdua."

"Pak Bagus, saya pamit untuk pergi dari sini. Saya janji akan lebih sering untuk berkunjung ke sini."

Sebelum benar-benar pergi dari sana, Bumi membungkukkan badannya. "Saya benar-benar meminta maaf pada Anda."

Bumi pun pergi dari makam yang bernama Bagus Hendrawan menuju mobilnya.

Selama menuju mobil, Bumi teringat bagaimana usahanya untuk menemukan keberadaan keluarga Pak Bagus.

Dia membutuhkan satu tahun dalam pencariannya setelah kembali dari Swiss selama sebelas tahun dirinya hidup di sana.

BRUK!

"Maaf, maaf ... saya tidak lihat ada orang lain di si-- Bumi?"

Bumi terkejut dengan kehadiran Karina di pemakaman secara tiba-tiba.

Dia bertanya-tanya apakah Karina melihat dirinya baru saja dari makam ayahnya, atau tidak?

"Lagi ziarah, ya?" tanya Karina mengagetkan Bumi.

"Hah? Oh, iya," jawab Bumi sedikit gugup.

"Siapa?"

"Hah? Oh, keluarga. Saya habis ziarah ke makam keluarga," balas Bumi tanpa pikir panjang.

Karina sedikit bingung dengan sikat Bumi yang terlihat gugup dari biasanya. Namun, dia mengabaikannya.

"Oh, ziarah ke makam keluarga. Kirain makam keluarga kamu ada di pemakaman elit, enggak tahunya ada di sini, di pemakaman umum yang sederhana."

Bumi diam-diam merutuki jawaban asalnya.

Yang dikatakan oleh Karina pun benar, makam keluarganya tidak berada di sini, tetapi berada di pemakaman elit.

"Oh itu ... mereka yang ingin dimakamkan di sini."

Karina hanya mengangguk, memercayai ucapan Bumi. "Oh begitu."

"Kalau begitu ... saya izin untuk pergi terlebih dulu," ucap Bumi.

Karina kembali mengangguk.

Bumi pun segera meninggalkan kawasan pemakaman umum itu sebelum Karina lebih curiga padanya. Namun, baru saja dua langkah Karina memanggil dirinya.

"Bumi?"

Maka, Bumi pun mau tak mau harus berbalik. "Ya?"

Karina meremas kedua tangannya gugup. Entah mengapa dia ingin sekali membawa Bumi untuk berkunjung ke makam ayahnya.

Dia tahu bahwa ini hanya pernikahan kontrak, tetapi tidak ada salahnya meminta izin terlebih dahulu pada sang ayah.

Karina menelan ludahnya sebelum berucap, "Jika Anda tidak keberatan, bolehkah saya memperkenalkan Anda pada almarhum Ayah saya."

Bumi terdiam, tidak menyangka bahwa Karina ingin memperkenalkan dirinya pada ayah perempuan itu.

"Saya tahu bahwa pernikahan ini hanya bersifat sementara, tapi saya tetap ingin memperkenalkan calon suami saya pada almarhum Ayah saya." Karina kembali berucap karena Bumi belum memberikan jawaban.

Akhirnya Bumi mengangguk. "Baiklah."

Bumi membuat gestur agar Karina jalan terlebih dahulu.

Karina berjalan di depan, menunjukkan jalan ke arah makam ayahnya pada Bumi.

"Huh? Bunga mawar putih lagi?" ucap Karina setelah sampai di makam ayahnya.

Karina mengambil setangkai bunga mawar putih di bawah nisan ayahnya, lalu memperlihatkan pada Bumi.

"Saya gak tahu siapa yang menyimpan ini di makam Ayah. Setiap kali saya ke sini, selalu saja ada setangkai bunga mawar putih," ceritanya pada Bumi.

Bumi terdiam melihat setangkai bunga mawar putih di genggaman Karina. Tidak mungkin 'kan dirinya mengakui perbuatannya sekarang pada Karina?

"Mungkin itu dari teman Ayah kamu," kata Bumi.

Karina menggeleng. "Saya yakin ini bukan dari teman Ayah saya."

"Kenapa kamu sampai berpikiran seperti itu?"

Karina menatap Bumi. "Karena teman yang Ayah kenal sudah gak ada di dunia ini. Semua teman-teman Ayah sudah berpulang 5 tahun lalu," tukasnya yakin.

Deg!

Jantung Bumi berdetak kencang. "La-lalu?"

"Penyesalan, dan harapan pengampunan yang kuat."

"Maksudnya?"

Karina menatap bunga mawar putih di tangannya. "Saya yakin ini dari orang yang sudah menabrak Ayah saya sampai mati."

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"

"Memangnya siapa lagi yang meminta pengampunan pada orang yang sudah mati selain si penabrak pecundang itu?" tanya Karina dengan tatapan marah.

Dia bahkan tak menyadari bahwa Bumi tengah menelan ludah susah payah.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status