Bumi seketika tertegun mendengar cerita Karina tentang mengubah penawaran yang dia berikan.
Entah mengapa, dia merasa terganggu dengan cairan bening yang keluar dari mata perempuan itu.Sayangnya, Karina justru menganggap lain respon Bumi.Terlebih, sudah lima menit berlalu, dan Bumi tidak mengeluarkan satu kata pun membuat Karina berhenti berharap."Baik, jika Anda menolak permintaan saya, dengan begitu saya pun menolak tawaran--""Tidak." Bumi memotong ucapan Karina tiba-tiba. "Saya setuju dengan perubahan itu.""Berikan saya, nomor rekening kamu agar saya dapat mentransfernya segera," ucap Bumi lagi dengan tegas.Kedua sudut bibir Karina terangkat, memamerkan senyuman bahagia dan lega. "Terima kasih, terima kasih banyak, Anda mau menyetujuinya. Saya sangat senang," tukasnya.Secara refleks, dia bahkan berjalan menghampiri meja kerja Bumi, dan menggenggam erat tangan pria itu.Tubuh Bumi lantas menegang saat Karina menggenggam tangannya.Setelah berhasil menguasai tubuhnya, pelan-pelan dia membebaskan tangan dalam genggaman Karina.Namun, Karina tidak sadar akan hal itu.Dengan polosnya, dia justru berkata, "Sekali lagi terima kasih, Anda mau mengubahnya. Dan saya berjanji akan mengabulkan apa pun yang Anda pinta di luar perjanjian kita.""Benarkah?"Karina mengangguk cepat, "Ya, saya akan mengabulkan permintaan Anda di luar perjanjian kita.""Baiklah, saya akan pegang janji kamu.""Anda bisa percaya pada saya." Karina menatap mata Bumi dengan binar bahagia, dan Bumi tertegun dengan tatapan itu."Ekhem!" Bumi berdeham untuk mengeluarkan dirinya dari suasana canggung yang dia rasakan sendirian. "Lebih baik kamu kembali ke rumah sakit," ujarnya yang diselipi dengan pengusiran secara halus.Karina pun kembali mengangguk tanpa melunturkan senyuman bahagianya. "Kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya. Namun, baru saja berbalik Bumi sudah menghentikan langkahnya."Besok. Datanglah ke tempat yang sudah saya tentukan untuk membicarakan perjanjian kita secara detail."Karina mengangguk, "Baik. Besok saya akan datang."Setelah itu Karina benar-benar pergi dari ruangan Bumi, untuk kembali ke rumah sakit dan membayar biaya operasi sang ibu.Selepas kepergian Karina, Bumi menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Lalu menatap tangan yang tadi digenggam oleh Karina."Maaf," lirihnya dengan raut wajah penuh penyesalan.*****Setelah mendapatkan notifikasi adanya aktivitas pemasukan dana dari m-banking, Karina segera menyelesaikan segala administrasi untuk operasi sang ibu yang sempat tertunda.Kini dia sedang duduk gelisah menunggu lampu merah menjadi hijau di atas pintu ruangan operasi.Karina merasakan seseorang tengah menggenggam tangannya. Dia pun menoleh, menunjukkan tatapan sedih dan takutnya pada Tiko."Ti, gue takut," ucapnya dengan suara bergetar.Tiko beralih untuk memeluk bahu Karina dari samping. "Lo harus kuat, Rina. Gue yakin operasi Mama Rahma bakalan lancar," imbuhnya yakin.Karina mengangguk pelan menyetujui ucapan Tiko, dia harus kuat untuk sang ibu.Matanya kembali menatap pintu ruangan operasi, menunggu pintu itu terbuka, dan mengabarkan bahwa operasinya berjalan lancar."Rin?" panggil Tiko."Hm?" sahut Karina yang masih menatap pintu ruangan operasi."Gue mau nanya, boleh?"Kerutan di kening Karina tercetak kala ucapan Tiko. Tidak biasanya sang sahabat meminta izin hanya untuk bertanya padanya."Nanya aja kali, Ti. Kayak ke siapa aja, biasanya juga lo langsung nanya ke gue tanpa nunggu persetujuan gue dulu," imbuhnya seraya menoleh pada Tiko."Gue harus izin dulu lah ke lo, karena pertanyaan yang bakal gue tanyain ini sedikit sensitif," bela Tiko."Ya udah, gue izinin lo nanya.""Ini soal biaya operasi Mama Rahma. Lo ...." Tiko menjeda pertanyaannya, melihat perubahan raut wajah Karina."Dapet dari mana?" lanjutnya.Karina tertegun dengan pertanyaan Tiko, tetapi dengan cepat dia mengendalikan dirinya agar terlihat biasa saja.Dia mengalihkan tatapan dari Tiko pada pintu ruangan operasi sejenak, dan kembali lagi pada Tiko."Gue ... dapet dari Bumi," jawab Karina dengan suara lirih, lalu menunduk.Perempuan itu menggigit bibir bagian dalamnya karena tidak tahu, apakah dia bingung atau takut dengan respon yang akan diberikan oleh Tiko nantinya.Karina tidak berani menatap mata Tiko, dia lebih memilih beradu tatap dengan lantai rumah sakit."Bumi?"Karina mengangguk masih mempertahankan posisi menunduknya."Siapa Bumi?"Kening Karina mengerut, lalu perlahan ia mengangkat kepalanya, dan terlihat raut wajah bingung Tiko.Dia pun semakin mengerutkan keningnya, apa mungkin Tiko lupa siapa Bumi? Padahal tadi siang mereka membicarakan pria itu."Lo ... gak tahu, Ti? Atau lupa?" Karina bertanya dengan hati-hati.Dengan tatapan tidak tahu apa-apa Tiko menggeleng polos. "Enggak. Gue gak tahu siapa Bumi," jawabnya.Rasa takut dan kekhawatiran yang sempat menyapa hati Karina, langsung musnah ketika mendengar jawaban Tiko."Lo jadi orang pelupa banget, sih, Ti. Padahal baru tadi siang kita ngomongin dia," tukasnya dengan nada kesal."Tadi siang?" gumam Tiko bertanya-tanya. Dia merenung, menggali kembali ingatannya yang sempat hilang sebelum datang ke rumah sakit.Sampai dia terpekik sendiri ketika mengingat siapa pria yang dimaksud oleh Karina. "Aah!"Karina seketika membekap mulut Tiko agar tidak berteriak di kawasan ruang operasi, walaupun keadaan sedang sepi dan hening, tetap saja tidak boleh membuat kegaduhan."Jangan berisik, Titi, ini di rumah sakit," ingatnya dengan suara pelan.Tiko memukul-mukul tangan Karina yang membekap mulutnya. Karina pun membebaskan mulut sahabatnya."Gue kagak bisa napas, dodol. Mana kenceng banget lagi." Tiko segera menggerutu setelah mulutnya terbebas."Lo, sih, pake teriak segala.""Maaf, maaf. Gue cuma seneng aja waktu tahu siapa Bumi," kata Tiko dengan mata berbinar bahagia.Karina memutar matanya dengan respon Tiko. Dia kembali menatap pintu ruangan operasi, mengabaikan sang sahabat yang tengah tersenyum."Jadi?" tanya Tiko.Karina menoleh, dan mendapatkan tatapan jahil sang sahabat. "Jadi, apa?""Ck!" Tiko mencebik. "Jadi lo nerima tawaran dia?" tanyanya dengan jelas.Karina menghela napas panjang. "Iya, akhirnya gue terima tawaran dia. Dan gue minta perubahan rencana," jawabnya."Perubahan rencana?"Karina mengangguk, lalu menceritakan seluruhnya tentang kejadian di ruangan kerja Bumi.Tiko tersenyum lembut pada Karina, lalu memeluk kembali bahu perempuan itu. "Semoga lo selalu bahagia terus untuk ke depannya," doanya setelah Karina menyelesaikan ceritanya.Bertepatan dengan itu pintu ruangan operasi terbuka, dan memunculkan seorang dokter.Karina dan Tiko bergegas berdiri, dan menghampiri dokter tersebut."Bagaimana, Dok?" tanya Karina harap-harap cemas.Dokter itu tersenyum. "Operasinya berjalan lancar, kini keadaan pasien mulai membaik. Dan akan dibawa ke ICU, sebelum dipindahkan ke ruang inap."Akhirnya Karina dan Tiko bisa bernapas lega.*****Bumi berdiri di depan salah satu makam yang berada di Jakarta Barat.Dia menyimpan rangkain bunga yang dibawanya di makam tersebut. "Halo, selamat pagi, Bapak Bagus," sapanya."Pak, bagaimana rasanya memiliki putri seperti Karina Lavina?"Bersambung.Karina duduk termenung di kursi meja makan. Namun, mulutnya tetap bergerak untuk mengunyah nasi goreng yang disiapkan oleh Rahma sebagai sarapan. "Jadi, dia udah bangun duluan?" gumamnya ketika mengingat ucapan Bumi ketika di kamar beberapa menit lalu. "Argh!" Karina mengusap rambutnya frustasi membayangkan dia yang nyaman tidur berada dalam pelukan Bumi. Sungguh, dia sangat malu. Bahkan saat Bumi mengatakan dia yang memeluk pria itu duluan, Karina segera bangkit dari duduknya lalu pergi dengan cepat meninggalkan Bumi seorang diri di kamar, mengabaikan rasa sakit di punggung. "Kutu sama ketombe kamu nanti jatuh ke nasi goreng." Karina sontak menghentikan gerakan tangannya pada rambut, lalu menegakan tubuh, dan membiarkan rambutnya berantakan ketika mendengar suara Bumi. Perempuan itu menatap horor pada Bumi yang kini telah duduk di hadapannya seraya meneguk teh hangat. "Kenapa lihatin saya kaya gitu? Kaya ketemu hantu saja kamu." Bumi berucap kembali dan membuat Karina
Karina semakin melesakkan kepalanya pada sesuatu yang membuatnya nyaman. Dan dia pun mengeratkan pelukan pada sesuatu yang dianggap sebagai guling. "Mama emang jagoan kalau milih guling. Gulingnya nyaman banget," gumamnya. Karina mengigau dalam tidurnya. Dia tidak tahu saja bahwa sesuatu yang dipeluk dengan nyaman itu adalah tubuh Bumi. Tidak berbeda jauh dengan Karina, Bumi pun mengeratkan pelukan pada tubuh Karina yang dia anggap guling. Dua orang itu masih terlena akan nyamannya tidur dan pelukan, serta belum ada niatan membuka mata untuk menyambut pagi hari yang cerah. Hingga kenyamanan itu harus terusik dengan seruan Rahma di luar kamar tidur Karina. "Rina, bangun! Udah siang. Rina!" "Lima menit lagi, Ma," balas Karina. Namun, tentu saja Rahma tidak mendengar balasan dari Karina karena putrinya itu membalasnya dengan suara lirih. "Rina, bangun!" seru Rahma lagi. Sedangkan di dalam kamar, Karina semakin melesakkan kepala pada dada bidang Bumi. Merasakan ada sesuatu yan
Bumi dan Karina setuju untuk menginap di rumah Rahma karena keadaan di luar tidak memungkinkan mereka pulang. Maka, mau tak mau kedua orang yang selalu bertingkah seperti orang asing itu harus berada dalam satu ruangan. Setelah selesai membantu sang ibu untuk mencuci piring, kini Karina sudah berdiri di depan pintu kamar tidurnya. Dia merasa canggung hanya untuk masuk ke kamarnya sendiri. "Dia udah tidur belum, ya?" gumamnya. Lalu, Karina melihat jam yang digantung di dinding. "Masih jam 8. Pasti dia belum tidur," lanjutnya. Tidak ingin terlibat dalam suasana canggung saat bertemu Bumi di kamar, Karina lebih memilih kembali ke dapur, dan membuat coklat hangat untuk menemaninya nonton televisi di ruang tengah. Karina duduk di sofa yang berhadapan dengan televisi, lalu mencari saluran tayangan yang dia inginkan. Akhirnya Karina menjatuhkan pilihan tayangan pada salah satu saluran televisi yang menayangkan film fantasi, di mana film tersebut menceritakan tentang empat saudara ya
"Nah, ayo Nak Bumi, di makan." Rahma telah selesai menyajikan semua menu makan malam, dan duduk di kursi meja makan bersama anak serta menantunya. "Kamu harus cobain sayur sop buatan Rina. Mama yakin kamu pasti langsung suka," tambahnya. Bumi mengangguk, dan tersenyum. "Iya, Ma, pasti saya cobain. Soalnya ini kali pertama saya makan masakannya Karina." "Loh, kamu emang gak pernah masakin makanan buat suami kamu di rumah, Rin?" tanya Rahma menatap Karina penuh tuntutan. Karina yang tengah mengambil nasi untuk diletakkan di piring harus terhenti sejenak. "Di rumah ada ART yang khusus buat masak, Ma," jawabnya. "Jadi, Rina gak--Rahma mencubit pinggang Karina yang berada di sampingnya, hingga membuat ucapan sang putri tidak selesai dan meringis. "Kamu ini, sesekali masakin makanan buat suami kamu apa susahnya?" "Aduh, Ma! Sakit ih.""Jangan kebiasaan pake jasa ART, Rina." Rahma kembali memberikan wejangan. Karina mengerucutkan bibirnya. "Tapi Rina lagi sibuk-sibuknya, Ma, jadi g
Bumi menghela napas panjang, membuat dirinya lebih rileks. Sedangkan di balik dinding, kembali terdengar suara wajan yang beradu dengan spatula, menandakan Karina dan Rahma kembali memasak. Setelah dirasa lebih tenang, Bumi mengembuskan napas. Lalu, berjalan kembali ke depan pintu. Dia harus bertingkah layaknya orang yang baru sampai. "Assalamualaikum!" seru Bumi di depan pintu. Lalu, terdengar langkah seseorang dari arah dapur. "Wa'alaikumsalam," sahut Rahma yang menyambut kedatangan Bumi. Bumi menghampiri Rahma, lalu mencium punggung tangan wanita paruh baya itu. "Tadi gimana di sana, Nak?" Rahma menanyakan tentang para korban kecelakaan. "Semuanya sudah diperiksa. Kata dokter enggak ada luka serius, cuma lecet-lecet sama shock saja. Keluarga korban juga sudah datang ke rumah sakit," jawab Bumi. Rahma mengangguk. "Syukur alhamdulillah, enggak ada yang serius. Tadi waktu denger suara motor jatuh Mama panik banget, takut kenapa-kenapa sama mereka," ungkapnya. "Sekarang mere
Bumi berjalan di koridor rumah sakit dengan Pak RT dan dua warga. Mereka akan pulang setelah menunggu beberapa menit hingga keluarga korban sampai di rumah sakit. "Kamu ini menantunya Bu Rahma, ya?" tanya Pak RT setelah semuanya masuk dan duduk di mobil Bumi. Bumi menoleh ke arah Pak RT yang duduk di kursi penumpang bagian depan, seraya memasang sabuk pengaman. "Iya, Pak, saya menantunya Bu Rahma." Pak RT dan dua warga yang duduk di kursi belakang mengangguk. "Kamu cocok sama anaknya Bu Rahma, si Karina itu," celetuk salah satu warga di kursi belakang. "Iya, kamu sama Karina cocok. Soalnya sama-sama ganteng sama cantik," sambar satu warga lainnya. "Bener itu! Soalnya banyak yang bilang, katanya kalau laki-lakinya ganteng terus perempuannya cantik itu bakalan cocok." Pak RT ikut menimpali, dan membuat dua penumpang di belakang tertawa. Bumi terkekeh kecil dengan semua ucapan para penumpang mobilnya. Lalu, menggelengkan kepala, tidak terlalu percaya akan hal-hal tersebut. "Naman