Share

05. Setuju

Bumi seketika tertegun mendengar cerita Karina tentang mengubah penawaran yang dia berikan.

Entah mengapa, dia merasa terganggu dengan cairan bening yang keluar dari mata perempuan itu.

Sayangnya, Karina justru menganggap lain respon Bumi.

Terlebih, sudah lima menit berlalu, dan Bumi tidak mengeluarkan satu kata pun membuat Karina berhenti berharap.

"Baik, jika Anda menolak permintaan saya, dengan begitu saya pun menolak tawaran--"

"Tidak." Bumi memotong ucapan Karina tiba-tiba. "Saya setuju dengan perubahan itu."

"Berikan saya, nomor rekening kamu agar saya dapat mentransfernya segera," ucap Bumi lagi dengan tegas.

Kedua sudut bibir Karina terangkat, memamerkan senyuman bahagia dan lega. "Terima kasih, terima kasih banyak, Anda mau menyetujuinya. Saya sangat senang," tukasnya.

Secara refleks, dia bahkan berjalan menghampiri meja kerja Bumi, dan menggenggam erat tangan pria itu.

Tubuh Bumi lantas menegang saat Karina menggenggam tangannya.

Setelah berhasil menguasai tubuhnya, pelan-pelan dia membebaskan tangan dalam genggaman Karina.

Namun, Karina tidak sadar akan hal itu.

Dengan polosnya, dia justru berkata, "Sekali lagi terima kasih, Anda mau mengubahnya. Dan saya berjanji akan mengabulkan apa pun yang Anda pinta di luar perjanjian kita."

"Benarkah?"

Karina mengangguk cepat, "Ya, saya akan mengabulkan permintaan Anda di luar perjanjian kita."

"Baiklah, saya akan pegang janji kamu."

"Anda bisa percaya pada saya." Karina menatap mata Bumi dengan binar bahagia, dan Bumi tertegun dengan tatapan itu.

"Ekhem!" Bumi berdeham untuk mengeluarkan dirinya dari suasana canggung yang dia rasakan sendirian. "Lebih baik kamu kembali ke rumah sakit," ujarnya yang diselipi dengan pengusiran secara halus.

Karina pun kembali mengangguk tanpa melunturkan senyuman bahagianya. "Kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya. Namun, baru saja berbalik Bumi sudah menghentikan langkahnya.

"Besok. Datanglah ke tempat yang sudah saya tentukan untuk membicarakan perjanjian kita secara detail."

Karina mengangguk, "Baik. Besok saya akan datang."

Setelah itu Karina benar-benar pergi dari ruangan Bumi, untuk kembali ke rumah sakit dan membayar biaya operasi sang ibu.

Selepas kepergian Karina, Bumi menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Lalu menatap tangan yang tadi digenggam oleh Karina.

"Maaf," lirihnya dengan raut wajah penuh penyesalan.

*****

Setelah mendapatkan notifikasi adanya aktivitas pemasukan dana dari m-banking, Karina segera menyelesaikan segala administrasi untuk operasi sang ibu yang sempat tertunda.

Kini dia sedang duduk gelisah menunggu lampu merah menjadi hijau di atas pintu ruangan operasi.

Karina merasakan seseorang tengah menggenggam tangannya. Dia pun menoleh, menunjukkan tatapan sedih dan takutnya pada Tiko.

"Ti, gue takut," ucapnya dengan suara bergetar.

Tiko beralih untuk memeluk bahu Karina dari samping. "Lo harus kuat, Rina. Gue yakin operasi Mama Rahma bakalan lancar," imbuhnya yakin.

Karina mengangguk pelan menyetujui ucapan Tiko, dia harus kuat untuk sang ibu.

Matanya kembali menatap pintu ruangan operasi, menunggu pintu itu terbuka, dan mengabarkan bahwa operasinya berjalan lancar.

"Rin?" panggil Tiko.

"Hm?" sahut Karina yang masih menatap pintu ruangan operasi.

"Gue mau nanya, boleh?"

Kerutan di kening Karina tercetak kala ucapan Tiko. Tidak biasanya sang sahabat meminta izin hanya untuk bertanya padanya.

"Nanya aja kali, Ti. Kayak ke siapa aja, biasanya juga lo langsung nanya ke gue tanpa nunggu persetujuan gue dulu," imbuhnya seraya menoleh pada Tiko.

"Gue harus izin dulu lah ke lo, karena pertanyaan yang bakal gue tanyain ini sedikit sensitif," bela Tiko.

"Ya udah, gue izinin lo nanya."

"Ini soal biaya operasi Mama Rahma. Lo ...." Tiko menjeda pertanyaannya, melihat perubahan raut wajah Karina.

"Dapet dari mana?" lanjutnya.

Karina tertegun dengan pertanyaan Tiko, tetapi dengan cepat dia mengendalikan dirinya agar terlihat biasa saja.

Dia mengalihkan tatapan dari Tiko pada pintu ruangan operasi sejenak, dan kembali lagi pada Tiko.

"Gue ... dapet dari Bumi," jawab Karina dengan suara lirih, lalu menunduk.

Perempuan itu menggigit bibir bagian dalamnya karena tidak tahu, apakah dia bingung atau takut dengan respon yang akan diberikan oleh Tiko nantinya.

Karina tidak berani menatap mata Tiko, dia lebih memilih beradu tatap dengan lantai rumah sakit.

"Bumi?"

Karina mengangguk masih mempertahankan posisi menunduknya.

"Siapa Bumi?"

Kening Karina mengerut, lalu perlahan ia mengangkat kepalanya, dan terlihat raut wajah bingung Tiko.

Dia pun semakin mengerutkan keningnya, apa mungkin Tiko lupa siapa Bumi? Padahal tadi siang mereka membicarakan pria itu.

"Lo ... gak tahu, Ti? Atau lupa?" Karina bertanya dengan hati-hati.

Dengan tatapan tidak tahu apa-apa Tiko menggeleng polos. "Enggak. Gue gak tahu siapa Bumi," jawabnya.

Rasa takut dan kekhawatiran yang sempat menyapa hati Karina, langsung musnah ketika mendengar jawaban Tiko.

"Lo jadi orang pelupa banget, sih, Ti. Padahal baru tadi siang kita ngomongin dia," tukasnya dengan nada kesal.

"Tadi siang?" gumam Tiko bertanya-tanya. Dia merenung, menggali kembali ingatannya yang sempat hilang sebelum datang ke rumah sakit.

Sampai dia terpekik sendiri ketika mengingat siapa pria yang dimaksud oleh Karina. "Aah!"

Karina seketika membekap mulut Tiko agar tidak berteriak di kawasan ruang operasi, walaupun keadaan sedang sepi dan hening, tetap saja tidak boleh membuat kegaduhan.

"Jangan berisik, Titi, ini di rumah sakit," ingatnya dengan suara pelan.

Tiko memukul-mukul tangan Karina yang membekap mulutnya. Karina pun membebaskan mulut sahabatnya.

"Gue kagak bisa napas, dodol. Mana kenceng banget lagi." Tiko segera menggerutu setelah mulutnya terbebas.

"Lo, sih, pake teriak segala."

"Maaf, maaf. Gue cuma seneng aja waktu tahu siapa Bumi," kata Tiko dengan mata berbinar bahagia.

Karina memutar matanya dengan respon Tiko. Dia kembali menatap pintu ruangan operasi, mengabaikan sang sahabat yang tengah tersenyum.

"Jadi?" tanya Tiko.

Karina menoleh, dan mendapatkan tatapan jahil sang sahabat. "Jadi, apa?"

"Ck!" Tiko mencebik. "Jadi lo nerima tawaran dia?" tanyanya dengan jelas.

Karina menghela napas panjang. "Iya, akhirnya gue terima tawaran dia. Dan gue minta perubahan rencana," jawabnya.

"Perubahan rencana?"

Karina mengangguk, lalu menceritakan seluruhnya tentang kejadian di ruangan kerja Bumi.

Tiko tersenyum lembut pada Karina, lalu memeluk kembali bahu perempuan itu. "Semoga lo selalu bahagia terus untuk ke depannya," doanya setelah Karina menyelesaikan ceritanya.

Bertepatan dengan itu pintu ruangan operasi terbuka, dan memunculkan seorang dokter.

Karina dan Tiko bergegas berdiri, dan menghampiri dokter tersebut.

"Bagaimana, Dok?" tanya Karina harap-harap cemas.

Dokter itu tersenyum. "Operasinya berjalan lancar, kini keadaan pasien mulai membaik. Dan akan dibawa ke ICU, sebelum dipindahkan ke ruang inap."

Akhirnya Karina dan Tiko bisa bernapas lega.

*****

Bumi berdiri di depan salah satu makam yang berada di Jakarta Barat.

Dia menyimpan rangkain bunga yang dibawanya di makam tersebut. "Halo, selamat pagi, Bapak Bagus," sapanya.

"Pak, bagaimana rasanya memiliki putri seperti Karina Lavina?"

Bersambung.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status