Helena berdiri di gerbang desa Lysteria, memegang peta dari Vault erat-erat. Langit di atasnya tampak kelabu, meski matahari masih menggantung tinggi. Tanah retak membentang, reruntuhan rumah-rumah tua terlihat rapuh, ditumbuhi semak liar dan lumut.
"Ini Lysteria?" gumamnya lirih, menatap sekeliling dengan ragu.
Ia melangkah menyusuri jalan utama desa. Tak terdengar suara, tak tampak satu orang pun di sana.
“Permisi, apakah ada orang disini?” teriak Helena tetapi tak ada yang menyaut.
Helena membuka kembali peta, matanya menelusuri jejak merah samar yang menunjukkan titik-titik yang ia yakini sumber air.
Ia mengikuti arah itu hingga sampai ke sebuah cekungan tanah yang dikelilingi oleh batu bundar. Ada sisa-sisa bangunan di sana, seperti bekas sumur, tapi tak ada setetes pun air.
Ia berjongkok, menyentuh tanah kering di sekitarnya.
“Inikah bekas mata airnya? Jika benar tidak seharusnya sumur ini kering.”
Tiba-tiba, dari balik kabut, siluet orang-orang mulai berdatangan. Mereka membawa alat pertanian dan kayu runcing, mengarahkannya ke Helena.
Saat ia berdiri dan menoleh, benda-benda tajam itu sudah mengepungnya dari segala arah, tepat di sekitar lehernya.”
“Siapa kau dan mau apa di sini?” seru seseorang lantang.
Helena spontan mundur selangkah. Tangannya ia angkat tinggi-tinggi.
“Aku tidak bermaksud jahat! Aku hanya ingin mencari tahu tentang mata air! Aku dari bangsawan, tapi bukan untuk menyakiti siapa pun!”
“Dari bangsawan?” sahut seorang lelaki tua dari kerumunan. “Kau dari Magraville?” Ia meludah ke tanah. “Tidak ada yang tersisa di sini karena ulah kalian!”
“Tidak! Maksudku iya aku Magraville, tapi aku bukan bagian dari mereka yang menghancurkan tempat ini! Aku ingin tahu kebenaran. Aku—”
“Pembohong!” bentak seorang perempuan muda. “Siapa pun yang berdarah Magraville tetap menjijikkan di mata kami! Kalian… kalian membantai orang-orang kami demi kerakusan kalian!”
“Bahkan Raja pun diam saja, terhasut oleh keluarga busuk kalian,” tambah seorang pemuda, menggenggam kuat gagang cangkulnya.
“Tolong, dengarkan aku dulu—” suara Helena tenggelam oleh teriakan warga yang mulai saling menyahut.
“Usir dia!”
“Dia mata-mata Eldros!”
“Jangan biarkan dia melihat apa pun! Lindungi desa kita!”
Helena terdesak. Ia terus mundur hingga punggungnya hampir menyentuh batu besar di dekat bekas sumur. Tangannya masih menggenggam peta erat-erat. Matanya mencari wajah-wajah di sekelilingnya, berharap menemukan satu saja yang tampak bersedia mendengarkan.
Tapi tak ada, semua tatapan memancarkan ketakutan dan kebencian.
Dengan sisa keberanian, Helena mengangkat peta dan merentangkannya di depan mereka.
“Kalau aku benar-benar keturunan Magraville yang datang untuk menghancurkan desa ini, untuk apa aku repot-repot mencarinya dengan peta seperti ini?”
Kerumunan mendadak terdiam. Tatapan mereka yang semula mencurigakan perlahan melembut. Beberapa orang mulai menurunkan senjata mereka.
Seorang pemuda bertubuh kurus melangkah maju. Ia mengambil peta itu dari tangan Helena, lalu memandangi tulisan tangan yang tergores di pinggir peta, catatan kecil tentang pencarian mata air Lysteria, dan sketsa sederhana tentang rencananya membangun saluran air dari Cerwyn.
“Kau benar-benar tak tahu apa-apa?” tanyanya pelan, nyaris tak percaya.
Helena mengangguk. Wajahnya lesu dan pasrah.
“Aku memang berasal dari Magraville, tapi aku dari Elvanor.”
Keheningan menyelimuti kerumunan, sampai seorang nenek tua dari barisan belakang maju perlahan.
“Kau anak dari Tuan Alvis Magraville?”
Helena terkejut. “Nenek tahu ayahku?”
Beberapa warga saling berpandangan. Tatapan mereka tak lagi dipenuhi amarah, melainkan kebingungan atau bahkan terkejut.
Namun, sebelum sempat ada yang meluruskan kesalahpahaman itu, cahaya terang menyorot dari kejauhan.
Srat!
“Cepat! Mereka datang!”
Dalam sekejap, semua berhamburan, melompat ke balik reruntuhan dan rumah-rumah tua, menghilang.
Helena belum sempat bergerak saat seseorang tiba-tiba menarik lengan bajunya.
“Ikut aku, cepat!” bisik pria itu.
Helena tak bisa melihat jelas wajahnya yang tertutup rapat. Ia menggenggam tangan Helena erat, lalu menariknya masuk ke lorong sempit di antara bangunan tua.
Beberapa penjaga mengejar tepat dibelakang mereka. Helena menoleh panik, tapi pria itu tak mengendurkan cengkeramannya.
Mereka sempat berbelok, namun di ujung gang berikutnya, dua penjaga muncul menghadang. Tanpa ragu, pria bertopeng itu melepaskan genggaman Helena. Ia maju, menarik pedang dari balik jubahnya.
Denting logam bertemu. Satu lawan dua.
Helena tak sempat bernapas lega ketika dua penjaga lain muncul dari arah belakang. Pedang di tangannya terayun cekatan, tapi jumlah mereka tak seimbang. Salah satu dari mereka menusukkan pedang ke pinggang pria itu
"Akh!" Pria itu terhuyung, topengnya terlepas.
“Noel?” suara Helena nyaris tak terdengar, tapi sosok itu berbalik. Wajahnya kini terlihat jelas.
Helena melangkah maju di depan Noel, tangannya terangkat tanpa sadar. Tanah di bawah mereka retak dan mengangkat batu tajam. Angin menerjang keras dari sisi kanan, mendorong para penjaga terpental ke dinding.
Helena memandang tangannya yang masih bergetar. Batu dan tanah yang tadi melonjak dari tanah kini telah hancur berantakan. Ia bahkan tak tahu apa yang baru saja terjadi.
“Bukan waktunya berdiam diri,” suara parau terdengar di belakangnya.
Meski tubuhnya bersimbah darah, Noel tetap memaksa bangkit. Dengan napas tersengal, ia meraih tangan Helena yang masih membeku. Langkahnya yang tak seimbang, menahan sakit di perutnya yang tertusuk.
Mereka kembali menyusuri lorong sempit, tapi langkah mereka terhenti ketika sorot cahaya lain menyapu dari arah berlawanan. Noel menarik Helena ke balik celah antara dua dinding bangunan tua. Ruangannya sempit, bahkan terlalu sempit hingga jarak diantara mereka hanya sejengkal
Napas Helena tercekat. Jantungnya berdetak begitu kencang, bukan hanya karena ketakutan, tapi karena jarak mereka yang amat dekat. Ia bahkan bisa merasakan hembusan napas Noel di wajahnya.
“Mereka berlari lurus ke sana!”
Langkah-langkah kaki terdengar menjauh, meninggalkan lorong sempit tempat mereka bersembunyi.
Beberapa saat, hanya suara napas mereka yang terdengar.
“Ekhem, kau tidak apa-apa?” bisik Noel, memecah keheningan.
“Aku baik-baik saja, tapi...” Helena menunduk, jemarinya dengan ragu menyentuh sisi pinggang Noel yang masih berdarah.
“Akkh.”
“Apakah sangat sakit? Maaf, aku—”
Noel tertawa kecil, berusaha menahan suaranya.
“Aku hanya bercanda, lucu sekali melihat wajahmu yang biasanya keras kepala bisa tampak cemas seperti ini.”
Helena tidak menjawab. Sebaliknya, air matanya mulai mengalir pelan, membuat Noel terdiam.
“Hey, kenapa kau menangis? Aku sungguh tidak apa-apa.”
“Aku… aku takut kau mati,” gumam Helena, suaranya hampir tak terdengar.
Noel tersenyum lembut. “Aku tidak akan mati semudah itu, Helena,” ucapnya sambil menyeka air mata dari pipinya dengan jemarinya.
“Kenapa kau di sini?”
“Sudah kubilang, aku ingin bekerja sama denganmu dan tak ingin membiarkanmu sendiri.”
Noel menatap mata Helena dengan lekat. Jemarinya masih membelai lembut pipi gadis itu, sementara tangan satunya perlahan melingkar di pinggang kecil Helena, menariknya semakin dekat hingga tak ada lagi jarak di antara mereka.
Helena bisa merasakan hangat napas Noel menyapu kulit wajahnya, membuat detak jantungnya berdentam semakin kencang. Noel menunduk perlahan, menyamakan tinggi mereka, hingga dahi keduanya saling bersentuhan.
Helena memejamkan mata, seolah tubuhnya bergerak sendiri. Ia mendekat hingga bibir mereka bersentuhan.
Hanya itu, tak ada gerakan balasan, tak ada desakan lembut dari bibir Noel,
Helena membuka matanya.
“Sudah aman,” bisik Noel. “Sebaiknya kita keluar.”
“Bangsawan lemah tak pantas di sini!”“Keluarga Ardelion rendahan!”Beberapa anak bangsawan berkerumun di halaman sekolah, menertawakan seorang anak laki-laki dari keluarga Ardelion, keluarga bangsawan kecil yang tak memiliki kuasa politik maupun kekuatan militer. Anak itu hanya bisa menunduk, kedua tangannya bergetar menggenggam buku.Tiba-tiba, sebuah batu kecil melayang dan mengenai kepala salah satu dari mereka.“Aduh! Siapa itu?!”Mereka serentak menoleh, mendapati Helena berdiri dengan senyum mengejek, tangannya masih memainkan batu, jelas-jelas menunjukkan siapa pelakunya. Di sampingnya, Liora berdiri dengan tangan tersilang.“Ganggu yang sepadan saja!” seru Liora.“Kalau berani, hadapi kami,” timpal Helena.Anak laki-laki dari keluarga Thornevale yang kepalanya terkena lemparan batu Helena, tak terima. Dengan wajah merah padam, ia berlari ke arah Helena, diikuti beberapa ana
“Kenapa kau begitu ingin bekerja sama denganku? Bukankah Alvendra membenci Magraville?”Liora tersenyum tipis, menyuapkan sepotong ikan ke mulutnya sebelum menjawab.“Benar, selama ayahku masih memimpin, Alvendra akan selalu membenci setiap turunan Magraville, tapi aku berbeda. Aku ingin membantumu, sebagai balasan dengan membantuku menghancurkan Magraville dari dalam.”“Kau tidak takut padaku? Bagaimana jika aku sama saja seperti Magraville?”Liora berdiri, melangkah pelan ke tepi laut. Ia membungkuk, mengambil beberapa batu besar, lalu menyusunnya satu per satu. Satu batu ia letakkan terpisah di samping tumpukan tujuh batu yang ia kumpulkan.Helena mengerutkan kening, bingung dengan apa yang dilakukan Liora, namun ia tetap memperhatikan setiap gerakannya, menunggu penjelasan.“Lihat ini.”Liora melempar satu batu kecil ke arah tumpukan tujuh batu besar. Batu kecil itu memantul dan terhempas jauh tanpa mampu menggeser sedikit pun tumpukan tersebut.“Tumpukan batu besar ini ibarat Mag
Cassandra menjambak rambut Helena, menyeretnya dengan paksa hingga ke ruang bawah tanah kantor kepala desa. Kedua tangan Helena terikat erat, mulutnya tertutup dengan kain, membuat teriakannya hanya terdengar seperti gumaman tidak jelas.“Hmm!” Helena berusaha memanggil Noel yang berjalan di sampingnya, namun Noel tetap menatap lurus seakan tak mendengar.Begitu pintu ruang bawah tanah terbuka, Helena terkejut. Di balik jeruji, ia melihat Ervan, Nenek Mirelda, Selvina, dan beberapa warga Lysteria yang selama ini berdiri di sisinya, kini terkurung.“Nona!” Selvina menjerit begitu melihat Helena.“Apa yang kau lakukan pada Nona Helena!” Ervan meronta, berusaha memaksa tangannya keluar dari sela jeruji.Cassandra berhenti di depan sel, menatap mereka dengan senyum sinis. Ia menyilangkan tangan di dada.“Hanya ingin menunjukkan betapa kelirunya pilihan kalian.”Prajurit membuka pintu besi, lalu menyeret satu per satu warga Lysteria keluar secara paksa. Suara teriakan dan tangisan mereka m
Warga Lysteria maju dengan tombaknya, namun Helena segera menepisnya dengan hembusan angin.“Aku akan menghabisi prajurit yang mengepung desa ini. Setelah itu, kita akan membebaskan saudara-saudara kita yang masih terjebak di dalam Lysteria. Aku tidak akan pergi sebelum mereka bebas.”“Kau… kau benar-benar akan menolong kami, Nona Helena?”“Ya, aku bersumpah.”Hening sejenak hingga terdengar suara langkah prajurit yang kembali dari kejauhan.“Katakan, apa yang harus kami lakukan.”Helena mengangguk, memahami bahwa warga Lysteria mulai bersedia bekerja sama.“Kalian lebih mengenal jalan-jalan kecil di desa ini daripada siapa pun. Aku membutuhkan kalian untuk memandu warga yang masih bersembunyi. Lindungi mereka, bawa keluar secara diam-diam. Sementara itu, aku akan mengalihkan perhatian prajurit Cassandra.”“Kami akan ikut bersamamu,” seru pemuda, genggaman tangannya pada tombak semakin erat. Yang lain mengangguk setuju.“Kalau begitu mari kita jalani bersama.”Helena memberi isyarat d
“Ikutlah denganku, ada rencana yang harus kita jalankan.”Noel menuntun Helena menuju bagian belakang kastil, tempat kereta kuda milik keluarga Cealmont terparkir.“Aku akan menjadi kusirmu mulai saat ini.”“Kenapa harus begitu?”“Supaya aku bisa melindungimu tanpa menimbulkan kecurigaan dari Eldros.”Helena terdiam, menunggu lanjutan penjelasannya.“Kau akan pergi ke Lysteria. Di sana, kau harus mencari tahu siapa saja yang masih bersedia mendukungmu. Setelah itu, mereka harus kau bawa ke ibu kota Velmoria.”“Untuk apa melakukan itu?”“Aku akan membawamu beserta warga Lysteria ke sana seolah kalian adalah tahananku. Dengan begitu, kau bisa menyusup tanpa menarik perhatian. Cassandra pun tidak akan lagi menaruh curiga padaku, sementara aku bisa membantumu dari dalam.”Helena menggigit ujung jarinya, bimbang, lalu menatap Noel dengan penuh keraguan.“Kau yakin cara itu akan berhasil?”“Jika kau berani mempertaruhkan segalanya, maka aku pun takkan ragu melakukan hal yang sama.”***Hele
“Laporan.”“Nona Helena belum menuju Desa Lysteria, Nona Cassandra.”“Belum?”Cassandra melempar gulungan yang ia bawa dengan kasar ke meja, suaranya sangat keras hingga membuat Thorian bergidik ngeri.“Kau tahu apa yang terjadi jika berani berbohong padaku, bukan?”Thorian terjatuh berlutut di hadapan Cassandra. “Saya tidak berani melakukan hal seperti itu kepada Anda.”Cassandra berdiri dan melangkah mendekat. Ia berjongkok di depan Thorian, jemarinya mengangkat dagu pria itu agar menatap matanya.“Kau adalah mataku, Thorian. Jika Helena bergerak selangkah saja ke arah yang tidak kusukai, wargamu akan menanggung akibatnya.”Thorian terdiam, keringat dingin membasahi pelipisnya.Cassandra kembali berdiri, lalu berjalan ke kursinya.“Kau harus menghadapku setiap pagi, jangan pernah terlambat. Jangan sekali pun membuatku meragukan kesetiaanmu.”Thorian menunduk, mengangguk cepat. “Baik, Nona.”Ia membungkuk hormat, lalu berjalan keluar dari tempatnya sendiri, ruang kepala desa Lysteria