LOGINTanisha kembali terbangun untuk kesekian kalinya malam itu. Bukan karena mimpi buruk, bukan pula karena mual, tapi karena dadanya terasa penuh. Ada sesuatu di dalam dirinya yang gelisah — sesuatu yang tidak menemukan tempat untuk beristirahat.
Kamar di rumah aman itu sunyi. Terlalu sunyi. Bahkan kipas langit-langit terdengar seperti berputar pelan untuk sengaja menegaskan kesepian.Tanisha duduk, memeluk lutut, dan menatap jam digital kecil di samping ranjang. 03.18 AM.Belum masuk pagi. Tapi malam sudah terasa terlalu panjang.Ia turun dari kasur perlahan, memasuki kamar mandi. Air mengalir ke wastafel, ia basuh wajah. Saat menatap cermin, ia melihat pantulan seseorang yang tidak ia kenal:mata sembab, kulit pucat, bibir kering.Ia menelan ludah. “Aku kenapa jadi begini…” gumamnya parau.Begitu keluar dari kamar mandi, ia mendengar langkah pelan di luar. Tanisha membuka pintu kamar. Ruang tengah gelap, tapi lampu dari dapurTanisha kembali terbangun untuk kesekian kalinya malam itu. Bukan karena mimpi buruk, bukan pula karena mual, tapi karena dadanya terasa penuh. Ada sesuatu di dalam dirinya yang gelisah — sesuatu yang tidak menemukan tempat untuk beristirahat.Kamar di rumah aman itu sunyi. Terlalu sunyi. Bahkan kipas langit-langit terdengar seperti berputar pelan untuk sengaja menegaskan kesepian.Tanisha duduk, memeluk lutut, dan menatap jam digital kecil di samping ranjang. 03.18 AM.Belum masuk pagi. Tapi malam sudah terasa terlalu panjang.Ia turun dari kasur perlahan, memasuki kamar mandi. Air mengalir ke wastafel, ia basuh wajah. Saat menatap cermin, ia melihat pantulan seseorang yang tidak ia kenal:mata sembab, kulit pucat, bibir kering.Ia menelan ludah. “Aku kenapa jadi begini…” gumamnya parau.Begitu keluar dari kamar mandi, ia mendengar langkah pelan di luar. Tanisha membuka pintu kamar. Ruang tengah gelap, tapi lampu dari dapur
Tanisha tidak mengerti. Tidak mengerti kenapa ia berada di rumah ini. Tidak mengerti kenapa semuanya terasa salah. Tidak mengerti kenapa semua orang diam.Rumah ini sunyi—terlalu sunyi. Tidak ada suara mobil lewat. Tidak ada langkah tetangga. Tidak ada televisi menyala di ruang tengah. Rumah itu seperti disobek dari dunia yang normal, lalu ditempelkan di tempat yang tidak bisa ditemukan siapa pun.Di halaman belakang, hanya ada pohon kamboja tua yang berdiri sendirian. Daunnya melambai pelan. Seolah ikut berbisik.Tanisha berdiri di dekat jendela kamar yang diberikan untuknya. Memandang keluar, memeluk dirinya sendiri.Sudah satu hari satu malam ia berada di sini, tetapi ia tidak tahu ini rumah siapa. Ia tidak tahu ada di mana. Ia tidak tahu alasan sebenarnya kenapa ia dipindahkan.Yang ia tahu hanya satu hal: ia tidak bersama Langit.Dan ketidakhadiran lelaki itu membuat suasana terasa lebih padat, pelan, dan menakutkan.Pin
Kabar penangkapan Baskara Prameswara masih memenuhi semua layar. Televisi di ruang keluarga rumah Langit menayangkan ulang rekaman saat sang menteri keluar dari gedung Kementerian Kehutanan dengan wajah tegang, diapit penyidik yang menjawab rentetan pertanyaan wartawan. Beberapa stasiun swasta memasang tulisan tebal di bagian bawah layar:“Penangkapan Baskara Prameswara: Dugaan Keterlibatan dalam Proyek Ilegal Kayu Sumatera.”Tidak ada suara selain televisi dan detak jam dinding yang terdengar sangat kuat di telinga Tanisha. Ia duduk diam di sofa, tubuhnya terasa dingin meski ruangan ini hangat. Dadanya naik turun pelan, seperti sedang menahan sesuatu di dalam.Sejak semalam ia tidak tidur. Setiap kali memejamkan mata, ia kembali melihat wajah papanya dalam benaknya — wajah yang selama ini tegar, sekarang tercabik-cabik skandal. Wajah penuh bangga, kini berlumur berita buruk.Langit berdiri di sisi jendela, memegang ponselnya. Suaranya datar saat
Berita itu menabrak Tanisha seperti ombak hitam yang datang tanpa suara, tetapi mematikan. Baskara Prameswara ditangkap.Siaran televisi, portal berita, media sosial—semuanya menyebut nama ayahnya. Bukan lagi sekadar rumor, bukan lagi opini publik. Ini resmi. Polisi keluar dari gedung Kementerian Kehutanan sore itu membawa Baskara dengan tangan diborgol, wajahnya ditutup masker, diapit petugas.Tanisha terdiam lama di depan layar televisi ruang keluarga. Tubuhnya terasa kaku, seolah tulangnya tak lagi menempel pada daging. Jantungnya berdetak kacau, tenggorokannya kering, matanya panas.Ia ingin menyangkal. Ia ingin bilang ini cuma salah paham. Ia ingin bilang ini tidak nyata. Tapi bagaimana caranya, jika dunia di sekelilingnya jelas-jelas terbakar?Langit berdiri satu meter di belakangnya, diam. Tatapannya pada layar televisi tampak gelap, tapi wajahnya stabil. Dinginnya bukan ketidakpedulian. Itu cara dia bertahan.Suara reporter terden
Rumah Langit terasa lebih sunyi dari biasanya malam itu. Bukan sunyi yang nyaman—melainkan sunyi yang seperti menahan napas panjang, menunggu sesuatu pecah kapan saja.Di ruang tengah, Tanisha duduk di sofa dengan punggung tegak, namun kedua tangannya saling menggenggam begitu erat hingga buku jarinya memucat. Televisi di depannya menyala, tapi suaranya dimatikan—yang terdengar hanyalah bunyi jam dinding yang berdetak perlahan, menusuk.Di layar, acara berita menampilkan potongan gambar Baskara Prameswara keluar dari ruang pemeriksaan resmi Kementerian. Wajahnya tampak tegang, namun tetap berwibawa—seolah tak satu pun tuduhan bisa membuatnya runtuh.Namun Tanisha tahu, apa pun itu… papanya sedang diserang dari segala arah.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Langit muncul dengan segelas air dan sepiring kecil roti panggang. Pria itu menaruhnya di meja, lalu duduk di sebelah Tanisha. Ia diam. Seperti biasa, tak banyak kata dari bibirnya. Tapi s
Panggilan resmi itu tiba tanpa suara. Tanpa aba-aba. Tanpa tanda. Tanpa jeda untuk bernapas.Naskah panggilan tertutup dengan lambang kenegaraan yang tercetak tebal di bagian atasnya—diserahkan langsung oleh petugas khusus berseragam gelap yang datang ke rumah Baskara dengan langkah berat dan sorot mata kaku.Sementara itu, di ruang keluarga rumah Langit, Tanisha sedang membaca ulang artikel berita yang hari ini meledak di sosial media:“Baskara Prameswara Diduga Terlibat Proyek Kayu Ilegal – Pemerintah Siapkan Pemanggilan Resmi.”Mulut Tanisha terasa getir. Tangannya gemetar ketika ia meletakkan ponsel ke meja. Langit duduk di seberangnya, masih memakai kemeja kerja, lengan digulung ke siku, wajahnya dingin tapi tegang.“Saya baru dapat kabar,” ucap Langit pelan, matanya tak lepas dari layar ponsel. “Pemanggilannya resmi. Papa kamu diminta hadir hari Jumat.”Tanisha menelan napas. Terlalu cepat. Terlalu mendadak. Terlalu besar untuk dicerna dalam satu tarikan napas.“Papa…” Suaranya







