Nawa mulai terbangun dari tidur saat alarm di ponselnya berbunyi. Matanya mengerjap, tubuhnya terasa sakit semua. Ia mendesis saat merasakan sesuatu yang aneh pada inti tubuhnya. Wanita itu pun lalu membuka matanya secara sempurna. Nawa meraba tubuh, hanya terbungkus selimut.
Di antara sadar dan belum, Nawa mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum tidur. Setelah ingat segalanya, ia spontan terduduk. Air matanya berhamburan keluar membasahi pipi. Nawa mengambil ponsel, lalu mematikan alarm penanda datangnya salat Subuh.
“Astagfirullah. Apa yang aku lakukan semalam? Bod*h! B*doh! Bo*oh!” Nawa memukuli tubuhnya sendiri sambil terus menangis.
Pandangan Nawa mengedar ke seisi kamar. Sebuah kamar yang luas dan sangat mewah dari kamar yang ditempati bersama rekannya. Di kamar yang dipesankan perusahaan untuk tour, satu kamar diisi empat orang dengan dua ranjang. Kamar ini berbeda jauh. Nawa juga tidak mendapati pria yang bersamanya semalam ada di kamar tersebut.
"Apa mungkin ada di kamar mandi?"
“Astagfirullah, astagfirullah.” Kalimat istigfar terus diucapkan Nawa.
Untuk beberapa saat, Nawa masih mematung di tempat. Selama itu juga, tidak ada tanda kehidupan lain di kamar tersebut. Di kamar mandi juga tidak ada gemercik air. Ia juga melihat ke arah di mana cardlock terpasang. Masih ada.
Pelan, akhirnya Nawa turun dari ranjang. Ia memunguti pakaiannya dan menuju kamar mandi. Di sana, ia mandi besar. Tetesan air dan air mata yang membasahi tubuh, diharap Nawa mampu membersihkan dosa yang dilakukan semalam bersama pria asing. Seumur hidup, ini dosa terbesar yang dilakukan wanita itu.
Nawa juga berniat mandi tobat dengan niat sebiasanya. Ia berjanji tidak akan mengulangi dosa menjij*kkan seperti semalam. Semalam memang ada yang aneh dalam dirinya dan terpaksa melakukan kesalahan terberat tersebut.
Setelah mandi besar, Nawa keluar kamar mandi. Ia harus segera salat Subuh. Meskipun pendosa berat, setidaknya ia harus terus menghamba sambil terus memohon ampun. Ia kembali mencari ponsel dan menemukannya ada di nakas. Kebetulan kemarin ia hanya membawa ponsel dan dompet. Di bawah ponsel di atas dompet, ada semacam kertas. Nawa pun mengamatinya.
“Apa ini? Kayak cek." Nawa lantas membuka ponsel dan banyak sekali pesan dan panggilan tidak terjawab.
Nawa kembali mengamati benda yang ditemukan itu, lalu mengamatinya. Benar, cek senilai lima puluh juta ada di tangannya siap dicairkan.
“A-apa ini yang ngasih mas-mas yang semalam?” gumam Nawa.
Nawa tersenyum masam. Ia merasa seperti pel*cur yang dibayar setelah melayani pria. Hidupnya benar-benar hancur hanya dalam kurun beberapa jam.
Wanita itu ragu untuk membawanya. Ia pun berniat meninggalkannya. Namun, saat akan keluar setelah memakai kembali pasminanya, langkahnya terhenti.
Nawa terpejam, berpikir sesaat. Ia memutuskan untuk membawa cek itu. Ia akan menjadikan cek itu jimat sekaligus untuk bahan pengingat bahwa ia harus terus memohon ampun atas dosa besar yang telah dilakukan. Atau jika bertemu lagi, akan dikembalikan pada pria asing tersebut.
Dari kamar lak*at itu, Nawa menuju kamarnya. Dalam lift menuju lantai lima, ia terpejam.
“Aku harus apa setelah ini, Ya Allah? Hidupku benar-benar sudah hancur. Aku nggak bisa melanjutkan hubunganku dengan Mas Agung. Kasihan dia jika harus menerima wanita bekas sepertiku.” Nawa membatin. Air matanya kembali menitik.
“Lalu bagaimana jika aku hamil? Siapa pria itu? Di mana aku harus mencari jika meminta pertanggung jawaban nanti? Allah, ampuni kecerobohan hamba semalam. Jangan sampai ada kehidupan baru di rahimku.” Nawa terus tersedu-sedu.
Mati-matian Nawa menjaga kesuciannya selama 24 tahun ini. Lalu, semua harus ternoda tidak ada 24 jam. Secepat itu mahkota yang dijaga terkoyak.
Nawa masuk kamar dan langsung berganti pakaian, kemudian melakukan salat qabliyah Subuh, salat Taubat, lalu salat Subuh, dan zikir panjang. Ia terus menangis dalam diam. Sementara tiga teman lainnya masih tertidur pulas.
Sebelum teman-temannya curiga dan bertanya macam-macam, Nawa mengakhiri tangisannya. Ia harus terlihat baik-baik saja, seperti tidak terjadi apa-apa.
Masih di atas sajadah, Nawa membuka ponsel. Ada banyak panggilan video call yang terlewat dari Agung. Pria itu juga mengirim pesan tidak apa-apa diabaikan, mungkin Nawa kelelahan. Lalu dari rekan-rekannya yang mencarinya.
“Aku harus memberi alasan apa saat mereka tanya nanti?” gumam Nawa. Ia berpikir keras.
Nawa akhirnya memilih merebahkan diri di ranjang. Saat itulah, Sari terbangun saat merasa ranjang sampingnya bergerak.
“Nawa? Akhirnya kamu kembali. Semalam kamu dari mana saja?”
“A-aku jatuh di kamar mandi lantai bawah sampai pingsan. Baru tadi sadar. Sekarang aku ngerasa nggak enak badan,” jawab Nawa berbohong.
“Astagfirullah! Kami nggak nyari sampai ke sana. Kemarin kami semua nyari kamu. Bos juga ikut turun tangan, sampe ngubek CCTV.”
“CCTV?”
“Iya.”
“La-lalu apa yang terlihat di CCTV?” Sungguh, Nawa takut ketahuan sedang kencan dengan pria asing.
“Nggak ada kamu sama sekali. Kami kira kamu diculik, sampai lapor polisi juga. Semalam heboh gara-gara kamu hilang!” bentak Wulan, rekan Nawa yang lain.
“Ma-maaf.”
“Nggak perlu minta maaf, Wa. Memang ini musibah. Jangan main menyalahkan orang lain dong!” Sari menjadi garda terdepan membela Nawa.
“Kenyataannya emang gitu. Menyusahkan! Kelihatan banget ndeso. Keluar pulau bentar aja udah bikin geger!” Wulan kembali bersuara.
“Sudah-sudah. Pagi-pagi jangan ribut! Nawa sudah kembali dengan selamat, udah beres. Gini aja dibikin debat. Ayo pada mandi!” Rekan yang lain mengingatkan.
Sari meraba kening Nawa, memang sedikit dingin karena Nawa tadi cukup lama saat mandi.
“Kamu istirahatlah dulu. Nanti aku belikan obat habis ini,” ujar Sari.
Nawa mengangguk. Ia kembali menangis. “Sar, maaf merepotkan.”
“Enggak. Udah, jangan dipikirkan perkataan Wulan si Lampir tadi. Harusnya aku yang minta maaf nggak menemukanmu."
Nawa hanya terus berharap skandalnya bersama pria asing semalam tidak diketahui bos dan rekan-rekannya.
“Allah, tolong tutupi aib hamba.”
**
Di kamar hotel lain, Brama melepas pandang ke jendela yang menampakkan sinar hangat matahari pagi sambil menyesap kopi.
“Bagaimana perintah saya semalam? CCTV aman?” tanyanya melalui telepon.
“Aman, Sir. Tenang saja.”
“Bagus. Jangan lupa segera kirim potongan rekaman yang kamu dapat semalam pada saya segera. Dan pastikan, rekamannya tidak menyebar. Kalau sampai tersebar, kamu yang saya eksekusi pertama kali.”
“Siap, Sir.”
“Bagus.”
Tut!
Panggilan dimatikan.
Satu menit kemudian, sebuah pesan video diterima Brama. Tanpa membuang waktu, pria itu membukanya.
Video berawal dari lobi di mana Brama dan Nawa berpapasan. Lalu, ketika lift terbuka sampai keduanya masuk di kamar yang sama. Pria itu menjeda beberapa video saat wajah Nawa tersorot jelas.
Tadi malam sesaat setelah mengeksekusi Nawa, Brama langsung menghubungi anak buahnya untuk mengamankan CCTV. Jadi, sebelum rekan Nawa melihat rekaman itu, rekaman sudah disabotase orang suruhan Brama. Tidak sulit bagi pesuruh itu sebab Brama bukan pria sembarangan.
“Apa aku semalam sudah merusak masa depan seorang gadis?” gumam Brama sambil terus menatap wajah Nawa di rekaman tersebut.
Dari penjelasan Nawa, Brama menebak wanita itu sedang ada dalam pengaruh obat perang*ang. Nawa masih gadis, Brama tahu dan merasakan itu. Namun, entah mengapa kekecewaan pada Elea, justru dilampiaskan pada gadis lain yang tidak bersalah.
Ingin rasanya Brama melupakan kejadian semalam. Namun, pikiran dan hatinya tidak bisa. Bagaimana saat Nawa menangis, terpejam, menjerit, dan meminta tolong terus membayang.
Semalam, Brama langsung keluar kamar setelah meletakkan sejumlah uang di antara dompet dan ponsel Nawa. Entah uang itu dibawa atau tidak oleh Nawa. Ia membawa serta koper dan barangnya, memilih pindah kamar. Sementara Nawa tertidur, tidak tahu kepergian Brama.
Brama kembali menghubungi anak buahnya. “Cari tahu detail tentang gadis di rekaman itu dan laporkan segera! Katanya, namanya Nawa. Dan sepertinya dia juga menginap di hotel ini.”
Seharian, Nawa tidak keluar kamar sama sekali. Ia sendian di kamar. Ia juga melewatkan kegiatan seru bersama teman-temannya. Sari sebenarnya ingin menemani, tetapi Nawa menolak. Selain karena tidak ingin menghambat kesenangan sang teman, ia juga masih ingin sendiri.Kasus pencarian Nawa tidak dilanjut karena Nawa sudah ditemukan. Beruntung sang manajer tidak memarahi setelah tahu kondisi Nawa yang lemas. Lebih tepatnya pura-pura sakit dan lemas.Nawa merasa dirinya kotor. Ia masih malu dan belum siap menghadapi dunia. Meskipun hanya dirinya dan pria asing itu yang tahu, tetap saja rasanya masih kikuk jika mengingat dosa-dosanya semalam.“Wa, kamu oke?” Agung mengirim pesan. Pria yang saat ini bertugas di perbatasan Indonesia timur tersebut merasa khawatir karena tidak biasanya Nawa mengabaikan dirinya sejak semalam.“Aku agak nggak enak badan. Kemarin jatuh dari kamar mandi, pingsan di sana nggak ada yang tahu. Makanya semalam aku nggak angkat telepon Mas Agung.” Nawa membalas. Terpak
PT. Sun Zack Diamond Group atau yang biasa disebut Sunmond adalah perusahaan yang bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Atau perusahaan yang bergerak di bidang penyedia produk untuk konsumen. Perusahaan ini berkembang pesat dan bersaing dengan produk luar seperti Unalaver maupun produk dalam negeri seperti Wangs. Tahun ini, Sunmond menjadi perusahaan lokal terbesar kedua di dalam negeri menurut pasar bisnis. Ada beberapa cabang Sunmond Grup di antaranya Sunmond Food yang memproduksi makanan seperti mi instan, kecap, penyedap rasa, es krim, dan sebagainya. Lalu ada Sunmond Care yang memproduksi seperti sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, sampo, dan masih banyak lagi. Ada lagi Sunmond Beauty yang berfokus pada kecantikan seperti skincare, lipstik, parfum, dan lain-lain. Perusahaan yang diwariskan secara turun-temurun itu kini dipegang oleh Boby Zack Aldhlino, orang tua Brama Zack Adhlino. Brama termasuk anak yang keluar jalur. Ia sama sekali tidak tertarik dengan bisn
“Baiklah. Katakan di mana posisi yang kamu inginkan.” Boby tersenyum. Pria blasteran itu cukup lega sang putra mau menerima tawarannya.“Marketing,” jawab Brana tanpa ragu.“Kenapa harus di bagian marketing? Bram, masalah kita di bagian keuangan. Kalau kamu ingin mengungkap lingkaran hitam para tikus itu, masuk di bagian keuangan!”“Daddy-mu benar, Bram. Masuklah ke bagian keuangan biar kamu lebih tahu detail bagaimana mereka mengelola dan melaporkan keuangan. Sebenarnya kami akan langsung menunjukmu sebagai Presdir di sana.” Gahayu, mommy-nya ikut bersuara.“Aku sudah bilang, aku mau membantu asal aku dibebaskan memilih posisi.” Brama meradang.“Bram, apa kata orang-orang kalau kamu ada di posisi rendah?” Gahayu kembali mengompori.Seperti biasa, Brama masih tetap terlihat tenang.Dari Bali, siang harinya Brama langsung bertolak menuju kota seribu industri, di mana pusat Sunmond Grup dan rumah orang tuanya berada.Di Tangerang, letak pabrik Sunmond Food dan Sunmond Beauty. Sementara
Selama sehari cuti, Nawa tidak melakukan apa pun di kamar kos-kosannya. Ia hanya menangis sampai matanya bengkak. Atau hanya rebahan dan kalau senggang ditemani Agung. “Nggak kerja?” tanya abdi negara itu melalui panggilan video. “Dikasih libur habis refreshing.” Nawa lagi-lagi berbohong. “Sudah periksa, kan?” tanya Agung. Nawa mengangguk. “Mana coba lihat obatnya.” “Gitu amat, sih? Mentang-mentang ngasih transferan.” Agung tergelak. “Buat memastikan kalo transferannya tepat sasaran. Takutnya malah kamu gunakan CO keranjang orange atau keranjang kuning.” “Emang boleh?” Agung tergelak. Nawa pun mengambil Paracet*mol, antibiotik, dan vitamin yang kemarin dibeli di Bali. “Itu aja obatnya? Dikit amat.” “Ya, karena memang aku nggak kenapa-napa. Emang dasar Mas aja yang lebay.” “Bukan lebay, tapi buat memastikan kesehatanmu. Rontgen atau CT Scan lengkap juga gih.” “Mas, jangan berlebihan.” “Nawa–“ “Aku nggak apa-apa, beneran. Aku yang jatuh, aku yang tahu kondisi diriku send
Tangan Nawa gemetar. Dadanya naik turun menormalkan keterkejutan.“Astagfirullah. Jangan-jangan ... pria asing itu yang mengirim paket ini?”Cepat-cepat Nawa membungkus kembali semua isi paketnya, lalu membuangnya ke tempat sampah luar kamar.Nawa kembali tersedu-sedu. Entah apa maksud pengirim paket itu, tetapi yang pasti hidupnya mulai sekarang tidak lagi tenang sama seperti dulu. Ia harus kuat dengan serangan teror yang mungkin akan kembali lagi.Sesak dada Nawa rasanya hingga kesulitan bernapas. Ia tidak tahu harus berbagi masalah ini dengan siapa. Jika berbagi pada sahabatnya, bisa saja nanti malah tambah runyam. Aibnya bisa menyebar. Namun, ketika memendam sendiri seperti ini, ia tidak kuat dengan tekanan demi tekanan yang ada.Nawa bukan wanita bebas yang mungkin jika melakukan z*na tidak merasa menyesal. Ia beda. Wanita itu terbiasa hidup dalam lingkungan pesantren, keluarga yang menekankan hal keagamaan, juga selalu berusaha menjaga diri. Sekali kecolongan, Nawa terus memikir
“Nawa!” pekik Frengki.Sama halnya dengan Frengki, Brama bergumam sangat lirih menyebut nama wanita ayu itu.Brama sejenak mematung. Ketika melihat Nawa, ingatannya tertuju pada malam panasnya bersama wanita itu. Nawa saat itu terlihat begitu seksi. Sekarang Nawa berpenampilan tertutup. Mata Brama mengabsen seluruh inci tubuh Nawa dari balik kacamata tebalnya.“Ada apa ini?” Nawa mendekat.“Oh, nggak ada apa-apa. Ini hanya membetulkan kemeja si Brama yang berantakan.” Frengki yang awalnya mencengkeram kerah kemeja Brama, ganti mengelus kerah itu.“Aku nggak buta, ya, Mas. Aku tahu kalo Mas Frengki sedang berlagak menjadi preman. Dan apa kamu karyawan baru?” Nawa menatap Brama.“Iya.” Brama mengedip, memastikan sudah memakai softlens agar Nawa tidak mengenali warna matanya.“Mas Frengki, jangan lagi, ya? Soalnya aku pernah ada di posisi dia yang di-bully pas awal-awal kerja. Rasanya tertekan. Harusnya Mas Frengki yang udah senior, ngasih contoh yang baik. Dibimbing, Mas, jangan disiksa
“Sebentar, aku ke kamar mandi dulu. Kebelet,” kilah Brama sambil masuk ke toilet.Nawa menatap punggung Brama sampai hilang dari pandangan.“Kalau sampai dia tadi lihat kalau tompel ini hanya tempelan, mati aku,” gumam Brama sambil membenahi lagi penunjang penampilan buruk rupanya itu.Gigi depan beberapa menghitam, warna mata hitam, dan tompel telah terpasang. Tinggal membubuhkan kacamata. Sempurna. Brama pun keluar kamar mandi dan sudah tidak mendapati Nawa di sana.“Syukurlah. Sepertinya sebentar lagi jam kerja dimulai lagi.”Nawa pergi dan tidak jadi menunggu Brama karena rekannya memanggil untuk melihat hasil pengambilan video tadi.“Aku kok kurang sreg sama hasilnya ya? Kita ubah konsep aja gimana? Jadi gini. Ada dua adegan, satu pasutri dari kalangan orang kaya, satunya dari pasutri orang biasa. Bagaimana cara mereka mencuci itu jelas beda. Orang kaya pakai mesin cuci dan yang pasti baju mereka hanya kotor kena keringat. Kalau orang biasa ada yang pakai mesin cuci, tapi kebanya
Wajah Nawa yang dari tadi sendu, tambah mendung. Ia belum yakin meneruskan keseriusan bersama Agung. Wanita itu sadar diri, tidak lagi suci.“Wa, kok kayak nggak seneng gitu?”Nawa berusaha menarik sudut bibirnya. “Seneng. Seneng, kok. Ini tuh ekspresi terkejut, Komandan.”“Alhamdulillah. Setelah aku pulang, seperti yang sudah kita rencanakan. Kita lamaran, lalu nikah.”Nawa menunduk, menyembunyikan sudut matanya yang sudah mengembun.“Berarti siap jadi Ibu Persit?”Nawa mengangguk lemah. Hati dan tindakannya tidak sinkron. Ia menghapus sudut matanya.“Mas, aku ini wanita buruk, nggak pantas buat Mas Agung. Aku banyak kurangnya. Yakin tetap mau sama aku?”“Apa pun kekuranganmu, aku terima. Aku pun punya banyak kekurangan, Wa.”Kali ini air mata Nawa kembali menitik. “Mas Agung pria baik, sangat baik. Makin ke sini, aku ngerasa nggak–““Apa ada pria lain? Maksudku, kamu sengaja mengatakan ini karena tidak mau serius sama aku?”Nawa menghapus air matanya. “Nggak ada. Sama sekali nggak a