Share

3. Cari Tahu

Nawa mulai terbangun dari tidur saat alarm di ponselnya berbunyi. Matanya mengerjap, tubuhnya terasa sakit semua. Ia mendesis saat merasakan sesuatu yang aneh pada inti tubuhnya. Wanita itu pun lalu membuka matanya secara sempurna. Nawa meraba tubuh, hanya terbungkus selimut.

Di antara sadar dan belum, Nawa mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum tidur. Setelah ingat segalanya, ia spontan terduduk. Air matanya berhamburan keluar membasahi pipi. Nawa mengambil ponsel, lalu mematikan alarm penanda datangnya salat Subuh.

“Astagfirullah. Apa yang aku lakukan semalam? Bod*h! B*doh! Bo*oh!” Nawa memukuli tubuhnya sendiri sambil terus menangis.

Pandangan Nawa mengedar ke seisi kamar. Sebuah kamar yang luas dan sangat mewah dari kamar yang ditempati bersama rekannya. Di kamar yang dipesankan perusahaan untuk tour, satu kamar diisi empat orang dengan dua ranjang. Kamar ini berbeda jauh. Nawa juga tidak mendapati pria yang bersamanya semalam ada di kamar tersebut.

"Apa mungkin ada di kamar mandi?"

“Astagfirullah, astagfirullah.” Kalimat istigfar terus diucapkan Nawa.

Untuk beberapa saat, Nawa masih mematung di tempat. Selama itu juga, tidak ada tanda kehidupan lain di kamar tersebut. Di kamar mandi juga tidak ada gemercik air. Ia juga melihat ke arah di mana cardlock terpasang. Masih ada.

Pelan, akhirnya Nawa turun dari ranjang. Ia memunguti pakaiannya dan menuju kamar mandi. Di sana, ia mandi besar. Tetesan air dan air mata yang membasahi tubuh, diharap Nawa mampu membersihkan dosa yang dilakukan semalam bersama pria asing. Seumur hidup, ini dosa terbesar yang dilakukan wanita itu.

Nawa juga berniat mandi tobat dengan niat sebiasanya. Ia berjanji tidak akan mengulangi dosa menjij*kkan seperti semalam. Semalam memang ada yang aneh dalam dirinya dan terpaksa melakukan kesalahan terberat tersebut.

Setelah mandi besar, Nawa keluar kamar mandi. Ia harus segera salat Subuh. Meskipun pendosa berat, setidaknya ia harus terus menghamba sambil terus memohon ampun. Ia kembali mencari ponsel dan menemukannya ada di nakas. Kebetulan kemarin ia hanya membawa ponsel dan dompet. Di bawah ponsel di atas dompet, ada semacam kertas. Nawa pun mengamatinya.

“Apa ini? Kayak cek." Nawa lantas membuka ponsel dan banyak sekali pesan dan panggilan tidak terjawab.

Nawa kembali mengamati benda yang ditemukan itu, lalu mengamatinya. Benar, cek senilai lima puluh juta ada di tangannya siap dicairkan.

“A-apa ini yang ngasih mas-mas yang semalam?” gumam Nawa.

Nawa tersenyum masam. Ia merasa seperti pel*cur yang dibayar setelah melayani pria. Hidupnya benar-benar hancur hanya dalam kurun beberapa jam.

Wanita itu ragu untuk membawanya. Ia pun berniat meninggalkannya. Namun, saat akan keluar setelah memakai kembali pasminanya, langkahnya terhenti.

Nawa terpejam, berpikir sesaat. Ia memutuskan untuk membawa cek itu. Ia akan menjadikan cek itu jimat sekaligus untuk bahan pengingat bahwa ia harus terus memohon ampun atas dosa besar yang telah dilakukan. Atau jika bertemu lagi, akan dikembalikan pada pria asing tersebut.

Dari kamar lak*at itu, Nawa menuju kamarnya. Dalam lift menuju lantai lima, ia terpejam.

“Aku harus apa setelah ini, Ya Allah? Hidupku benar-benar sudah hancur. Aku nggak bisa melanjutkan hubunganku dengan Mas Agung. Kasihan dia jika harus menerima wanita bekas sepertiku.” Nawa membatin. Air matanya kembali menitik.

“Lalu bagaimana jika aku hamil? Siapa pria itu? Di mana aku harus mencari jika meminta pertanggung jawaban nanti? Allah, ampuni kecerobohan hamba semalam. Jangan sampai ada kehidupan baru di rahimku.” Nawa terus tersedu-sedu.

Mati-matian Nawa menjaga kesuciannya selama 24 tahun ini. Lalu, semua harus ternoda tidak ada 24 jam. Secepat itu mahkota yang dijaga terkoyak.

Nawa masuk kamar dan langsung berganti pakaian, kemudian melakukan salat qabliyah Subuh, salat Taubat, lalu salat Subuh, dan zikir panjang. Ia terus menangis dalam diam. Sementara tiga teman lainnya masih tertidur pulas.

Sebelum teman-temannya curiga dan bertanya macam-macam, Nawa mengakhiri tangisannya. Ia harus terlihat baik-baik saja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Masih di atas sajadah, Nawa membuka ponsel. Ada banyak panggilan video call yang terlewat dari Agung. Pria itu juga mengirim pesan tidak apa-apa diabaikan, mungkin Nawa kelelahan. Lalu dari rekan-rekannya yang mencarinya.

“Aku harus memberi alasan apa saat mereka tanya nanti?” gumam Nawa. Ia berpikir keras.

Nawa akhirnya memilih merebahkan diri di ranjang. Saat itulah, Sari terbangun saat merasa ranjang sampingnya bergerak.

“Nawa? Akhirnya kamu kembali. Semalam kamu dari mana saja?”

“A-aku jatuh di kamar mandi lantai bawah sampai pingsan. Baru tadi sadar. Sekarang aku ngerasa nggak enak badan,” jawab Nawa berbohong.

“Astagfirullah! Kami nggak nyari sampai ke sana. Kemarin kami semua nyari kamu. Bos juga ikut turun tangan, sampe ngubek CCTV.”

“CCTV?”

“Iya.”

“La-lalu apa yang terlihat di CCTV?” Sungguh, Nawa takut ketahuan sedang kencan dengan pria asing.

“Nggak ada kamu sama sekali. Kami kira kamu diculik, sampai lapor polisi juga. Semalam heboh gara-gara kamu hilang!” bentak Wulan, rekan Nawa yang lain.

“Ma-maaf.”

“Nggak perlu minta maaf, Wa. Memang ini musibah. Jangan main menyalahkan orang lain dong!” Sari menjadi garda terdepan membela Nawa.

“Kenyataannya emang gitu. Menyusahkan! Kelihatan banget ndeso. Keluar pulau bentar aja udah bikin geger!” Wulan kembali bersuara.

“Sudah-sudah. Pagi-pagi jangan ribut! Nawa sudah kembali dengan selamat, udah beres. Gini aja dibikin debat. Ayo pada mandi!” Rekan yang lain mengingatkan.

Sari meraba kening Nawa, memang sedikit dingin karena Nawa tadi cukup lama saat mandi.

“Kamu istirahatlah dulu. Nanti aku belikan obat habis ini,” ujar Sari.

Nawa mengangguk. Ia kembali menangis. “Sar, maaf merepotkan.”

“Enggak. Udah, jangan dipikirkan perkataan Wulan si Lampir tadi. Harusnya aku yang minta maaf nggak menemukanmu."

Nawa hanya terus berharap skandalnya bersama pria asing semalam tidak diketahui bos dan rekan-rekannya.

“Allah, tolong tutupi aib hamba.”

**

Di kamar hotel lain, Brama melepas pandang ke jendela yang menampakkan sinar hangat matahari pagi sambil menyesap kopi.

“Bagaimana perintah saya semalam? CCTV aman?” tanyanya melalui telepon.

“Aman, Sir. Tenang saja.”

“Bagus. Jangan lupa segera kirim potongan rekaman yang kamu dapat semalam pada saya segera. Dan pastikan, rekamannya tidak menyebar. Kalau sampai tersebar, kamu yang saya eksekusi pertama kali.”

“Siap, Sir.”

“Bagus.”

Tut!

Panggilan dimatikan.

Satu menit kemudian, sebuah pesan video diterima Brama. Tanpa membuang waktu, pria itu membukanya.

Video berawal dari lobi di mana Brama dan Nawa berpapasan. Lalu, ketika lift terbuka sampai keduanya masuk di kamar yang sama. Pria itu menjeda beberapa video saat wajah Nawa tersorot jelas.

Tadi malam sesaat setelah mengeksekusi Nawa, Brama langsung menghubungi anak buahnya untuk mengamankan CCTV. Jadi, sebelum rekan Nawa melihat rekaman itu, rekaman sudah disabotase orang suruhan Brama. Tidak sulit bagi pesuruh itu sebab Brama bukan pria sembarangan.

“Apa aku semalam sudah merusak masa depan seorang gadis?” gumam Brama sambil terus menatap wajah Nawa di rekaman tersebut.

Dari penjelasan Nawa, Brama menebak wanita itu sedang ada dalam pengaruh obat perang*ang. Nawa masih gadis, Brama tahu dan merasakan itu. Namun, entah mengapa kekecewaan pada Elea, justru dilampiaskan pada gadis lain yang tidak bersalah.

Ingin rasanya Brama melupakan kejadian semalam. Namun, pikiran dan hatinya tidak bisa. Bagaimana saat Nawa menangis, terpejam, menjerit, dan meminta tolong terus membayang.

Semalam, Brama langsung keluar kamar setelah meletakkan sejumlah uang di antara dompet dan ponsel Nawa. Entah uang itu dibawa atau tidak oleh Nawa. Ia membawa serta koper dan barangnya, memilih pindah kamar. Sementara Nawa tertidur, tidak tahu kepergian Brama.

Brama kembali menghubungi anak buahnya. “Cari tahu detail tentang gadis di rekaman itu dan laporkan segera! Katanya, namanya Nawa. Dan sepertinya dia juga menginap di hotel ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status