Share

3. Cari Tahu

Author: Zuya
last update Last Updated: 2024-01-13 12:12:08

Nawa mulai terbangun dari tidur saat alarm di ponselnya berbunyi. Matanya mengerjap, tubuhnya terasa sakit semua. Ia mendesis saat merasakan sesuatu yang aneh pada inti tubuhnya. Wanita itu pun lalu membuka matanya secara sempurna. Nawa meraba tubuh, hanya terbungkus selimut.

Di antara sadar dan belum, Nawa mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum tidur. Setelah ingat segalanya, ia spontan terduduk. Air matanya berhamburan keluar membasahi pipi. Nawa mengambil ponsel, lalu mematikan alarm penanda datangnya salat Subuh.

“Astagfirullah. Apa yang aku lakukan semalam? Bod*h! B*doh! Bo*oh!” Nawa memukuli tubuhnya sendiri sambil terus menangis.

Pandangan Nawa mengedar ke seisi kamar. Sebuah kamar yang luas dan sangat mewah dari kamar yang ditempati bersama rekannya. Di kamar yang dipesankan perusahaan untuk tour, satu kamar diisi empat orang dengan dua ranjang. Kamar ini berbeda jauh. Nawa juga tidak mendapati pria yang bersamanya semalam ada di kamar tersebut.

"Apa mungkin ada di kamar mandi?"

“Astagfirullah, astagfirullah.” Kalimat istigfar terus diucapkan Nawa.

Untuk beberapa saat, Nawa masih mematung di tempat. Selama itu juga, tidak ada tanda kehidupan lain di kamar tersebut. Di kamar mandi juga tidak ada gemercik air. Ia juga melihat ke arah di mana cardlock terpasang. Masih ada.

Pelan, akhirnya Nawa turun dari ranjang. Ia memunguti pakaiannya dan menuju kamar mandi. Di sana, ia mandi besar. Tetesan air dan air mata yang membasahi tubuh, diharap Nawa mampu membersihkan dosa yang dilakukan semalam bersama pria asing. Seumur hidup, ini dosa terbesar yang dilakukan wanita itu.

Nawa juga berniat mandi tobat dengan niat sebiasanya. Ia berjanji tidak akan mengulangi dosa menjij*kkan seperti semalam. Semalam memang ada yang aneh dalam dirinya dan terpaksa melakukan kesalahan terberat tersebut.

Setelah mandi besar, Nawa keluar kamar mandi. Ia harus segera salat Subuh. Meskipun pendosa berat, setidaknya ia harus terus menghamba sambil terus memohon ampun. Ia kembali mencari ponsel dan menemukannya ada di nakas. Kebetulan kemarin ia hanya membawa ponsel dan dompet. Di bawah ponsel di atas dompet, ada semacam kertas. Nawa pun mengamatinya.

“Apa ini? Kayak cek." Nawa lantas membuka ponsel dan banyak sekali pesan dan panggilan tidak terjawab.

Nawa kembali mengamati benda yang ditemukan itu, lalu mengamatinya. Benar, cek senilai lima puluh juta ada di tangannya siap dicairkan.

“A-apa ini yang ngasih mas-mas yang semalam?” gumam Nawa.

Nawa tersenyum masam. Ia merasa seperti pel*cur yang dibayar setelah melayani pria. Hidupnya benar-benar hancur hanya dalam kurun beberapa jam.

Wanita itu ragu untuk membawanya. Ia pun berniat meninggalkannya. Namun, saat akan keluar setelah memakai kembali pasminanya, langkahnya terhenti.

Nawa terpejam, berpikir sesaat. Ia memutuskan untuk membawa cek itu. Ia akan menjadikan cek itu jimat sekaligus untuk bahan pengingat bahwa ia harus terus memohon ampun atas dosa besar yang telah dilakukan. Atau jika bertemu lagi, akan dikembalikan pada pria asing tersebut.

Dari kamar lak*at itu, Nawa menuju kamarnya. Dalam lift menuju lantai lima, ia terpejam.

“Aku harus apa setelah ini, Ya Allah? Hidupku benar-benar sudah hancur. Aku nggak bisa melanjutkan hubunganku dengan Mas Agung. Kasihan dia jika harus menerima wanita bekas sepertiku.” Nawa membatin. Air matanya kembali menitik.

“Lalu bagaimana jika aku hamil? Siapa pria itu? Di mana aku harus mencari jika meminta pertanggung jawaban nanti? Allah, ampuni kecerobohan hamba semalam. Jangan sampai ada kehidupan baru di rahimku.” Nawa terus tersedu-sedu.

Mati-matian Nawa menjaga kesuciannya selama 24 tahun ini. Lalu, semua harus ternoda tidak ada 24 jam. Secepat itu mahkota yang dijaga terkoyak.

Nawa masuk kamar dan langsung berganti pakaian, kemudian melakukan salat qabliyah Subuh, salat Taubat, lalu salat Subuh, dan zikir panjang. Ia terus menangis dalam diam. Sementara tiga teman lainnya masih tertidur pulas.

Sebelum teman-temannya curiga dan bertanya macam-macam, Nawa mengakhiri tangisannya. Ia harus terlihat baik-baik saja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Masih di atas sajadah, Nawa membuka ponsel. Ada banyak panggilan video call yang terlewat dari Agung. Pria itu juga mengirim pesan tidak apa-apa diabaikan, mungkin Nawa kelelahan. Lalu dari rekan-rekannya yang mencarinya.

“Aku harus memberi alasan apa saat mereka tanya nanti?” gumam Nawa. Ia berpikir keras.

Nawa akhirnya memilih merebahkan diri di ranjang. Saat itulah, Sari terbangun saat merasa ranjang sampingnya bergerak.

“Nawa? Akhirnya kamu kembali. Semalam kamu dari mana saja?”

“A-aku jatuh di kamar mandi lantai bawah sampai pingsan. Baru tadi sadar. Sekarang aku ngerasa nggak enak badan,” jawab Nawa berbohong.

“Astagfirullah! Kami nggak nyari sampai ke sana. Kemarin kami semua nyari kamu. Bos juga ikut turun tangan, sampe ngubek CCTV.”

“CCTV?”

“Iya.”

“La-lalu apa yang terlihat di CCTV?” Sungguh, Nawa takut ketahuan sedang kencan dengan pria asing.

“Nggak ada kamu sama sekali. Kami kira kamu diculik, sampai lapor polisi juga. Semalam heboh gara-gara kamu hilang!” bentak Wulan, rekan Nawa yang lain.

“Ma-maaf.”

“Nggak perlu minta maaf, Wa. Memang ini musibah. Jangan main menyalahkan orang lain dong!” Sari menjadi garda terdepan membela Nawa.

“Kenyataannya emang gitu. Menyusahkan! Kelihatan banget ndeso. Keluar pulau bentar aja udah bikin geger!” Wulan kembali bersuara.

“Sudah-sudah. Pagi-pagi jangan ribut! Nawa sudah kembali dengan selamat, udah beres. Gini aja dibikin debat. Ayo pada mandi!” Rekan yang lain mengingatkan.

Sari meraba kening Nawa, memang sedikit dingin karena Nawa tadi cukup lama saat mandi.

“Kamu istirahatlah dulu. Nanti aku belikan obat habis ini,” ujar Sari.

Nawa mengangguk. Ia kembali menangis. “Sar, maaf merepotkan.”

“Enggak. Udah, jangan dipikirkan perkataan Wulan si Lampir tadi. Harusnya aku yang minta maaf nggak menemukanmu."

Nawa hanya terus berharap skandalnya bersama pria asing semalam tidak diketahui bos dan rekan-rekannya.

“Allah, tolong tutupi aib hamba.”

**

Di kamar hotel lain, Brama melepas pandang ke jendela yang menampakkan sinar hangat matahari pagi sambil menyesap kopi.

“Bagaimana perintah saya semalam? CCTV aman?” tanyanya melalui telepon.

“Aman, Sir. Tenang saja.”

“Bagus. Jangan lupa segera kirim potongan rekaman yang kamu dapat semalam pada saya segera. Dan pastikan, rekamannya tidak menyebar. Kalau sampai tersebar, kamu yang saya eksekusi pertama kali.”

“Siap, Sir.”

“Bagus.”

Tut!

Panggilan dimatikan.

Satu menit kemudian, sebuah pesan video diterima Brama. Tanpa membuang waktu, pria itu membukanya.

Video berawal dari lobi di mana Brama dan Nawa berpapasan. Lalu, ketika lift terbuka sampai keduanya masuk di kamar yang sama. Pria itu menjeda beberapa video saat wajah Nawa tersorot jelas.

Tadi malam sesaat setelah mengeksekusi Nawa, Brama langsung menghubungi anak buahnya untuk mengamankan CCTV. Jadi, sebelum rekan Nawa melihat rekaman itu, rekaman sudah disabotase orang suruhan Brama. Tidak sulit bagi pesuruh itu sebab Brama bukan pria sembarangan.

“Apa aku semalam sudah merusak masa depan seorang gadis?” gumam Brama sambil terus menatap wajah Nawa di rekaman tersebut.

Dari penjelasan Nawa, Brama menebak wanita itu sedang ada dalam pengaruh obat perang*ang. Nawa masih gadis, Brama tahu dan merasakan itu. Namun, entah mengapa kekecewaan pada Elea, justru dilampiaskan pada gadis lain yang tidak bersalah.

Ingin rasanya Brama melupakan kejadian semalam. Namun, pikiran dan hatinya tidak bisa. Bagaimana saat Nawa menangis, terpejam, menjerit, dan meminta tolong terus membayang.

Semalam, Brama langsung keluar kamar setelah meletakkan sejumlah uang di antara dompet dan ponsel Nawa. Entah uang itu dibawa atau tidak oleh Nawa. Ia membawa serta koper dan barangnya, memilih pindah kamar. Sementara Nawa tertidur, tidak tahu kepergian Brama.

Brama kembali menghubungi anak buahnya. “Cari tahu detail tentang gadis di rekaman itu dan laporkan segera! Katanya, namanya Nawa. Dan sepertinya dia juga menginap di hotel ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   124. Bunga

    Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   123. Twin Jilid Dua

    “Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   122. Masalah Besar

    Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   121. Jangan Ambil Anakku!

    “Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   120. Sadar

    “Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   119. Larangan?

    “Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   118. Datang Sekarang

    Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   117. Rahasiakan

    “Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   116. Siapa Dia?

    “Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status