Share

4. Lebih Dekat

Penulis: Zuya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-13 12:32:30

Seharian, Nawa tidak keluar kamar sama sekali. Ia sendian di kamar. Ia juga melewatkan kegiatan seru bersama teman-temannya. Sari sebenarnya ingin menemani, tetapi Nawa menolak. Selain karena tidak ingin menghambat kesenangan sang teman, ia juga masih ingin sendiri.

Kasus pencarian Nawa tidak dilanjut karena Nawa sudah ditemukan. Beruntung sang manajer tidak memarahi setelah tahu kondisi Nawa yang lemas. Lebih tepatnya pura-pura sakit dan lemas.

Nawa merasa dirinya kotor. Ia masih malu dan belum siap menghadapi dunia. Meskipun hanya dirinya dan pria asing itu yang tahu, tetap saja rasanya masih kikuk jika mengingat dosa-dosanya semalam.

“Wa, kamu oke?” Agung mengirim pesan. Pria yang saat ini bertugas di perbatasan Indonesia timur tersebut merasa khawatir karena tidak biasanya Nawa mengabaikan dirinya sejak semalam.

“Aku agak nggak enak badan. Kemarin jatuh dari kamar mandi, pingsan di sana nggak ada yang tahu. Makanya semalam aku nggak angkat telepon Mas Agung.” Nawa membalas. Terpaksa ia berbohong.

Agung langsung menghubungi Nawa lewat panggilan video.

“Apanya yang sakit? Parah nggak? Gimana ceritanya sampai bisa jatuh?” cecar Agung langsung setelah bertukar salam.

Nawa yang kepalanya terbungkus selimut hanya tersenyum. “Bisa satu-satu nggak pertanyaannya?”

“Astagfirullah. Saking khawatirnya. Jaga diri po’o, Wa.”

“Mas Agung nggak tugas?”

“Ini baru balik dinas. Gantian jaga sama yang lain.”

Nawa mengangguk paham.

Tugas di daerah perbatasan yang sering konflik memang sering membuat Nawa waswas dengan keselamatan Agung. Namun, sekali lagi ia harus sadar kalau Agung itu aset negara dan ia hanya bisa berdoa untuk keselamatan sang pria.

“Ceritakan bagaimana kronologinya. Perasaan semalam kita habis teleponan.” Pria hitam manis yang masih memakai seragam itu mulai melepas aksesoris di tubuhnya seperti jam tangan. Ia meletakkan ponsel dengan posisi berdiri agar tetap bisa melihat Nawa.

“Kebelet pipis, buru-buru, lalu jatuh. Kepala kejedot bak mandi, habis itu ngerasa pusing banget, lalu nggak ingat apa-apa. Begitu bangun, udah Subuh tadi. Mas Agung, aku minta maaf, ya.”

Mata Nawa mulai berkaca-kaca. Ia merasa sudah berkhianat dengan pria yang wajahnya ada di layar ponselnya. Agung pria baik, salih, dan sangat hormat pada orang tua dan dirinya. Bagaimana bisa sampai Nawa bertindak begitu jauh seperti semalam?

“Kamu ini ngomong apa? Kenapa ngelantur? Kamu nggak salah, aku nggak marah karena kamu abaikan. Justru makin khawatir. Periksa, ya? Sekarang juga. Ajak temanmu untuk mendampingi. Aku takut ngelanturmu ini efek jatuh.”

Nawa menggeleng. Sekarang matanya tidak lagi berkaca-kaca, tetapi benar-benar menangis.

“Sakit sekali, ya? Sampai nangis gitu. Apa perlu aku telepon temanku yang ada di Bali buat bawa kamu periksa?”

Tangis Nawa kian kencang. Ia terus menggeleng. Pria sebaik itu harus dikhianatinya. Jika Agung tahu kebenarannya, pasti pria itu akan marah besar dan jijik padanya.

“Wa, jangan nangis aja. Aku tutup dulu teleponnya. Aku akan minta–“

“Nggak perlu, Mas. Aku nggak apa-apa. Hanya saja terharu kenapa Mas Agung sebaik ini?”

“Karena aku ini calon tunanganmu, calon suamimu, jadi aku harus memastikan kamu selalu dalam kondisi baik-baik saja.”

“Kalau aku berbuat kesalahan, apa Mas Agung akan memaafkan?”

“Tergantung kesalahannya. Ada apa memangnya?”

Nawa bingung. Haruskah jujur pada Agung?

“Wa,” panggil Agung saat Nawa lama diam sambil menangis.

“Nggak jadi. Mas Agung di sana jaga diri, ya?”

“Pasti kalau itu. Hanya saja terus kepikiran kamu. Takutnya kamu kenapa-napa. Jatuh dari kamar mandi itu bahaya, lho, Wa.”

“Insyaallah enggak.”

Agung menyugar rambut sambil terus berbicara. Terlihat begitu jantan menurut Nawa. Namun, ingatannya justru kembali tersangkut pada pria asing semalam. Jika Agung berkulit sawo matang karena pekerjaannya sering bertarung dengan alam dan hal membahayakan, pria asing semalam berkulit putih bersih khas orang berada. Tubuh keduanya sama-sama berisi. Yang paling tidak bisa dilupakan Nawa adalah manik mata biru yang dimiliki pria asing itu.

Nawa menggeleng samar, mengusir hal g*la yang sempat menguasai.

“Ya udah, kamu istirahat lagi biar lekas sehat. Sudah minum obat atau vitamin?” tanya Agung.

Nawa mengangguk. "Udah, tadi dibelikan temenku."

“Jaga diri baik-baik. Mau manggil sayang juga belum boleh.” Agung tertawa kecil. “Insyaalah tidak lama lagi aku dan kamu akan menjadi kita. Kamu yang sabar, ya? Maaf sudah menunggu lama. Doakan setelah ini aku ditugaskan di pulau Jawa. Biar enak semuanya.” Pria yang usianya tiga tahun di atas Nawa tersebut menatap Nawa sendu.

“Aamiin. Mas juga istirahatlah. Pasti capek banget.”

"Kamu juga. Aku temani sampai kamu tidur."

Keduanya saling lempar senyum, lalu lempar salam. Kemudian, panggilan video dimatikan Agung setelah Nawa pura-pura terpejam.

Nawa baru membuka mata setelah memastikan Agung mematikan panggilan video.

Beberapa saat kemudian, ada notifikasi dari aplikasi perbankan milik Nawa. Agung mengirim sejumlah uang.

“Buat periksa sekarang juga. Jangan ditunda. Tapi ingat, ajak teman, jangan pergi sendiri. Di sana kamu pendatang.” Pesan dari Agung dibaca Nawa melalui bilah notifikasi tanpa membuka aplikasi W*.

Nawa kian terisak-isak. Entah kata-kata apa lagi untuk menjabarkan betapa Agung memang sangat menyayanginya. Pria itu tidak pernah mengumbar kata cinta, memperlihatkan kebucinan secara berlebihan. Namun, tindakannya selalu tidak terduga dan membuat Nawa meleleh. Nawa merasa, pria itu tidak pantas untuk dirinya yang sudah kotor.

**

Seharian ini, Brama juga berniat berdiam diri di kamar. Ia memindahkan video rekaman CCTV dan foto Nawa yang semalam sempat diambilnya ke laptop. File disimpan di tempat sangat tersembunyi dan perlu sandi untuk membukanya.

Entah mengapa, Brama tidak bosan melihat wajah ayu nan teduh itu. Kekecewaan dan kebencian pada Elea menguap dengan sendirinya. Sekarang yang ada justru rasa bersalah karena telah merusak gadis bernama Nawa.

Yadi, anak buahnya menelepon.

“Di, tolong rekam pernyataan saya," ujar Brama langsung.

“Tentang apa, Sir?”

“Cukup kamu rekam. Jangan banyak tanya.”

“Baiklah. Saya siapkan.”

Yadi terdengar sedikit berisik di sana. “Sudah, Sir. Silakan bicara."

“Saya bersumpah jika bertemu dengan gadis bernama Nawa itu lagi, saya akan menikahinya.”

Yadi sedikit terkejut, tetapi kembali menguasai diri kembali. “Done, Sir.”

“Lalu untuk apa kamu menelepon?”

“Saya sudah mendapatkan informasi tentang si Nawa tadi. Dia bekerja di PT. Sun Zack Diamond Care di bagian marketing dua tahun ini. Dia mengurus bagian product marketing and branding. Lulusan terbaik ITS. Dia bekerja di Sunmod karena direkomendasikan langsung oleh pihak kampus.”

Brama terpaku sejenak. Ia terdiam cukup lama. “Yakin dengan informasi yang kamu dapat ini?”

“Yakin, Sir.”

“Oke.”

Panggilan pun dimatikan.

Bibir Brama membentuk sabit.

Baru saja diletakkan, ponsel Brama kembali berdering. Ada panggilan dari sang daddy.

“Bram, kata anak buah Daddy kamu sudah ada di tanah air? Kamu ada di Bali?” cecar suara di seberang.

“Hm.”

“Kenapa nggak kabar-kabar?” Kali ini suara wanita, mommy-nya.

“Masih sibuk.”

“Sibuk mabuk di bar?”

Brama memutar bola mata. “Ada apa? Biasanya kalian nggak repot aku mau pulang apa enggak.”

“Kali ini darurat. Tolong Daddy, Bram. Ada laporan penggelapan dana perusahaan kita. Tolong kamu atasi Sunmond Care yang ada di Jatim. Mumpung kamu ada di Indonesia.”

“What?”

“Tapi syaratnya kamu harus menyamar jadi karyawan biasa agar bisa menangkap basah para koruptor itu.”

Brama mengerjap. Itu artinya, ia bisa lebih dekat dengan Nawa. Sebab Sun Zack Diamond Care di mana Nawa bekerja adalah perusahaan milik keluarganya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   124. Bunga

    Kehidupan Brama dan Nawa banyak berubah setelah memiliki anak. Tentu saja membawa mereka pada vibes positif. Meskipun menjadi orang tua tidaklah mudah, mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Kanza dan Kenzo menjadi pelipur lelah mereka.Setelah diberi mandat dari Boby untuk mengelola Sunmond Care, Pasutri tersebut pindah ke Gresik. Ida dan pengasuh Kembar dibawa ikut serta. Rumah di Nganjuk tidak dikosongkan, melainkan ada yang ditugaskan menempati. Rumah itu untuk investasi dan tujuan ketika pulang kampung. Kadang Zidan dan Alvina sengaja menginap di sana. Atau Heru jika ingin.Beberapa bulan setelah kelahiran Twin, Gilang menikah. Sebagai hadiah karena kesetiaan, ia dan Yadi dipercaya mengelola pabrik air mineral Brama yang sedang masa berjaya. Tentu saja masih tetap dalam pengawasan Brama. Sebagai pengawal pengganti, sudah ada pengganti yang sudah lolos uji dari Gilang dan Yadi. Tingkat kesetiaannya harus setara.Untuk bisnis aplikasi di luar negeri, Brama masi

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   123. Twin Jilid Dua

    “Lo jangan membuat huru-hara di tengah kebahagiaan gue, ya, Bim. Gue potong sosis lo kalo macem-macem!" ancam Brama.“Wey, wey, wey! Santai. Jangan anarkis!"“Lalu apa maksud lo bilang begitu?”“Maksud gue, gue dalam bahaya besar karena sepertinya Daddy akan membagi warisannya ke anak-anak lo juga. Jatah gue berkurang, njir!”Semua yang ada di sana menahan senyum. Sementara Brama mengangkat tangannya yang terkepal ke arah sang adik. “Ambil sono jatah Kembar. Gue nggak butuh. Dasar duda tamak!”“Sudah jadi bapak kudu sabar weh. Nggak malu sama anaknya kalau bapaknya emosian?” sindir Bima lagi, membuat Brama ingin menendang adiknya itu ke inti bumi.“Tiba-tiba Daddy dapat inspirasi dari ucapan Bima. Sebagai hadiah dan rasa syukur atas lahirnya si kembar, Daddy kasih saham Sunmond Care untuk mereka. Di sana kepemimpinan resminya masih kosong. Jadi, Brama yang harus mengelolanya karena si kembar belum memungkinkan. Akan Daddy urus segera pengalihannya. Kalau perlu saat ini juga. Mom, mana

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   122. Masalah Besar

    Brama menghentikan laju bed di mana sang istri tengah berbaring sebelum benar-benar masuk ruang perawatan. Ia menatap bergantian pada keluarganya yang ada di dalam ruangan.“Siapa yang mengizinkan kalian masuk! Untuk apa kalian ke sini?” pekik Brama.Mereka diam.Sementara Nawa sudah histeris. Ia ketakutan jika anaknya sampai disakiti atau dibawa keluarga suaminya itu.“Sayang, tenang. Nggak akan kubiarkan mereka mengambil anak-anak.” Brama terus menggenggam telapak tangan istrinya dengan tangan kiri.“Sir, suruh mereka pergi. Kumohon.”“Iya, tapi kamu jangan panik."Brama ganti menatap perawat yang mengantar. “Saya mau istri saya pindah kamar.”Brama lalu menghubungi Gilang. “Kerahkan pasukan. Perketat keamanan ruang bayi. Pastikan tidak ada orang asing masuk. Terlebih jangan biarkan keluarga Tangerang mendekat.”Brama mengode dengan kepala pada perawat agar Nawa urung dimasukkan. Ia ingin sang istri dijauhkan dari ruangan tersebut. Namun, Bima sudah lebih dulu berhasil mencekal pingg

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   121. Jangan Ambil Anakku!

    “Lo aja yang ke sana. Gue mau balik.” Brama hendak menutup kembali pintu kamar, tetapi ditahan oleh Bima.“Kenapa? Lo mau melarikan diri? Atau takut ketemu daddy? Gue curiga semalem lo bicara aneh sama dia sampai tiba-tiba sadar gini.”“Suudzon aja lo.”“Pokoknya lo harus ikut.” Bima menyeret lengan sang kakak.“Gue masih pakai sarung njir. Bentar gue ganti baju dulu.” Brama menepis tangan Bima kasar.“Ya udah, gue tunggu. Takutnya lo kabur. Yang gantle, Bre. Masa takut sama daddy.”“Gue nggak takut. Sembarangan mulut lo.”Brama masuk kamar, lalu mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus, lantas memakai jaket. Ia dan sang adik kemudian menuruni anak tangga.“Bima! Ke mana ini anak? Tadi ngajak cepat-cepat, sekarang malah ilang!” Terdengar gerutu Gahayu di lantai bawah. Wanita tersebut mondar-mandir tak jelas.“Iya, aku datang!” balas Bima dengan suara keras. Ia turun bersisian dengan Brama.“Dasar kamu it–“ Kalimat Gahayu tidak terucap sempurna tatkala melihat siapa yang ada di

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   120. Sadar

    “Bukan gitu. Cuma firasatku nggak enak. Takut mereka menahan dan melarang Sir menemuiku lagi. Aku takut mereka memisahkan kita.” Bibir Nawa mengerucut. Ia menatap suaminya sendu.Brama tersenyum. Ia menghentikan aktivitasnya, mendekati sang istri. “Apa ini artinya kamu sudah benar-benar bucin sama suamimu ini, hm? Sampai-sampai ditinggal sebentar saja tantrum gini.”Nawa mengangguk tanpa ragu. Ia sudah terbiasa ditinggal Brama dalam urusan bisnis. Namun sekarang, rasanya beda saat Brama akan meninggalkannya ke Tangerang. Pasti mertuanya itu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu agar Brama meninggalkannya.Brama menyelipkan telapak tangannya ke belakang telinga Nawa, menyibak rambut legam itu. “Sayang, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah dilarang atau ditahan. Suamimu ini sudah dewasa, sudah bisa membuat anak, dan mau jadi bapak-bapak. Jadi, nggak akan semudah itu ditahan di sana. Pokoknya kamu tenang saja. Insyaallah aku akan kembali. Kalau mereka melarang, aku akan me

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   119. Larangan?

    “Sorry, Bim. Kalau sekarang gue nggak bisa. Ada acara di rumah,” jawab Brama.“Nggak usah alesan! Sekali ini aja tolong lo datang. Daddy sudah beberapa hari ini nggak sadar. Lo nggak takut menyesal kalau sampai dia tiada dan lo belum sempet minta maaf, nggak sempet ketemu untuk yang terakhir kali? Bentar, gue alihkan dengan video call. Biar lo lihat sendiri betapa memprihatinkannya pria yang sudah menyumbangkan kecebongnya sampai lo bisa ada di dunia ini."Bima mengubah panggilan menjadi video call. Di sana memperlihatkan Boby tengah berbaring tak berdaya dengan beberapa alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya. Sementara Bima memakai APD yang dikhususkan untuk masuk ruang ICU.“Kenapa lo baru bilang sekarang di saat gue sibuk, hah! Gue nggak alesan, gue beneran sibuk. Ada acara penting di sini!"“Mau ada acara apa? Apa lebih penting daripada bokap lo, hah!”“Ini acara sakral Nawa! Gue nggak bisa meninggalkan di mana saat ini acara intinya.”“Lo bucin boleh, tapi jangan durhaka-d

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   118. Datang Sekarang

    Nawa mengangguk. “Ya. Terlebih orang tua Sir. Setelah aku lahiran, baru Sir boleh mengabari mereka. Aku nggak mau mereka berbuat sesuatu untuk mencelakakan calon anak kita.”“Bapakmu juga? Nggak mau mengabari mereka berita bahagia ini?”Nawa menggeleng. “Nggak usah dulu sebelum calon anak kita benar-benar berkembang dan sehat. Minimal empat bulanlah.”“Baiklah. Apa pun yang membuatmu nyaman, aku turuti. Tapi untuk pekerja di rumah ini harus tahu, biar mereka ikut jaga kamu.” Brama meraba perut sang istri, mengelusnya lembut. “Sayang, ceritakan padaku kapan pertama kali tahu kalau hamil.”“Baru beberapa hari yang lalu, sih.”“Gimana perasaanmu?”Nawa membalik tubuh, menghadap suaminya. Ia membelai rahang tegas yang bersih dari rambut tersebut. “Nangis.”“Nggak bahagia?”“Lebih dari itu. Rasanya seperti dahaga setelah kemarau sekian lama, lalu Allah menurunkan hujan. Yang ada rasa syukur yang luar biasa sampai nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kalau Sir? Bahagia nggak?”Brama terke

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   117. Rahasiakan

    “Sinikan ponselnya. Kamu nggak perlu banyak pikiran. Biar kuurus peneror itu. Sekarang, tolong hanya fokuskan pikiranmu untuk calon anak kita.” Brama menengadahkan tangan. Ia dan sang istri tiba di depan apotek klinik. Pria itu mengajak duduk istrinya dengan tangan masih merangkul.Nawa melengos. “Bilang aja mau meladeni dia, mau ketemu dia, trus habis itu jatuh cinta.”“Astaga, kamu bersikap menyebalkan seperti ini kuanggap maklum karena kamu sedang hamil. Kalau tidak, sudah kumakan kamu. Heran, kerjaannya suudzon terus sama suami.”“Lah iya, harus dicurigai terus. Salah siapa selalu bikin masalah.”“Kamu yang bikin masalah sebenarnya. Sudah kujelaskan itu orang gila. Atau mungkin Stevie yang sengaja membuat huru-hara lagi. Tapi tunggu, katanya tadi kamu ke sini untuk perawatan yang lain, tapi kenapa pas di dalam tadi beda?”Nawa hanya melirik, tidak menjawab.“Nyonya Annawa!” Suara dari meja administrasi membuat keduanya bangkit.“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang ambil obat sa

  • Dilamar Presdir yang Menyamar   116. Siapa Dia?

    “Paket? Pesan? Apaan?” Wanita itu menatap Brama dengan pandangan menyelidik. “Aku nggak ngirim apa-apa.”“Oh, bukan kamu, ya? Lalu siapa? Oh, orang iseng mungkin.” Brama merutuki mulutnya yang terlalu tidak sabar bertanya. Harusnya ia bisa berhati-hati menghadapi jebakan ini.Wanita itu lalu berkacak pinggang. “Aku jadi curiga. Pesan apa? Siniin ponselnya. Mau kulihat!”Ialah Nawa yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ruang periksa.“Ah, bukan apa-apa. Lupakan. Lalu kenapa kamu ada di sini, Sayang?”"Jangan mengalihkan bahasan! Paket dan pesan apaan?""Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu keluyuran sampai sini? Katanya sudah stop Promil?"“Aku udah terbiasa periksa sama Dokter Rani. Sir tahu itu. Hari ini aku ada jadwal perawatan Miss V. Harusnya aku yang tanya. Ngapain Sir keluyuran di sini?” Nawa menyeret sang suami pindah ke tempat lebih tepi agar tidak mengganggu jika ada yang ingin ke toilet.“Oh, itu tadi–““Siniin ponsel Sir. Pasti ada yang nggak beres.”“Ngg

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status