Seharian, Nawa tidak keluar kamar sama sekali. Ia sendian di kamar. Ia juga melewatkan kegiatan seru bersama teman-temannya. Sari sebenarnya ingin menemani, tetapi Nawa menolak. Selain karena tidak ingin menghambat kesenangan sang teman, ia juga masih ingin sendiri.
Kasus pencarian Nawa tidak dilanjut karena Nawa sudah ditemukan. Beruntung sang manajer tidak memarahi setelah tahu kondisi Nawa yang lemas. Lebih tepatnya pura-pura sakit dan lemas.
Nawa merasa dirinya kotor. Ia masih malu dan belum siap menghadapi dunia. Meskipun hanya dirinya dan pria asing itu yang tahu, tetap saja rasanya masih kikuk jika mengingat dosa-dosanya semalam.
“Wa, kamu oke?” Agung mengirim pesan. Pria yang saat ini bertugas di perbatasan Indonesia timur tersebut merasa khawatir karena tidak biasanya Nawa mengabaikan dirinya sejak semalam.
“Aku agak nggak enak badan. Kemarin jatuh dari kamar mandi, pingsan di sana nggak ada yang tahu. Makanya semalam aku nggak angkat telepon Mas Agung.” Nawa membalas. Terpaksa ia berbohong.
Agung langsung menghubungi Nawa lewat panggilan video.
“Apanya yang sakit? Parah nggak? Gimana ceritanya sampai bisa jatuh?” cecar Agung langsung setelah bertukar salam.
Nawa yang kepalanya terbungkus selimut hanya tersenyum. “Bisa satu-satu nggak pertanyaannya?”
“Astagfirullah. Saking khawatirnya. Jaga diri po’o, Wa.”
“Mas Agung nggak tugas?”
“Ini baru balik dinas. Gantian jaga sama yang lain.”
Nawa mengangguk paham.
Tugas di daerah perbatasan yang sering konflik memang sering membuat Nawa waswas dengan keselamatan Agung. Namun, sekali lagi ia harus sadar kalau Agung itu aset negara dan ia hanya bisa berdoa untuk keselamatan sang pria.
“Ceritakan bagaimana kronologinya. Perasaan semalam kita habis teleponan.” Pria hitam manis yang masih memakai seragam itu mulai melepas aksesoris di tubuhnya seperti jam tangan. Ia meletakkan ponsel dengan posisi berdiri agar tetap bisa melihat Nawa.
“Kebelet pipis, buru-buru, lalu jatuh. Kepala kejedot bak mandi, habis itu ngerasa pusing banget, lalu nggak ingat apa-apa. Begitu bangun, udah Subuh tadi. Mas Agung, aku minta maaf, ya.”
Mata Nawa mulai berkaca-kaca. Ia merasa sudah berkhianat dengan pria yang wajahnya ada di layar ponselnya. Agung pria baik, salih, dan sangat hormat pada orang tua dan dirinya. Bagaimana bisa sampai Nawa bertindak begitu jauh seperti semalam?
“Kamu ini ngomong apa? Kenapa ngelantur? Kamu nggak salah, aku nggak marah karena kamu abaikan. Justru makin khawatir. Periksa, ya? Sekarang juga. Ajak temanmu untuk mendampingi. Aku takut ngelanturmu ini efek jatuh.”
Nawa menggeleng. Sekarang matanya tidak lagi berkaca-kaca, tetapi benar-benar menangis.
“Sakit sekali, ya? Sampai nangis gitu. Apa perlu aku telepon temanku yang ada di Bali buat bawa kamu periksa?”
Tangis Nawa kian kencang. Ia terus menggeleng. Pria sebaik itu harus dikhianatinya. Jika Agung tahu kebenarannya, pasti pria itu akan marah besar dan jijik padanya.
“Wa, jangan nangis aja. Aku tutup dulu teleponnya. Aku akan minta–“
“Nggak perlu, Mas. Aku nggak apa-apa. Hanya saja terharu kenapa Mas Agung sebaik ini?”
“Karena aku ini calon tunanganmu, calon suamimu, jadi aku harus memastikan kamu selalu dalam kondisi baik-baik saja.”
“Kalau aku berbuat kesalahan, apa Mas Agung akan memaafkan?”
“Tergantung kesalahannya. Ada apa memangnya?”
Nawa bingung. Haruskah jujur pada Agung?
“Wa,” panggil Agung saat Nawa lama diam sambil menangis.
“Nggak jadi. Mas Agung di sana jaga diri, ya?”
“Pasti kalau itu. Hanya saja terus kepikiran kamu. Takutnya kamu kenapa-napa. Jatuh dari kamar mandi itu bahaya, lho, Wa.”
“Insyaallah enggak.”
Agung menyugar rambut sambil terus berbicara. Terlihat begitu jantan menurut Nawa. Namun, ingatannya justru kembali tersangkut pada pria asing semalam. Jika Agung berkulit sawo matang karena pekerjaannya sering bertarung dengan alam dan hal membahayakan, pria asing semalam berkulit putih bersih khas orang berada. Tubuh keduanya sama-sama berisi. Yang paling tidak bisa dilupakan Nawa adalah manik mata biru yang dimiliki pria asing itu.
Nawa menggeleng samar, mengusir hal g*la yang sempat menguasai.
“Ya udah, kamu istirahat lagi biar lekas sehat. Sudah minum obat atau vitamin?” tanya Agung.
Nawa mengangguk. "Udah, tadi dibelikan temenku."
“Jaga diri baik-baik. Mau manggil sayang juga belum boleh.” Agung tertawa kecil. “Insyaalah tidak lama lagi aku dan kamu akan menjadi kita. Kamu yang sabar, ya? Maaf sudah menunggu lama. Doakan setelah ini aku ditugaskan di pulau Jawa. Biar enak semuanya.” Pria yang usianya tiga tahun di atas Nawa tersebut menatap Nawa sendu.
“Aamiin. Mas juga istirahatlah. Pasti capek banget.”
"Kamu juga. Aku temani sampai kamu tidur."
Keduanya saling lempar senyum, lalu lempar salam. Kemudian, panggilan video dimatikan Agung setelah Nawa pura-pura terpejam.
Nawa baru membuka mata setelah memastikan Agung mematikan panggilan video.
Beberapa saat kemudian, ada notifikasi dari aplikasi perbankan milik Nawa. Agung mengirim sejumlah uang.
“Buat periksa sekarang juga. Jangan ditunda. Tapi ingat, ajak teman, jangan pergi sendiri. Di sana kamu pendatang.” Pesan dari Agung dibaca Nawa melalui bilah notifikasi tanpa membuka aplikasi W*.
Nawa kian terisak-isak. Entah kata-kata apa lagi untuk menjabarkan betapa Agung memang sangat menyayanginya. Pria itu tidak pernah mengumbar kata cinta, memperlihatkan kebucinan secara berlebihan. Namun, tindakannya selalu tidak terduga dan membuat Nawa meleleh. Nawa merasa, pria itu tidak pantas untuk dirinya yang sudah kotor.
**
Seharian ini, Brama juga berniat berdiam diri di kamar. Ia memindahkan video rekaman CCTV dan foto Nawa yang semalam sempat diambilnya ke laptop. File disimpan di tempat sangat tersembunyi dan perlu sandi untuk membukanya.
Entah mengapa, Brama tidak bosan melihat wajah ayu nan teduh itu. Kekecewaan dan kebencian pada Elea menguap dengan sendirinya. Sekarang yang ada justru rasa bersalah karena telah merusak gadis bernama Nawa.
Yadi, anak buahnya menelepon.
“Di, tolong rekam pernyataan saya," ujar Brama langsung.
“Tentang apa, Sir?”
“Cukup kamu rekam. Jangan banyak tanya.”
“Baiklah. Saya siapkan.”
Yadi terdengar sedikit berisik di sana. “Sudah, Sir. Silakan bicara."
“Saya bersumpah jika bertemu dengan gadis bernama Nawa itu lagi, saya akan menikahinya.”
Yadi sedikit terkejut, tetapi kembali menguasai diri kembali. “Done, Sir.”
“Lalu untuk apa kamu menelepon?”
“Saya sudah mendapatkan informasi tentang si Nawa tadi. Dia bekerja di PT. Sun Zack Diamond Care di bagian marketing dua tahun ini. Dia mengurus bagian product marketing and branding. Lulusan terbaik ITS. Dia bekerja di Sunmod karena direkomendasikan langsung oleh pihak kampus.”
Brama terpaku sejenak. Ia terdiam cukup lama. “Yakin dengan informasi yang kamu dapat ini?”
“Yakin, Sir.”
“Oke.”
Panggilan pun dimatikan.
Bibir Brama membentuk sabit.
Baru saja diletakkan, ponsel Brama kembali berdering. Ada panggilan dari sang daddy.
“Bram, kata anak buah Daddy kamu sudah ada di tanah air? Kamu ada di Bali?” cecar suara di seberang.
“Hm.”
“Kenapa nggak kabar-kabar?” Kali ini suara wanita, mommy-nya.
“Masih sibuk.”
“Sibuk mabuk di bar?”
Brama memutar bola mata. “Ada apa? Biasanya kalian nggak repot aku mau pulang apa enggak.”
“Kali ini darurat. Tolong Daddy, Bram. Ada laporan penggelapan dana perusahaan kita. Tolong kamu atasi Sunmond Care yang ada di Jatim. Mumpung kamu ada di Indonesia.”
“What?”
“Tapi syaratnya kamu harus menyamar jadi karyawan biasa agar bisa menangkap basah para koruptor itu.”
Brama mengerjap. Itu artinya, ia bisa lebih dekat dengan Nawa. Sebab Sun Zack Diamond Care di mana Nawa bekerja adalah perusahaan milik keluarganya.
PT. Sun Zack Diamond Group atau yang biasa disebut Sunmond adalah perusahaan yang bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Atau perusahaan yang bergerak di bidang penyedia produk untuk konsumen. Perusahaan ini berkembang pesat dan bersaing dengan produk luar seperti Unalaver maupun produk dalam negeri seperti Wangs. Tahun ini, Sunmond menjadi perusahaan lokal terbesar kedua di dalam negeri menurut pasar bisnis. Ada beberapa cabang Sunmond Grup di antaranya Sunmond Food yang memproduksi makanan seperti mi instan, kecap, penyedap rasa, es krim, dan sebagainya. Lalu ada Sunmond Care yang memproduksi seperti sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, sampo, dan masih banyak lagi. Ada lagi Sunmond Beauty yang berfokus pada kecantikan seperti skincare, lipstik, parfum, dan lain-lain. Perusahaan yang diwariskan secara turun-temurun itu kini dipegang oleh Boby Zack Aldhlino, orang tua Brama Zack Adhlino. Brama termasuk anak yang keluar jalur. Ia sama sekali tidak tertarik dengan bisn
“Baiklah. Katakan di mana posisi yang kamu inginkan.” Boby tersenyum. Pria blasteran itu cukup lega sang putra mau menerima tawarannya.“Marketing,” jawab Brana tanpa ragu.“Kenapa harus di bagian marketing? Bram, masalah kita di bagian keuangan. Kalau kamu ingin mengungkap lingkaran hitam para tikus itu, masuk di bagian keuangan!”“Daddy-mu benar, Bram. Masuklah ke bagian keuangan biar kamu lebih tahu detail bagaimana mereka mengelola dan melaporkan keuangan. Sebenarnya kami akan langsung menunjukmu sebagai Presdir di sana.” Gahayu, mommy-nya ikut bersuara.“Aku sudah bilang, aku mau membantu asal aku dibebaskan memilih posisi.” Brama meradang.“Bram, apa kata orang-orang kalau kamu ada di posisi rendah?” Gahayu kembali mengompori.Seperti biasa, Brama masih tetap terlihat tenang.Dari Bali, siang harinya Brama langsung bertolak menuju kota seribu industri, di mana pusat Sunmond Grup dan rumah orang tuanya berada.Di Tangerang, letak pabrik Sunmond Food dan Sunmond Beauty. Sementara
Selama sehari cuti, Nawa tidak melakukan apa pun di kamar kos-kosannya. Ia hanya menangis sampai matanya bengkak. Atau hanya rebahan dan kalau senggang ditemani Agung. “Nggak kerja?” tanya abdi negara itu melalui panggilan video. “Dikasih libur habis refreshing.” Nawa lagi-lagi berbohong. “Sudah periksa, kan?” tanya Agung. Nawa mengangguk. “Mana coba lihat obatnya.” “Gitu amat, sih? Mentang-mentang ngasih transferan.” Agung tergelak. “Buat memastikan kalo transferannya tepat sasaran. Takutnya malah kamu gunakan CO keranjang orange atau keranjang kuning.” “Emang boleh?” Agung tergelak. Nawa pun mengambil Paracet*mol, antibiotik, dan vitamin yang kemarin dibeli di Bali. “Itu aja obatnya? Dikit amat.” “Ya, karena memang aku nggak kenapa-napa. Emang dasar Mas aja yang lebay.” “Bukan lebay, tapi buat memastikan kesehatanmu. Rontgen atau CT Scan lengkap juga gih.” “Mas, jangan berlebihan.” “Nawa–“ “Aku nggak apa-apa, beneran. Aku yang jatuh, aku yang tahu kondisi diriku send
Tangan Nawa gemetar. Dadanya naik turun menormalkan keterkejutan.“Astagfirullah. Jangan-jangan ... pria asing itu yang mengirim paket ini?”Cepat-cepat Nawa membungkus kembali semua isi paketnya, lalu membuangnya ke tempat sampah luar kamar.Nawa kembali tersedu-sedu. Entah apa maksud pengirim paket itu, tetapi yang pasti hidupnya mulai sekarang tidak lagi tenang sama seperti dulu. Ia harus kuat dengan serangan teror yang mungkin akan kembali lagi.Sesak dada Nawa rasanya hingga kesulitan bernapas. Ia tidak tahu harus berbagi masalah ini dengan siapa. Jika berbagi pada sahabatnya, bisa saja nanti malah tambah runyam. Aibnya bisa menyebar. Namun, ketika memendam sendiri seperti ini, ia tidak kuat dengan tekanan demi tekanan yang ada.Nawa bukan wanita bebas yang mungkin jika melakukan z*na tidak merasa menyesal. Ia beda. Wanita itu terbiasa hidup dalam lingkungan pesantren, keluarga yang menekankan hal keagamaan, juga selalu berusaha menjaga diri. Sekali kecolongan, Nawa terus memikir
“Nawa!” pekik Frengki.Sama halnya dengan Frengki, Brama bergumam sangat lirih menyebut nama wanita ayu itu.Brama sejenak mematung. Ketika melihat Nawa, ingatannya tertuju pada malam panasnya bersama wanita itu. Nawa saat itu terlihat begitu seksi. Sekarang Nawa berpenampilan tertutup. Mata Brama mengabsen seluruh inci tubuh Nawa dari balik kacamata tebalnya.“Ada apa ini?” Nawa mendekat.“Oh, nggak ada apa-apa. Ini hanya membetulkan kemeja si Brama yang berantakan.” Frengki yang awalnya mencengkeram kerah kemeja Brama, ganti mengelus kerah itu.“Aku nggak buta, ya, Mas. Aku tahu kalo Mas Frengki sedang berlagak menjadi preman. Dan apa kamu karyawan baru?” Nawa menatap Brama.“Iya.” Brama mengedip, memastikan sudah memakai softlens agar Nawa tidak mengenali warna matanya.“Mas Frengki, jangan lagi, ya? Soalnya aku pernah ada di posisi dia yang di-bully pas awal-awal kerja. Rasanya tertekan. Harusnya Mas Frengki yang udah senior, ngasih contoh yang baik. Dibimbing, Mas, jangan disiksa
“Sebentar, aku ke kamar mandi dulu. Kebelet,” kilah Brama sambil masuk ke toilet.Nawa menatap punggung Brama sampai hilang dari pandangan.“Kalau sampai dia tadi lihat kalau tompel ini hanya tempelan, mati aku,” gumam Brama sambil membenahi lagi penunjang penampilan buruk rupanya itu.Gigi depan beberapa menghitam, warna mata hitam, dan tompel telah terpasang. Tinggal membubuhkan kacamata. Sempurna. Brama pun keluar kamar mandi dan sudah tidak mendapati Nawa di sana.“Syukurlah. Sepertinya sebentar lagi jam kerja dimulai lagi.”Nawa pergi dan tidak jadi menunggu Brama karena rekannya memanggil untuk melihat hasil pengambilan video tadi.“Aku kok kurang sreg sama hasilnya ya? Kita ubah konsep aja gimana? Jadi gini. Ada dua adegan, satu pasutri dari kalangan orang kaya, satunya dari pasutri orang biasa. Bagaimana cara mereka mencuci itu jelas beda. Orang kaya pakai mesin cuci dan yang pasti baju mereka hanya kotor kena keringat. Kalau orang biasa ada yang pakai mesin cuci, tapi kebanya
Wajah Nawa yang dari tadi sendu, tambah mendung. Ia belum yakin meneruskan keseriusan bersama Agung. Wanita itu sadar diri, tidak lagi suci.“Wa, kok kayak nggak seneng gitu?”Nawa berusaha menarik sudut bibirnya. “Seneng. Seneng, kok. Ini tuh ekspresi terkejut, Komandan.”“Alhamdulillah. Setelah aku pulang, seperti yang sudah kita rencanakan. Kita lamaran, lalu nikah.”Nawa menunduk, menyembunyikan sudut matanya yang sudah mengembun.“Berarti siap jadi Ibu Persit?”Nawa mengangguk lemah. Hati dan tindakannya tidak sinkron. Ia menghapus sudut matanya.“Mas, aku ini wanita buruk, nggak pantas buat Mas Agung. Aku banyak kurangnya. Yakin tetap mau sama aku?”“Apa pun kekuranganmu, aku terima. Aku pun punya banyak kekurangan, Wa.”Kali ini air mata Nawa kembali menitik. “Mas Agung pria baik, sangat baik. Makin ke sini, aku ngerasa nggak–““Apa ada pria lain? Maksudku, kamu sengaja mengatakan ini karena tidak mau serius sama aku?”Nawa menghapus air matanya. “Nggak ada. Sama sekali nggak a
Prang! Saking tidak konsentrasi mengaduk teh ditambah pertanyaan Heru, membuat Nawa memecahkan gelas dan mengenai kakinya. “Enggaklah, Pak. Aku selalu jaga diri, kok.” Nawa berusaha agar suaranya tidak terdengar grogi. “Suara apa itu tadi?” “Oh, itu tetangga kos. Nggak tahu kenapa.” Nawa terpejam. Akhir-akhir ini ia banyak sekali berbohong. “Alhamdulillah. Kamu anak Bapak satu-satunya, jadi Bapak sangat takut kalau kamu sampai terpengaruh pergaulan bebas. Apalagi kamu ada di kota besar dan jauh dari Bapak. Bapak suka ketar-ketir Hati-hati. Ya sudah, sana istirahat.” “Iya. Bapak juga hati-hati, jaga kesehatan.” “Pasti. Bapak tunggu kepulanganmu. Hari Minggu nanti pulang, ya? Bapak mau nagih oleh-olehmu dari Bali itu. Sudah hampir sebulan, tapi belum dikasih juga.” Nawa tertawa. “Iya, Bapak.” Telepon pun diakhiri setelah saling bertukar salam. Nawa terduduk di kursi. Ia memijat kening sambil terpejam. Hamil? Satu kata yang menjadi momok setelah kejadian nahas malam itu. Jika s