"Hanna pasti kedinginan ... kamu sejak kemarin disini ya, Hun? Semalaman hujan deras dan kamu sendirian disini. Maafin aku Hanna, maafin ...," lirih Rain, ia menangis sesenggukan.
"Siapa orang bodoh yang berani menyakiti Hanna, akan berurusan langsung denganku," teriaknya.
Isak tangisnya begitu menyeruak, membuat orang-orang yang berada disana merasa iba melihatnya.
Rain melihat tangan dan kemeja putihnya penuh dengan darah dari luka kepala istrinya, Rain lekas mengeluarkan ponsel dari sakunya.
"Andy, bantu aku!"
"Hai Rain, apa yang bisa kubantu?" Andy adalah teman semasa kuliah yang hingga kini menjadi sahabat terdekatnya.
"Kamu tau apa yang kumaksud 'kan?"
"Aku mengerti Rain, nanti siang aku akan mengunjungimu ke kantor," pungkasnya.
"Baiklah, sekarang aku harus mengurus Hanna dulu."
***
[Satu minggu sebelumnya].
"Pak, untuk lahan perkebunan milik Pak Raharja, aku sudah mendatanginya, dan mereka minta bertemu di lokasi," jelas Maya."Kamu sudah atur waktunya?"
"Hari Senin pekan depan, pukul sepuluh," sahut Maya
"Oke. Oh ya Maya, sudah jam tujuh kamu boleh pulang, saya mau selesaikan pekerjaan dulu."
"Apa perlu sesuatu lagi, Pak?" tanya Maya sebelum pulang.
"Tak usah, oh ya kamu bisa pulang bareng Hendra. Saya mau menyetir sendiri."
"Baik, Pak, saya pamit pulang."
Rain hanya mengangguk. Ia menyelesaikan pekerjaannya dalam tiga puluh menit, lekas bergegas cepat ke mobil untuk pergi ke suatu tempat.
Di lokasi itu sudah ada seorang wanita cantik alami, dengan rambut terurai sedang duduk menunggu.
"Malem, Hun, kamu udah nunggu lama?" sapanya sambil mengecup pipi merahnya.
Hanna menggeleng, "Aku belum lama sampe, gimana kerjaan kamu?"
"Begitulah ... aku lagi ngurus lahan di daerah Bandung."
Rain, melihat-lihat buku menu, sementara waitress sudah mengantar makanan yang dipesan Hanna sebelumnya.
"Kamu udah pesan, Hun?"
"Iya, aku tau menu favoritmu di restoran ini," jawab Hanna dengan suara lembutnya.
Rain tersenyum, sambil membuka serbet dan memasangkan di atas paha Hanna yang terbalut dress berwarna maroon.
Mereka makan malam romantis berdua, begitulah setiap bulannya mereka selalu menghabiskan waktu berdua untuk sekedar makan atau berjalan-jalan. Mengobrol tentang apa yang tidak sempat mereka diskusikan di rumah karena kesibukan masing-masing.
🌵🌵🌵[Di Rumah.]
"Cyra?" panggil Rain.
"Papaaa Mamaaa ...." Cyra berlari dan langsung dipeluk Rain.
"Rain?" tanya seseorang yang keluar dari dalam kamar Cyra.
"Pa, kapan sampe?" tanya Rain.
"Tadi sore Rain, mama kangen ketemu Cyra," sahut Willy
"Mama mana, Pa?"
"Mama sama Bi Ina di dapur," ujar papanya Rain.
"Rain, gimana proyek hotel dan lahan Raharja?" William berjalan masuk ke ruang kerja Rain diikuti Rain di sampingnya.
"Hotel masih dalam tahap design akhir oleh tim, kalau tidak ada halangan akan segera dimulai proses pembangunan akhir bulan ini. Untuk lahan Raharja, mereka baru setuju bertemu pekan depan."
"Kamu harus dapat proyeknya Rain, papa dengar dari Heri kalau Delta dan Graha Bumi juga mau membeli lahan Raharja."
"Pasti, Pa, tempat itu memang sangat strategis untuk proyek perumahan, dekat akses jalan tol dan tidak jauh ke pusat kota," tukas Rain menerangkan.
"Ya, investasi yang sangat menguntungkan Rain."
🌵🌵🌵[Tiga Hari sebelumnya].
"Pak, Maya dan Hendra sudah menunggu," sahut Bi Ina."Iya makasih, Bi."
"Maya, saya tidak akan ke kantor hari ini, kita berangkat ke lokasi lahan Raharja jam sembilan. Kalian bisa istirahat di-."
"Tante Mayaa?" teriak Cyra memotong penjelasan Rain
"Halo Cyra sayang, kamu udah bangun?" sambil merendahkan tubuhnya setinggi Cyra.
"Udah tante," jawab Cyra. "Maaa Cyra mau sarapan sama Tante Maya," teriaknya pada Hanna.
"Iya, Sayang," ucap Hanna.
Hanna membawakan beberapa sandwich dan teh manis untuk Maya dan Hendra sambil mengobrol di halaman depan rumahnya yang penuh dengan bunga tulip.
Cyra sangat dekat dengan Maya, karena Maya sering bermain dengannya ketika di rumah Rain.
"Maa, susu Cyra mana?" tanyanya.
"Oh ya, Sayang. Mama lupa ... Mama ambil dulu, ya di dapur."
"Biar saya ambilkan, Bu, saya mau sekalian ke toilet," ujar Hendra mengusulkan.
"Oh boleh kalau gak keberatan, makasih, Hen," ucap Hanna sambil tersenyum.
🌵🌵🌵
Sementara itu di lokasi lahan, Pak Raharja mengajak Rain berkeliling lahan bersama sekertaris dan supirnya Rain."Jadi begini, Pak, dikarenakan lahan ini ada di tengah-tengah pemukiman warga, jadi saya juga harus menjaga beberapa milik warga setempat, saya tidak mau ada warga mengeluh atas pembangunan proyek Pak Rain, di samping itu ada Delta dan Graha Bumi yang sudah lebih dulu menawarkan kontrak."
"Pak Raja?" Rain menghentikan perjalanannya diikuti Pak Raja dan yang lainnya.
"Saya berjanji tidak akan mengganggu dan membatasi aktifitas warga. Saya akan memberi dan lebih lagi akan mengindahkan akses jalan yang tentunya menguntungkan juga bagi warga, dengan begitu saya yakin warga akan mendukung," ucap Rain dengan tulus dan mencoba meyakinkan Pak Raharja dengan kata-katanya.
Pak Raharja tersenyum mendengar penjelasan dari Rain.
"Kalau begitu saya akan mempelajari kontrak Pak Rain dan dua perusahaan lainnya, kalau saya sudah yakin saya akan menghubungi anda lagi," terang Pak Raharja.
"Terima kasih, Pak Raja, saya tunggu titik terangnya," ucap Rain penuh harap.
"Hendra, antar aku ke rumah," tegas Rain setelah masuk ke dalam mobil.
"Kita gak ke kantor, Pak?" tanya Maya.
"Hari ini saya akan mengajak Hanna dan Cyra piknik, tolong alihkan meeting hari ini untuk besok."
"Baik, akan saya urus," sahut Maya.
"Papaaa, sekarang jadi jalan-jalannya? Sama Cyra sama mama?" Kejar Cyra saat Rain keluar dari mobil mewahnya.
"Jadi dong, Sayang, mama mana?" tanya Rain.
"Mama lagi dandan, Pa."
"Maya dan Hendra, kamu boleh kembali kantor atau langsung pulang."
"Pa, Cyra mau jalan-jalan cama tante Maya," rengek Cyra sambil memegang pergelangan tangan Maya.
Rain dan Hendra menatap Hanna yang baru keluar dari rumahnya seraya memberi jawaban dengan anggukan pada Rain.
"Cyra, Cyra boleh ajak Tante, tapi Cyra gak boleh gangguin Tante Maya, ya?" pinta Hanna.
"Cyra janji, Ma," jawabnya dengan girang sambil mendirikan jari kelingkingnya lantas dilingkarkan oleh jari kelingkingnya Hanna, dan saling menyentuh hidung dengan telunjuknya diikuti tawa renyah Cyra.
"Oke Maya dan Hendra, kalian boleh ikut itung-itung refreshing," ujar Rain.
Maya dan Hendra mengangguk setuju, "Terima kasih, Pak," sahut mereka bersamaan, senyum tersungging di kedua bibirnya dan saling bertatapan.
"Cyra mau jalan-jalan kemana?" tanya Rain di dalam mobil.
"Cyra want to go the zoo, Papa," jawab Cyra yang duduk di pangkuan Rain.
"Oke Zoo, I'm coming !" seru Rain, Hanna dan Cyra berteriak bersama.
Maya dan Hendra tertawa melihat keharmonisan keluarga Rain dari kaca spion.
Sampai di Taman Safari, Rain dan Hanna menuntun tangan Cyra, sementara Maya dan Hendra berjalan di belakangnya.
Rain yang pergi ke toilet, tanpa disadari Hanna kehilangan Cyra. Maya berpisah dari mereka untuk mencari Cyra. Sementara Hendra masih bersama Hanna.
"Adik cantik, kamu lagi apa?" tanya seorang gadis yang melihatnya sedang kebingungan.
Cyra terdiam, mulutnya mengerucut, dan matanya berkaca-kaca.
"Dik?" Gadis itu mengangkat tangannya untuk memegang bahunya Cyra. Tetapi Cyra berjalan mundur ketakutan.
"Gak apa-apa, Sayang, kakak gak jahat kok, mama mu mana?" tanya gadis bertubuh tinggi itu.
Cyra menangis sejadi-jadinya. Kemudian gadis itu menghampiri memeluk Cyra, sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Gak apa-apa, Sayang, coba cerita sama kakak ya? Kamu kenapa nangis, hmm?"
"Ma-mama i-ilaang," jawab Cyra.
"Kamu tenang dulu ya, kita cari mama sama-sama mau?" tanya gadis muda itu.
Cyra mengangguk, kemudian wanita itu menggendong Cyra serta membawanya ke information centre dan meminta petugas disana mengumumkan kehilangan anak.
"Pengumuman, bagi pengunjung yang kehilangan seorang anak perempuan usia sekitar tiga tahun dengan ciri-ciri rambut diikat dua, memakai baju pink, dan rok jeans, silahkan mengunjungi pusat informasi, terima kasih."
Hendra yang mendengarnya lekas menarik pergelangan tangan Hanna dan berlari ke pusat informasi.
"Cyra?" panggil seorang wanita dari kejauhan.
Cyra lantas melepas pelukan gadis itu dan berlari ke arah panggilan.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Maya.
Cyra mengangguk.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Cyra jangan jauh-jauh dari mama mu lagi ya," imbuh gadis itu.
"Thank you, Good Sister," sambil menatap gadis itu beranjak pergi.
Sementara gadis itu pergi. Hendra datang berlari bersama Hanna.
Maya melirik ke arah tangan Hendra yang menggenggam pergelangan tangan Hanna sambil berlarian.
🌷 Bersambung 🌷.Bersamaan dengan kehangatan mereka, Rain mendapat panggilan telepon. Ia meminta izin keluar kamar untuk menerima panggilan.“Sea, Papa mau bicara.”“Bicara apa, Pa?”“Papa dengar keluhan kamu ke suamimu tadi waktu di depan ruang operasi. Gak baik bicara begitu dengannya, Sea. Dia itu suami kamu.” Thomas menegurnya.“Keluhan apa, Pa?” tanya Angkasa penasaran.“Biar Sea yang jelaskan, Angkasa.”“Emmh ... itu ... habisnya dia mengganggu banget, Pa. Aku gak mau kehilangan Kakak karena Kakak udah berkorban nyawa untuk aku, makanya aku gak mau tinggalin Kakak sedikit pun.”“Kamu bilang begitu ke Rain, Vin?” tanya Angkasa.Sea menekuk wajahnya dan mengangguk pelan.“Ya, ampun, Vin. Kamu tahu? Dia udah buat rencana sebelum penculikan kamu, loh. Dia hubungi Kakak dan mengerahkan beberapa anak buahnya untuk melindungi kamu. Kamu lihat, kan, semua orang yang melawan Bintang di rumah itu?”Mata S
Sea menyaksikan Angkasa, sang kakak, tersungkur di lantai dengan tangan kiri memegang perut. Bau darah pun menguar ke seisi ruangan. Angkasa ... di sana terbaring tanpa daya lagi.“Kakaaaak!” Sea menjerit histeris.Sea bersama Rain menghampiri Angkasa. Ia lalu mendekap Angkasa yang sudah hilang kesadaran. “Kakaak, banguuun. Kak, jangan pergi! Vin gak punya siapa-siapa lagi, Kaaaak.”Rain mendekap mereka berdua. Ia tak tahan melihat pipi Sea yang banjir akan air mata. Karena itu, matanya juga ikut berkaca-kaca. Sekali-kali air matanya menetes, tetapi dengan cepat ia menghapusnya agar terlihat tetap tegar.Suara sirene mobil polisi terdengar sampai ke dalam. Banyak polisi dengan pakaian serba hitam dan lengkap membawa senjata, berlarian memasuki rumah itu. Mereka bersiaga di tiap-tiap sela pintu dengan senjata masing-masing untuk memantau keadaan. Rupanya, Bintang dan satu pelaku penculikan sudah tak sadarkan diri, sedangkan yang
“Kalau kamu gak bisa jadi milikku, orang lain juga harusnya gak bisa, Sea.” Ibu jarinya membelai lembut sepanjang bibir berperona merah milik Sea.” Aku udah banyak menghabiskan waktu untukmu, Sea. Tapi, kamu gak menghargainya sedikit pun—gak pernah sama sekali. Kenapa?”Melihat Sea yang belum sadarkan diri, lelaki itu berusaha mengambil kesempatan yang mungkin tak’kan bisa ia dapatkan lain kali.Ia memandangi gadis dengan lekukan bulu mata yang indah, bibir semerah buah ceri, hidung lancip, dan rahang yang tegas. Kemudian pandangannya menurun ke arah garis leher Sea yang tampak sangat menggoda baginya.Dua kancing baju Sea sudah terlepas dari lubangnya. Lelaki bermata hitam legam itu terang-terangan meliriknya sambil menelan liur dengan berat, terutama saat melihat bagian dada yang sedikit mencuat.Karena lengan Sea diikat di bilah besi, kemeja kotak-kotak yang dikenakannya pun ikut tertarik ke atas. Bukan hanya area dada, area seputaran perut
“Tapi—“Aku mohon kamu paham. Kamu tahu, kan, gimana mamanya Cyra pergi? Aku gak mau sampai kejadian serupa terjadi lagi. Aku gak bisa dua kali kehilangan orang yang sama-sama aku cintai, Sayang. Gak bisa.” Rain menerangkan dengan lemah lembut. Matanya tak lepas memandang wanita muda di hadapannya.***Keesokan harinya, Sea terlihat keluar dari kamar dengan sudah berdandan rapi.“Mau ke mana, Sayang? Kamu gak akan ke kampus, kan, hari ini?”“Enggak, hari ini libur. Aku mau pergi ke kostan Emil, ya?”“Sebaiknya, kamu di rumah aja, Sea. Kostan Emil, kan, dekat dengan kampus. Orang-orang di sana pasti kenal kamu.”“Aku udah siapin ini.” Sea memperlihatkan topi dan masker yang dikeluarkan dari tasnya. “Nanti aku langsung ke kostan-nya, kok. Gak mampir ke mana-mana. Aku lagi butuh teman ngobrol aja.”“Ya, udah. Aku antar kamu sampai kostan Emil. Kalau su—“Sayaaang ...? Aku baik-baik aja, oke? Aku
Sore hari, hawa dingin berembus kencang, menarik Sea dari alam mimpi dan membawanya ke dunia nyata. Desiran angin dengan riuhnya menyapu lembut dedaunan hijau, membuat setiap tangkai saling besinggungan.Angin mendorong keras jendela hingga membentur dinding. Suaranya mengguntur bagai petir sehingga membuat Sea tersadar.Matanya masih sayup-sayup terbuka, terkadang menutup, lalu terbuka lagi perlahan. Kemudian, ia mengernyit ketika semburat cahaya menyusup jendela. Tirai tipis yang menggantung, menari-nari indah karena alunan angin yang bersilir-silir.Begitu tersadar penuh, hal yang pertama dilihat adalah wajah rupawan serupa oppa-oppa Korea. Bibirnya langsung membentuk lengkung menarik senyum tipis ketika melihat pria itu di antara sinar senja yang menerobos jendela.Jemarinya meraba, mengelus sisi kanan wajah suaminya yang masih terlelap: mulai dari kening, alisnya yang tegas, dan pipi yang tirus sampai dagu. Satu menit, dua meni
“Ha—“Di mana kamu!” Suara di seberang telepon membuat Sea kaget. Ia memejamkan mata, mencoba melegakan hatinya. Berkali-kali dirinya menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi.“Sea, di mana kamu?” tanyanya sekali lagi.“A-aku ... aku di taman ....” Belum selesai ia berbicara, sambungan telepon sudah terputus. 'Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa aku akan diceraikan? Enggak, aku gak mau. Aku gak mau pergi setelah nyaman dengannya. Aku sudah menyayanginya. Aku sudah mencintai Rain dan Cyra.'Lima menit kemudian, seorang lelaki berlari ke arahnya dan tepat berhenti di hadapan Sea yang sedang menangis terisak sambil menutupi wajah. Kemudian, dua tangan berbalut kemeja katun menariknya ke dalam pelukan.Terkejut dengan orang yang memeluknya tiba-tiba, Sea langsung menjauhkan diri. Ia takut kalau tiba-tiba Bintang-lah yang ada di hadapannya.Ternyata setelah melihat seorang pria dengan rambut set