"Apa yang kamu katakan, Nay?" tanya Bapak sekali lagi."Iya, Pak. Mas Fahri sudah mempunyai istri. Namanya Khoirunnisa. Mereka sudah menikah selama empat tahun. Tapi karena Nisa nggak bisa punya anak, makanya Mas Fahri menikahiku," tuturku pada Bapak panjang lebar.Sementara Ibu terus mengelus punggungku. Namun kelopak matanya sudah menyimpan genangan air yang siap tumpah. Tangan Bapak terlihat mengepal kuat. Sementara tatapan matanya menyiratkan kemarahan dan kekecewaan. Ya, ini pasti menyakitkan. Bukan hanya untukku, tapi juga kedua orang tuaku. Kali ini Ibu berdiri, menghampiri bapak yang masih mematung dengan sorot mata memerah dan rahang mengeras. "Sabar, Pak. Tenang. Nanti jantungnya kumat lagi," ucap Ibu menenangkan. Lalu ibu menuntun Bapak agar kembali duduk di sofa.Ibu menyerahkan segelas air yang sudah tersedia di meja. Bapak meneguknya sampai habis. Sekarang, emosi bapak terlihat mulai mereda.Ibu kembali duduk di sampingku. "Coba ceritakan semuanya pada Ibu sama Bapak,
Dering alarm dari gawaiku berdering nyaring. Membuatku yang sedang tidur nyenyak langsung bangun seketika. Meraba-raba mencari letak gawai di atas nakas. Namun tidak kutemukan. Aku baru teringat kalau semalam aku tertidur sambil memeluk gawai. Ternyata gawaiku terbungkus selimut yang semalam kupakai. Langsung saja kumatikan alarm itu.Aku bangun, lalu duduk di ranjang untuk mengumpulkan kesadaranku. Mengangkat kedua tangan, merenggangkan otot-otot yang terasa lebih segar setelah bangun tidur.Tiba-tiba aku teringat pesan terakhir semalam dari Bang Raka, membuat bibirku tanpa sadar menyunggingkan senyum. Ah, kenapa aku jadi seperti ini. Tidak mungkin aku jatuh hati pada lelaki yang sudah kuanggap kakakku itu. Apa karena aku sedang patah hati, lalu Bang Raka selalu ada dengan perhatian dan kasih sayangnya. Membuat hatiku menjadi nyaman. Atau hanya sekedar pelarian dari rasa sakit yang sedang kualami? Entahlah. Yang pasti sekarang statusku masih istri Mas Fahri selama palu hakim belum
Sepulang dari sawah aku jadi lebih banyak diam. Teringat semua perubahan sikap Bang Raka padaku. Tatapannya bukan lagi tatapan seorang kakak pada adiknya, seperti hubungan yang terjalin di antara kami selama ini. Tak ada kecanggungan, tak ada kekakuan. Dan aku, merindukan sikapnya yang dulu. Yang selalu ceria, selalu mengganggu dan menggodaku dengan sikap jahilnya.Lebih dari sepuluh tahun aku mengenalnya. Saat aku masih sering bermain masak-masakan dengan rambut yang dikuncir dua dengan pita merah atau biru. Sedangkan dia sudah mengenakan seragam putih abu-abu. Aku teringat dulu saat dia sering main ke rumahku bersama Bang Irsyad. Terkadang dia membawa ciki, permen, coklat bahkan es krim untukku. Sebagai seorang anak kecil, tentu aku sangat senang dengan pemberiannya itu. Bahkan itu berlangsung sampai aku dewasa.Saking seringnya kami bertemu, kami menjadi sangat akrab. Namun keakraban kami merenggang saat Bang Raka dan Bang Irsyad memutuskan melanjutkan kuliah di Jakarta. Dan kami
Mas Fahri yang dari tadi hanya berdiri mematung, kini menghampiri bapak yang tergolek di lantai. Kepala bapak ada di pangkuan ibu. Pun aku ada di samping ibu."Kita bawa bapak ke rumah sakit," ujar Mas Fahri sambil berjongkok."Semua ini gara-gara kamu, Mas," bentakku sambil menatap tajam ke arahnya. "Maafkan aku, Nay. Tapi ini bukan waktunya untuk berdebat. Ayo bantu aku angkat bapak ke mobil. Sebentar-sebentar, aku buka dulu pintu mobilnya, biar nanti bapak langsung dimasukkan." Mas Fahri berlari menuju halaman rumah. Sesaat kemudian sudah kembali lagi.Karena tubuh bapak lumayan berat, aku, ibu dan Mas Fahri mengangkatnya bersama-sama. Setelah sampai di halaman, bapak langsung dimasukkan ke dalam mobil. Pun aku dan ibu ikut masuk ke dalam mobil. Ibu duduk di belakang menemani bapak. Sementara aku duduk di depan di sebelah Mas Fahri. Tubuhku rasanya gemetar, air mata terus bercucuran takut sesuatu yang buruk terjadi pada bapak. Ibu pun tak henti-hentinya menangis sambil bergumam,
Suara isakan mulai terdengar dari bibir Bang Irsyad. Dengan jelas aku bisa mendengar betapa hancurnya hati Bang Irsyad menerima kabar duka dariku."Apa yang terjadi sama bapak, Nay?" tanya Bang Irsyad sambil menangis."Penyakit jantung bapak kambuh, Bang."Ya, bapak meninggal karena penyakit jantung. Tapi itu semua disebabkan Mas Fahri. Aku hanya bisa mengucapkannya dalam hati. Tak ingin Bang Irsyad tahu yang sebenarnya terjadi."Abang pulang sekarang. Tunggu Abang ya, Nay. Abang ingin ikut memandikan bapak untuk terakhir kalinya. Abang masih ingin melihat wajah bapak." Bang Irsyad menangis tergugu."Iya, Bang. Tadi Naya sudah nelpon Bang Raka, dia sedang di jalan mau ke rumah Abang. Bang Irsyad ga boleh nyetir dalam kondisi seperti ini. Biarkan Bang Raka yang menyetir. Hati-hati di jalan ya, Bang. Naya tutup dulu."Sambungan pun terputus. Kumasukkan kembali gawai ke saku piyama. Mas Fahri belum juga kembali dari tempat administrasi. "Bapak, Nay. Bapak ....." Ibu yang dari tadi diam
Bang Irsyad menatap Ibu menunggu jawaban. Ibu terlihat menghela napas berat."Namanya juga takdir, Syad. Ajal itu bisa datang kapan saja. Jangankan bapak yang sudah berumur dan mempunyai riwayat penyakit jantung, yang masih muda saja banyak yang meninggal tiba-tiba." Jawaban ibu sungguh di luar dugaan. Hingga menyebabkan mataku membulat mendengarnya.Kutatap Mas Fahri yang masih mematung, dia seperti salah tingkah dan merasa bersalah. Mataku kembali menatap Ibu, wanita berhati lembut itu mengangguk pelan. Seolah mengerti dengan kebimbanganku.Bang Raka yang terus setia di samping Bang Irsyad, tak banyak bicara. Dia hanya ikut menyimak pembicaraan kami.Bang Irsyad terdengar menghela napas berat, kemudian berkata, "Tapi ini terasa begitu mendadak. Bahkan aku belum bisa membahagiakan bapak." Wajah Bang Irsyad begitu sendu."Ikhlaskan. Sering-sering kirim doa untuk bapak. Hanya itu yang sekarang bisa kita lakukan untuk membahagiakannya," pesan Ibu. Sungguh ibu terlihat begitu tegar. Mesk
Pagi aku sibuk membantu ibu membuat kue-kue basah. Saat kutanya untuk apa, Ibu bilang untuk menyumbang makanan di acara maulidan di pesantren. Ya, para warga sudah biasa membantu makanan untuk suguhan semampunya. Ada yang kue-kue basah, lemper, atau apapun itu. Bukan berarti pihak pesantren tidak mampu, tapi sebagian warga yang dekat lingkungan pesantren, ingin sedikit berbagi rezeki juga berharap mendapatkan pahala dengan membantu menyumbang makanan semampunya.Bang Irsyad sudah berangkat kemarin pagi. Naik bus karena mobil sudah dibawa Bang Raka dulu. Lelaki dengan sorot mata elang itu meninggalkan sejumlah uang cash untukku dan ibu. Untuk keperluan sehari-hari katanya. Biar tidak perlu repot-repot ke ATM karena jaraknya lumayan jauh.Sebenarnya tak enak mengandalkan kakak lelakiku itu untuk menafkahiku. Sementara ibu, sudah punya uang pensiunan bapak yang dikirim tiap bulan. Andai aku sedang tidak hamil, aku pasti akan bekerja untuk menafkahi diriku sendiri. Toh aku masih muda.Nam
Pagi ini aku kembali tidur setelah solat subuh. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan kemana perginya Mas Fahri. Padahal ini hari kerja, bukan hari libur. Kalaupun Mas Fahri pergi ke kampung halamannya Nisa, biasanya dia pergi di hari libur karena dia termasuk lelaki yang bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Tidak biasa libur di hari-hari kerja kecuali memang benar-benar penting.Selain memikirkan Mas Fahri, ceramah Ustad Sodiq tadi terus terngiang-ngiang di telingaku. Betapa selama ini aku selalu mengabaikan kewajiban sebagai seorang muslim karena tidak menutup aurat. "Nay, mau ke mana?" tanya Ibu saat aku memakai jilbab instan setelah sarapan."Enggak kemana-mana, Bu. Cuma mau nyapu di halaman?""Tumben pakai jilbab."Ya, biasanya boro-boro pakai jilbab, baju pun masih menggunakan baju pendek yang kadang cuma selutut. Tapi hari ini, aku ingin mulai menutup aurat jika keluar rumah dengan memakai jilbab meskipun masih pakai piyama lengan panjang, bukan gamis lebar. Pelan-pelan s