Aku salut dengan Nisa. Dia terluka, tapi tetap bertahan, melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Kebaikannya, semakin membuatku yakin untuk pergi dari rumah ini dan dari dari kehidupan Mas Fahri. Biarlah Mas Fahri belajar mencintai Nisa. Menjadikan Nisa satu-satunya istrinya. Nisa memang tidak memiliki rahim, tapi dia memiliki hati. Apa hanya karena tak memiliki rahim, itu berarti Nisa harus menderita? Tidak, dia berhak bahagia."Mbak Naya tau, aku juga sangat terluka saat Mas Fahri meminta izin untuk menikah lagi. Hatiku hancur. Tapi aku pura-pura tetap tegar di hadapan Mas Fahri. Aku sadar aku bukanlah wanita yang sempurna. Meski dengan berat hati, aku akhirnya mengizinkannya. Demi kebahagiannya, demi senyumnya yang dulu sempat hilang, dan demi hidupnya yang dulu sempat layu. Aku ikhlas, sangat sangat ikhlas."Nisa menyeka sudut mata yang masih meninggalkan genangan air. Meski bibirnya berkata iklhas, tapi sorot matanya tak bisa bohong. Masih begitu besar luka yang dia rasaka
Mobil yang tadi sempat kupesan sudah sampai di area parkir sebuah hotel yang lumayan jauh dari rumahku. Aku bergegas turun setelah membayar kepada sang sopir.Aku segera menghampiri resepsionis hotel. Setelah mendapat kunci hotel yang berupa kartu, aku naik lift ke lantai tiga yang merupakan kamarku.Setelah sampai di kamar hotel, aku langsung merebahkan tubuhku di ranjang dengan seprai yang serba putih itu. Letih sekali rasanya. Bukan hanya raga, tapi jiwa.Dalam keadaan seperti ini, ingin sekali rasanya menelpon Bang Irsyad. Tapi urung dilakukan. Tak ingin mengganggunya yang sedang fokus merintis bisnis. Apalagi hanya dengan mendengar suaraku, Bang Irsyad pasti bisa menebak bahwa adiknya ini sedang tidak baik-baik saja.Aku memilih untuk tinggal di hotel barang dua atau tiga malam. Bukan hotel berbintang yang mewah. Hanya hotel bintang tiga, tapi cukup nyaman. Sebuah ranjang berukuran cukup besar, juga sebuah TV LED akan menemani hari-hariku untuk beberapa waktu ke depan.Baru saja
Mia sudah pulang sejak sejam yang lalu. Aku baru saja selesai melaksanakan salat asar. Terlalu banyak menangis membuat kepalaku terasa pusing. Aku mengambil handuk, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Mungkin guyuran shower akan sedikit mengurangi rasa sakit kepalaku.Gawai yang tadi sebelum mandi sempat aku hubungkan ke alat charger, terdengar bergetar. Kuusap layar. Tampak delapan panggilan tak terjawab dari kontak yang sama, kontak dengan nama 'suamiku tercinta'.Ragu aku untuk menjawab panggilan itu. Namun lagi-lagi panggilan kembali masuk. Akhirnya dengan terpaksa, kugeser tombol biru, kemudian mendekatkan gawai ke telinga."Hallo, Sayang. Kamu di mana?"Nada suara Mas Fahri terdengar sangat panik. Dia pasti sudah pulang kerja karena jam sudah menunjukkan pukul lima sore.Tak Mungin aku memberi tahu keberadaanku. Sekuat tenaga kutahan agar air mata tak lagi menetes."Kamu ga usah khawatir, Mas. Aku baik-baik saja. Aku berada di tempat yang aman. Aku butuh waktu menyendiri untu
"Bang Raka?" sahutku sambil tersenyum ke arahnya.Mataku membulat melihatnya. Bahkan tadi aku tidak mengenal suaranya karena Bang Raka memakai masker.Bang Raka adalah sahabat Bang Irsyad, kakakku. Mereka bersahabat sejak duduk di bangku SMA. Bahkan bisnis yang sekarang Bang Irsyad rintis, itu bisnis berdua dengan Bang Raka. Bang Raka sering main bahkan menginap di rumahku. Hingga menyebabkan aku pun ikut akrab dan menganggapnya sebagai kakakku sendiri."Kamu ngapain malam-malam seperti ini di sini, Nay?" tanya Bang Raka. Keningnya terlihat berkerut."A-aku. Aku ...."Aku bingung harus menjawab apa. Secara tempat ini lumayan jauh dari rumahku. "Justru, Abang yang ngapain di sini? Bukankah Abang sedang di Bali sama Bang Irsyad?" Aku malah balik bertanya. Tentunya untuk mengalihkan pembicaraan."Aku ga jadi ikut ke Bali, Nay. Kemarin mendadak meriang. Terpaksa Irsyad berangkat sendiri," timpal Bang Raka.Aku hanya mengangguk."Sekarang udah sehat?" tanyaku lagi."Alhamdulillah udah ba
Bang Irsyad begitu terkejut setelah membuka kacamata hitam yang kugunakan. Sudah dipastikan mataku bengkak, wajahku sembab dan menyedihkan."Apa yang terjadi, Nay? Kenapa matamu sampai sembab seperti itu?" Bang Irsyad memegang bahuku. Matanya menatap sendu ke mataku.Hening.Lidahku kelu. Dadaku begitu sesak bahkan untuk sekedar bernapas. Aku kembali menghambur memeluk Bang Irsyad. Menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakitku di dada bidangnya. Bang Irsyad seakan mengerti rasa sakitku. Dia hanya memelukku erat, tanpa berkata, tanpa suara. Dia juga mengusap-usap punggungku lembut. Membuat kenyamanan seketika menyeruak dalam dada."Non, ini minumnya." Kedatangan Mbok Rum membuatku mengurai pelukan dari tubuh bang Irsyad. Wanita yang sudah bekerja hampir tiga tahun di rumah kakakku itu menyimpan dua gelas sirop jeruk di atas meja. Entah kenapa Mbok Rum selalu saja memanggilku dengan Non, padahal aku sudah menikah. Bahkan, aku sering memintanya untuk memanggilku dengan nama saja.
Bang Irsyad dan Nisa terlihat saling pandang untuk beberapa saat. Namun, sesaat kemudian mereka terlihat seperti salah tingkah. Nisa kembali berjongkok meraih bahu Mas Fahri, "Ayo, Nisa bantu Mas," ucap Nisa sambil membantu Mas Fahri berdiri.Bang Irsyad terlihat memalingkan wajahnya. Entah pernah ada hubungan apa antara Nisa dan Bang Irsyad dulu. Kenapa aku merasa belum pernah bertemu dengan Nisa. Kalau memang Nisa pernah menjadi orang yang spesial buat Bang Irsyad, dia pasti pernah memperkenalkan aku padanya.Mas Fahri terlihat memegangi perutnya. Tentu saja, dia pasti kesakitan. Bukankah Bang Irsyad dulunya pelatih bela diri saat duduk di bangku SMA? Jadi, jangan remehkan jotosannya."Berani-beraninya kamu menyakiti dan mempermainkan perasaan adikku. Dasar br*ngsek. Kamu juga telah menipu dan membohongi aku sebagai kakaknya," ujar Bang Irsyad berapi-api.Bang Irsyad terus memaki Mas Fahri. Telunjuknya tepat mengarah ke wajah Mas Fahri. Mas Fahri tak berkutik. Dia hanya diam memat
"Maaf, Non. Mbok tadi udah berusaha ngelarang masuk," tutur Mbok Rum. Wajahnya tertunduk menyiratkan penyesalan."Enggak apa-apa, Mbok." Aku berusaha membuat suasana seolah baik-baik saja.Mbok Rum berjalan ke dapur meninggalkanku yang masih terpaku menatap Mas Fahri."Nay, Mas mohon pulang, ya. Maafkan aku. Aku yakin kita bisa melewati ini bersama-sama."Aku membuang muka. Berusaha menyembunyikan netra yang mulai berkabut. "Nay." Mas Fahri semakin mendekat kemudian berniat memegang tanganku."Nay, tanganmu berdarah," pekik Mas Fahri panik.Segera kutepis tangannya."Luka ini tidak ada apa-apanya dibanding lukaku di dalam sini." Aku menepuk-nepuk dada cukup keras. Berharap himpitan batu yang begitu menyesakkan itu berkurang.Butiran-butiran yang tadi sebisa mungkin kutahan, akhirnya mengalir juga. Sakit, hatiku sungguh masih teramat sakit. BrukkTiba-tiba Mas Fahri berlutut, memegang kedua kakiku."Mas mohon maafin aku, Nay. Kalau kamu menyuruhnya bersujud di kakimu agar kamu bersed
Aku masih berusaha mencerna perkataan Bang Raka. Rasanya tidak percaya kalau Bang Irsyad yang menghamili Nisa. Tapi kenapa Nisa meminta Bang Irsyad yang harus bertanggung jawab menikahinya? Ah, sungguh ini sangat rumit. Bagaikan benang kusut yang tak tau ujungnya."Hei, kok malah ngelamun?" Ucapan Bang Raka membuyarkan lamunanku."Enggak, Bang. Aneh aja, kenapa Nisa harus meminta Bang Irsyad menikahinya kalau anak yang dikandungnya bukan anak Bang Irsyad?" Bang Raka terlihat mengangkat bahu, menandakan ia tak tahu."Kok, bisa ya, wanita se-alim Nisa hamil di luar nikah?" tanyaku penasaran."Maksudnya alim gimana?" timpal Bang Raka."Ya ... kan Nisa bajunya juga sangat tertutup dengan jilbab yang lebar.""Iyakah?" Alis Bang Raka terlihat bertaut. "Dulu, enggak tuh. Penampilannya biasa aja kayak ABG yang lainnya," lanjutnya."Masa sih, Bang? Tapi sekarang penampilannya tertutup banget.""Mungkin sekarang dia sudah berubah. Kan orang enggak ada yang tahu, hidayah munculnya kapan," jawab