Share

Bab 4

Penulis: Siska_ayu
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-30 11:46:10

"Itu karena ...."

Mas Fahri terlihat membuang napas pelan.

"Karena Nisa tidak bisa memberikan keturunan. Saat belia, Nisa mengalami kecelakaan yang menyebabkan rahimnya harus diangkat."

Deg

Hatiku berdenyut lebih kencang dari sebelumnya. Rasa kecewa langsung merajai hati.

"Jadi, Mas menikahiku hanya karena ingin mempunyai anak? Mas mau menjadikanku istri pencetak anak?"

Emosi yang sempat mereda, kini kembali membuncah. Tak menyangka jika tujuan Mas Fahri menikahiku hanya karena ingin mendapatkan keturunan.

"Tidak, tidak seperti itu, Nay. Jangan salah paham. Aku menikahimu karena memang benar-benar mencintaimu."

"Bagaimana kalau ternyata, aku juga tidak bisa memberikanmu keturunan? Bukankah kita juga sudah setahun menikah? Tapi belum ada sama sekali tanda-tanda kehamilan. Apa kamu juga akan menikah lagi?"

Mas Fahri terlihat gelagapan.

"Ti-tidak. Tentu saja tidak, Sayang."

Entahlah, apa yang dikatakannya benar atau tidak. Aku sudah tidak bisa mempercayainya. Aku terlanjur kecewa padanya.

"Apa, Mas juga mencintai Nisa?"

Mata Mas Fahri terlihat membeliak.

"A-aku, aku hanya mencintaimu," jawab Mas Fahri tergagap.

"Yakin, Mas, kamu tidak mencintai Mbak Nisa? Dia cantik loh. Dia juga sepertinya wanita solehah.

Aku menatap lekat matanya.

"Aku hanya menyayanginya. Aku banyak berhutang budi pada keluarganya."

Ah, alasan, batinku.

"Maaf, Mas. Aku tidak sanggup. Aku tidak bisa kalau harus berbagi seperti ini. Hatiku tidak siap. Tapi kamu tenang saja, aku tidak akan memintamu untuk menceraikan istri pertamamu. Aku sadar diri, akulah yang kedua di sini. Jadi, akulah yang seharusnya mundur."

Aku berkata dengan berurai air mata. Hatiku perih luar biasa. Tak bisa dipungkiri, aku sangat mencintai Mas Fahri. Tapi aku tidak bisa menjalani hubungan seperti ini. Apalagi semula dimulai dengan kebohongan.

"Tolong jangan bicara seperti itu, Sayang. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu."

Mas Fahri memegang kedua tanganku.

"Kamu egois, Mas. Kamu tidak mau melepas Mbak Nisa ataupun aku. Kamu serakah, mau dua-duanya. Aku bukan wanita berhati baja seperti mbak Nisa yang dengan mudah menerima diduakan. Aku tidak bermaksud menentang poligami, tapi imanku belum cukup kuat."

Aku menepis tangan dari tanganku.

"Tolong, Nay. Jangan mengambil keputusan saat sedang emosi. Pikirkan dulu semuanya baik-baik."

Mata Mas Fahri sudah dipenuhi kaca-kaca.

"Aku sudah tidak bisa mempercayaimu lagi, Mas. Bagaimana mungkin aku harus melanjutkan hubungan dengan orang membohongiku sejak awal? Bahkan, entah berapa banyak kebohongan yang Mas sembunyikan selama ini. Dan ya, selama ini Mas sering sekali pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan. Aku yakin itu juga berbohong. Kamu pasti menemui Mbak Nisa, kan?"

Mas Fahri terlihat mengangguk pelan.

Lagi-lagi hatiku berdentam hebat. Tak menyangka, jika pernikahanku yang baru seumur jagung ini, penuh dengan kebohongan.

"Ceraikan aku, Mas!" pintaku pilu.

"Tidak, Nay. Tidak. Tolong jangan tinggalkan aku. Aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa hidup tanpamu. Kamu cinta pertamaku dan juga cinta terakhirku."

Wajah Mas Fahri terlihat memelas. Matanya sudah dipenuhi kaca-kaca yang hampir pecah.

"Kalau begitu, keluarlah. Tinggalkan aku sendiri."

"Nay?"

"Tolong, Mas. Keluar!"

Aku berteriak.

Dengan langkah gontai, Mas Fahri berjalan keluar dari kamar.

Kutekuk kedua kakiku. Lalu menenggelamkan wajahku di sana. Menangis sesenggukan untuk menumpahkan segala sesak yang mendera. Aku tidak kuat, sungguh tidak kuat.

*****

Siang kini sudah berganti malam. Aku sama sekali tidak keluar dari kamarku. Yang kulakukan hanya menangis. Ketika waktu salat tiba, aku begitu antusias untuk segera melaksanakannya. Ingin segera menumpahkan semua kekalutan kepada Sang pemilik hati.

Aku sengaja mengunci kamarku. Tak ingin ada yang mengganggu. Biarlah Mas Fahri tidur bersama kakak maduku. Meski membayangkan apa yang akan mereka dilakukan di dalam kamar membuat hatiku dihujam jutaan jarum secara bersamaan.

Malam sudah semakin larut. Namun mataku tak kunjung mau terpejam. Aku gundah luar biasa. Memikirkan langkah apa yang harus kuambil kedepannya. Yang pasti, aku ingin keluar dari pernikahan penuh kebohongan ini. Aku ingin keluar dari rumah ini.

Tapi kemana? Andai pulang kembali ke rumah orang tuaku, aku takut darah tinggi ibu kembali kambuh. Apalagi ibu baru saja sembuh. Andai Bang Irsyad tidak pergi ke Bali, aku pasti sudah datang padanya. Seminggu lagi Bang Irsyad baru akan kembali. Tak mungkin aku harus menunggu sampai seminggu lamanya. Sehari saja rasanya aku tak sanggup.

Kulirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari. Tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku pun terpaksa turun dari ranjang untuk mengambil air minum.

Kubuka pintu perlahan, takut terdengar Mas Fahri ataupun Mbak Nisa. Berjalan mengendap-endap menuju dapur.

Aku mengambil satu botol besar air mineral dari dalam kulkas. Juga sebungkus roti coklat untuk mengganjal perut.

Aku berbalik untuk kembali ke dalam kamar. Namun saat sampai di ruang tengah, hatiku serasa mencelos, melihat Mas Fahri tidur di sofa. Tubuhnya tertutup selimut sampai ke dada. Mungkin Mbak Nisa yang menyelimutinya.

Kupikir Mas Fahri tidur dengan Mbak Nisa.

Ah, tidak. Aku tidak boleh iba. Apa yang dilakukan Mas Fahri hanya karena aku sedang berada di rumah ini.

Aku meneruskan langkah menuju kamar. Kembali menutup pintu saat sudah sampai.

*****

Cahaya matahari menerobos masuk lewat celah jendela kamarku. Rupanya aku tertidur di atas sajadah setelah salat subuh tadi. Kubuka mukena yang masih melekat, lalu melipatnya.

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Guyuran air terasa sangat sejuk di kulit. Sedikit menyiram hatiku yang masih memanas.

Setelah berganti baju dan sedikit berdandan, aku membuka pintu kamar berniat pergi ke dapur untuk membuat sarapan.

Namun, saat sampai di dapur, Nisa sudah berada di sana. Dia terlihat sedang mengiris bawang merah. Aku mematung menatapnya.

"Eh, Mbak Naya?"

Nisa terlihat salah tingkah ketika menyadari keberadaanku.

"Maaf, aku menggunakan dapurmu untuk membuat sarapan," tuturnya lembut.

Entah kenapa wajahnya selalu menunduk setiap bertemu denganku.

"Pakai saja. Bukankah ini juga rumah suamimu," jawabku ketus sambil berlalu meninggalkannya dan kembali masuk ke dalam kamar.

Aku duduk di tepi ranjang. Mengusap wajah dengan kasar. Kenapa semua ini harus menimpaku? Bahkan aku merasa sangat tidak nyaman berada di rumahku sendiri. Tepatnya rumah suamiku.

Meskipun terlihat baik, entah kenapa aku tetap tak bisa bersikap baik pada Nisa. Meskipun aku tahu dia sama sekali tidak bersalah. Semua ini murni kesalahan Mas Fahri. Sebagai seorang istri, hatiku terbakar cemburu melihat perempuan lain di rumah ini.

Ah, aku sampai lupa. Bukankah aku tadi berniat untuk membuat teh. Mungkin dengan menghirup aroma teh melati kesukaanku, akan sedikit memberi ketenangan dalam hatiku.

Aku kembali keluar kamar. Melangkah pelan hendak ke dapur. Namun langkahku terhenti saat aku melewati kamar yang ditempati Nisa.

"Awwww ... sakit, Mas. Pelan-pelan." Suara Nisa terdengar merintih.

"Iya, maaf," sahut Mas Fahri.

"Jangan terlalu ditekan, Mas, sakit?"

Dadaku berdebar hebat. Darahku rasanya mendidih sampai ke ubun-ubun. Apa sebenarnya yang sedang mereka lakukan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah tau dibohongi dari awal masih aha plin plan g jelas. mana ada cinta klu udah bohong
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dilema Istri Kedua   Tamat

    Aku sempat begitu terkejut saat bangun melihat ada seorang lelaki di sampingku. Namun, aku buru-buru tersadar kalau sekarang aku sudah menjadi seorang istri kembali. Kutatap lelaki yang masih tidur pulas itu. Wajahnya begitu tampan dan teduh. Hanya saja, kecanggungan di antara kami belum benar-benar mencair. Semalam saja, tidur kami terhalang oleh bantal guling yang menjadi penyekat di antara kami.Aku beringsut turun dari ranjang, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, ternyata suamiku sudah terbangun."Sudah wudhu?" tanyanya sambil tersenyum.Aku mengangguk sambil membalas senyumannya."Kita solat berjamaah subuh. Aku wudhu dulu." Ustad Hafiz pun masuk ke kamar mandi.Setelah melakukan solat subuh berjamaah, Ustad Hafiz mengajakku untuk membaca Al-Quran sejenak sambil menunggu pagi datang. Lantunan ayat-ayat suci yang dibacanya terdengar begitu merdu di telinga. Membuat hatiku merasa begitu tenang dan damai."Mau pulang sekar

  • Dilema Istri Kedua   Bab 50

    Tak pernah kuduga sedikit pun apa yang Umi Fatimah ucapan barusan? Bercanda kah ia? Tapi beliau bukan tipe orang yang suka bercanda apalagi sedang membahas masalah serius seperti ini."Ma-maksud Umi, apa?" Dengan mimik yang masih keheranan aku bertanya."Umi berniat menjodohkan Naya sama anak Umi. Itu juga kalau Naya bersedia.""Maaf Umi. Naya merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Ustad Hafiz. Naya bukan wanita solehah. Naya juga cuma seorang janda yang sudah mempunyai anak. Tidak mungkin Ustad Hafiz mau sama Naya. Banyak wanita yang lebih baik di luar sana." Aku menunduk. Menyembunyikan genangan air mata yang mulai memenuhi kelopaknya."Sayang, apa yang salah dengan janda. Bukankah Nabi Muhammad saw juga dulu menikahi seorang janda? Gadis ataupun janda bukan tolak ukur seorang wanita baik atau tidak. Umi terlanjur sayang sama Naya juga Fea. Umi pasti seneng banget kalau Naya bisa menjadi menantu Umi.""Tapi Umi. Ustad Hafiz ...."Umi Fatimah tersenyum kepadaku, kemudian mengge

  • Dilema Istri Kedua   Bab 49

    Kenyataan yang baru saja kudengar, bagai meruntuhkan duniaku yang perlahan akan kembali bangkit. Aku mulai merasakan setitik harapan untuk masa depan yang indah bersama pendamping yang akan benar-benar menyayangiku dan anakku. Namun kini, bak roller coaster yang terjun dari ketinggian hingga ke dasar bumi. Hancur. Air mata makin mengalir deras membasahi pipi. Jantungku pun masih berpacu begitu cepat. Tubuhku yang tak berdaya masih ditopang oleh Bang Irsyad. Kutatap mata elang Abangku yang terlihat mengobarkan amarah."Kamu harus kuat, Naya." Bang Irsyad berbisik lirih di telingaku. Aku pun mengangguk. "Kalau kamu sudah merasa lebih baik, kita ke dalam," lanjutnya lagi.Aku berkali-kali mencoba menghirup napas dalam-dalam. Menetralkan debaran dan sayatan yang mengiris hati. Memasukkan lebih banyak oksigen ke dalam dadaku yang terasa sesak. Lagi-lagi karena pengkhianatan.Untuk terakhir kalinya aku menghirup napas sangat panjang, sambil mengusap jejak air mata di pipi. Stop Naya. Kam

  • Dilema Istri Kedua   Bab 48

    "Kok, buru-buru banget sih, Bang? Naya pikir, mau pendekatan dulu atau apa gitu." Aku masih mencoba untuk mengulur waktu sambil terus belajar memantapkan hatiku untuk mencintainya."Kita sudah cukup dekat sejak lama. Ngapain ditunda-tunda lagi."Rasanya ingin aku menjawabnya lagi. Tapi suara tangisan Syafea sudah mulai terdengar. Benar saja, ibu datang dengan membawa Syafea yang sedang menangis."Sepertinya, Fea ngantuk, Nay." Ibu menyerahkan Syafea padaku."Maaf, Bang. Naya mau nidurin Fea dulu." Bang Raka mengangguk sambil tersenyum. Aku pun bangkit dan mulai berjalan ke kamar untuk menyusui putriku.Kumandang azan duhur membangunkanku yang ikut tertidur di samping Syafea. Mungkin karena semalam aku susah tidur, makanya sekarang sampai ikut ketiduran. Kulirik Syafea yang masih tertidur lelap. Kemudian aku turun perlahan dari kasur.Aku sedikit terkejut saat keluar dari kamar, karena ternyata Bang Raka masih ada di sini. Aku pikir sudah pulang ke rumahnya. Taunya masih ada. Tidur ter

  • Dilema Istri Kedua   Bab 47

    Dengan air mata yang mulai berjatuhan dan hati berdebar, mataku memindai sekeliling. Pun dengan Umi Fatimah. Aku berjalan cepat ke arah tempat mengaji anak-anak tadi, badanku berputar menengok ke kiri dan ke kanan. Nihil. Tidak ada."Gimana, Nay? Ada?" tanya Umi dengan wajah panik.Aku menggeleng."Kita cari ke arah belakang masjid."Aku pun mengikuti umi menuju belakang masjid. Bahkan sampai mengelilinginya. Tidak ada tanda-tanda Syafea ada di sana. Aku dan Umi pun memutuskan untuk kembali ke depan.Dengan tubuh yang masih bergetar dan kaki lemas, aku terduduk lesu di teras masjid. Menangis sesenggukan sambil menangkup wajahku dengan kedua tangan."Syafea ...." Aku menangis memanggil nama putriku."Sabar. Kita cari sama-sama. Insyaallah, Fea baik-baik saja." Umi mengusap punggungku pelan.Saat aku masih terisak, samar kudengar celotehan Syafea dari dalam masjid. Wajahku langsung mendongak seketika. Aku dan Umi saling bertatapan. Sepertinya Umi pun mendengarnya. Seingatku tadi, pintu

  • Dilema Istri Kedua   Bab 46

    Setelah melaksanakan solat isya, seperti kebiasaan keluargaku dari kecil, kami berkumpul di tuang TV. Berbagi cerita, membahas segala hal. Rencananya, malam ini, aku ingin bertanya kepada ibu dan Bang Irsyad tentang pendapat mereka mengenai Bang Raka. Aku ingin mengatakan kalau Bang Raka ingin serius menjalani hubungan denganku.Syafea tengah tertidur di karpet ruang TV karena terlalu lelah bermain. Ini waktu yang tepat untukku berbicara karena tidak akan diganggu anakku. "Bu, Bang, Naya mau ngomongin sesuatu," ucapku pada Ibu dan Bang Raka dengan hati yang berdebar. Spontan Ibu dan Abangku itu langsung menatap ke arahku."Ada apa, Nay?" tanya Ibu. Sementara Bang Irsyad tidak bersuara. Hanya dari gestur tubuhnya, dia terlihat sudah siap untuk mendengarkan."Naya ... mau bertanya sesuatu pada Ibu dan Abang," kataku lagi seolah ragu."Iya, apa? Tanyakan saja," jawab Ibu."Naya ... Naya ... Maksud Naya, gimana pendapat Ibu sama Abang tentang Bang Raka? Sebenarnya, Bang Raka mengatakan s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status